Wawasan Perkotaan

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Ambang Kelumpuhan: Potret Jalan Ahmad Yani Sebelum Intervensi

Dipublikasikan oleh Hansel pada 28 Oktober 2025


Di Ambang Kelumpuhan: Potret Jalan Ahmad Yani Sebelum Intervensi

Untuk memahami skala kemenangan rekayasa ini, kita harus terlebih dahulu memahami betapa parahnya kondisi "sebelum 2021". Jalan Ahmad Yani, sebagai pusat bisnis dan komersial, menderita kemacetan parah dan ketidaktertiban lalu lintas.1

Analisis penelitian ini, menggunakan standar Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, melukiskan gambaran suram:

  • Derajat Kejenuhan (DS) Kritis: Sebelum SSA, nilai DS—sebuah rasio yang mengukur seberapa penuh jalan—berada di titik nadir. Pada jam puncak hari kerja, angkanya mencapai 0,927. Pada jam puncak akhir pekan, angkanya melonjak menjadi 0,935.1
  • Arti Sebenarnya dari Angka 0,935: Ini bukan statistik akademis yang kering. Angka ini menempatkan Jalan Ahmad Yani dalam Tingkat Pelayanan (Level of Service) E.1 Dalam terminologi MKJI 1997, Level E berarti "arus lalu lintas tidak stabil dan terkadang terhenti." Jalan itu, secara sederhana, 93,5% penuh sesak.
  • Pipa yang Tersumbat: Ini adalah potret jalan raya yang "tercekik". Kapasitasnya, yang terhitung hanya 969 satuan mobil penumpang (smp) per jam, jelas tidak lagi mampu menampung volume kendaraan yang melewatinya.1 Kesimpulan penelitian ini tegas: dasar penerapan SSA adalah karena kapasitas jalan dua arah sudah tidak mampu menampung permintaan.1

Simulasi komputer canggih menggunakan software PTV VISSIM mengonfirmasi diagnosis ini. Sebelum intervensi, waktu tundaan (delay) rata-rata—waktu henti yang dialami setiap kendaraan akibat kemacetan—adalah 1,07 detik per kendaraan di hari kerja, dan melonjak menjadi 1,47 detik per kendaraan di akhir pekan.1

Jalan Ahmad Yani, sebelum 2021, berada di ambang gagal jantung lalu lintas.

 

Membedah Solusi: Mengapa Satu Arah Menjadi Resep Ajaib?

Di sinilah letak paradoks besar dari proyek Tegal City Walk. Latar belakang penelitian mencatat bahwa proyek ini melibatkan "menata trotoar" dan "menyediakan tempat untuk PKL," yang berarti "lebar jalan dikurangi".1

Data survei lapangan dalam tesis ini mengonfirmasi hal tersebut secara dramatis. Sebelum SSA, sistem dua arah memiliki lebar jalan efektif (aspal untuk kendaraan) total 12 meter.1 Setelah implementasi SSA dan Tegal City Walk, lebar jalan efektif untuk kendaraan dipangkas menjadi hanya 5 meter.1

Bagaimana bisa memotong lebar jalan lebih dari setengah (pengurangan 58%) justru menyelesaikan kemacetan?

Jawabannya adalah inti dari manajemen rekayasa lalu lintas: efisiensi sebuah jalan tidak ditentukan oleh lebarnya, tetapi oleh minimnya titik konflik. Sistem dua arah di CBD penuh dengan konflik: kendaraan dari arah berlawanan, dan yang lebih buruk, kendaraan yang membelok memotong arus.

Sistem Satu Arah (SSA) menghilangkan konflik paling fatal tersebut. Dan hasilnya, yang dibuktikan oleh penelitian ini, sungguh ajaib:

Meskipun lebar aspal dipotong drastis, kapasitas (daya tampung) aktual Jalan Ahmad Yani justru melonjak. Kapasitas jalan meningkat dari 969 smp/jam (saat masih 12 meter, dua arah) menjadi 1.104 smp/jam (setelah menjadi 5 meter, satu arah).1

Ini adalah lompatan efisiensi sebesar 14%. Bayangkan Anda merenovasi dapur, membuang separuh luas lantainya, namun entah bagaimana desain baru itu memungkinkan Anda memasak 14% lebih banyak makanan secara bersamaan. Itulah yang dicapai Tegal. SSA adalah alur kerja (workflow) yang jauh lebih superior untuk lalu lintas.

 

Hasil yang Mengejutkan: Data Kemenangan Rekayasa Tegal

Data kinerja "setelah" SSA yang disajikan dalam tesis ini sangat dramatis, mengonfirmasi keberhasilan total pertaruhan tersebut.

Jika analisis MKJI 1997 sebelumnya menunjukkan Level Pelayanan E (tercekik), analisis pasca-SSA menunjukkan keruntuhan pada tingkat kejenuhan. Derajat Kejenuhan (DS) di akhir pekan—yang sebelumnya 0,935 (Level E)—jatuh bebas ke 0,420. Di hari kerja, jatuh dari 0,927 ke 0,358.1

Bagi pengemudi, ini adalah perubahan transformasional. Jalan Ahmad Yani melompat dari Level E (arus tidak stabil, macet) ke Level B (arus lalu lintas tetap stabil, pengemudi memiliki kebebasan yang cukup untuk memilih kecepatan mereka).1 Ini mengubah pengalaman berkendara dari frustrasi penuh ketidakpastian menjadi perjalanan yang lancar dan dapat diprediksi.

Namun, data paling mengejutkan datang dari simulasi mikroskopis PTV VISSIM, yang mengukur waktu tundaan (delay).

  • Pada jam puncak hari kerja: Waktu tundaan rata-rata ambruk dari 1,07 detik/kendaraan menjadi hanya 0,08 detik/kendaraan.1
  • Pada jam puncak akhir pekan: Waktu tundaan ambruk dari 1,47 detik/kendaraan menjadi hanya 0,11 detik/kendaraan.1

Penurunan dari 1,07 detik menjadi 0,08 detik adalah pengurangan tundaan sebesar 92,5%. Ini bukan perbaikan; ini adalah eliminasi kemacetan.

Untuk memberi gambaran, lompatan efisiensi ini ibarat Anda biasanya membutuhkan waktu satu jam untuk mengisi baterai ponsel dari 20% ke 100%, dan kini, dengan teknologi baru, Anda bisa melakukannya hanya dalam 5 menit.

Tentu saja, angka-angka simulasi ini terdengar terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Namun, penelitian ini memastikan kredibilitasnya. Peneliti melakukan proses kalibrasi dan validasi yang ketat untuk memastikan model VISSIM berperilaku persis seperti lalu lintas di dunia nyata.1

Menggunakan rumus statistik Geoffrey E. Havers (GEH) untuk membandingkan data simulasi dengan data observasi lapangan 1, semua skenario simulasi divalidasi. Hasilnya (misalnya, nilai GEH 2,53; 1,59; 0,40) semuanya jauh di bawah ambang batas kesalahan 5,0.1 Ini membuktikan secara ilmiah bahwa simulasi VISSIM adalah "kembaran digital" yang akurat dari Jalan Ahmad Yani. Kemenangan ini nyata.

 

Opini: Namun, Solusi Jitu Melahirkan Masalah Baru

Laporan ini tidak akan menjadi rilis humas sempurna bagi Pemerintah Kota Tegal. Sebagaimana layaknya sebuah penelitian akademis yang jujur, tesis ini tidak hanya menyoroti keberhasilan "perangkat keras" (hardware) rekayasa, tetapi juga mengungkap masalah baru pada "perangkat lunak" (software) perilaku manusia.1

Pada Bab 5.2 (Saran), penelitian ini memberikan kritik realistis yang krusial. Setelah merekomendasikan sosialisasi kepada publik mengenai perubahan sistem, tesis ini secara spesifik menyoroti masalah baru:

"Hal ini disebabkan oleh banyaknya pengguna jalan, terutama pengendara sepeda motor yang melawan arah." 1

Ini adalah wawasan kunci. Keberhasilan rekayasa teknis telah menggeser masalah dari kemacetan struktural menjadi ketidakpatuhan perilaku.

Mengapa ini terjadi? Meskipun SSA sangat efisien, sistem ini seringkali memaksa pengguna jalan untuk mengambil rute memutar yang lebih jauh untuk mencapai tujuan yang sebenarnya dekat. Kelancaran baru (Level B) dan ruang jalan yang kini terasa lebih lega menciptakan godaan besar bagi pengendara motor untuk "memotong" melawan arus, merusak tatanan yang telah dirancang.

Ini adalah pengingat penting: infrastruktur rekayasa terbaik di dunia pun akan terancam gagal jika tidak didukung oleh "perangkat lunak" berupa edukasi publik yang masif dan, yang terpenting, penegakan hukum yang konsisten. Musuh baru lalu lintas Tegal bukanlah volume kendaraan, tetapi budaya ketidakdisiplinan.

 

Mengapa Temuan Tegal Penting bagi Kota Anda?

Kisah sukses Jalan Ahmad Yani bukan hanya berita lokal untuk Tegal. Ini adalah studi kasus yang terbukti valid secara kuantitatif untuk ratusan CBD di kota-kota lapis kedua dan ketiga di Indonesia yang menghadapi masalah serupa: arteri utama yang tersumbat, dan kepercayaan tradisional bahwa solusinya adalah "pelebaran jalan".

Tesis ini membuktikan mitos itu salah. Tegal melakukan hal sebaliknya: mereka mempersempit ruang kendaraan di jalan utama mereka—dari 12 meter menjadi 5 meter—untuk memberi ruang bagi kehidupan (Tegal City Walk).1 Dan melalui penerapan manajemen rekayasa yang cerdas (SSA), mereka tidak hanya mempertahankan, tetapi justru meningkatkan kapasitas tampung jalan sebesar 14% 1 dan secara virtual menghilangkan kemacetan (pengurangan tundaan 92,5%).1

Bagi para pembuat kebijakan perkotaan, ini adalah cetak biru untuk efisiensi anggaran. Studi ini adalah bukti ilmiah bahwa manajemen yang cerdas jauh lebih murah, lebih cepat, dan lebih efektif daripada pembangunan infrastruktur yang mahal, yang seringkali melibatkan pembebasan lahan yang rumit.

Yang terdampak oleh temuan ini adalah:

  1. Pengguna Jalan Harian: Pengalaman mereka berubah dari stres Level E menjadi kelancaran Level B.
  2. Pemilik Bisnis CBD: Aksesibilitas ke area komersial meningkat drastis.
  3. Pemerintah Kota (di seluruh Indonesia): Mereka kini memiliki studi kasus tervalidasi (baik via MKJI 1997 maupun VISSIM) bahwa solusi kemacetan tidak harus mahal.

 

Kesimpulan: Dampak Nyata dan Langkah Selanjutnya

Evaluasi ilmiah terhadap SSA di Jalan Ahmad Yani Tegal adalah sebuah kisah sukses rekayasa lalu lintas yang luar biasa. Transformasi dari Level Pelayanan E (ambang lumpuh) ke Level B (stabil dan lancar), didukung oleh data simulasi VISSIM yang menunjukkan eliminasi 92,5% waktu tundaan, adalah pencapaian yang patut ditiru.1

Jika model intervensi low-cost high-impact (SSA) yang telah divalidasi VISSIM ini diterapkan secara strategis di arteri-arteri CBD kota lain di Indonesia yang saat ini menderita di Level Layanan E atau F, dampaknya akan sangat besar. Penghematan bahan bakar nasional, pengurangan emisi karbon, dan peningkatan produktivitas ekonomi akibat waktu tempuh yang jauh lebih cepat dapat mencapai triliunan rupiah hanya dalam lima tahun ke depan.

Namun, seperti yang diperingatkan oleh penelitian ini, keberhasilan infrastruktur hanyalah separuh dari cerita. Langkah selanjutnya bagi Tegal—dan bagi kota mana pun yang menirunya—bukan lagi di bidang rekayasa aspal, tetapi rekayasa sosial: edukasi dan disiplin. Jika tidak, kelancaran yang telah dicapai dengan susah payah ini akan dirusak oleh satu pengendara motor yang melawan arah.1

 

Sumber Artikel:

Prihiyandhoko, H. (2023). Evaluasi Manajemen Rekayasa Lalu Lintas Sistem Satu Arah (SSA) Dengan Program VISSIM Pada Ruas Jalan Ahmad Yani Kota Tegal.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Ambang Kelumpuhan: Potret Jalan Ahmad Yani Sebelum Intervensi
page 1 of 1