Tantangan dan peluang mengembangkan solusi rendah emisi pada industri eksplorasi dan pengembangan hulu minyak dan gas terus berkembang. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendorong agar industri ini bisa mendobrak batas agar semakin rendah emisi dan berkelanjutan.
Hal ini disampaikan oleh Staf Ahli Menteri LHK Bidang Energi, Haruni Krisnawati mewakili Menteri LHK pada The 4th International Convention on Indonesian Upstream Oil & Gas 2023, di Nusa Dua, Bali, Kamis, (21/09/2023).
Ia mengungkapkan bila perubahan iklim bukan lagi ancaman, tetapi ini adalah kenyataan yang mendesak harus dihadapi. Emisi gas rumah kaca dari sektor minyak dan gas, merupakan salah satu kontributor utama krisis iklim ini.
"Saat kita menghadapi tantangan mendesak untuk memitigasi perubahan iklim dan mengurangi emisi gas rumah kaca, sangat penting untuk mengeksplorasi dan merangkul alternatif energi berkelanjutan yang dapat memberi kekuatan pada bumi melawan perubahan iklim," ujarnya.
Ia menyebut jika dalam Enhanced NDC/ ENDC, Indonesia telah meningkatkan ambisinya mengurangi emisi gas rumah kaca dari 29% menjadi 31,89% tanpa syarat atau upaya sendiri, dan dari 41% menjadi 43,2% dengan syarat atau dukungan internasional, dengan skenario business-as-usual pada tahun 2030.
"Komitmen ini merupakan bagian dari upaya Indonesia untuk terus menyelaraskan upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan ketahanan iklim kita," tuturnya.
Indonesia disebutnya terus meningkatkan ambisinya dalam pengurangan emisi gas rumah kaca, di mana sekitar 94% berasal dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya/Forestry and Other Land Uses (FOLU) dan energi.
"Salah satu aksi mitigasi yang relevan dengan sektor industri minyak dan gas bumi adalah penghijauan/aforestasi di area bekas tambang," ujar Haruni.
Ia menyebut jika KLHK mengakui adanya upaya-upaya yang dilakukan oleh industri pertambangan untuk memenuhi kewajiban perusahaan dalam menggunakan kawasan hutan.
"Pemegang IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan) harus melaksanakan dua kewajiban, yaitu terkait dengan reklamasi kawasan hutan bekas tambang dan rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS)," ujarnya.
Reklamasi kawasan hutan bekas tambang merupakan upaya untuk memulihkan dan meningkatkan kemampuan dan fungsi kawasan hutan bekas tambang sebagai sistem penyangga kehidupan. Sedangkan rehabilitasi daerah aliran sungai adalah kegiatan penanaman di dalam dan di luar kawasan hutan oleh pemegang IPPKH, yang dimaksudkan untuk mempercepat rehabilitasi hutan dan lahan dengan sumber dana non pemerintah, sebagai upaya memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi daerah aliran sungai untuk mempertahankan daya dukung, produktivitas, dan perannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan.
Haruni juga menyebut jika KLHK mengapresiasi upaya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam menekan emisi dari industri hulu migas dengan mengeluarkan Peraturan Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, serta Penangkapan, Pemanfaatan dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, atau dikenal dengan istilah CCS/CCUS, dan beberapa studi atau proyek percontohan di Indonesia. Peraturan ini turut mendukung target Indonesia untuk mengurangi emisi karbon.
"Teknologi CCS diharapkan memainkan peran penting dalam pengurangan emisi gas rumah kaca dari hulu migas di Indonesia," imbuh Haruni.
Meski demikian Haruni menyebut perlu kiranya beberapa hambatan dan risiko perlu diatasi dalam penerapan CCS, seperti: Potensi kebocoran karbon selama penangkapan, pengangkutan, dan penyimpanan, Potensi dampak lingkungan dari penyimpanan karbon jangka panjang di bawah tanah, dan Risiko terhadap kesehatan yang mungkin timbul akibat kebocoran karbon dioksida yang tersimpan atau juga dari pencemaran air tanah.
"CCS harus dilakukan secara hati-hati untuk memastikan bahwa tidak mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan, ekosistem, dan masyarakat," pungkasnya.
Sumber: ppid.menlhk.go.id