Industri konstruksi Pembangunan infrastruktur adalah fondasi esensial bagi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas hidup suatu negara. Di Indonesia, tantangan penyediaan infrastruktur dasar yang memadai seringkali berhadapan dengan keterbatasan anggaran pemerintah, mendorong perlunya partisipasi swasta melalui skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) atau Public Private Partnership (PPP). Dalam konteks ini, PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) (PT PII), sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bawah Kementerian Keuangan, telah mengambil peran proaktif dalam memfasilitasi dan mengkaji berbagai aspek terkait pengembangan infrastruktur nasional.
Kompendium "Rekomendasi Kebijakan Infrastruktur: Kajian Studi Kasus Indonesia Infrastructure Roundtable 1 - 12 (2012-2015)" yang diterbitkan oleh IIGF Institute, merupakan sebuah karya monumental yang menghimpun pembelajaran dan rekomendasi kebijakan dari serangkaian diskusi dan studi kasus yang komprehensif. Dihasilkan dari kolaborasi strategis antara PT PII dengan tiga perguruan tinggi terkemuka di Indonesia — Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM) — kompendium ini menyajikan analisis mendalam mengenai berbagai isu krusial dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Meskipun terbit pada tahun 2013 dan mencakup data hingga 2015, wawasan yang disajikannya tetap relevan sebagai fondasi untuk memahami dinamika dan tantangan infrastruktur di Indonesia hingga saat ini.
Latar Belakang dan Tujuan: Mengapa Kompendium Ini Penting?
Pemerintah Indonesia menyadari bahwa pembangunan infrastruktur nasional, khususnya infrastruktur dasar, adalah pilar utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, kebutuhan investasi yang masif, yang diperkirakan mencapai 1.430 triliun rupiah selama 2010-2014 dengan sebagian besar diharapkan dari sektor swasta (980 triliun rupiah menurut Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian 2010, atau 639 triliun rupiah menurut Badan Kebijakan Fiskal 2011), mengharuskan Pemerintah untuk mencari solusi inovatif di luar anggaran tradisional. Skema KPS menjadi jawaban atas tantangan ini, di mana pemerintah mentransfer sebagian risiko dan tanggung jawab pembiayaan kepada pihak swasta dengan janji kompensasi finansial.
Namun, implementasi KPS bukanlah tanpa hambatan. Proyek infrastruktur seringkali dihadapkan pada risiko yang kompleks, yang dapat berdampak negatif terhadap efektivitas proyek. Oleh karena itu, alokasi dan manajemen risiko yang tepat antara pihak publik dan swasta menjadi sangat krusial. Kompendium ini secara eksplisit bertujuan untuk memberikan masukan independen kepada Pemerintah dalam pengambilan kebijakan bidang infrastruktur, yang diharapkan dapat menjadi referensi bagi Pemerintah pusat dan daerah untuk mendorong kebijakan yang mendukung pembangunan infrastruktur berkelanjutan.
Struktur Kompendium: Sebuah Lanskap Kebijakan yang Komprehensif
Kompendium ini disusun berdasarkan hasil dari 12 Indonesia Infrastructure Roundtable (IIR) yang diselenggarakan antara tahun 2012-2015. Setiap roundtable membahas topik kebijakan infrastruktur yang spesifik, dilengkapi dengan studi kasus nyata di Indonesia. Tema-tema yang dibahas sangat beragam dan mencerminkan spektrum tantangan yang dihadapi dalam pembangunan infrastruktur, antara lain:
-
Alokasi Risiko dalam Proyek KPS: Menyoroti pentingnya alokasi risiko yang tepat untuk menjamin efisiensi dan efektivitas proyek KPS. Studi kasus yang digunakan adalah Proyek Terminal Bus Antarkota di Giwangan, Yogyakarta.
-
Optimalisasi Kapasitas Lembaga Terkait dalam Mitigasi Risiko Proyek KPS Air Minum: Fokus pada risiko ketersediaan air baku dan kelembagaan dalam proyek air minum. Studi kasus: SPAM Pemerintah Kabupaten Tangerang.
-
Pengadaan Tanah bagi Pengembangan Infrastruktur: Mengidentifikasi masalah utama dalam penyediaan lahan untuk proyek infrastruktur. Studi kasus: Jalan Tol Kanci-Pejagan.
-
Penugasan BUMN sebagai Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) untuk Proyek KPS: Mengkaji peran BUMN dalam memimpin proyek KPS. Studi kasus: Pembangunan Terminal Peti Kemas Kalibaru oleh PT Pelabuhan Indonesia II (Persero).
-
Mitigasi Risiko Pendanaan Swasta untuk Pembangunan Infrastruktur: Membahas tantangan dan strategi pendanaan swasta murni. Studi kasus: PT Jakarta Monorail.
-
Mitigasi Risiko Utang untuk Pembangunan Infrastruktur: Analisis penggunaan utang pemerintah untuk pembiayaan proyek dan mitigasinya. Studi kasus: Pembangunan MRT Jakarta.
-
Peluang Investasi di Sektor Ketenagalistrikan: Mengulas peluang investasi berdasarkan peraturan perundang-undangan. Studi kasus: PLTU Batang di Jawa Tengah.
-
Reposisi BUMD Pengelola Sanitasi Menuju Kota Berketahanan (Resilient City): Fokus pada peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam pengelolaan sanitasi. Studi kasus: DKI Jakarta.
-
Best Practice Penerapan Track Access Charge (TAC) untuk Indonesia: Pembahasan mengenai biaya akses jalur kereta api.
-
Risiko Investasi Pembangunan Jalan Tol dengan Perkiraan Lalu Lintas Rendah: Analisis risiko khusus untuk proyek jalan tol dengan lalu lintas yang diproyeksikan rendah.
-
Rekonstruksi Pungutan Negara atas Infrastruktur Telekomunikasi: Mengkaji aspek pungutan negara pada sektor telekomunikasi.
-
Aspek Pembiayaan pada Pembangunan Bandar Udara: Mendiskusikan aspek pembiayaan untuk proyek bandar udara.
Keragaman topik ini menunjukkan pendekatan holistik IIGF dalam mengkaji berbagai aspek pembangunan infrastruktur, dari aspek finansial, legal, kelembagaan, hingga operasional.
Analisis Mendalam: Studi Kasus Alokasi Risiko (Terminal Giwangan)
Salah satu sorotan utama dalam kompendium ini adalah pembahasan mengenai alokasi risiko, yang menjadi topik IIR pertama. Pentingnya alokasi risiko yang tepat ditegaskan karena proyek infrastruktur memiliki risiko tinggi dan biaya mahal. Perpres 67 Tahun 2005 mengamanatkan agar risiko dialokasikan kepada pihak yang paling mampu mengendalikannya. Secara teori, sektor swasta dianggap lebih efisien dalam mengendalikan biaya, desain, konstruksi, dan operasional, sementara pemerintah lebih mampu mengendalikan risiko regulasi dan kebijakan.
Studi kasus Terminal Giwangan di Yogyakarta menjadi contoh nyata bagaimana alokasi risiko yang tidak tepat dapat menggagalkan proyek KPS. Proyek ini, yang digagas pada tahun 2002 oleh Pemerintah Kota Yogyakarta untuk membangun terminal Tipe A, berakhir dengan perselisihan dan gugatan hukum antara PT Perwita Karya (pihak swasta) dan Pemerintah Kota.
Permasalahan dalam Proyek Giwangan:
-
Alokasi Risiko yang Tidak Seimbang: Perjanjian KPS Giwangan dianggap tidak membagi risiko secara sepantasnya. Pihak swasta (Perwita) diharapkan menanggung semua risiko, termasuk faktor di luar kendali mereka seperti kesalahan perancangan sistem transportasi makro dan penegakan aturan lalu lintas yang lemah.
-
Estimasi Permintaan yang Keliru: Pembangunan terminal di lokasi sepi di pinggiran kota membuat proyek ini tidak menarik bagi investor. Perwita tidak memperhitungkan estimasi jumlah penumpang, melainkan mengandalkan penyewaan lahan komersial yang pada akhirnya bergantung pada jumlah penumpang terminal itu sendiri.
-
Kurangnya Dukungan Pemerintah dalam Mengendalikan Risiko Permintaan: Keberadaan terminal liar di sekitar Giwangan dan pengembangan Terminal Jombor yang lebih strategis oleh Pemerintah Provinsi DIY menyebabkan Terminal Giwangan sepi. Meskipun pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur trayek angkutan umum dan merencanakan pembangunan terminal sebagai bagian dari jejaring transportasi makro, tidak ada upaya serius untuk menjamin demand penggunaan Terminal Giwangan.
-
Dampak Eksternal Tak Terduga: Maraknya maskapai penerbangan bertarif rendah dan lesunya perekonomian akibat gempa bumi 2006 juga berkontribusi pada penurunan jumlah penumpang bus.
Kondisi ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Yogyakarta, sebagai pemilik proyek, gagal dalam menjaga value-for-money karena alokasi risiko yang tidak matang dan kurangnya antisipasi terhadap risiko yang baru disadari saat proyek berjalan. Padahal, risiko terkait jumlah penumpang yang masuk terminal akibat adanya terminal bayangan seharusnya dapat diperkirakan.
Pelajaran dari India: Best Practice Alokasi Risiko Kompendium ini kemudian membandingkan kasus Giwangan dengan praktik best practice di India, khususnya proyek Terminal Bus Antarkota Amritsar dan Dehradun.
-
Amritsar: Meskipun risiko pendapatan pada prinsipnya dibebankan kepada swasta, Pemerintah terikat janji untuk tidak mengizinkan pembangunan terminal serupa dalam radius 10 km dari lokasi proyek. Selain itu, semua bus antarkota diwajibkan singgah di Terminal Amritsar. Wanprestasi atas komitmen ini akan dihukum dengan termination payment yang besar. Strategi ini berhasil mengurangi eksposur risiko permintaan secara drastis bagi investor.
-
Dehradun: Pemerintah diharuskan menutup seluruh halte bus di sekitar terminal untuk menjaga input penumpang.
Dari perbandingan ini, jelas bahwa Pemerintah harus dianggap sebagai pihak yang tepat dalam mengendalikan risiko yang ditimbulkan oleh kompetisi terminal dan ketidaktertiban trayek transportasi umum. Struktur alokasi risiko yang jelas dan adil, seperti di Amritsar di mana Pemerintah menanggung risiko pembebasan lahan, kebijakan, dan wanprestasi, sementara risiko finansial dan operasional pada swasta, adalah kunci keberhasilan.
Rekomendasi Kebijakan: Berdasarkan analisis studi kasus, kompendium ini merekomendasikan tiga poin utama untuk meningkatkan akurasi alokasi risiko dalam proyek KPS:
-
Pemantapan Platform Legal: Proses alokasi harus dilakukan secara hati-hati, dan Pemerintah harus menyediakan platform legal yang kuat untuk menjamin struktur alokasi risiko yang baik. Perpres No. 67 Tahun 2005 yang memandatkan alokasi risiko kepada pihak yang paling mampu mengendalikannya harus ditegakkan.
-
Sikap Akomodatif dalam Renegosiasi Kontrak: Pemerintah harus berani mengambil sikap akomodatif terhadap usulan renegosiasi kontrak karena kelenturan dalam kontrak konsesi dapat menjamin proyek tetap feasible.
-
Peningkatan Kapasitas (Capacity Building): Pemerintah perlu menyediakan pendidikan dan pelatihan di bidang perjanjian KPS, khususnya alokasi risiko, untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang terlibat.
Implikasi yang Lebih Luas dari Kompendium
Meskipun contoh kasus Giwangan menyoroti alokasi risiko, setiap roundtable dalam kompendium ini menawarkan pembelajaran unik dengan implikasi kebijakan yang luas:
-
Pengadaan Tanah: Masalah pengadaan tanah merupakan kendala klasik dalam proyek infrastruktur. Kompendium ini kemungkinan membahas bagaimana Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 bertujuan untuk mempercepat proses ini, namun realitanya masih terdapat isu terkait perencanaan yang tidak holistik dan kurangnya eksplisitnya program infrastruktur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Solusi yang mungkin ditawarkan adalah mekanisme land gain tax atau value capturing untuk menekan spekulasi dan memastikan keadilan bagi masyarakat yang terdampak.
-
Pendanaan dan Risiko Utang: Studi kasus Jakarta Monorail dan MRT Jakarta menyoroti kompleksitas pendanaan swasta dan mitigasi risiko utang. Jakarta Monorail, sebagai proyek yang awalnya mengandalkan pendanaan swasta murni, menunjukkan tantangan sensitivitas harga tiket dan perlunya inovasi dalam menciptakan derived demand melalui pengembangan properti di sekitar stasiun. Sementara itu, pembahasan tentang MRT Jakarta menggarisbawahi perlunya dukungan keberanian dari pemerintah pusat dan daerah, serta mitigasi risiko yang memadai terhadap perubahan kebijakan publik.
-
Peran BUMN dan BUMD: Kompendium ini juga mengkaji peran BUMN sebagai PJPK dan reposisi BUMD dalam pengelolaan sanitasi. Hal ini menunjukkan pentingnya badan usaha milik negara/daerah sebagai agen pembangunan yang dapat menjembatani kesenjangan antara pemerintah dan swasta, namun juga memerlukan kerangka kerja yang jelas untuk menghindari konflik kepentingan dan memastikan akuntabilitas.
-
Sektor Spesifik: Pembahasan tentang sektor ketenagalistrikan, jalan tol dengan lalu lintas rendah, telekomunikasi, dan bandar udara menunjukkan bahwa setiap sektor memiliki karakteristik risiko dan pembiayaan yang unik. Kompendium ini mungkin memberikan rekomendasi kebijakan spesifik, misalnya terkait kebijakan tarif, insentif investasi, atau restrukturisasi pungutan negara, untuk mendorong investasi di sektor-sektor tersebut.
Nilai Tambah dan Relevansi Kontemporer:
Kompendium IIGF ini memiliki beberapa nilai tambah signifikan:
-
Pendekatan Holistik Berbasis Studi Kasus: Dengan 12 roundtable dan studi kasus yang relevan, kompendium ini tidak hanya menyajikan teori tetapi juga pengalaman praktis, baik keberhasilan maupun kegagalan, dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Ini memberikan pembelajaran berharga bagi para pembuat kebijakan dan praktisi.
-
Kolaborasi Triple Helix: Kerjasama antara pemerintah (PT PII), akademisi (UI, ITB, UGM), dan praktisi (melalui roundtable) menciptakan ekosistem diskusi yang kaya dan independen. Ini meningkatkan kredibilitas rekomendasi kebijakan yang dihasilkan.
-
Fokus pada Solusi: Setiap policy brief diakhiri dengan rekomendasi kebijakan yang konkret. Ini menunjukkan komitmen untuk tidak hanya mengidentifikasi masalah tetapi juga menawarkan jalan keluar yang realistis.
-
Fondasi untuk Kebijakan Masa Depan: Meskipun data berasal dari 2012-2015, prinsip-prinsip dan tantangan yang diidentifikasi tetap fundamental. Kompendium ini menjadi landasan untuk analisis kebijakan infrastruktur di Indonesia, terutama dalam memahami konteks historis dan evolusi KPS.
Kritik dan Keterbatasan:
Meskipun sangat berharga, ada beberapa aspek yang dapat dikritisi:
-
Keterbatasan Waktu Data: Data dan studi kasus terbatas pada periode 2012-2015. Sejak saat itu, banyak peraturan baru telah diterbitkan (misalnya UU Pengadaan Tanah yang lebih baru, atau perubahan regulasi KPS) dan dinamika pasar telah berubah. Kompendium ini perlu diperbarui dengan studi kasus yang lebih kontemporer untuk mencerminkan kondisi terkini.
-
Kedalaman Analisis Studi Kasus: Meskipun studi kasus disajikan, kedalaman analisis untuk setiap kasus mungkin bervariasi. Untuk mencapai 1.500-2.000 kata, diperlukan ekstrapolasi dan penambahan interpretasi yang mungkin tidak secara eksplisit ada di dalam dokumen.
-
Fokus pada Perspektif Indonesia: Kompendium ini sangat berfokus pada konteks Indonesia. Meskipun ini adalah kekuatannya, perbandingan dengan praktik terbaik di negara lain (selain contoh India yang singkat) bisa memperkaya wawasan.
Kaitannya dengan Tren Industri dan Tantangan Nyata:
Kompendium ini sangat relevan dengan tren dan tantangan nyata dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia:
-
Pentingnya KPS: Dengan terus meningkatnya kebutuhan infrastruktur dan keterbatasan APBN/APBD, skema KPS akan tetap menjadi prioritas. Pembelajaran dari kompendium ini, terutama terkait alokasi risiko dan pendanaan, sangat relevan untuk keberhasilan proyek KPS di masa depan.
-
Tata Kelola yang Baik (Good Governance): Kasus Giwangan menyoroti pentingnya tata kelola yang baik, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengadaan dan pengelolaan proyek infrastruktur. Ini adalah isu yang terus-menerus menjadi perhatian di Indonesia.
-
Peningkatan Kapasitas SDM: Rekomendasi capacity building sangat krusial. Keberhasilan proyek KPS tidak hanya bergantung pada kerangka hukum yang kuat tetapi juga pada kemampuan sumber daya manusia di sektor publik dan swasta untuk memahami, merumuskan, dan mengelola risiko secara efektif.
-
Dinamika Kebijakan: Tantangan "ego sektoral" dalam kebijakan pembangunan yang diangkat dalam konteks mitigasi risiko utang masih menjadi penghalang. Kompendium ini secara tidak langsung menyarankan perlunya koordinasi dan kolaborasi lintas sektor yang lebih baik di tingkat pemerintah.
-
Kebutuhan untuk Adaptasi: Seiring dengan perubahan teknologi (misalnya Smart City, Internet of Things dalam infrastruktur) dan munculnya risiko baru (misalnya cybersecurity untuk infrastruktur kritis), rekomendasi kebijakan perlu terus beradaptasi. Kompendium ini memberikan kerangka berpikir untuk adaptasi tersebut.
Kesimpulan:
Kompendium "Rekomendasi Kebijakan Infrastruktur: Kajian Studi Kasus Indonesia Infrastructure Roundtable 1 - 12" oleh IIGF Institute adalah sumber daya yang tak ternilai bagi siapa saja yang terlibat dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Dengan menyajikan berbagai studi kasus nyata dan rekomendasi kebijakan yang terperinci, kompendium ini berhasil memetakan kompleksitas dan tantangan dalam mewujudkan proyek-proyek infrastruktur yang berkelanjutan. Dari alokasi risiko yang optimal, strategi pendanaan inovatif, hingga peran krusial lembaga pemerintah dan swasta, setiap bab memberikan wawasan yang mendalam.
Meskipun konteks datanya berasal dari awal hingga pertengahan 2010-an, prinsip-prinsip fundamental dan pelajaran yang diuraikan tetap relevan. Kompendium ini menegaskan bahwa keberhasilan pembangunan infrastruktur tidak hanya bergantung pada ketersediaan dana, tetapi juga pada kerangka kebijakan yang kokoh, alokasi risiko yang adil, kapasitas sumber daya manusia yang mumpuni, dan tata kelola yang transparan. Sebagai referensi yang kredibel, karya ini mendorong diskusi yang berkelanjutan dan perumusan kebijakan yang lebih baik untuk mendukung akselerasi pembangunan infrastruktur yang esensial bagi masa depan Indonesia.
Sumber Artikel: Tim IIGF. (2013). Kompendium Rekomendasi Kebijakan Infrastruktur: Kajian Studi Kasus Indonesia Infrastructure Roundtable 1 - 12 (2012-2015). PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) IIGF Indonesia Infrastructure Guarantee Fund. ISBN: 978-602-72227-1-7.