Kompleks Keamanan Hidro-Politik dan Peran Organisasi Internasional dalam Membawa Kerjasama atau Konflik ke Sungai Lintas Batas Bersama

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

19 Juni 2025, 11.15

pixabay.com

Krisis Air Lintas Batas dan Tantangan Global

Isu air lintas negara kini menjadi salah satu tantangan terbesar abad ke-21, terutama di tengah perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan kebutuhan energi yang terus meningkat. Paper karya Noha Yasser ini membedah secara mendalam bagaimana organisasi internasional—seperti World Bank—berperan dalam mendorong kerja sama atau justru gagal mencegah konflik di sungai-sungai lintas negara, dengan fokus pada dua studi kasus utama: Indus River Basin (India–Pakistan) dan Nile River Basin (Ethiopia–Mesir)1.

Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana air bukan hanya sumber daya vital, tetapi juga sumber potensi konflik geopolitik. Dengan pendekatan komparatif dan teori hydro-political security complexes, paper ini menawarkan wawasan baru tentang faktor-faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan mediasi internasional dalam sengketa air lintas negara.

Teori Kunci: Hydro-political Security Complexes

Apa Itu Hydro-political Security Complexes?

Teori ini menyoroti bahwa konflik dan kerja sama air lintas negara sangat dipengaruhi oleh:

  • Karakter negara: Kekuatan ekonomi, politik, dan militer yang stabil cenderung memudahkan kerja sama.
  • Shared benefits: Semakin besar manfaat bersama yang dirasakan, semakin besar peluang tercapainya kesepakatan.
  • Asimetri kekuasaan: Ketimpangan kekuatan antara negara hulu dan hilir seringkali menjadi sumber ketegangan.

Teori ini menegaskan bahwa organisasi internasional lebih mudah mencapai kerja sama jika negara-negara yang terlibat memiliki karakter kuat dan manfaat bersama yang jelas. Sebaliknya, jika kekuatan negara berubah-ubah dan manfaat tidak seimbang, potensi konflik meningkat1.

Studi Kasus 1: Indus River Basin (India–Pakistan)

Latar Belakang

Indus River Basin (IRB) melintasi China, Afghanistan, India, dan Pakistan, menjadi sumber kehidupan bagi lebih dari 200 juta orang—61% di antaranya tinggal di Pakistan. Sungai ini sangat vital untuk pertanian, energi, dan ketahanan pangan kedua negara1.

Konflik dan Sejarah

  • Konflik air sudah terjadi sejak sebelum kemerdekaan India dan Pakistan (1947).
  • Setelah perjanjian “Standstill Agreement” berakhir pada 1948, India sempat memutus aliran air ke Pakistan, memicu ketegangan serius.
  • Konflik ini berlanjut hingga 1960, ketika World Bank memediasi lahirnya Indus Water Treaty (IWT)1.

Indus Water Treaty (IWT): Studi Keberhasilan

  • Ditandatangani tahun 1960 setelah 9 tahun negosiasi.
  • Mengatur pembagian 6 sungai: India mengelola sungai timur (Ravi, Sutlej, Beas), Pakistan mengelola sungai barat (Jhelum, Indus, Chenab).
  • Dibentuk Permanent Indus Commission (PIC) untuk monitoring dan penyelesaian sengketa teknis1.

Angka-angka Penting

  • 100 juta acre-feet per tahun: Volume air yang dialokasikan dalam perjanjian.
  • Lebih dari 80% lahan pertanian Pakistan bergantung pada irigasi dari Indus.
  • India dan Pakistan sama-sama membangun infrastruktur besar (bendungan, PLTA) untuk memaksimalkan manfaat sungai1.

Peran World Bank

  • World Bank berperan sebagai mediator netral, menahan pendanaan proyek air hingga kedua negara sepakat.
  • Menyusun kerangka teknis dan ekonomi, serta menekan kedua pihak untuk fokus pada manfaat bersama, bukan konflik historis1.

Faktor Keberhasilan

  • Karakter negara stabil: Meski baru merdeka, India dan Pakistan memiliki kepentingan vital yang seimbang.
  • Manfaat bersama jelas: Keduanya sangat bergantung pada air Indus untuk pertanian dan energi.
  • Asimetri kekuasaan relatif kecil: India sebagai negara hulu memang lebih kuat, tapi Pakistan punya leverage politik dan dukungan internasional1.

Tantangan dan Dinamika Baru

  • Perubahan iklim: Meningkatkan risiko banjir dan kekeringan, menuntut adaptasi perjanjian.
  • Pertumbuhan penduduk: Meningkatkan tekanan pada sumber daya air.
  • Ketegangan politik: Konflik di Kashmir dan isu keamanan regional tetap menjadi ancaman laten1.

Studi Kasus 2: Nile River Basin (Ethiopia–Mesir)

Latar Belakang

Nile River Basin (NRB) melintasi 11 negara Afrika, dengan fokus utama pada konflik antara Ethiopia (hulu) dan Mesir (hilir). Sungai Nil adalah sumber air utama bagi lebih dari 450 juta penduduk, dan lebih dari 90% kebutuhan air Mesir berasal dari Nil1.

Sejarah Konflik

  • Perjanjian 1929 dan 1959: Memberikan hak veto kepada Mesir atas proyek air di hulu, mengabaikan kepentingan Ethiopia.
  • Nile Basin Initiative (NBI) 1999: Upaya kerja sama multilateral, namun tetap didominasi Mesir dan Sudan.
  • Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD): Bendungan raksasa yang dibangun Ethiopia sejak 2011, memicu kekhawatiran Mesir akan berkurangnya pasokan air1.

GERD: Sumber Konflik Baru

  • Kapasitas bendungan: 6.600 MW, terbesar di Afrika.
  • Luas area: 1.867 km².
  • Target Ethiopia: Meningkatkan kapasitas listrik nasional hingga 13,7 GW pada 2040.
  • Dampak pada Mesir: Potensi pengurangan air hingga 12–19 miliar m³/tahun, risiko gagal panen, dan penurunan produksi listrik di Aswan Dam hingga 23–39%1.

Upaya Mediasi dan Peran Organisasi Internasional

  • World Bank, African Union, dan PBB: Terlibat dalam negosiasi trilateral sejak 2018.
  • National Independent Scientific Research Group (NISRG): Dibentuk untuk mencari solusi teknis, namun gagal mencapai konsensus.
  • Ethiopia menolak mediasi World Bank: Menganggap isu ini sebagai kedaulatan nasional, bukan sekadar teknis1.

Faktor Kegagalan

  • Karakter negara berubah-ubah: Mesir mengalami instabilitas politik dan ekonomi pasca-2011, Ethiopia justru menguat secara ekonomi dan militer.
  • Manfaat bersama tidak seimbang: Ethiopia fokus pada listrik dan pembangunan, Mesir pada ketahanan pangan dan air.
  • Asimetri kekuasaan berubah: Ethiopia mulai menantang dominasi historis Mesir, menciptakan ketegangan baru1.

Analisis Perbandingan: Mengapa Satu Kasus Sukses, Lainnya Gagal?

Faktor Penentu Keberhasilan Mediasi

  1. Stabilitas Karakter Negara
    • India–Pakistan: Keduanya relatif stabil saat perjanjian dibuat, meski ada rivalitas.
    • Ethiopia–Mesir: Dinamika kekuasaan berubah cepat, membuat negosiasi sulit1.
  2. Shared Benefits
    • Indus: Manfaat bersama sangat jelas dan saling tergantung.
    • Nil: Manfaat lebih asimetris, Ethiopia ingin listrik, Mesir ingin air untuk pertanian1.
  3. Asimetri Kekuasaan
    • Indus: Power balance relatif terjaga, World Bank bisa menjadi penengah efektif.
    • Nil: Ethiopia mulai menantang status quo, Mesir kehilangan leverage historis1.
  4. Peran Organisasi Internasional
    • World Bank sukses di Indus karena kedua pihak terbuka pada mediasi dan tekanan ekonomi.
    • Di Nil, World Bank gagal karena Ethiopia menolak intervensi eksternal dan lebih percaya pada kekuatan nasional1.

Angka-angka Kunci

  • Indus: 200 juta penduduk terdampak, 100 juta acre-feet air/tahun, 80% lahan pertanian Pakistan bergantung pada Indus.
  • Nil: 450 juta penduduk di basin, 90% kebutuhan air Mesir dari Nil, potensi kehilangan air 12–19 miliar m³/tahun akibat GERD1.

Opini, Kritik, dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Nilai Tambah dan Originalitas

Paper ini menonjol karena:

  • Menggunakan teori hydro-political security complexes untuk membedah dua kasus nyata secara komparatif.
  • Menyoroti pentingnya variabel “karakter negara” dan “shared benefits” dalam menentukan hasil mediasi internasional.
  • Menunjukkan bahwa intervensi organisasi internasional tidak selalu efektif—tergantung pada konteks politik, ekonomi, dan sosial negara yang terlibat1.

Kritik

  • Kurang membahas solusi inovatif: Paper lebih fokus pada dinamika politik dan institusional, kurang mengeksplorasi teknologi baru (misal, monitoring berbasis AI, desalinasi hemat energi).
  • Minim analisis dampak jangka panjang: Terutama pada kelompok rentan dan lingkungan.
  • Kurang menyoroti peran masyarakat sipil: Padahal, partisipasi publik seringkali menjadi kunci keberhasilan pengelolaan air lintas negara1.

Perbandingan dengan Studi Lain

  • Studi UN-Water dan World Resources Institute juga menekankan pentingnya “shared benefits” dan tata kelola inklusif dalam mengelola air lintas negara.
  • Penelitian lain menunjukkan bahwa keberhasilan perjanjian air seringkali dipengaruhi oleh tekanan eksternal (krisis, donor internasional) dan adanya mekanisme monitoring yang transparan.
  • Kasus Mekong River Basin di Asia Tenggara juga menunjukkan bahwa asimetri kekuasaan dan perubahan karakter negara dapat menghambat kerja sama, meski ada dukungan organisasi internasional1.

Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi

1. Tata Kelola Air Inklusif dan Kolaboratif

  • Libatkan semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat lokal, dalam negosiasi dan implementasi perjanjian air.
  • Transparansi dan monitoring berbasis data sangat penting untuk membangun kepercayaan1.

2. Penyesuaian Alokasi dan Re-alokasi Air

  • Lakukan evaluasi berkala terhadap alokasi air, terutama di tengah perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk.
  • Gunakan teknologi (misal, sensor IoT, data satelit) untuk memantau debit dan kualitas air secara real-time1.

3. Kombinasi Solusi Jangka Pendek dan Panjang

  • Respons cepat saat krisis (misal, pembatasan konsumsi, distribusi air darurat) harus diimbangi dengan strategi jangka panjang (efisiensi irigasi, diversifikasi sumber air, edukasi masyarakat)1.

4. Fokus pada Efektivitas, Bukan Sekadar Biaya

  • Solusi mahal seperti bendungan raksasa atau desalinasi belum tentu efektif jika tidak didukung tata kelola yang baik dan partisipasi masyarakat.
  • Inovasi sederhana (misal, pengelolaan air berbasis komunitas, pertanian hemat air) seringkali lebih berkelanjutan1.

Pelajaran Global dari Dua Sungai Besar

Paper ini membuktikan bahwa keberhasilan atau kegagalan organisasi internasional dalam memediasi konflik air lintas negara sangat ditentukan oleh:

  • Stabilitas karakter negara yang terlibat.
  • Besarnya manfaat bersama yang dirasakan.
  • Keseimbangan atau ketimpangan kekuasaan antara negara hulu dan hilir.
  • Keterbukaan terhadap mediasi dan tekanan eksternal.

Tidak ada solusi tunggal untuk setiap kasus. Setiap sungai, negara, dan masyarakat memiliki dinamika unik yang harus dipahami secara kontekstual. Namun, prinsip kolaborasi, transparansi, dan inovasi tetap menjadi kunci untuk menghindari “water wars” di masa depan.

Sumber Artikel 

Noha Yasser. Hydro-political Security Complexes and the Role of International Organizations in Bringing Cooperation or Conflict to Shared Transboundary Rivers. Master thesis in Peace and Conflict Studies, Uppsala University, 2023.