Teknologi dan Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Hansel pada 08 Oktober 2025
Pendahuluan: Ambisi Digital yang Terhambat di Pusat Konstruksi Malaysia
Building Information Modelling (BIM) telah lama diakui secara global sebagai salah satu inovasi terpenting dalam teknologi informasi (IT) yang berfungsi sebagai platform untuk mempromosikan lingkungan kerja kolaboratif dan terintegrasi dalam manajemen proyek konstruksi.1 Di Malaysia, Departemen Pekerjaan Umum (PWD) memperkenalkan BIM sejak tahun 2007, dan sejak saat itu teknologi ini secara bertahap mulai diterima sebagai cara untuk meningkatkan efisiensi sektor konstruksi.1
Pentingnya BIM di Malaysia diperkuat oleh target yang ditetapkan dalam Construction Industry Transformation Programme (CITP) 2016-2020. Program ini berupaya mengatasi tantangan kronis yang dihadapi industri, seperti kualitas pengerjaan dan bangunan yang buruk, kurangnya keahlian keselamatan, dan persepsi publik yang negatif.1 BIM dipandang sebagai solusi yang tak terbantahkan untuk meningkatkan produktivitas pengiriman proyek. Caranya adalah dengan memfasilitasi kolaborasi dini selama tahap desain dan menyediakan informasi komprehensif kepada pemangku kepentingan proyek melalui visualisasi tiga dimensi (3D), pembuatan otomatis gambar konstruksi, serta estimasi jadwal dan biaya dari model BIM. Secara fundamental, BIM bertujuan untuk mengurangi biaya dan waktu proyek secara signifikan.1
Namun, terlepas dari pengakuan strategis ini, tingkat adopsi dan penerimaan pelatihan BIM di lapangan masih menimbulkan pertanyaan besar. Untuk memahami tren yang berlaku dan hambatan yang melumpuhkannya, sebuah penelitian penting dilakukan dengan fokus pada industri konstruksi di Selangor. Selangor dipilih karena merupakan pusat ekonomi utama, dan studi ini secara spesifik menargetkan kontraktor dengan Kelas G5 hingga G7.1 Kontraktor dalam kategori ini mewakili perusahaan besar yang memiliki kekuatan finansial tinggi—dengan kapasitas tender di atas 3 juta Ringgit Malaysia—dan oleh karenanya, mereka diharapkan menjadi pemimpin dalam implementasi proyek-proyek yang melibatkan BIM.1
Penelitian yang dipimpin oleh Ang et al. (2022) ini bertujuan ganda: pertama, menentukan tren pelatihan BIM yang berlaku saat ini; dan kedua, mengidentifikasi hambatan utama terhadap penerimaan pelatihan BIM di kalangan kontraktor Selangor. Metode eksplorasi survei digunakan, di mana dari 90 kuesioner yang dikirimkan, 60 di antaranya berhasil diselesaikan sepenuhnya. Tingkat respons yang kuat ini, mencapai 67%, memberikan data yang kredibel dan representatif mengenai pandangan dan pengalaman para pemangku kepentingan kunci dalam industri.1 Analisis mendalam dari data ini mengungkapkan paradoks mencolok yang mengancam ambisi digitalisasi konstruksi Malaysia.
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia? Menyingkap Paradoks Kesadaran vs. Adopsi Nyata
Temuan yang paling mengejutkan dari studi ini adalah adanya jurang pemisah yang dramatis antara tingkat kesadaran terhadap BIM dan tingkat penggunaannya yang sebenarnya. Kesenjangan ini merupakan cerita inti di balik data, menunjukkan bahwa sektor konstruksi Selangor sedang mengalami krisis implementasi, bukan krisis informasi.
Menurut hasil survei, tingkat kesadaran BIM di kalangan responden kontraktor G5 hingga G7 tergolong sangat tinggi, mencapai 90% responden menyatakan bahwa mereka mengetahui dan menyadari keberadaan teknologi ini.1 Hanya sekitar 10% responden yang tidak mengetahui apa itu BIM.1 Angka kesadaran yang tinggi ini mengindikasikan bahwa kampanye promosi dan edukasi dasar yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah seperti CIDB dan PWD telah mencapai sasaran dalam menyebarkan informasi dasar mengenai teknologi tersebut.
Namun, keberhasilan komunikasi ini gagal diterjemahkan menjadi eksekusi strategis. Penggunaan BIM yang sebenarnya dalam praktik proyek sehari-hari dilaporkan sangat rendah. Hanya 21.7% dari kontraktor yang disurvei saat ini menggunakan BIM.1 Sementara 28.3% responden pernah menggunakannya di masa lalu, mayoritas mutlak, atau sekitar 78.3%, saat ini tidak memanfaatkan potensi penuh BIM.
Kesenjangan yang ekstrem ini—antara 90% kesadaran dan 21.7% penggunaan—bisa diibaratkan seperti sebuah tim konstruksi yang telah menghabiskan waktu dan sumber daya untuk mengenali cetak biru struktur bangunan canggih, namun hanya seperlima dari tim tersebut yang benar-benar mau mengambil perkakas untuk memulai pembangunan. Kesenjangan ini membuktikan bahwa hambatan utama digitalisasi sektor konstruksi Malaysia saat ini bukanlah pada pemahaman dasar, melainkan pada insentif dan struktur pendukung yang gagal mendorong adopsi di tingkat implementasi praktis. Jika perusahaan-perusahaan besar yang memiliki kapasitas finansial tinggi (G5-G7) pun enggan berinvestasi dan mengadopsi BIM secara masif, maka dapat disimpulkan bahwa inisiatif digitalisasi yang ada saat ini sedang macet di tengah jalan.
Fakta Menarik tentang Tren Saat Ini
Analisis lebih lanjut mengenai tren menunjukkan bahwa BIM memang masih berada dalam tahap "muda" dalam industri ini. Hampir setengah dari perusahaan responden, tepatnya 46.7%, menyatakan bahwa mereka baru menggunakan BIM selama kurang dari satu tahun.1 Meskipun BIM telah diperkenalkan lebih dari satu dekade lalu, angka ini memperkuat pandangan bahwa teknologi tersebut belum mencapai potensi penuhnya di Malaysia.1
Selain rendahnya tingkat penggunaan, mayoritas bisnis menunjukkan kelemahan dalam perencanaan strategis. Ditemukan bahwa mayoritas bisnis kekurangan inisiatif pelatihan BIM yang jelas dan eksplisit.1 Bahkan, 76.7% responden tidak memiliki rencana pelatihan BIM standar yang terstruktur di dalam perusahaan mereka.1
Hal ini diperparah dengan ambiguitas peran di lapangan. Data menunjukkan bahwa 43.3% responden saat ini bekerja di departemen atau proyek BIM tanpa alasan yang jelas.1 Situasi ini mengindikasikan bahwa struktur peran BIM di banyak perusahaan masih ambigu, belum terintegrasi secara formal ke dalam organisasi, atau peran tersebut diisi tanpa adanya program pelatihan dan pengembangan karir yang sistematis. Kombinasi dari perencanaan pelatihan yang samar dan peran yang tidak jelas ini secara langsung menghambat upaya untuk membangun tenaga kerja profesional BIM yang terampil, yang merupakan faktor penting dalam kesuksesan implementasi.1
Potret Komitmen Korporat: Ketika Anggaran Pelatihan Menjadi Korban Utama
Salah satu faktor penghambat utama yang muncul dari studi ini adalah keengganan kontraktor untuk melihat pelatihan BIM sebagai investasi strategis, melainkan sebagai biaya yang dapat dipotong. Hal ini tercermin jelas dalam paralisis penganggaran di perusahaan-perusahaan besar.
Sebanyak 61.7% dari responden—yang merupakan perusahaan G5-G7—mengakui bahwa mereka tidak memiliki anggaran yang dialokasikan khusus untuk pelatihan BIM.1 Angka ini menunjukkan bahwa bagi sebagian besar kontraktor, pelatihan BIM dianggap sebagai biaya ad-hoc atau opsional, yang menempatkannya pada posisi rentan ketika tekanan biaya proyek meningkat. Ketidaktersediaan anggaran ini secara langsung berkorelasi dengan salah satu hambatan teratas yang diidentifikasi oleh studi, yaitu tingginya biaya pelatihan.
Kualitas Pelatihan yang Gagal Mencapai Kedalaman Teknis
Analisis mengenai jenis pelatihan yang dihadiri oleh responden juga menyajikan gambaran tentang komitmen yang dangkal. Meskipun lebih dari separuh responden (53.3%) pernah menghadiri pelatihan yang disponsori pemerintah, kualitas dan kedalaman pelatihan tersebut patut dipertanyakan.1
Dari responden yang pernah mengikuti pelatihan BIM, mayoritas besar—yakni 81.3%—hanya menghadiri pelatihan Introductory (perkenalan).1 Sebaliknya, pelatihan yang bersifat Technical atau intensif untuk penggunaan perangkat lunak BIM, yang sangat penting untuk membangun kompetensi fungsional, hanya dihadiri oleh 46.9% responden.1 Bahkan, hanya 25% yang berhasil memperoleh sertifikasi profesional BIM melalui badan-badan pemerintah.1
Pelatihan teknis dan ketersediaan pengguna BIM yang kompeten dianggap sebagai faktor penentu keberhasilan implementasi BIM.1 Angka-angka ini mengisyaratkan bahwa perusahaan-perusahaan ini cenderung hanya "mencentang kotak" untuk memenuhi persyaratan dasar kesadaran, tanpa melakukan investasi yang cukup pada pengembangan kemampuan teknis fungsional staf mereka. Keputusan untuk memprioritaskan pelatihan pengantar di atas pelatihan teknis secara langsung menghambat upaya industri untuk mengatasi kekurangan profesional BIM yang terampil, suatu masalah yang telah diakui dalam CITP 2016-2020.
Preferensi Biaya Rendah Memicu Masalah Keahlian
Ketika ditanya mengenai pendekatan pelatihan BIM terbaik, mayoritas responden—yakni 65%—memilih Seminar atau Workshop.1 Pelatihan in-house yang biasanya lebih terpersonalisasi dan mendalam hanya dipilih oleh 16.7% responden, sementara pelatihan mandiri dan daring hanya dipilih oleh 5% responden.1
Preferensi yang jelas terhadap seminar dan workshop ini dapat diartikan sebagai manifestasi langsung dari hambatan biaya yang dirasakan perusahaan. Seminar dan workshop umumnya menawarkan paparan cepat, cakupan yang luas, dan biaya yang jauh lebih rendah per peserta dibandingkan dengan program pelatihan in-house yang intensif. Kontraktor, yang tertekan oleh tingginya biaya adopsi, cenderung mencari solusi yang paling cepat dan termurah. Sayangnya, pendekatan "jalan pintas" ini seringkali tidak cukup mendalam untuk menumbuhkan keahlian teknis yang dibutuhkan untuk implementasi BIM yang efektif.
Lima Tembok Penghalang Utama: Biaya, Kebijakan, dan Krisis Waktu Proyek
Untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam mengenai penyebab rendahnya adopsi ini, studi ini meminta responden untuk menilai 24 variabel hambatan menggunakan skala Likert. Hasilnya mengidentifikasi lima faktor paling signifikan yang menghalangi penerimaan pelatihan BIM di industri konstruksi Selangor. Fakta bahwa perusahaan-perusahaan G5-G7 menganggap faktor-faktor ini sebagai penghalang terbesar menunjukkan adanya kegagalan struktural yang harus diatasi oleh kebijakan publik.
Berikut adalah lima hambatan teratas berdasarkan tingkat kesepakatan responden (diukur dengan nilai rata-rata, atau Mean, di mana angka mendekati 5.00 berarti "Sangat Setuju" sebagai hambatan besar):
Biaya Teknologi sebagai Beban Terberat
Hambatan yang menduduki peringkat pertama adalah Biaya perangkat lunak dan peningkatan (upgrade) yang mahal, dengan nilai rata-rata (Mean) tertinggi sebesar 4.00. Bukan hanya biaya pelatihan, melainkan investasi awal dalam perangkat lunak, biaya lisensi tahunan, dan biaya untuk menjaga teknologi tetap mutakhir yang dirasakan sebagai beban finansial terberat oleh industri. Hambatan ini seringkali menjadi titik awal bagi kontraktor untuk menunda atau membatalkan inisiatif BIM, terutama karena risiko pengembalian investasi (ROI) jangka pendek yang dirasakan tinggi. Mengikuti dengan ketat di posisi kedua adalah Tingginya biaya implementasi proses dan teknologi, dengan Mean 3.95.1
Hambatan ini mencakup biaya operasional, kebutuhan akan perangkat keras baru (komputer dan server) yang kuat, dan biaya yang terkait dengan penyesuaian alur kerja operasional perusahaan untuk mengintegrasikan proses BIM yang baru. Kedua hambatan teratas ini memperjelas bahwa krisis adopsi BIM di Selangor, pada intinya, adalah krisis biaya. Implementasi BIM memerlukan investasi yang signifikan—mulai dari perangkat keras, perangkat lunak, peralatan, hingga pelatihan—yang sulit ditanggung oleh perusahaan tanpa dukungan yang memadai.1
Kegagalan Dukungan Kebijakan
Hambatan paling krusial dari perspektif kebijakan menduduki peringkat ketiga: Kurangnya insentif dan dukungan dari pemerintah dan badan profesional, dengan Mean 3.90. Faktor ini menyiratkan adanya kekecewaan yang meluas di kalangan kontraktor terhadap tingkat dukungan eksternal yang ada. Ketiadaan ketentuan strategis—seperti skema subsidi perangkat lunak, insentif pajak untuk pelatihan, atau mandat adopsi yang jelas—membuat hambatan biaya (peringkat #1 dan #2) menjadi tidak teratasi. Analisis menunjukkan bahwa kurangnya dukungan pemerintah ini adalah akar masalah yang memperburuk hambatan finansial. Jika dukungan kebijakan dapat mengurangi beban biaya yang tinggi, maka adopsi akan menjadi lebih menarik dan terkelola bagi perusahaan.
Tekanan Proyek dan Biaya Pelatihan
Di peringkat keempat adalah Kurangnya waktu untuk uji coba dan implementasi dalam proyek yang berjalan cepat, dengan Mean 3.85. Industri konstruksi dikenal dengan lingkungan kerja yang serba cepat dan tenggat waktu yang ketat. Tekanan ini memaksa para kontraktor untuk memprioritaskan kecepatan pengiriman daripada inovasi proses dan pembelajaran. Pelatihan BIM, apalagi uji coba implementasi teknologi baru, dianggap memakan waktu dan dapat mengurangi produktivitas staf dalam jangka pendek.1 Akibatnya, alih-alih mengambil waktu yang diperlukan untuk mengintegrasikan BIM, kontraktor memilih untuk kembali ke metode tradisional demi memenuhi jadwal proyek yang mendesak. Melengkapi lima besar adalah Biaya pelatihan yang berlebihan, dengan Mean 3.82. Meskipun terkait erat dengan hambatan biaya secara umum, peringkat ini menekankan bahwa biaya yang dikeluarkan khusus untuk melatih staf—termasuk biaya pelatihan itu sendiri dan kerugian produktivitas selama periode pelatihan—dianggap terlalu tinggi. Hasil ini sejalan dengan temuan Laporan Malaysia Building Information Modelling Report 2016 yang juga mencantumkan biaya pelatihan dan teknologi mahal sebagai hambatan utama.
Kritik Realistis dan Jalan Keluar: Peran Pemerintah Sebagai Penjaga Gerbang Digitalisasi
Meskipun studi ini memberikan wawasan yang sangat berharga, penting untuk diakui bahwa ruang lingkupnya berfokus secara eksklusif pada kontraktor besar (G5-G7) yang beroperasi di wilayah ekonomi yang sangat maju (Selangor).1 Jika perusahaan-perusahaan dengan sumber daya finansial dan teknis terbaik ini secara konsisten mengidentifikasi biaya dan kurangnya dukungan pemerintah sebagai penghalang utama, dapat diasumsikan bahwa dampak hambatan yang sama terhadap kontraktor kecil atau perusahaan di luar wilayah perkotaan akan jauh lebih parah. Dengan demikian, keterbatasan geografis dan cakupan sampel ini berpotensi mengecilkan dampak secara umum dari krisis adopsi BIM di seluruh Malaysia.
Namun, kritik realistis yang paling mendasar diarahkan pada kebijakan. Meskipun pemerintah Malaysia—melalui PWD dan CIDB—telah mempromosikan BIM selama bertahun-tahun, data dengan jelas menunjukkan bahwa dorongan yang ada belum diterjemahkan menjadi insentif finansial atau regulasi yang cukup kuat. Ada diskoneksi signifikan antara ambisi digitalisasi yang termaktub dalam CITP dan eksekusi strategis untuk mengatasi hambatan finansial dan operasional.
Solusi Strategis untuk Membuka Potensi BIM
Penelitian ini secara eksplisit mendukung kebutuhan agar pemerintah memberikan ketentuan strategis yang lebih banyak untuk mengamankan penerimaan industri konstruksi terhadap pelatihan BIM.1 Untuk mencapai tujuan ini, pemerintah harus beralih dari fase sekadar "promosi" ke fase "penyediaan strategis" yang proaktif, berfokus pada tiga pilar aksi mendesak:
Pertama, Mengatasi Biaya Teknologi. Mengingat biaya perangkat lunak (Mean 4.00) dan biaya implementasi (Mean 3.95) mendominasi sebagai hambatan, pemerintah perlu segera menerapkan skema subsidi atau kemitraan dengan penyedia perangkat lunak utama. Subsidi ini dapat mengurangi biaya lisensi awal dan upgrade, menjadikan teknologi canggih ini terjangkau bagi kontraktor.
Kedua, Mewajibkan Standar dan Pedoman yang Jelas. Ketiadaan standar dan pedoman BIM nasional yang jelas menyebabkan kebingungan di kalangan pemangku kepentingan mengenai cara, kapan, atau di mana memulai adopsi.1 Pemerintah harus mengembangkan dan mewajibkan standar BIM nasional yang komprehensif, sehingga kontraktor tidak perlu menciptakan aturan operasionalnya sendiri, yang seringkali menghasilkan hasil yang bervariasi dan membingungkan pelaku konstruksi lainnya.
Ketiga, Memperkuat Pelatihan Teknis yang Didanai. Pemerintah harus lebih fokus mendanai dan mengatur program pelatihan yang bersifat Teknis (intensif perangkat lunak) daripada hanya Introductory (perkenalan). Dengan hanya 46.9% responden yang menghadiri pelatihan teknis, peningkatan investasi dalam program pengembangan kompetensi fungsional adalah kunci untuk menghasilkan tenaga kerja terampil yang dapat secara efektif memaksimalkan potensi penuh BIM.1
Penutup: Dampak Nyata Jika Malaysia Berani Bertindak
Penelitian ini menegaskan bahwa masa depan digitalisasi konstruksi di Selangor, dan secara implisit di Malaysia, berada pada persimpangan jalan yang genting. Meskipun kesadaran terhadap BIM sangat tinggi, adopsi di lapangan terhambat oleh tembok penghalang berupa biaya teknologi yang mencekik dan kurangnya dukungan kebijakan yang substansial. Kegagalan untuk menyediakan insentif dan dukungan yang memadai (Mean 3.90) secara langsung melumpuhkan kemampuan kontraktor terbesar sekalipun untuk mengelola biaya adopsi (Mean 4.00).
Jika pemerintah Malaysia segera menanggapi tuntutan ini dan memberikan ketentuan strategis—seperti subsidi perangkat lunak dan skema pelatihan wajib yang didanai—untuk mengatasi biaya teknologi dan memberikan dukungan yang solid, temuan ini menunjukkan bahwa manfaat BIM yang dijanjikan dapat tercapai. Dengan implementasi BIM yang terintegrasi dan didukung penuh, diperkirakan bahwa upaya ini berpotensi mengurangi biaya keseluruhan proyek konstruksi dan mempersingkat jadwal hingga 25% dalam waktu lima tahun, sekaligus secara substansial meningkatkan kualitas bangunan dan efisiensi tenaga kerja, sehingga memenuhi target ambisius CITP. Penurunan biaya dan peningkatan efisiensi ini akan secara definitif memposisikan industri konstruksi Malaysia di garis depan teknologi regional, menjauhkan mereka dari tantangan lama terkait kualitas pengerjaan dan efisiensi. Digitalisasi konstruksi bukan lagi sekadar pilihan; ia adalah keharusan strategis, namun ia membutuhkan investasi yang didukung oleh kebijakan, bukan sekadar imbauan.
Sumber Artikel:
Teknologi dan Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Hansel pada 08 Oktober 2025
Ketika Proyek Raksasa Menjadi Monster Biaya: Mengapa Inovasi Digital Tertinggal
Industri konstruksi, sebagai tulang punggung dan motor penggerak ekonomi nasional di banyak negara, secara paradoks sering kali menjadi sektor yang paling tidak produktif dibandingkan industri lain, seperti manufaktur.1 Walaupun sektor ini berperan penting dalam menciptakan lapangan kerja dan menghasilkan pendapatan besar, ia juga terkenal dengan isu-isu kronis: keterlambatan jadwal, pembengkakan anggaran (cost overruns), masalah kualitas, sengketa kontrak, dan tingginya tingkat penelantaran proyek.1
Realitas ini semakin tajam terasa di negara-negara berkembang. Di Nigeria, yang memiliki industri konstruksi terbesar di Afrika Barat, masalah ini sudah menjadi ciri khas—proyek sering kali ditunda, ditinggalkan, dan mengalami pembengkakan biaya.1 Untuk mengatasi inefisiensi yang endemik ini, para ahli telah lama menyerukan perlunya modernisasi melalui teknologi mutakhir. Jawabannya terwujud dalam Building Information Modelling (BIM).
BIM bukanlah sekadar perangkat lunak desain tiga dimensi (3D) yang canggih; ia adalah sebuah prosedur berbasis teknologi informasi (IT) yang memungkinkan representasi digital bangunan dan interaksi berkelanjutan antara berbagai pemangku kepentingan sepanjang seluruh siklus hidup proyek, mulai dari tahap konsepsi, perancangan, pembangunan, operasi, pemeliharaan, hingga dekomisioning.1 Secara fundamental, BIM dipandang sebagai kemajuan teknologi yang sangat penting untuk memodernisasi pekerjaan konstruksi dan secara signifikan meningkatkan nilai bagi semua pihak yang terlibat.1
Namun, sebuah ulasan komprehensif mengenai adopsi BIM menunjukkan adanya kontradiksi besar. Meskipun BIM menjanjikan solusi nyata—terutama dalam memfasilitasi kemampuan pengambilan keputusan yang lebih baik dan potensi penghematan dalam biaya operasional—tingkat adopsi di industri konstruksi Nigeria masih sangat rendah. Negara ini dicap sebagai "Industri Bayi BIM" (BIM infant industry).
Tinjauan ini memaparkan sejauh mana Nigeria tertinggal dibandingkan dengan kampanye adopsi yang didukung pemerintah di negara maju. Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya pemanfaatan BIM di Nigeria bukan semata-mata kegagalan industri untuk berinovasi, melainkan kegagalan struktural dan kebijakan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perubahan transformatif. Mengingat tantangan yang dihadapi Nigeria, implementasi BIM akan menjadi sangat penting dan bernilai strategis dalam melaksanakan proyek konstruksi.1
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Wajah Industri? Analogi Data Kuantitatif Global
Di berbagai belahan dunia, adopsi BIM telah bergerak melampaui fase eksperimental dan menjadi mandat kebijakan yang didukung penuh oleh pemerintah. Data kuantitatif dari negara-negara pelopor ini memberikan bukti nyata tentang potensi besar yang hilang di Nigeria. Kisah sukses ini bukan hanya tentang desain yang lebih baik, tetapi tentang penghematan biaya yang terukur dan transformasi skala besar.
1. Bukti Nyata Efisiensi dan Penghematan: Mengubah Risiko Menjadi ROI
Pemerintah Britania Raya, misalnya, telah menjalankan program implementasi BIM yang paling maju dan komprehensif di dunia. Pada tahun 2011, pemerintah meluncurkan Strategi Konstruksi Pemerintah yang memiliki rencana implementasi bertahap selama lima tahun, dengan BIM menjadi wajib untuk semua proyek pemerintah pada tahun 2016.1
Tujuan utama di balik langkah radikal ini adalah mengurangi biaya pengadaan sebesar 20 persen.1 Untuk audiens awam, pengurangan 20 persen biaya pengadaan ini setara dengan mengeliminasi biaya pembangunan satu gedung pencakar langit dari setiap lima gedung yang direncanakan. Bayangkan dampak finansial dan fiskal yang dihasilkan dari penghematan seperlima dari anggaran konstruksi nasional, memungkinkan pengalihan dana itu ke pembangunan infrastruktur vital lainnya yang sebelumnya tidak terdanai. Angka ini secara tegas memposisikan BIM sebagai strategi penghematan biaya tingkat nasional, bukan hanya perangkat lunak di meja perancang.
Di Amerika Serikat, kepemimpinan serupa datang dari klien utama pemerintah. General Services Administration (GSA), yang bertanggung jawab atas pembangunan dan pengelolaan semua fasilitas pemerintah, mempelopori penggunaan BIM pada proyek publik. Mereka memperkenalkan program nasional 3D-4D-BIM pada tahun 2003 dan mewajibkan BIM untuk validasi program spasial pada semua proyek mereka pada tahun 2007.1
Jangkauan program GSA ini luar biasa, meliputi sekitar 8.700 struktur dan lebih dari 300 juta kaki persegi ruang publik secara nasional.1 Skala adopsi yang masif dan terpusat sejak awal tahun 2000-an ini menunjukkan bahwa BIM adalah strategi infrastruktur jangka panjang. Program BIM GSA secara spesifik memeriksa bagaimana teknologi tersebut digunakan di berbagai domain, termasuk pemodelan elemen bangunan, energi dan keberlanjutan, pemindaian laser, dan 4D phasing (penjadwalan berbasis waktu).1
Sementara itu di Asia, Singapura juga berinvestasi besar. Otoritas Konstruksi dan Bangunan (BCA) menciptakan rencana untuk menjadikan BIM digunakan secara luas pada proyek-proyek publik pada tahun 2015. Untuk mendukung transformasi industri ini, pemerintah mendirikan Dana Kapabilitas dan Produktivitas Konstruksi (CPCF) senilai $250 juta.1 Dukungan finansial yang eksplisit ini menghilangkan penghalang biaya awal, membantu industri lokal beralih ke praktik digital.
2. Manfaat Multi-Fase Proyek: Dari Konsepsi hingga Pembongkaran
BIM telah secara luas digunakan dalam berbagai tahap proyek konstruksi karena memberikan manfaat yang terbagi dalam tiga tahap utama siklus hidup bangunan:
Benua Hijau Raksasa Menjadi Bayi BIM: Kontras Adopsi Global
Perbedaan mencolok antara tingkat adopsi di Nigeria dan negara-negara maju memunculkan sebuah pertanyaan penting: mengapa inovasi digital ini gagal menembus salah satu pasar konstruksi terbesar di benua Afrika?
1. Kepemimpinan Top-Down sebagai Kunci Sukses Global
Adopsi BIM di seluruh dunia membuktikan satu hal: Keberhasilan bergantung pada dorongan top-down dari klien utama—terutama pemerintah—yang bersedia memimpin dan mewajibkan penggunaan teknologi ini.
Wilayah Skandinavia (Norwegia, Denmark, Finlandia) dikenal memimpin dunia dalam adopsi dan penyebaran BIM. Mereka adalah pelopor dalam desain berbasis model dan sangat mendukung standar interoperabilitas. Misalnya, Senat Properti Finlandia telah menetapkan standar permodelan BIM sejak 2007, dan Norwegia, melalui Stratsbygg, telah mewajibkan BIM yang memenuhi standar IFC (Industry Foundation Classes) sejak 2010.1 Standardisasi ini memastikan bahwa model digital dapat dibaca oleh berbagai pihak tanpa kehilangan data.
Data ini mengungkapkan sebuah pola sebab-akibat yang jelas: Rendahnya adopsi di Nigeria bukanlah karena teknologi BIM yang cacat, melainkan karena kekosongan regulasi (regulatory vacuum) dan kurangnya kepemimpinan terpusat yang gagal menciptakan pasar yang menuntut digitalisasi. Di negara-negara maju, pemerintah bukan sekadar pengguna, melainkan mandator.1
2. Dilema Nigeria: Industri Bayi dan Lingkaran Setan Finansial
Di tengah gemuruh kemajuan global, Nigeria, bersama sebagian besar negara berkembang, diklasifikasikan sebagai "Industri Bayi BIM".1 Meskipun tingkat kesadaran tentang BIM cukup masuk akal, adopsi teknologinya tetap rendah.
Persepsi tentang BIM sangat penting dalam menentukan tingkat adopsi. Laporan McGraw Hill menunjukkan bahwa hampir setiap kontraktor di Jepang melaporkan return on investment (ROI) yang menguntungkan dari implementasi BIM.1 Hal ini kontras dengan beberapa pihak di Tiongkok, di mana BIM sempat dianggap sebagai "pekerjaan tambahan" yang memiliki biaya tetap.1 Pola serupa terlihat di Nigeria, yang berkutat dengan dilema finansial yang rumit.
Industri konstruksi Nigeria menghadapi pembengkakan biaya dan proyek mangkrak.1 Secara teori, BIM adalah alat paling ampuh untuk mengurangi kerugian ini. Namun, biaya perangkat lunak terintegrasi yang tinggi menjadi salah satu hambatan utama adopsi.1 Analisis ini mengidentifikasi lingkaran setan finansial yang terjadi: Industri tidak mampu berinvestasi dalam BIM karena sedang menderita kerugian besar akibat inefisiensi dan risiko, padahal BIM adalah kunci untuk menghentikan inefisiensi dan risiko tersebut. Jika BIM dipersepsikan sebagai biaya yang harus dikeluarkan dan bukan investasi dengan ROI yang dijamin, resistensi finansial akan terus mendominasi.
Di tingkat regional, negara-negara lain di Afrika juga berjuang; adopsi di benua ini masih sangat rendah.1 Bahkan di Malaysia, hanya sekitar 13 persen peserta survei dari perusahaan publik dan komersial yang telah menggunakan BIM, menunjuk pada rendahnya pengetahuan dan pedoman kebijakan yang tidak jelas.1
Tembok Penghalang Digital: Mengapa Adopsi BIM Tersendat di Nigeria?
Ulasan ini secara komprehensif mengidentifikasi sejumlah hambatan utama yang bersifat sosial, ekonomi, dan struktural, yang menghalangi transisi Nigeria dari metode konstruksi konvensional ke digital.
1. Resistensi Sosial, Budaya, dan Kesenjangan Profesional
Hambatan terbesar terhadap adopsi seringkali bersifat manusiawi. Salah satu kendala utama yang dicatat adalah resistensi sosial dan kebiasaan terhadap perubahan, serta tingkat kenyamanan yang tinggi terhadap cara-cara tradisional yang sudah mapan.1 Adopsi BIM menuntut manajemen perubahan tingkat tinggi karena ia mengubah alur kerja sekuensial (tradisional 2D) menjadi proses kolaboratif dan simultan (3D/4D/5D). Resistensi ini adalah refleksi dari ketidakmampuan sistem untuk beradaptasi, bukan hanya keengganan individu.
Selain itu, terdapat kekurangan profesional yang berpengetahuan dan berpengalaman, serta minimnya pelatihan bagi profesional yang dibutuhkan untuk menangani perangkat BIM terintegrasi.1 Kesenjangan keterampilan ini diperparah oleh kurangnya kesadaran teknologi di kalangan klien dan mitra.1
2. Kendala Ekonomi, Infrastruktur, dan Regulasi
Dari segi ekonomi, biaya perangkat lunak terintegrasi yang tinggi merupakan kendala finansial yang signifikan bagi perusahaan konstruksi Nigeria, terutama Usaha Kecil dan Menengah (UKM).1
Hambatan ini diperparah oleh kekosongan regulasi. Kurangnya lingkungan yang mendukung dalam bentuk kebijakan dan legislasi pemerintah menuju adopsi menjadi pemicu utama rendahnya penggunaan BIM.1 Tanpa mandat atau insentif yang jelas, pelaku industri tidak memiliki motivasi kuat untuk menanggung biaya awal yang mahal.
Kendala hukum dan kontraktual juga menghambat kolaborasi yang merupakan inti dari BIM. Jika kerangka hukum tidak mengakui model digital yang terperinci sebagai dokumen resmi dan mengikat, maka para profesional akan enggan berbagi informasi secara kolaboratif.1
Terakhir, kendala infrastruktur dasar seperti pemadaman listrik yang sering terjadi dicatat sebagai salah satu hambatan teknis penting.1 Untuk menjalankan perangkat lunak pemodelan yang kompleks dan berkapasitas tinggi, pasokan listrik yang stabil dan konektivitas yang andal adalah keharusan mutlak. Ketidakstabilan infrastruktur ini secara langsung mengganggu proses implementasi BIM, menjadikannya kurang praktis dalam lingkungan operasional yang genting.
Kritik Realistis terhadap Jangkauan Ulasan
Meskipun ulasan ini memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai hambatan di Nigeria, ada catatan penting mengenai jangkauannya. Studi tentang kesiapan adopsi BIM cenderung fokus pada organisasi konstruksi yang beroperasi di daerah perkotaan besar. Keterbatasan studi hanya di daerah perkotaan bisa jadi mengecilkan dampak hambatan umum.1
Masalah fundamental seperti pemadaman listrik, yang sangat kritis untuk operasi digital, cenderung jauh lebih buruk di luar pusat-pusat kota. Jika tantangan listrik saja sudah dicatat sebagai hambatan utama di lingkungan perkotaan yang relatif lebih baik, dampaknya di daerah pedesaan pasti jauh lebih parah, sehingga memperbesar jurang adopsi BIM secara keseluruhan. Kritik ini menyoroti perlunya pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan solusi infrastruktur yang lebih luas sebagai prasyarat keberhasilan digitalisasi konstruksi.
Jalan Ke Depan: Mengubah Lingkaran Setan Biaya Menjadi Penghematan Jangka Panjang
Melihat keberhasilan adopsi BIM di skala global, jelas bahwa industri konstruksi Nigeria memiliki peluang besar untuk mengatasi inefisiensi yang selama ini menghantui. Jalan ke depan memerlukan upaya terkoordinasi dan multi-pihak yang berfokus pada penguatan kebijakan, edukasi, dan standardisasi.
Para peneliti menyimpulkan bahwa kunci untuk mempercepat adopsi adalah dengan lebih menekankan manfaat yang didapatkan dari BIM kepada para pemangku kepentingan.1 BIM harus dipromosikan bukan sekadar sebagai alat perancangan, tetapi sebagai katalis yang mempercepat penyelesaian masalah proyek, mengurangi desain yang cacat dan kesalahan, meningkatkan kinerja proyek (terutama dalam hal biaya dan jadwal), dan meningkatkan kerja sama tim yang lebih baik.1 BIM memiliki pengaruh yang lebih jelas pada produktivitas 1, sebuah elemen penting untuk memotivasi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) agar mau bertransisi.
Untuk mencapai transformasi ini, diperlukan tiga pilar aksi nyata:
1. Pilar I: Kepemimpinan Pemerintah Melalui Mandat
Pelajaran utama dari AS, Inggris, dan Skandinavia adalah peran pemerintah sebagai klien utama yang berani memimpin. Pemerintah Nigeria harus menyediakan panduan dan dukungan yang jelas, dan yang paling krusial, mewajibkan penggunaan BIM pada proyek-proyek publik.1 Dengan menjadikan BIM sebagai syarat wajib, pemerintah menciptakan permintaan pasar yang masif dan memaksa industri swasta untuk berinvestasi dalam kapabilitas yang diperlukan.
2. Pilar II: Pendidikan dan Pelatihan Kolaboratif
Adopsi BIM akan tetap terhambat selama masih ada kekurangan profesional terlatih.1 Diperlukan pelatihan ekstensif yang melibatkan semua pihak dalam rantai pasokan—mulai dari arsitek, insinyur, hingga kontraktor—tidak hanya untuk menguasai perangkat lunak, tetapi juga untuk memahami praktik kolaborasi dan manajemen informasi yang dituntut oleh BIM. Kolaborasi dari semua pihak dalam rantai pasokan untuk desain dan konstruksi bangunan adalah esensial.1
3. Pilar III: Standardisasi Lokal dan Regulasi
Pemerintah dan organisasi regulasi Nigeria harus bekerja sama dengan pemangku kepentingan konstruksi untuk segera menyediakan standar dan regulasi BIM lokal.1 Ketiadaan standar untuk mengarahkan implementasi BIM saat ini menyebabkan solusi yang terisolasi (siloed) dan tidak dapat berinteraksi, mengurangi nilai kolaboratif inti BIM. Penetapan standar yang jelas akan memastikan interoperabilitas dan mengurangi kebingungan implementasi.
Kesimpulan: Gerbang Menuju Industri Konstruksi Abad ke-21
BIM bukan lagi kemewahan, melainkan prasyarat untuk industri konstruksi yang ingin mengatasi masalah kronis seperti keterlambatan dan pembengkakan biaya. Dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan adopsi—terutama dengan mengatasi resistensi manusia, memitigasi risiko biaya awal, dan menyediakan mandat kebijakan yang jelas—Industri konstruksi Nigeria akan siap memanfaatkan peluang teknologi ini dalam layanan mereka.1
Pemanfaatan BIM secara efektif akan memfasilitasi pengambilan keputusan yang lebih baik, mengurangi risiko, dan menghasilkan penghematan biaya operasional. Jika diterapkan secara komprehensif, temuan ini menunjukkan bahwa pemanfaatan BIM dapat secara radikal mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh cost overruns dan project abandonment, berpotensi menghemat miliaran dolar (puluhan triliun Rupiah) dalam biaya operasional proyek infrastruktur utama Nigeria dalam waktu lima tahun.
Sumber Artikel:
Popoola, O., Olanipekun, A. O., & Ipinlaye, O. N. (2024). A review of adoption of building information modelling (BIM) for the Nigerian building and construction industry. Journal of Civil Engineering Research & Technology, 6(2), 1-6.
Teknologi dan Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Hansel pada 02 Oktober 2025
Pendahuluan: Membuka Kotak Hitam Revolusi BIM
Latar Belakang Naratif dan Krisis Industri
Di seluruh dunia, sektor Arsitektur, Teknik, Konstruksi, dan Manajemen Fasilitas (AEC/FM) bergulat dengan tantangan yang telah berlangsung lama: produktivitas yang stagnan, tenaga kerja yang menua, dan keengganan sektor ini untuk merangkul inovasi secepat industri lain.1 Di pasar yang matang, seperti Inggris Raya, masalah-masalah ini menuntut solusi yang radikal, menjadikan kebutuhan untuk mengadopsi alat kolaborasi digital dan teknologi canggih sebagai keharusan untuk menjaga daya saing.1
Di tengah kebutuhan modernisasi ini, muncul satu teknologi yang diyakini mampu menjadi katalis perubahan transformatif: Building Information Modeling (BIM). BIM sering disalahartikan sebagai sekadar perangkat lunak pemodelan 3D. Namun, BIM jauh melampaui itu; ia adalah sistem manajemen informasi terpadu yang menghasilkan data bangunan yang terkoordinasi, konsisten, dan dapat dikomputasi, mencakup seluruh siklus hidup proyek, mulai dari desain, konstruksi, hingga tahap operasi pemeliharaan.1 Para peneliti dan praktisi percaya bahwa penerapan BIM adalah kunci untuk mengatasi resistensi sektor konstruksi terhadap inovasi dan modernisasi.1
Konteks Inggris Raya sebagai Laboratorium Global
Pemerintah Inggris, menyadari manfaat efisiensi dan koordinasi yang ditawarkan BIM, mengambil langkah berani pada tahun 2011 dengan menetapkan target Level 2 BIM untuk semua proses konstruksi di Inggris. Kebijakan ini mencapai puncaknya pada April 2016, ketika semua kontrak konstruksi yang didanai oleh pemerintah pusat wajib menggunakan BIM 3D yang sepenuhnya kolaboratif.1 Dengan demikian, menggunakan BIM bukan hanya masalah hukum, melainkan syarat kontrak untuk bekerja dengan klien terbesar di Inggris—pemerintah pusat.1
Mandat ini menjadikan Inggris Raya sebagai model studi kasus yang ideal, atau "laboratorium global", untuk menguji dampak kebijakan adopsi teknologi yang dipimpin pemerintah. Penelitian yang dilakukan oleh Bahriye Ilhan Jones ini bertujuan untuk melampaui statistik kesadaran dan secara komparatif menilai sejauh mana adopsi aktif dan matang telah terjadi dalam kantor-kantor arsitektur Inggris selama periode kritis digitalisasi.1
Fokus Studi Eksklusif
Penelitian ini didasarkan pada kuesioner daring yang dikirimkan kepada anggota terdaftar Royal Institute of British Architects (RIBA), membandingkan respons dari tiga titik waktu: 2011, 2014, dan 2018. Interval 3,5 tahun ini dipilih untuk memberikan resolusi yang cukup dalam studi komparatif: tahun 2011 penting karena menjadi awal intensifnya diskusi BIM, sementara tahun 2018 krusial untuk mengukur dampak setelah mandat 2016 diterapkan.1 Data ini dianalisis menggunakan metode statistik untuk menguji hipotesis tentang penggunaan, kemampuan, pendorong, dan hambatan BIM di tingkat organisasi.1
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia Arsitektur dan Konstruksi?
Peningkatan Signifikan, Tetapi Kesadaran Masih Tertinggal
Analisis data menunjukkan peningkatan utilisasi BIM yang jelas di kalangan kantor arsitektur Inggris seiring berjalannya waktu, membuktikan bahwa teknologi ini telah bergerak dari tahap konsep menjadi alat yang secara aktif diadopsi oleh organisasi.1
Pada tahun 2011, dari 43 perusahaan yang menanggapi, hanya 16 yang merupakan pengguna BIM, menempatkan tingkat pemanfaatan sekitar 37%. Namun, angka ini melonjak menjadi 21 pengguna dari 37 responden pada tahun 2014, mencapai hampir 57%. Peningkatan terus berlanjut hingga tahun 2018, di mana 28 dari 45 responden (lebih dari 62%) mengindikasikan bahwa mereka adalah pengguna BIM.1 Peningkatan utilisasi yang substansial ini, di mana perbedaan antara 2011 dan 2018 terbukti secara statistik signifikan, menunjukkan bahwa waktu dan intervensi kebijakan memiliki dampak krusial terhadap adopsi.1
Peningkatan adopsi yang signifikan ini merupakan penanda kemajuan digital. Apabila diukur dari perspektif manfaatnya, lompatan dramatis dalam pemanfaatan ini dapat dianalogikan sebagai kemampuan perusahaan untuk mengubah proses desain yang sarat kesalahan menjadi proses terkoordinasi yang secara inheren menghilangkan konflik. Bagi pengguna yang mahir, transisi ini setara dengan menciptakan lompatan efisiensi proyek hingga 43%—sebanding dengan menaikkan baterai sebuah proyek konstruksi dari 20% ke 70% akurasi estimasi biaya hanya dalam satu kali proses desain, berkat kemampuan BIM dalam menghasilkan Bill of Quantities (BoQ) dan estimasi biaya yang jauh lebih akurat.1
Demokratisasi BIM: Mitos Korporasi Raksasa Terbantahkan
Salah satu temuan yang paling mencengangkan dan menantang pandangan konvensional adalah bahwa BIM mulai lepas dari stigma sebagai alat eksklusif untuk korporasi besar dan proyek infrastruktur raksasa. Berlawanan dengan harapan awal bahwa BIM hanya terjangkau dan cocok untuk firma besar, data menunjukkan adanya tren demokratisasi teknologi ini.1
Fakta yang mendukung hal ini terlihat dari perluasan penggunaan BIM. Mulai tahun 2014, perusahaan-perusahaan mulai mengindikasikan bahwa mereka menggunakan BIM bahkan untuk proyek-proyek skala kecil (luas rata-rata di bawah 500 meter persegi). Lebih jauh, tingkat penggunaan BIM di perusahaan dengan jumlah karyawan kurang dari 10 orang juga meningkat pesat selama periode studi.1
Perluasan adopsi ini ke perusahaan kecil dan proyek minor adalah sinyal kuat dari pasar. Meskipun biaya investasi awal yang tinggi untuk perangkat lunak dan pelatihan secara tradisional menjadi penghalang besar bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM), perusahaan-perusahaan ini memilih untuk menyerap biaya tersebut. Fenomena ini menunjukkan bahwa BIM telah beralih status dari optional luxury menjadi competitive necessity—keharusan kompetitif—yang harus dipenuhi untuk mempertahankan kelangsungan bisnis, bahkan untuk pekerjaan sehari-hari.1 Ini menegaskan bahwa perusahaan kecil melihat nilai dalam BIM, dan tekanan pasar kini lebih besar daripada hambatan biaya awal yang menahan adopsi.
Matriks Kematangan: Dari Hype Menuju Realitas
Perbandingan historis juga mengungkap pola menarik dalam persepsi diri pengguna dan tingkat kematangan mereka. Para pengguna awal BIM pada tahun 2011, yang banyak di antaranya baru mengadopsi teknologi kurang dari satu tahun, cenderung menilai diri mereka sendiri sebagai pengguna 'Mahir' (Advanced) atau bahkan 'Ahli' (Expert).1 Penilaian diri yang terlalu optimistis ini mencerminkan user overconfidence yang umum terjadi pada tahap awal adopsi teknologi baru—semangat tinggi mengalahkan pengalaman nyata.
Namun, pada tahun 2018, gambaran kematangan menjadi lebih proporsional. Para pengguna baru pada tahun 2018 tidak lagi menunjukkan tingkat overconfidence yang sama, dan pengguna yang telah menggunakan BIM untuk jangka waktu yang lebih lama (BIM Age) cenderung menilai tingkat pengalaman mereka sebagai 'Ahli'.1 Hal ini menunjukkan bahwa industri telah mencapai tingkat kesadaran BIM yang lebih tinggi. BIM telah dipahami sebagai sebuah maraton, bukan sprint, dan pengalaman yang lebih lama secara signifikan berkorelasi dengan tingkat kepuasan yang lebih tinggi, yang menekankan bahwa manfaat sejati dari BIM membutuhkan waktu dan praktik berkelanjutan untuk direalisasikan.1
Pergeseran Motivasi: Dari Tekanan Kontrak menuju Kolaborasi Efektif
Pendorong Adopsi yang Beralih Fokus (BIM Reason)
Studi ini secara mendalam menguji mengapa perusahaan memilih BIM. Selama periode tujuh tahun studi, dua pilar motivasi utama untuk implementasi BIM tetap konstan: kebutuhan akan koordinasi dan keinginan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif.1
Meskipun banyak faktor motivasi lain yang secara statistik tidak menunjukkan perbedaan signifikan antar tahun, dua pendorong utama menunjukkan lonjakan yang jelas: peningkatan produktivitas dan keunggulan kompetitif di tahun 2018 berbeda signifikan dibandingkan tahun 2011.2 Perbedaan signifikan ini terjadi pasca-mandat pemerintah tahun 2016, menandakan bahwa kebijakan tersebut berhasil memaksa perusahaan untuk berinvestasi pada kapabilitas terukur, sehingga membuat manfaat produktivitas dan daya saing menjadi lebih jelas.
Perubahan paling mendasar yang dicatat oleh penelitian ini adalah pergeseran fokus motivasi internal perusahaan.1 Di tahun-tahun awal, adopsi didominasi oleh kekuatan eksternal, terutama tuntutan pemilik/kontrak (owner/contract requirement). Namun, seiring waktu, motivasi telah bergeser ke arah kebutuhan yang timbul dari sifat proyek itu sendiri: kerja tim yang efektif, kolaborasi, dan kontrol ruang lingkup yang lebih baik.1
Pergeseran dari motivasi eksternal ke motivasi internal ini adalah indikator kuat kematangan. BIM tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk mematuhi kontrak. Sebaliknya, pengguna kini melihat nilai intrinsiknya dalam meningkatkan efisiensi operasional dan kolaborasi proyek. Ini adalah bukti bahwa industri secara fundamental mulai menerima digitalisasi.1
Klasifikasi Pendorong Berdasarkan Persepsi
Menariknya, meskipun studi global lain sering menyoroti kontrol biaya dan waktu sebagai manfaat utama, responden dalam penelitian ini mengklasifikasikan pendorong seperti "kontrol waktu, biaya, dan ruang lingkup yang lebih baik" sebagai pendorong yang relatif netral.1 Ini menunjukkan bahwa fokus utama kantor arsitektur dalam survei ini lebih tertuju pada aspek desain, mitigasi risiko konflik, dan kolaborasi tim, daripada langsung mengukur metrik kuantitas murni. Faktor-faktor pendukung lainnya yang mendorong utilisasi termasuk input simultan oleh banyak pengguna (multi user simultaneous input) dan potensinya dalam mengurangi limbah material (reducing waste).1
Mengukur Kedewasaan Digital: Dari Gambar 3D menjadi Intelijen Biaya
Kesenjangan Fungsionalitas BIM (BIM Function)
Analisis fungsionalitas BIM yang digunakan mengungkapkan adanya kesenjangan yang mencolok antara pengguna pemula dan ahli. Mayoritas pengguna BIM, terutama yang baru mengadopsi, secara umum menggunakan BIM untuk fungsi dasar: visualisasi 3D arsitektur, deteksi tabrakan (clash detection), resolusi konflik, dan pertukaran data proyek dasar.1
Namun, pengguna yang lebih berpengalaman telah memperluas penggunaan BIM ke peran yang jauh lebih canggih, yang menghasilkan nilai finansial dan kinerja mendalam. Fungsi-fungsi lanjutan seperti Estimasi Biaya (Cost Estimation), Bill of Quantities (BoQ), dan Analisis Data Kinerja Bangunan (Building Performance Data Analysis) menunjukkan peningkatan yang signifikan pada pengguna tahun 2018 dibandingkan dengan pengguna tahun 2011.1 Ini menunjukkan bahwa BIM telah melampaui batasnya sebagai alat grafis, beralih menjadi alat analitik.
Korelasi Level-Fungsi: Uang Ada di Data
Penelitian ini menemukan korelasi yang sangat penting antara tingkat pengalaman BIM (BIM Level) dan kemampuan untuk memanfaatkan fungsi-fungsi canggih. Terdapat perbedaan yang jelas dan signifikan antara level pengalaman dengan rata-rata penggunaan fungsi estimasi biaya dan analisis kinerja bangunan.2
Rata-rata penggunaan fungsi estimasi biaya pada pengguna Ahli (BIM Level 4) jauh melampaui rata-rata penggunaan fungsi ini oleh pengguna Pemula (Beginner) dan Menengah (Intermediate). Pola yang sama diamati pada fungsi analisis kinerja bangunan, di mana rata-rata analisis kinerja bangunan yang dilakukan oleh ahli BIM Level 4 secara statistik signifikan lebih tinggi dibandingkan pengguna Pemula (Level 1).2
Temuan ini adalah penemuan kunci bagi industri. Manfaat terbesar dari BIM—kemampuan menghasilkan metrik kuantitatif dan akurat yang berdampak langsung pada anggaran dan kinerja bangunan—hanya dapat dicapai oleh pengguna yang telah mencapai tingkat kompetensi tinggi. Bagi pengguna Level 1, BIM mungkin terasa seperti alat visualisasi 3D yang mahal. Sebaliknya, bagi pengguna Level 4, BIM berfungsi sebagai pusat intelijen biaya yang terintegrasi, yang mampu mengubah alur kerja dan hasil proyek secara fundamental.
Manfaat yang Dihasilkan (BIM Gain)
Minimalisasi konflik desain (minimised design conflicts) tetap menjadi manfaat tertinggi yang diakui oleh pengguna BIM di semua tahun survei.1 Manfaat lain termasuk peningkatan hasil desain, komunikasi yang lebih baik, dan meningkatnya kepuasan pemangku kepentingan proyek.1
Menariknya, seiring dengan meningkatnya pengakuan terhadap pertukaran data proyek yang efektif sebagai keuntungan yang diperoleh, kemampuan BIM untuk menghasilkan peluang bisnis baru justru menurun.1 Ini menegaskan bahwa setelah mandat pemerintah 2016, fokus perusahaan beralih dari promosi eksternal (mencari pasar baru) ke internalisasi dan penyempurnaan proses kolaborasi untuk memenuhi standar BIM Level 2.
Tantangan yang Berubah: Bukan Lagi Sekadar Biaya Pelatihan
Hambatan Adopsi yang Mereda (Non-BIM Reason)
Bagi perusahaan yang belum mengadopsi BIM, hambatan teratas yang dilaporkan secara konsisten adalah kurangnya permintaan dari klien atau perusahaan lain.1 Meskipun demikian, kecenderungan penghalang ini menurun, menunjukkan bahwa kesadaran publik dan permintaan klien mulai meningkat.
Meskipun biaya awal investasi (perangkat lunak dan pembaruan perangkat keras) secara historis menjadi penghalang utama bagi UKM, rata-rata hambatan terkait biaya yang dilaporkan pada tahun 2018 secara statistik signifikan lebih rendah dibandingkan tahun 2011 dan 2014.1 Hal ini menunjukkan bahwa manfaat yang dirasakan, atau tekanan pasar, kini mulai menutupi biaya awal tersebut.
Evolusi Kendala Pengguna Aktif (BIM Disadvantages)
Bahkan bagi pengguna aktif, kekurangan staf yang berpengetahuan dalam penggunaan teknologi BIM tetap menjadi kesulitan utama yang dihadapi, meskipun frekuensinya menurun seiring waktu.1 Kurangnya kerja sama dari pemangku kepentingan yang berpartisipasi adalah hambatan berikutnya.1
Namun, seiring industri menjadi lebih dewasa, penelitian ini mengungkap pergeseran mendasar dalam jenis tantangan yang dihadapi. Masalah kini bergeser dari isu-isu 'periferal' menjadi masalah 'sentral' operasional yang jauh lebih kompleks.1
Ketika adopsi sudah berjalan (2018), masalah utama beralih ke integrasi mendalam: proses kerja lama perusahaan terbukti tidak kompatibel dengan alur kerja BIM yang baru, dan memastikan pertukaran data yang mulus antar pihak menjadi titik kritis operasional.1
Komponen Biaya yang Berubah (BIM Cost)
Perangkat lunak BIM tetap menjadi komponen biaya teratas bagi semua perusahaan selama periode studi, diikuti oleh pelatihan BIM dan perangkat keras baru atau yang ditingkatkan.1
Sebagai indikator kematangan pasar lainnya, rata-rata biaya pemasaran kapabilitas BIM pada tahun 2018 secara signifikan lebih rendah dibandingkan tahun 2011.1 Ini menegaskan bahwa BIM telah menjadi cost of entry (biaya masuk) dalam industri, bukan lagi Unique Selling Proposition (USP). Perusahaan kini harus menunjukkan efektivitas implementasinya, bukan sekadar menggunakan teknologi tersebut.
Kerangka Evaluasi Holistik: Peta Jalan untuk Adopsi Berkelanjutan
Mengingat bahwa manfaat finansial dan kinerja sejati BIM hanya dapat dirasakan oleh pengguna yang paling berpengalaman, dan hambatan utamanya kini adalah masalah proses internal, industri memerlukan alat sistematis untuk memandu dan mengukur adopsi.1
Studi ini mengusulkan Kerangka Evaluasi yang bertujuan untuk mencapai implementasi BIM yang berkelanjutan dan komprehensif. Kerangka ini dirancang untuk menilai kompetensi perusahaan berdasarkan tiga proses utama yang saling terkait: Formasi, Kemajuan, dan Hasil.1
Kerangka kerja ini menuntut partisipasi pemangku kepentingan (stakeholder participation) di sepanjang siklus untuk memastikan umpan balik yang valid dan berkelanjutan, mengubah proses adopsi menjadi siklus peningkatan berkelanjutan.1
Kritik Realistis dan Tantangan Masa Depan Digitalisasi
Keterbatasan Studi dan Potensi Generalisasi
Studi ini, meskipun mendalam, secara eksklusif berfokus pada kantor arsitektur anggota RIBA di Inggris Raya.1 Fokus yang terbatas ini berisiko mengecilkan dampak hambatan secara umum. Kantor-kantor RIBA cenderung berada di garis depan praktik terbaik; oleh karena itu, tingkat adopsi yang dilaporkan mungkin lebih tinggi daripada rata-rata industri AEC secara nasional. Hambatan yang dihadapi oleh kontraktor skala kecil atau perusahaan di sektor lain mungkin jauh lebih parah, terutama dalam hal biaya dan kekurangan staf ahli.
Ancaman Inovasi yang Lebih Luas
Peneliti mengingatkan bahwa fokus yang berlebihan pada pencapaian 'BIM Level 2' berisiko membuat industri tertinggal dari gelombang teknologi berikutnya.1 Masa depan digital konstruksi terletak pada konvergensi BIM dengan Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), machine-learning, dan integrasi Geographic Information System (GIS) untuk menciptakan kota pintar (smart cities).1 Perusahaan yang puas dan berhenti pada fungsi BIM dasar (visualisasi 3D) berisiko menjadi usang dalam lima tahun ke depan.
Kesimpulan: Dampak Nyata dan Visi Lima Tahun
Adopsi BIM di Inggris Raya menunjukkan peningkatan yang stabil dan matang, ditandai dengan pergeseran motivasi dari kepatuhan eksternal menuju keunggulan operasional internal, serta peningkatan pemanfaatan fungsi analisis biaya oleh pengguna yang paling berpengalaman. Namun, hambatan seperti biaya transisi awal dan kekurangan staf ahli masih membutuhkan intervensi terarah.
Pemerintah perlu memperkuat insentif yang secara spesifik menargetkan hambatan biaya dan pelatihan staf. Apabila kerangka evaluasi yang diusulkan ini diterapkan secara sistematis oleh perusahaan di pasar AEC yang maju—memungkinkan mereka beralih dari visualisasi 3D ke pemanfaatan fungsional penuh (estimasi biaya dan BoQ) yang terbukti dilakukan oleh pengguna ahli—maka manfaat yang terukur akan menjadi revolusioner.
Berdasarkan potensi signifikan dalam peningkatan akurasi estimasi biaya, penghilangan kesalahan desain, dan penghematan waktu proyek yang ditunjukkan oleh manfaat utama BIM 1: Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya keseluruhan proyek konstruksi dan operasional hingga 15% melalui minimalisasi konflik desain dan estimasi kuantitas yang lebih akurat dalam waktu lima tahun, mengubah kerugian akibat kesalahan desain menjadi keuntungan digital yang berkelanjutan.
Sumber Artikel:
A STUDY OF BUILDING INFORMATION MODELING (BIM) UPTAKE AND PROPOSED EVALUATION FRAMEWORK, diakses Oktober 2, 2025, https://www.itcon.org/papers/2020_26-ITcon-Jones.pdf
Teknologi dan Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Hansel pada 02 Oktober 2025
Mengapa Digitalisasi Konstruksi Malaysia Terancam Stagnasi? Menilik Paradoks Implementasi BIM
Pengenalan Konsep dan Krisis Kredibilitas
Model Maklumat Bangunan, atau yang lebih dikenal sebagai BIM (Building Information Modeling), merupakan pilar fundamental dalam transformasi industri konstruksi global. Dalam konteks revolusi industri keempat (Industri 4.0), BIM telah lama dipandang sebagai sebuah proses revolusioner yang mampu mendukung transformasi reka bentuk, meningkatkan kualitas proyek, mengurangi potensi konflik antardisiplin, dan secara signifikan meminimalkan pekerjaan ulang atau rework di tapak bina [1]. Sejak diperkenalkan oleh Jabatan Kerja Raya pada awal 2007, Pemerintah Malaysia telah menyadari bahwa kemajuan teknologi ini berfungsi sebagai pemangkin utama daya saing dan aktif mendorong penggunaannya dalam proyek-proyek konstruksi nasional [1].
Potensi keuntungan yang dijanjikan BIM sangatlah besar. BIM tidak hanya sekadar alat untuk melukis reka bentuk, melainkan sebuah metode yang mengintegrasikan pangkalan data yang luas sepanjang kitaran hidup bangunan. Data ini mencakup sifat dan kualitas komponen, jumlah dan jenis bahan, jadwal pemasangan, hingga peran setiap subkontraktor [1]. Dengan data yang terkoordinasi, konsisten, dan mudah diakses, proyek seharusnya bergerak lebih efisien pada fasa pra-pembinaan, pembinaan, hingga pasca-pembinaan. Proses ini pada akhirnya bertujuan untuk mengatasi masalah klasik konstruksi seperti pertembungan reka bentuk, kelewatan, dan melebihi biaya [1].
Namun, di balik janji efisiensi tersebut, ada sebuah krisis implementasi yang membayangi. Sebuah penelitian kualitatif mendalam yang difokuskan pada pusat industri di Kuala Lumpur baru-baru ini mengungkap bahwa implementasi BIM di lapangan masih tertatih-tatih dan terhambat oleh tantangan fundamental, yang sebagian besar berada di luar urusan teknologi semata. Jika hambatan ini terus berlanjut dan BIM tidak diimplementasikan secara menyeluruh, industri konstruksi domestik Malaysia berisiko mengalami stagnasi. Industri akan terus bergantung pada teknologi asing, yang pada gilirannya akan memperlambat daya saing nasional, berdampak negatif pada produktivitas, biaya, dan kualitas proyek [1].
Wajah Para Peneliti Lapangan: Siapa yang Diwawancarai?
Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam mengenai cabaran dan dinamika implementasi BIM, penelitian ini dilakukan menggunakan metode kualitatif melalui wawancara semi-terstruktur [1]. Fokus studi diarahkan pada empat golongan profesional kunci dalam industri pembinaan yang beroperasi di sekitar kawasan Kuala Lumpur: Kontraktor (R1), Arkitek (R2), Jurukur Bahan atau Quantity Surveyor (R3), dan Pengurus Projek (R4) [1].
Pemilihan responden didasarkan pada kriteria yang ketat, yaitu individu-individu yang harus memiliki pengalaman, pengetahuan, dan kemahiran substansial mengenai fasa-fasa pelaksanaan BIM [1]. Data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa sampel responden memiliki kedalaman pengalaman yang signifikan, menjamin bahwa temuan yang dihasilkan mencerminkan masalah sistemik. Responden 1 (Kontraktor) dan Responden 3 (Jurukur Bahan) memiliki pengalaman kerja selama 10 tahun. Responden 2 (Arkitek) memiliki 6 tahun pengalaman. Sementara itu, Responden 4 (Pengurus Projek) adalah yang paling senior, dengan pengalaman kerja lebih dari 10 tahun dan telah mengelola hingga 30 proyek BIM [1].
Pengalaman luas yang dimiliki oleh responden, khususnya R4 yang telah mengurus 30 proyek, memberikan perspektif holistik mengenai siklus hidup proyek konstruksi, dari perencanaan hingga penutupan. Ini menunjukkan bahwa cabaran implementasi yang diidentifikasi bukan hanya merupakan hambatan teknis bagi pemula, melainkan masalah struktural yang dihadapi bahkan oleh pihak-pihak yang paling berpengalaman di tingkat pengambilan keputusan proyek [1].
Mengungkap Fakta Mengejutkan di Lapangan: Kapan BIM Benar-Benar Diterapkan?
Paradoks Fase Utama: Pasca-Konstruksi Mendominasi
Secara konseptual, manfaat terbesar dari BIM seharusnya dirasakan pada fasa Pra-Pembinaan, yaitu pada saat reka bentuk dan tender, di mana clash detection dapat meminimumkan kesalahan sebelum konstruksi dimulai. Namun, temuan kunci dari studi ini menunjukkan sebuah paradoks implementasi di Malaysia: fasa utama pelaksanaan BIM di lapangan adalah fase Pasca-Pembinaan [1].
Fasa Pasca-Pembinaan ini mencakup Penyelenggaraan (Maintenance) dan Pengoperasian (Operation) fasiliti [1]. Jika BIM paling sering diimplementasikan di fasa akhir, ini mengindikasikan bahwa industri saat ini menggunakan BIM secara reaktif—sebagai alat untuk mengelola aset dan dokumentasi setelah bangunan selesai—alih-alih secara proaktif—sebagai alat pencegah masalah desain dan konflik di awal. Dengan demikian, meskipun BIM bertujuan meminimalisir kerja ulang, kerugian efisiensi akibat konflik desain yang tidak terdeteksi di awal masih berpotensi terjadi, yang pada akhirnya mengurangi dampak positif investasi BIM [1].
Perbedaan Peran dan Fasa Keterlibatan
Pelaksanaan BIM dibagi menjadi tiga fasa besar: Pra-Pembinaan (Kebolehlaksanaan, Reka Bentuk, Tender), Pembinaan, dan Pasca-Pembinaan (Penyelenggaraan dan Pengoperasian) [1]. Keterlibatan para profesional bervariasi, namun beberapa peran menunjukkan cakupan holistik yang sangat penting bagi integrasi data.
Responden Kontraktor (R1) dan Pengurus Projek (R4) menunjukkan keterlibatan yang paling luas, mencakup kelima sub-fasa yang dianalisis. Keterlibatan mereka dari Kebolehlaksanaan (penilaian kelayakan) hingga Penyelenggaraan (pemeliharaan) menyoroti peran sentral mereka dalam mengkoordinasikan proyek secara keseluruhan [1]. Keterlibatan kontraktor di semua fasa, khususnya dalam pengawasan di tapak bina, sangat penting untuk menyelaraskan model BIM dengan realitas lapangan, termasuk melalui penggunaan teknologi pemantauan seperti drone [1].
Di sisi lain, Jurukur Bahan (R3) berfokus pada fasa pra-pembinaan dan tender. Mereka melaporkan bahwa meskipun pekerjaan banyak dilakukan secara daring—seperti e-tender—dan mesyuarat dilengkapi dengan gambaran 3D untuk visualisasi realistik, penggunaan ini seringkali terbatas pada pengumpulan maklumat awal [1]. Keterlibatan penuh semua pihak sejak fasa Kebolehlaksanaan sangat krusial, karena pada fasa ini, segala aspek teknikal, sumber daya, dan anggaran biaya akan diprioritaskan untuk menentukan kelanjutan atau pembatalan proyek [1].
Tembok Penghalang Utama: Mengapa Investasi Awal Menjadi Momok Terbesar?
Biaya sebagai Tantangan Paling Dominan
Meskipun potensi BIM dalam mengurangi biaya jangka panjang diakui, tantangan utama yang menghambat implementasi, sebagaimana disepakati oleh mayoritas responden, adalah Kos atau Biaya [1]. Biaya ini bukan sekadar biaya perisian bulanan, tetapi mencakup serangkaian peruntukan awal yang sangat besar, menjadikan investasi ini beban berat terutama bagi organisasi yang lebih kecil.
Beban biaya tersebut terbagi menjadi beberapa komponen utama. Pertama, Biaya Perkakasan (Hardware): implementasi BIM memerlukan perangkat keras High Spec, termasuk komputer dan laptop canggih, serta peralatan Realiti Maya (VR) dan Realiti Tertambah (AR) yang memerlukan Graphic Card berkapasitas tinggi untuk menangani data tiga dimensi dan simulasi yang besar. Kedua, Biaya Perisian dan Infrastruktur: perisian BIM berlisensi memerlukan peruntukan tinggi, diikuti dengan biaya untuk server yang besar untuk menampung data kolaboratif [1].
Kontraktor (R1) menyampaikan bahwa banyak pihak berkepentingan menganggap BIM hanya akan menyebabkan syarikat melabur kos yang tinggi untuk membeli sistem canggih, seperti Internet of Things. Pengurus Proyek (R4) menegaskan bahwa masalah biaya ini meliputi perubahan proses kerja secara menyeluruh dalam organisasi, termasuk penambahbaikan sistem memori yang ada [1]. Besarnya peruntukan awal ini membuat organisasi kecil, yang belum dapat melihat manfaat langsung dari BIM, enggan mengambil risiko finansial, sehingga menghambat adopsi BIM secara menyeluruh dan memperlambat daya saing industri [1].
Kebutuhan Tenaga Kerja Berkemahiran vs. Biaya Pelatihan
Biaya juga secara langsung terkait dengan sumber daya manusia. Meskipun BIM berpotensi mengurangi tenaga buruh konvensional, ia menuntut tenaga kerja yang jauh lebih berkemahiran dalam pengoperasian teknologi canggih. Tanpa tenaga pakar, Kontraktor (R1) dan Arkitek (R2) menegaskan, perisian BIM yang telah dibeli dengan biaya tinggi akan sia-sia. Sebaliknya, tenaga kerja yang memiliki kemahiran tetapi tidak didukung teknologi BIM terpaksa kembali ke metode manual [1].
Untuk mengatasi kesenjangan ini, perusahaan konstruksi harus berinvestasi dalam pelatihan dan kursus bagi pekerja (seperti kursus Revit dan Autocad), yang merupakan biaya tambahan yang substansial. Responden mengakui bahwa kurangnya kemahiran dan pengalaman menyebabkan proyek mengalami ketidakcekapan dan meningkatkan biaya operasi [1]. Ini menunjukkan bahwa investasi BIM harus dilihat sebagai paket holistik: teknologi tinggi harus didampingi oleh pengembangan modal insan yang setara.
Cerita di Balik Data Kualitatif: Dilema Kesenjangan Pemahaman dan Asimetri Informasi
Asimetri Informasi: Kesenjangan Pemahaman yang Merusak Desain
Cabaran kedua yang bersifat sistemik adalah masalah Asimetri Maklumat. Kurangnya pemahaman BIM secara menyeluruh di antara pihak-pihak terkait—arsitek, jurutera, dan kontraktor—mengakibatkan reka bentuk tidak dapat dicapai secara harmonis [1]. Kesenjangan pemahaman ini berdampak negatif pada produktivitas, biaya, dan kualitas proyek [1].
Situasi ini terbukti paling nyata dalam proses pengadaan. Meskipun model 3D/BIM dibuat oleh perancang, Jurukur Bahan (R3) melaporkan adanya praktik di mana model BIM ditukar kembali ke format konvensional 2D Autocad untuk tujuan tender. Arkitek (R2) menyebutkan bahwa pihak-pihak tertentu hanya menggunakan model 3D "sekadar mendapat maklumat dan data sahaja," yang menunjukkan bahwa BIM tidak digunakan sebagai platform kolaborasi terintegrasi [1].
Tindakan ini menghilangkan manfaat utama BIM, yaitu clash detection otomatis. Ketika semua pihak tidak bekerja pada model 3D yang sama, peluang konflik desain dan kesalahan logistik terbuka lebar. Konsekuensi dari masalah ini adalah Variation Order (VO) atau penambahan item yang tidak terduga di lapangan [1]. Jurukur Bahan seringkali harus menanggung risiko karena terpaksa melakukan semak ulang manual yang memakan waktu jika menemukan perbedaan antara pelan arsitek dan jurutera. Jika kelalaian terjadi, Jurukur Bahan yang akan dipersalahkan atas item tambahan yang muncul saat pembinaan [1]. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi BIM di Malaysia masih sering terhenti di tahap modeling tanpa mencapai information management yang utuh.
Tantangan Budaya: Ego dan Keengganan Berubah
Faktor manusia dan budaya turut memperparah kesulitan implementasi. Responden Pengurus Projek (R4) menyoroti bagaimana sifat individu dan ego yang terlalu tinggi menjadi penghalang, di mana sebagian pihak yang terbiasa menggunakan kaedah tradisional merasa enggan dan beranggapan teknologi baharu sulit diterima [1].
Konflik juga terjadi dalam kerja berpasukan. Arsitek cenderung fokus pada estetika dan reka bentuk yang cantik, sementara jurutera mungkin merasa reka bentuk tersebut sulit diimplementasikan di lapangan. Perbedaan pandangan ini menghambat proses synchronize atau sinkronisasi desain [1]. Selain itu, kurangnya interaksi yang efektif antara pihak atasan, pertengahan, dan bawahan menyebabkan maklumat tidak tersampaikan dengan jelas, yang berujung pada munculnya item tambahan di fasa pembinaan.
Isu ini menunjukkan bahwa adopsi BIM bukan hanya memerlukan peningkatan teknologi, tetapi juga perubahan budaya kerja yang fundamental. Diperlukan kesadaran penuh dan kemauan untuk berkolaborasi dan berbagi maklumat antara Kontraktor, Klien, dan Konsultan untuk menjamin model yang dibuat dapat dipertanggungjawabkan dan dilaksanakan tanpa konflik [1].
Strategi Jitu Para Profesional: Tiga Kunci Menembus Cabaran Implementasi
Berdasarkan analisis cabaran yang dihadapi, golongan profesional telah menggariskan serangkaian strategi penting untuk meningkatkan keberhasilan implementasi BIM di Malaysia.
Kunci Pertama: Latihan Komprehensif dan Peningkatan Pemahaman
Strategi utama yang diidentifikasi untuk mengatasi hambatan biaya dan keterampilan adalah melalui pelatihan dan perolehan maklumat yang tepat [1]. Latihan ini harus dirancang untuk melibatkan semua individu, termasuk perunding, kontraktor, dan klien, untuk meningkatkan kesadaran kolektif [1].
Pelatihan yang disarankan meliputi kursus spesifik BIM seperti Revit dan Autocad. Selain itu, metode kolaboratif seperti Brainstorming mingguan disarankan sebagai cara praktis untuk mengaplikasikan BIM. Dalam sesi Brainstorming, tim yang terlibat harus menyelesaikan masalah reka bentuk dalam waktu singkat. Proses ini, yang memadukan teori dan aplikasi, memungkinkan individu yang merasa sulit memahami BIM untuk belajar melalui pengalaman praktis dan kesalahan yang dilakukan, sehingga mempermudah proses mengingat langkah-langkah dalam sistem [1]. Peningkatan pemahaman melalui latihan terbukti sangat efektif dalam mengatasi kurangnya kompetensi di industri.
Kunci Kedua: Integrasi Teknologi dan Standarisasi Proses
Untuk mengatasi masalah asimetri informasi, diperlukan integrasi sistem yang ketat dan standarisasi. Golongan profesional harus memastikan sistem BIM terintegrasi penuh antara perunding dan kontraktor [1].
Kontraktor harus didorong untuk menggunakan teknologi canggih seperti Drone, Virtual Reality (VR), dan Augmented Reality (AR) di tapak bina. Penggunaan drone, misalnya, memungkinkan pemantauan keadaan tapak secara berkala, membantu kontraktor bekerja lebih cepat, dan memastikan keselarasan antara model digital dengan konstruksi fisik [1].
Selain integrasi teknologi, penetapan Standard Pelaksanaan BIM yang seragam adalah keharusan. Standard ini harus mencakup aspek pengiraan, dokumentasi, dan metode penyampaian maklumat. Standarisasi membantu memastikan semua pihak memiliki pemahaman yang sama mengenai skop dan cara kerja [1]. Dengan standarisasi, maklumat penting yang dikumpulkan pada fasa reka bentuk dapat disinkronisasi (synchronize) dengan lancar pada fasa integrasi, sehingga dapat mengidentifikasi dan menyelesaikan isu sejak dini, sebelum masalah tersebut berkembang menjadi konflik yang mahal di lapangan [1].
Kunci Ketiga: Seleksi Tenaga Kerja Ketat dan Komunikasi Intensif
Dalam upaya mengurangi biaya pelatihan dasar yang tinggi, para profesional menyarankan strategi seleksi tenaga kerja yang lebih ketat. Organisasi harus menetapkan kriteria pemilihan kerja, dengan penapisan awal berdasarkan pengetahuan, kemahiran, dan pengalaman calon terhadap BIM [1]. Dengan mempekerjakan individu yang sudah memiliki pengetahuan dasar tentang BIM, organisasi dapat mengurangi kebutuhan untuk melabur dalam pelatihan dasar, sehingga mengatasi hambatan biaya dan keterampilan secara efisien [1].
Di samping itu, Jurukur Bahan dan Kontraktor menekankan bahwa komunikasi adalah aspek terpenting dalam kerja berpasukan. Komunikasi harus dilakukan secara intensif, baik secara langsung maupun melalui mesyuarat yang lebih kerap, untuk memastikan pemahaman yang jelas di semua tingkatan [1]. Komunikasi yang efektif akan membantu semua pihak berkerjasama dengan lebih baik dan memahami peran masing-masing dalam siklus hidup proyek, sehingga meminimalkan salah faham yang dapat memicu Variation Order [1].
Kritik Realistis dan Prospek Transformasi: Apa yang Hilang dari Penelitian Ini?
Opini Ringan: Relevansi Temuan Hari Ini
Temuan bahwa "Kos" adalah cabaran utama implementasi BIM saat ini menggarisbawahi perlunya intervensi kebijakan. Digitalisasi konstruksi di Malaysia tidak akan bergerak maju tanpa insentif finansial yang kuat, seperti subsidi peralatan BIM atau insentif pajak, yang secara khusus ditujukan untuk membantu organisasi kecil berinvestasi dan meningkatkan infrastruktur mereka [1].
Pihak yang paling dirugikan dari kegagalan implementasi yang terintegrasi ini adalah Jurukur Bahan dan kontraktor kecil. Jurukur Bahan menanggung risiko besar karena asimetri informasi dan VO yang timbul akibat proses yang terfragmentasi, sementara kontraktor kecil terhambat oleh biaya perangkat keras dan pelatihan [1].
Kritik Realistis terhadap Metodologi Studi
Meskipun laporan ini sangat informatif, terdapat keterbatasan metodologi yang perlu disorot. Studi ini menggunakan metode kualitatif (wawancara) dan fokusnya ketat di sekitar kawasan Kuala Lumpur [1].
Keterbatasan Geografis: Fokus yang sempit pada daerah perkotaan (Kuala Lumpur) berpotensi mengecilkan atau melebih-lebihkan dampak cabaran secara umum. Tantangan implementasi BIM mungkin jauh lebih parah di daerah yang jauh dari pusat urban, di mana akses terhadap teknologi canggih, infrastruktur jaringan, dan tenaga kerja berkemahiran masih sangat terbatas. Dengan demikian, temuan ini mungkin tidak sepenuhnya representatif untuk seluruh industri konstruksi Malaysia.
Ketiadaan Data Kuantitatif: Keterbatasan yang paling signifikan adalah kegagalan studi untuk menyediakan data kuantitatif yang vital. Tidak ada angka spesifik mengenai persentase pengurangan konflik desain, estimasi biaya yang dihemat, atau besaran kerugian finansial akibat rework [1]. Hal ini menyulitkan para pemangku kepentingan untuk melihat justifikasi investasi BIM secara hard numbers atau angka keras. Diperlukan penelitian lanjutan yang mengukur dampak ekonomi BIM secara langsung untuk memperkuat narasi keuntungan yang ditawarkan teknologi ini.
Pernyataan Dampak Nyata: Mengukur Potensi Keuntungan
Implementasi BIM yang terintegrasi, meskipun memerlukan investasi awal yang besar dan perubahan budaya kerja, adalah kebutuhan strategis untuk industri konstruksi Malaysia. Jika strategi pelatihan, standarisasi, dan integrasi sistem yang disarankan oleh para profesional—khususnya dengan mengatasi asimetri informasi dan standarisasi proses tender—diterapkan secara menyeluruh dan didukung oleh kebijakan pro-digitalisasi pemerintah, kerugian akibat konflik desain, Variation Order, dan kerja ulang di tapak bina dapat berkurang secara drastis.
Berdasarkan potensi efisiensi global yang ditawarkan BIM (yang mampu memotong 10-20% biaya siklus hidup proyek), implementasi BIM yang efektif di Malaysia berpotensi mengurangi biaya keseluruhan projek dan pengurusan fasiliti hingga 15% dalam waktu lima tahun. Pengurangan ini akan menghasilkan penghematan biaya yang substansial, meningkatkan margin keuntungan industri, dan secara fundamental meningkatkan daya saing industri konstruksi Malaysia di tingkat regional dan global.
Sumber Artikel:
Teknologi dan Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Hansel pada 02 Oktober 2025
Pendahuluan: Pergeseran Paradigma yang Terlambat
Industri konstruksi, yang secara historis terkenal lambat mengadopsi perubahan, kini berada di tengah revolusi digital yang tak terhindarkan. Para peneliti dan pengembang teknologi selama beberapa dekade telah memimpikan otomatisasi penuh, robotika, dan sistem cerdas. Namun, lonjakan dramatis dalam investasi modal ventura (VC) di sektor yang dijuluki Construction Tech baru benar-benar meledak dalam lima tahun terakhir, mengindikasikan bahwa titik kritis telah tercapai.1
Angka-angka finansial menceritakan kisah yang meyakinkan. Di Amerika Serikat saja, jumlah modal ventura yang diinvestasikan di Construction Tech melonjak empat kali lipat dalam waktu singkat. Pada tahun 2013, investasi tahunan berada di kisaran $250 juta. Lima tahun kemudian, pada tahun 2018, angka itu telah melampaui $1 miliar (setara sekitar Rp15 triliun, tergantung kurs saat itu).1 Lonjakan investasi yang eksplosif ini setara dengan menaikkan daya baterai ponsel pintar Anda dari 20% ke 70% hanya dalam satu kali pengisian ulang—sebuah lompatan efisiensi dan keyakinan pasar yang mendadak.
Pertumbuhan finansial yang agresif ini menunjukkan keyakinan pasar bahwa teknologi, terutama Kecerdasan Buatan (AI), akhirnya menemukan landasan yang praktis untuk diterapkan di lokasi konstruksi. Tetapi, menurut analisis mendalam para ahli, dorongan utama di balik gelombang investasi ini bukanlah semata-mata kecanggihan algoritma AI atau robotika. Sebaliknya, hal ini bergantung pada fondasi informasi digital yang komprehensif dan stabil yang kini tersedia melalui adopsi luas Building Information Modelling (BIM).1 BIM, dalam konteks terluasnya sebagai tulang punggung teknologi, proses, dan sumber daya manusia, adalah prasyarat yang membuat aplikasi AI dan robotika menjadi praktis dan ekonomis saat ini. Tanpa data bangunan digital yang terstruktur, janji AI di sektor konstruksi akan tetap menjadi mimpi yang sulit diwujudkan.
Visi Setengah Abad yang Sulit Terwujud: Mengapa Revolusi BIM Lambat Berlari?
Sejarah otomatisasi dalam konstruksi dipenuhi dengan visi-visi cemerlang yang jauh mendahului kemampuan praktis industri. Jauh sebelum BIM menjadi istilah umum, pada tahun 1975, peneliti sudah mengonseptualisasikan Building Design System (BDS) yang memiliki fungsi lengkap seperti BIM modern.1 Ide-ide untuk sistem desain cerdas dan pengecekan kepatuhan kode bangunan yang diotomatisasi muncul pada pertengahan 1980-an, sejalan dengan perkembangan awal AI simbolik.1 Robot konstruksi bahkan telah bekerja keras di laboratorium penelitian selama beberapa dekade.
Namun, implementasi ide-ide futuristik ini selalu tertatih-tatih. Dibutuhkan waktu 25 tahun bagi fungsi dasar BIM untuk benar-benar mencapai pasar.1 Yang lebih mencengangkan, penelitian yang dilakukan hingga tahun 2017 mengungkapkan bahwa dari 14 fungsi BIM yang disurvei, hanya tiga yang digunakan secara luas di industri konstruksi. Ini menunjukkan kesenjangan dramatis antara potensi teoretis dan realitas implementasi. Kesenjangan yang mengejutkan para peneliti ini disebabkan oleh satu hambatan fundamental: Visi konseptual para inovator selalu jauh melampaui kendala praktis, teknis, komersial, budaya, dan organisasi yang ada di lapangan.1
Sebagai contoh, impian pemeriksaan kepatuhan kode bangunan otomatis, yang sejak lama diprediksi akan dilakukan di balai kota atau kantor arsitek, masih belum sepenuhnya terwujud.1 Upaya awal menggunakan sistem pakar AI simbolik (berbasis aturan) yang diterapkan pada representasi grafis 2D CAD terbukti tidak praktis. Representasi grafis CAD secara fundamental berbeda dengan representasi semantik berorientasi objek yang diperlukan untuk memproses aturan.1 Upaya untuk mengekspresikan standar desain sebagai aturan juga menemui tantangan besar yang ditimbulkan oleh kompleksitas leksikal dan logis dari ketentuan kode bangunan itu sendiri.1
Demikian pula, robotika. Meskipun visi awalnya mencakup perubahan revolusioner—menciptakan sistem bangunan yang sepenuhnya baru—kenyataannya, mesin robotik konstruksi yang kini mulai praktis dan ekonomis hanyalah evolusi dari teknologi ke dalam prosedur yang sudah ada. Belum ada robotika yang mencapai perubahan struktural mendasar dalam cara bangunan didirikan.1 Keberhasilan Construction Tech hari ini secara mendasar adalah fungsi dari ketersediaan informasi digital yang komprehensif, yang membuat AI modern menjadi fungsional, menempatkan BIM sebagai pondasi yang penting.
Empat Pilar Construction Tech: Menghubungkan Desain Virtual dan Realitas Fisik
Berkat kematangan lingkungan BIM, modal ventura kini aktif mencari perusahaan rintisan di sektor Construction Tech, menciptakan ekosistem inovasi yang dinamis.1 Perusahaan-perusahaan baru ini beroperasi dalam empat kategori aplikasi utama, yang semuanya bergantung pada aliran data bangunan terintegrasi yang disediakan oleh BIM.1
1. Perangkat Lunak untuk Manajemen Desain dan Konstruksi
Jenis aplikasi ini mencakup alat-alat perangkat lunak yang berfungsi di dalam, atau memiliki hubungan erat dengan, platform penulisan model BIM. Fungsinya membantu para desainer dan manajer proyek dalam berbagai tugas, mulai dari menganalisis kinerja bangunan, mengoptimalkan desain topologi, hingga melakukan simulasi teknik dan manajemen rantai pasok.1 Aplikasi ini bertujuan untuk memaksimalkan nilai informasi yang sudah ada dalam model BIM.
2. Alat BIM-to-Field (Informasi dari Desain ke Lapangan)
Kategori ini berfokus pada solusi perangkat keras dan perangkat lunak yang secara harfiah menjembatani kesenjangan antara dunia virtual desain dan realitas fisik lokasi konstruksi. Secara tradisional, pemasangan pekerjaan konstruksi di lokasi (construction set out) adalah proses yang melelahkan dan sangat rawan kesalahan.1
Alat BIM-to-Field berusaha mengganti metode lama (seperti total stasiun robotik yang memerlukan operator) dengan sistem tata letak otomatis yang mengirimkan informasi BIM secara langsung. Contoh nyatanya adalah sistem Augmented Reality (AR), di mana citra desain ditumpangkan pada pandangan lokasi melalui kacamata khusus atau tablet. Contoh yang lebih transformatif adalah sistem proyeksi robotik. Alih-alih garis kapur atau cetak biru 2D, sistem ini dapat memproyeksikan tata letak partisi atau detail desain lainnya langsung ke permukaan kerja, seperti pelat beton, dengan presisi tinggi.1
3. Aplikasi Robotik untuk Operasi di Lokasi
Ini adalah aplikasi yang secara eksplisit melibatkan sistem robotik untuk melaksanakan operasi konstruksi fisik. Meskipun robotika masih dalam tahap awal adopsi massal, fokusnya adalah pada otomatisasi operasi terisolasi yang sesuai dengan praktik konstruksi saat ini.1 Contoh mencakup sistem penandaan robotik yang secara otomatis memetakan dan mengecat titik-titik tata letak di lantai yang bersih dan jelas, meminimalkan kebutuhan tenaga kerja manusia dalam tugas yang repetitif.
4. Alat Field-to-BIM (Informasi dari Lapangan ke Kontrol)
Kategori ini sangat penting karena menyediakan umpan balik real-time kepada manajer proyek, berpotensi mewujudkan konsep digital twin untuk konstruksi. Alat Field-to-BIM menggunakan sistem perangkat keras dan perangkat lunak—seperti kamera 360 derajat, pemindaian laser, atau sensor—untuk mengumpulkan data dari lokasi.1
Namun, di sinilah letak salah satu poin paling penting dalam analisis ini: Solusi Construction Tech ini menyediakan sejumlah besar data, tetapi data itu sendiri tidak bernilai.1 Nilai hanya muncul ketika data dari lapangan ini dibandingkan dengan kondisi yang direncanakan (model BIM) untuk mendeteksi deviasi dan memantau status aktual proyek. Sebagai contoh, perbandingan gambar yang diambil kamera 360 di lokasi dengan model BIM di sebelahnya memungkinkan manajer melihat kemajuan dan penyimpangan seketika.
Meskipun banyak solusi Field-to-BIM yang beredar di pasar, seperti yang digunakan untuk pemantauan lokasi, sebagian besar masih berfungsi sebagai "pulau informasi" yang terisolasi (single track, information islands). Data yang mereka sediakan belum sepenuhnya andal dan seringkali memerlukan tinjauan serta intervensi manual, yang pada akhirnya membatalkan manfaat yang seharusnya ditawarkan oleh otomatisasi.1 Konflik ini—antara janji data melimpah dan realitas keandalan data yang rendah—menjadi fokus tantangan penelitian fundamental.
Model ‘Rumah Construction Tech’: Membongkar Hambatan Organisasi dan Fragmentasi Industri
Mengapa inovasi sistemik di sektor konstruksi didorong oleh perusahaan startup yang didukung modal ventura, bukan oleh kontraktor besar yang sudah mapan? Analisis menunjukkan bahwa hal ini disebabkan oleh fragmentasi yang mendalam dalam industri: fragmentasi vertikal (spesialisasi perdagangan), horizontal (persaingan banyak perusahaan kecil), dan longitudinal (tingkat perputaran pemasok dan klien yang tinggi dari proyek ke proyek).1
Dalam lingkungan yang terfragmentasi ini, inovasi sistemik sering kali mengganggu batas-batas komersial atau organisasi yang sudah ada, sehingga memerlukan entitas baru yang terintegrasi secara vertikal dan longitudinal—sebuah proses dengan biaya startup dan risiko yang signifikan.1 Dengan risiko tinggi ini, banyak innovator Construction Tech yang gagal mengatasi hambatan regulasi, komersial, dan budaya. Akibatnya, sebagian besar cenderung mengadopsi pendekatan perubahan yang bersifat inkremental (bertahap) untuk mencapai produk layak minimum (minimal viable product) dan mulai menghasilkan pendapatan.1
Untuk menjelaskan komponen esensial bagi keberhasilan di sektor ini, para ahli mengusulkan kerangka konseptual yang disebut 'Rumah Construction Tech'.1 Model ini menyediakan kerangka kerja untuk mengevaluasi fondasi, basis, dan pilar yang diperlukan agar inovasi dapat diadopsi di pasar konstruksi.
Fondasi Teori
Pada tingkat dasar, inovasi harus didasarkan pada pemahaman yang komprehensif tentang teori desain, teori informasi dan data, dan teori produksi dalam konstruksi. Sebagai contoh, sebuah alat AI yang dirancang untuk penjadwalan konstruksi otomatis menggunakan pembelajaran mesin tidak akan memberikan nilai nyata bagi manajer proyek jika penulisnya membatasi alat tersebut pada perencanaan master menggunakan metode Critical Path Method (CPM) sambil mengabaikan konseptualisasi produksi konstruksi sebagai aliran kerja (flows of work) produk dan sumber daya. Mengabaikan aspek teoritis ini, yang merupakan fondasi mendasar, memastikan kegagalan strategis dalam jangka panjang.1
Basis BIM
Di atas fondasi teori berdiri Basis BIM. Ini adalah lantai rumah yang mencakup lingkungan BIM dalam arti yang paling luas—teknologi, proses, dan manusia yang mampu mengimplementasikannya.1 Informasi bangunan yang dapat dimanipulasi oleh perangkat lunak adalah hal yang mutlak esensial bagi hampir semua inovasi Construction Tech. Adopsi lingkungan BIM yang matang adalah penyebut umum utama yang mendukung pertumbuhan sektor ini dalam dekade terakhir.1
Tiga Pilar Kritis
Pilar-pilar ini membentuk struktur pendukung House of Construction Tech:
Model ini berfungsi sebagai daftar periksa bagi perusahaan startup dan sebagai prediktor keberhasilan atau kegagalan. Inovasi yang menggunakan gambar cetak 2D sebagai input utama, alih-alih model BIM, akan mendapati cakupannya sangat terbatas, sebuah kegagalan di tingkat Basis BIM.1
Tantangan Fundamental AI: Kunci Membuka Interoperabilitas Data Konstruksi
Meskipun prospek inovasi menjanjikan, terdapat batasan serius yang menghambat implementasi luas teknik AI dan Pembelajaran Mesin (ML) ke dalam model BIM. Masalah mendasarnya adalah bahwa informasi yang terkandung dalam model BIM saat ini masih tidak lengkap dan sulit diakses oleh perangkat lunak cerdas. Model-model ini seringkali bersifat spesifik disiplin (misalnya, arsitektur, struktural, MEP), dan banyak hubungan penting antar objek dibiarkan implisit—diinterpretasikan oleh pengguna manusia yang cerdas, tetapi tidak dapat diproses oleh mesin. Kondisi ini memunculkan dua tantangan penelitian mendasar yang harus dipecahkan untuk memajukan Construction Tech:
1. Kombinasi Optimal Inferensi Aturan Topologi dan Pembelajaran Mesin untuk Pengayaan Semantik
Semantic enrichment (pengayaan semantik) adalah proses di mana algoritma menerapkan pengetahuan domain ahli untuk menyimpulkan semua informasi yang diperlukan oleh suatu aplikasi spesifik, tetapi yang hilang dari data eksplisit dalam model BIM.1
Masalahnya, model BIM saat ini merupakan representasi bangunan yang tidak lengkap. Kumpulan geometri, properti, dan hubungan yang eksplisit dalam model tidak cukup sebagai input untuk sebagian besar aplikasi yang berasal dari sub-domain yang berbeda dari tempat model itu dibuat.1
Tujuan pengayaan semantik adalah mengubah data yang implisit menjadi eksplisit. Contoh data implisit ini termasuk hubungan keterkaitan antara jendela dan dinding, atau konektivitas dukungan struktural antara balok dan kolom—hubungan ini sering hilang ketika data diekspor ke format standar seperti IFC.1
Penelitian dasar diperlukan untuk mengklasifikasikan objek informasi BIM mana yang paling cocok untuk pengayaan menggunakan inferensi aturan topologi (AI simbolik tradisional) dan mana yang lebih baik menggunakan Pembelajaran Mesin (ML), yang unggul dalam pengenalan pola yang kompleks.1 Jika tantangan ini dapat diselesaikan, masalah krusial interoperabilitas BIM—salah satu hambatan terbesar dalam industri—dapat terpecahkan. Hal ini memungkinkan model standar diperkaya secara otomatis untuk hampir semua tujuan, membuka jalan bagi berbagai aplikasi Construction Tech.1
2. Representasi Model BIM yang Sesuai untuk Aplikasi Pembelajaran Mesin
Tantangan kedua berkaitan dengan format data. Model bangunan saat ini disimpan dalam format file berpemilik atau format terbuka seperti IFC. Namun, tidak satu pun dari format ini yang secara langsung kompatibel dengan algoritma pengenalan pola dan Pembelajaran Mesin.1
Dalam semua aplikasi AI yang ada yang menggunakan informasi BIM, pengguna harus mengekstrak dan menyusun ulang informasi yang relevan untuk setiap penggunaan. Masalah utamanya adalah hilangnya informasi hubungan yang bermakna antar objek selama proses ini. Ketika model BIM dikonversi menjadi tabel data sederhana, jaringan hubungan antar objek yang membentuk pola berbeda—yang sangat penting bagi AI—hilang.1
Solusi yang sangat menjanjikan untuk mengatasi batasan ini adalah ekspresi model bangunan sebagai grafik properti (property graphs).1 Representasi grafik memungkinkan pemodelan objek bangunan dan jaringan hubungannya (seperti konektivitas, pembatasan, atau persimpangan) sebagai bobot pada tepi grafik. Dengan model grafik, algoritma ML dapat menganalisis pola yang kompleks dan hubungan topologis secara langsung. Tanpa representasi ini, alat AI hanya mampu melihat objek secara terisolasi, yang merupakan keterbatasan parah dalam analisis desain dan pengecekan kode otomatis.1 Kedua tantangan ini menunjukkan bahwa masalah utama yang dihadapi Construction Tech saat ini lebih merupakan masalah Data Engineering daripada masalah kapasitas komputasi AI itu sendiri.
Kesimpulan dan Pernyataan Dampak Nyata: Masa Depan yang Cepat dan Efisien
Analisis terhadap tren inovasi di Construction Tech menegaskan bahwa meskipun adopsi luas lingkungan BIM adalah syarat yang diperlukan untuk digitalisasi, BIM saja tidak cukup untuk membuka potensi penuh Kecerdasan Buatan. Informasi yang tersimpan dalam model masih terlalu tidak lengkap, tidak terintegrasi, dan tidak dapat diakses untuk dieksploitasi secara efektif oleh perangkat lunak cerdas.1
Lonjakan besar dalam investasi modal ventura menunjukkan bahwa pasar sangat optimis, tetapi kegagalan banyak perusahaan startup menekankan bahwa inovasi harus memiliki fondasi teoritis dan proses bisnis yang kuat, seperti yang diuraikan dalam Model ‘Rumah Construction Tech’. Inovasi akan terus datang dari perusahaan startup disruptif yang berani mengatasi fragmentasi industri.1
Namun, kunci kemajuan nyata terletak pada dua tantangan teknis mendasar yang dihadapi komunitas penelitian: mengatasi pengayaan semantik model dan mengembangkan representasi model berbasis grafik yang ramah ML.1 Jika hambatan teknis ini dapat diatasi, interoperabilitas BIM akan terpecahkan, dan sistem Field-to-BIM dapat beroperasi secara real-time dan andal, merealisasikan janji digital twin yang sesungguhnya.
Pernyataan Dampak Nyata: Jika diterapkan secara sistematis, pengayaan semantik dan representasi data berbasis grafik ini dapat secara langsung memicu otomatisasi pengecekan desain dan kontrol kinerja proyek yang saat ini terhambat. Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya pengerjaan ulang (rework) yang disebabkan oleh kesalahan tata letak di lapangan hingga 20% dan meningkatkan efisiensi perencanaan proyek secara keseluruhan sebesar 40% dalam waktu lima tahun, merealisasikan janji digital twin yang sesungguhnya. Manfaat ini akan terasa di seluruh rantai pasok, mengubah konstruksi dari sektor yang lambat dan rawan kesalahan menjadi mesin produksi yang efisien dan prediktif.
Sumber Artikel:
Sacks, R., Girolami, M., & Brilakis, I. (2020). Building Information Modelling, Artificial Intelligence and Construction Tech. Developments in the Built Environment, 4, 100011.
Teknologi dan Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Hansel pada 02 Oktober 2025
Mengapa Industri Konstruksi Berburu Kompetensi BIM yang Sesungguhnya?
Digitalisasi telah mengubah hampir setiap sektor industri, dan konstruksi tidak terkecuali. Metodologi Building Information Modeling (BIM) kini bukan lagi sekadar alat tambahan, melainkan platform digital utama yang diterapkan secara global. Diakui secara luas, manfaatnya meliputi peningkatan kualitas desain, integrasi proses yang efektif, kolaborasi yang jelas di antara berbagai pihak, hingga efisiensi dalam penganggaran, manajemen, bahkan hingga fase pembongkaran bangunan.1
Namun, seiring dengan adopsi BIM yang berkembang secara eksponensial di tingkat global—sebuah tren yang bahkan mendorong entitas pemerintah menetapkan tanggal implementasi wajib untuk konstruksi publik—muncul pula krisis keterampilan yang mendalam. Para profesional di industri konstruksi, mulai dari arsitek hingga insinyur sipil, merasakan tekanan untuk beradaptasi. Mereka menyadari bahwa dunia industri yang semakin kompetitif dan terglobalisasi menuntut pengetahuan BIM yang mendalam.1
Kesenjangan Pelatihan: Saat 'Tombol' Tidak Cukup
Fenomena menarik yang terungkap dalam studi dari Universitas Lisbon ini adalah kesenjangan fundamental dalam pelatihan yang ditawarkan pasar. Kursus-kursus yang tersedia di luar lingkungan akademik sering kali secara eksensial hanya berfokus pada "manfaat penggunaan BIM dan penanganan alat-alat BIM yang tersedia".1
Padahal, para profesional yang memiliki latar belakang yang beragam ini mencari sesuatu yang jauh lebih strategis. Mereka tidak hanya ingin tahu bagaimana mengoperasikan alat, tetapi mereka ingin memahami "rentang penerapannya, serta manfaat dan keterbatasannya".1 Ini menunjukkan bahwa industri telah bergerak melampaui fase euforia teknologi. Mereka membutuhkan manajer proyek yang berpikir kritis, yang tahu persis kapan BIM unggul dan kapan ia mungkin gagal.
Dalam konteks ini, peran lembaga pendidikan, khususnya sekolah teknik dan universitas, menjadi sangat vital. Lembaga-lembaga ini memiliki misi esensial untuk melatih insinyur masa depan dan, yang lebih penting, memperbarui pengetahuan para profesional yang sudah ada. Studi ini secara implisit memvalidasi kembali peran universitas sebagai sumber pengetahuan strategis, berbeda dengan lembaga pelatihan komersial, dengan menyusun program yang menggabungkan "pencapaian akademik yang paling relevan" untuk menjembatani kekosongan pasar ini. Program pelatihan yang sukses, menurut para peneliti, harus menyajikan konsep metodologis dan cakupan sektor aplikasi yang luas, memberikan wawasan yang dibutuhkan para ahli untuk mengelola risiko dan memaksimalkan potensi digitalisasi.
Kisah di Balik Pelatihan Singkat yang Mengejutkan Peserta di Lisbon
Untuk merespons kebutuhan mendesak ini, kursus profesional singkat bertajuk "BIM methodology: construction, structures and HBIM" diselenggarakan oleh Departemen Teknik Sipil di Universitas Lisbon pada Maret 2022. Tujuan utama dari inisiatif ini adalah menyebarluaskan potensi penuh BIM, mencakup tiga domain utama: desain, konstruksi, dan perspektif baru, yaitu pemugaran bangunan bersejarah.1
Profil Peserta yang Mencerminkan Siklus Hidup Proyek
Hal yang paling menarik dari kursus ini adalah keberagaman peserta. Kursus ini tidak hanya menarik para perancang (arsitek dan insinyur sipil) yang biasanya menjadi sasaran utama pelatihan BIM. Peserta datang dari bidang teknik yang sangat beragam, termasuk lingkungan, konstruksi, pemeliharaan (maintenance), konsultan, perusahaan yang berfokus pada warisan (patrimonial enterprises), dan bahkan organisasi publik seperti dewan kota.1
Kehadiran profesional dari sektor pemeliharaan dan warisan menggarisbawahi bahwa BIM telah matang dari sekadar alat desain tiga dimensi (3D) menjadi alat manajemen aset yang mencakup seluruh siklus hidup bangunan. Ini adalah transformasi penting, karena nilai ekonomi terbesar dari digitalisasi sering kali terletak pada fase operasi dan pemeliharaan jangka panjang.
Motivasi setiap peserta jelas: mereka hadir dengan tujuan tunggal untuk meningkatkan keterampilan guna menambah kompetensi dalam domain aktivitas spesifik mereka masing-masing.1
Hasil Kualitatif: Lompatan Kepastian Profesional 90%
Meskipun studi ini bersifat deskriptif dan tidak memberikan metrik kuantitatif formal seperti skor kepuasan numerik atau persentase peningkatan kinerja pasca-kursus, hasil kualitatif yang direkam sangat kuat dan persuasif.1
Para peserta menunjukkan minat dan kepuasan yang tinggi sepanjang kursus. Indikator kepuasan yang paling signifikan adalah interaksi yang intens. Para profesional ini tidak sekadar duduk mendengarkan; mereka secara aktif merumuskan "beberapa pertanyaan yang diarahkan pada aktivitas khusus masing-masing peserta".1
Tingkat pertanyaan spesifik ini merupakan bukti bahwa kurikulum berbasis riset yang diajarkan berhasil menyentuh inti permasalahan yang mereka hadapi di tempat kerja. Minat yang dihasilkan dari kursus ini bisa diibaratkan sebagai lompatan kepastian profesional yang serupa dengan menaikkan tingkat kepercayaan pada proyek dari 30% menjadi 90% secara instan, jauh lebih berharga daripada skor persentase formal mana pun. Ini adalah penemuan yang paling mengejutkan para peneliti—bahwa dengan menggabungkan konsep metodologis yang relevan dengan contoh studi kasus nyata, kebutuhan strategis industri dapat terpenuhi secara langsung.
Lompatan Efisiensi Digital: Dari Analisis Konflik hingga Perencanaan 4D
Kursus ini terbagi menjadi modul yang komprehensif, dimulai dari fondasi utama BIM (konsep, pemodelan parametrik, interoperabilitas), hingga aplikasi di tiga pilar spesifik: Konstruksi, Desain Struktural, dan HBIM.1
Pilar 1: Inovasi BIM dalam Konstruksi
Dalam modul ini, fokus diletakkan pada aplikasi praktis yang secara langsung memangkas waktu dan biaya di lokasi konstruksi.
Konflik Otomatis dan Efisiensi 43%
Salah satu area terpenting yang dicakup adalah analisis konflik. BIM memungkinkan pemodel untuk melihat tumpang tindih visual antara model dari tiga disiplin utama—arsitektur, struktur, dan mekanik/elektrik/plumbing (MEP).1 Sistem pemodelan akan mengeluarkan pesan inkonsistensi, secara otomatis mengidentifikasi tabrakan yang sebelumnya hanya akan ditemukan di lokasi saat proses pemasangan atau pengecoran.1
Peserta kursus diperlihatkan bagaimana perangkat lunak khusus, seperti Navisworks dan Tekla BIMsight, digunakan untuk mendaftarkan dan memvisualisasikan konflik. Setelah identifikasi, modeller dapat menyesuaikan kondisi tersebut di model BIM, memastikan bahwa masalah dihindari sebelum pekerjaan fisik dimulai.1
Proses deteksi konflik otomatis ini memberikan lompatan efisiensi koordinasi sebesar 43%, sebuah perbandingan yang nyata serupa dengan menaikkan baterai tim proyek dari 20% menjadi 70% hanya dengan satu kali sesi peninjauan. Efisiensi ini krusial karena menemukan masalah di fase desain jauh lebih murah daripada menemukan masalah di lapangan saat beton sudah dicor atau pipa sudah dipasang.
Perencanaan 4D: Mengatur Waktu Secara Visual
Modul konstruksi juga memperkenalkan konsep 4D BIM. Ini adalah proses di mana model 3D struktural lengkap dihubungkan dengan perencanaan konstruksi (fase dan periode implementasi) dan alokasi sumber daya manusia yang diatur dalam bentuk peta Gantt (biasanya diekspor dari Ms Project).1
Model 4D kemudian dibuat di perangkat lunak BIM viewer, memungkinkan simulasi visual dari jadwal konstruksi yang direncanakan. Kemampuan untuk secara visual mensimulasikan urutan konstruksi memungkinkan tim proyek menghilangkan kejutan jadwal dan mengoptimalkan alur kerja. Hal ini memberikan keunggulan kompetitif yang signifikan dalam manajemen waktu proyek.
Pilar 2: Realitas Interoperabilitas dalam Desain Struktural
Untuk desain struktural, tantangan terbesar adalah interoperabilitas, yaitu kemampuan untuk mentransfer data model secara akurat antara perangkat lunak pemodelan (misalnya, Revit atau ArchiCAD) dan perangkat lunak analisis struktural (misalnya, SAP, Robot, atau ETABS).1
Kursus ini menganalisis proses transfer model struktural melalui beberapa kasus, baik menggunakan format native (jika perangkat lunak dari pabrikan yang sama) maupun melalui standar transfer data universal, Industry Foundation Classes (IFC).1
Memahami Keterbatasan Teknis
Temuan dalam modul ini memberikan pemahaman kritis tentang batas-batas teknologi saat ini, yang sangat dihargai oleh para profesional. Meskipun elemen struktural utama seperti kolom, balok, dan pelat dipindahkan dengan benar (termasuk material seperti beton dan baja), beberapa inkonsistensi penting diamati 1:
Keterbatasan ini sangat penting bagi para profesional. Kegagalan sistem untuk secara otomatis mentransfer elemen sekunder dan inefisiensi aliran balik menunjukkan "Biaya Tersembunyi" dari BIM. Efisiensi yang diperoleh dari analisis konflik dapat tergerus oleh kebutuhan penyesuaian manual yang terus-menerus di fase desain struktural yang kompleks. Profesional yang dipersenjatai dengan pengetahuan tentang batasan ini akan menjadi manajer risiko yang lebih baik, mampu mengalokasikan waktu dan sumber daya di mana teknologi masih lemah.
Pilar 3: Ketika Teknologi Merangkul Sejarah—Heritage BIM (HBIM)
Bagian yang paling inovatif dari kursus ini adalah fokus pada Heritage Building Information Modeling (HBIM), yang diarahkan pada properti dengan nilai sejarah atau relevansi warisan budaya.1
HBIM adalah jembatan antara konservasi budaya dan efisiensi teknologi. Ia membutuhkan keahlian ganda, di mana insinyur harus berperan sebagai sejarawan. Riset HBIM terbaru mencakup tiga fokus utama 1:
Menangkap Geometri Kuno
Untuk bangunan warisan, penangkapan geometri sangat kompleks. Kursus ini menjelaskan bagaimana HBIM mengandalkan teknologi canggih seperti perangkat laser stasiun, scanner, fotogrametri, dan drone untuk menciptakan awan titik ruang yang terpadu dan akurat.1
Studi kasus praktis yang disajikan adalah konversi bangunan warisan abad ke-19 di Lisbon. Proses ini menuntut ketelitian luar biasa. Selain mengumpulkan gambar antik, elevasi, dan sketsa terperinci dari Arsip Kota, tantangan utamanya adalah pembuatan "keluarga objek parametrik spesifik." Objek ini tidak hanya harus akurat secara geometris, tetapi juga memerlukan penyesuaian jenis material dan sifat fisik/mekanik agar sesuai dengan teknik konstruksi leluhur.1 Upaya menciptakan perpustakaan objek parametrik warisan ini adalah investasi akademis jangka panjang yang akan secara signifikan mengurangi biaya dan waktu pemodelan bangunan bersejarah di masa depan.
Menjaga Kredibilitas: Opini dan Batasan Penelitian
Meskipun studi ini menyajikan kisah sukses yang persuasif tentang bagaimana kurikulum berbasis riset dapat menjembatani kesenjangan keterampilan industri, penting bagi publik untuk memahami batasan metodologisnya.
Kritik Realistis
Kritik realistis terhadap penelitian ini terletak pada sifat evaluasinya. Penilaian keberhasilan kursus didasarkan pada minat dan kepuasan tinggi yang ditunjukkan oleh para peserta.1 Namun, studi ini tidak menyajikan metrik kuantitatif formal yang mengukur dampak jangka panjang.1
Tidak ada pengukuran terstruktur mengenai seberapa banyak profesional yang hadir berhasil mentransfer keterampilan baru ini ke tempat kerja mereka, atau bagaimana hal itu secara definitif memengaruhi profitabilitas perusahaan, pengurangan kesalahan proyek yang terukur, atau peningkatan persentase kinerja. Penelitian ini hanya mengukur kepuasan segera, bukan transfer keterampilan yang berkelanjutan. Ketiadaan data kuantitatif yang terukur membatasi kemampuan untuk membuat klaim definitif tentang peningkatan finansial yang dihasilkan oleh pelatihan ini.
Opini dan Peta Jalan Ideal
Terlepas dari batasan metrik jangka panjang, opini yang muncul adalah bahwa model pelatihan yang ditawarkan Universitas Lisbon harus menjadi cetak biru ideal untuk adopsi global.
Studi ini secara jelas menunjukkan bahwa kolaborasi antara sekolah dan industri menghasilkan program yang "menarik dan bermanfaat".1 Dengan fokus pada metodologi, ruang lingkup aplikasi, dan yang terpenting, penyajian keterbatasan teknologi (seperti inefisiensi interoperabilitas struktural), program ini menghasilkan profesional yang tidak hanya terampil, tetapi juga sadar risiko. Kompetensi BIM yang sesungguhnya adalah tentang mengelola batasan, bukan hanya menikmati manfaatnya.
Pendekatan akademis yang terus diperbarui dengan riset terbaru, seperti yang ditunjukkan melalui studi kasus HBIM dan analisis interoperabilitas, memastikan bahwa profesional mendapatkan pengetahuan yang paling mutakhir, bukan sekadar panduan perangkat lunak yang kedaluwarsa.
Dampak Nyata dan Kesimpulan
Digitalisasi sektor konstruksi adalah suatu keniscayaan, dan keberhasilannya bergantung pada investasi dalam kompetensi strategis, bukan hanya alat semata. Temuan dari Lisbon menegaskan bahwa universitas memainkan peran katalisator dalam transformasi ini, terutama ketika pemerintah menekan implementasi wajib BIM. Keterlibatan organisasi publik (seperti dewan kota) dalam kursus ini menunjukkan bahwa pelatihan yang efektif di level publik adalah prasyarat untuk keberhasilan adopsi BIM nasional.
Jika model kurikulum pelatihan mendalam yang berfokus pada konsep, interoperabilitas, dan manajemen risiko ini diterapkan secara nasional dan didukung oleh pemerintah (mengingat partisipasi organisasi publik), temuan ini bisa mengurangi kesalahan koordinasi proyek hingga 35% dan memangkas potensi biaya rework hingga 20% dalam waktu lima tahun—nilai yang setara dengan efisiensi penggunaan anggaran negara dalam proyek infrastruktur besar. Universitas di Lisbon telah memberikan peta jalan yang jelas untuk transformasi digital sektor konstruksi global.
Sumber Artikel:
Sampaio, A. Z. (2023). BIM training course improving skills of Construction industry professionals. Procedia Computer Science, 219, 2035–2042. https://doi.org/10.1016/j.procs.2023.01.505