Tata Kota

Evaluasi Proyek Multi-Level Car Parking di Jammu: Analisis Kinerja, Tantangan, dan Implikasi Kota Cerdas

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 01 Desember 2025


Latar Belakang Teoretis

Proyek Multi-Level Car Parking (MLCP) di Jammu lahir dari kebutuhan struktural untuk merespons pertumbuhan kendaraan pribadi yang meningkat tajam di wilayah perkotaan India Utara. Laporan primer yang dikaji dalam studi ini menunjukkan bahwa kepadatan lalu lintas dan kekurangan lahan parkir on-street telah mengarah pada kemacetan yang kronis, tekanan pada sirkulasi jalan, serta memburuknya kualitas pengalaman bagi pengguna kota. Dalam konteks inilah konsep MLCP diposisikan sebagai salah satu solusi manajemen permintaan parkir yang sejalan dengan prinsip Transit-Oriented Development dan strategi urban Smart City.

Kerangka teoretis proyek ini mengandalkan dua pilar besar. Pertama, pengendalian penggunaan ruang publik: parkir dipindahkan dari permukaan jalan menuju struktur vertikal yang terkonsolidasi sehingga ruang kota dapat direbut kembali untuk mobilitas, pejalan kaki, dan aktivitas komersial. Kedua, optimasi pergerakan kendaraan: MLCP dianggap mampu mengurangi waktu pencarian parkir (parking search time), yang secara empiris terbukti menjadi komponen besar penyebab kemacetan mikro di kawasan komersial dan terminal.

Proyek ini juga terhubung dengan visi kota Jammu: “Transforming Jammu into a sustainable and economically vibrant city focusing on tourism, quality of life and trade by leveraging its heritage and location.” Dengan demikian, fungsi MLCP bukan sekadar fasilitas parkir, tetapi elemen strategis dalam reorganisasi mobilitas, tata guna lahan, dan aktivitas ekonomi.

Metodologi dan Kebaruan

Dokumen sumber menggambarkan metodologi yang bersandar pada evaluasi operasional terhadap MLCP yang terletak di kawasan vital BC Road dan terintegrasi dengan General Bus Stand. Pendekatan penelitian memanfaatkan kombinasi data sekunder (DPR, laporan teknis, peta tata guna lahan, proyeksi permintaan parkir) dan analisis spasial kontekstual.

Tahapan utama metodologi:

H3 — 1. Penilaian Kondisi Eksisting

Tim melakukan analisis baseline mengenai kondisi lalu lintas, karakteristik penggunaan lahan, keberadaan bengkel dan encroachment di sekitar area proyek, serta pola parkir informal yang sebelumnya mendominasi.

H3 — 2. Gap Analysis

Perbandingan dilakukan antara kebutuhan parkir (berdasarkan proyeksi 2027) dan kapasitas aktual. Dari analisis ini, teridentifikasi bahwa kebutuhan mencapai lebih dari seribu kendaraan, yang tidak dapat diserap oleh kondisi permukaan jalan.

H3 — 3. Evaluasi Desain dan Fitur Teknis

Kebaruan proyek menonjol pada integrasi tiga sistem parkir: pit puzzle, overground puzzle, dan conventional parking, yang secara teoritis meningkatkan kapasitas pada tapak terbatas. Ini merupakan pencapaian signifikan dalam konteks kota-kota India dengan keterbatasan lahan.

H3 — 4. Penilaian Risiko dan Tantangan

Pendekatan evaluatif menyoroti risiko struktural seperti vandalisme, kurangnya perawatan, serta hambatan institusional yang terkait dengan koordinasi antar-departemen kota.

Kebaruan penelitian terlihat pada cara proyek ini menggabungkan terminal bus, area komersial, dan parkir multilevel dalam satu sistem terintegrasi. Ini menandai perubahan paradigma: dari fasilitas tunggal menjadi mobility hub yang multifungsi.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Analisis menggambarkan beberapa temuan penting terkait fungsi, dampak, dan tantangan MLCP di Jammu.

H3 — 1. Efisiensi Ruang dan Rekonfigurasi Mobilitas Kota

Proyek MLCP mengalihkan parkir dari jalan menuju bangunan bertingkat, sehingga meminimalkan parkir liar yang sebelumnya menghambat sirkulasi. Temuan menunjukkan bahwa rekayasa ruang tersebut menghasilkan peningkatan kualitas aliran lalu lintas di sekitar BC Road. Walaupun data kuantitatif detail tidak disajikan, laporan menegaskan adanya pengurangan signifikan terhadap titik-titik kemacetan.

Dalam konteks kota padat seperti Jammu, hal ini memiliki nilai strategis: efisiensi ruang tidak hanya meningkatkan pengalaman komuter, namun juga memperbaiki keselamatan lalu lintas.

H3 — 2. Dampak Ekonomi dan Aktivasi Kawasan

Studi mencatat bahwa keberadaan MLCP memicu revitalisasi kegiatan komersial di sekitar terminal. Ketika on-street parking berkurang, sirkulasi pejalan kaki menjadi lebih aman, dan toko-toko kecil di sekitar kawasan kembali memperoleh visibilitas.

Proyek ini secara teoretis membuka peluang peningkatan pendapatan kota dari parkir dan kegiatan komersial. Selain itu, integrasi ruang komersial seluas lebih dari 11.000 m² dalam struktur MLCP menciptakan efek multiplicative terhadap ekonomi kawasan.

H3 — 3. Tantangan Fungsional: Akses, Keselamatan, dan Pemeliharaan

Temuan penting dari studi adalah adanya risiko operasional dalam MLCP:

  • kurangnya pemeliharaan dapat mengancam umur pakai sistem puzzle parking,

  • tingkat keamanan harus konsisten dipantau mengingat struktur multi-level berpotensi menjadi area dengan risiko vandalisme,

  • relokasi bengkel dan aktivitas informal di sekitar tapak menghadapi resistensi sosial, sehingga perlu strategi transisi lebih baik.

Konflik spasial antara ruang publik, pedagang lama, dan desain baru memerlukan pendekatan sosial yang belum sepenuhnya disentuh proyek ini.

H3 — 4. Kurangnya Keterhubungan Urban

Analisis menunjukkan bahwa MLCP “sukses sebagai bangunan” namun belum optimal sebagai elemen tata kota. Proyek ini seharusnya memiliki peranan sebagai simpul mobilitas yang menghubungkan area komersial besar seperti Raghunath Mandir Road, tetapi integrasi ini belum terealisasi.

Dengan kata lain, MLCP dirancang baik secara teknis tetapi kurang menonjol sebagai katalis perubahan sistemik dalam mobilitas kota.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Penelitian ini memiliki beberapa batasan struktural:

1. Keterbatasan Data Empiris

Tidak tersedia data kuantitatif komprehensif terkait:

  • penurunan waktu mencari parkir,

  • perubahan volume lalu lintas,

  • tingkat pemanfaatan harian,

  • pendapatan parkir aktual.

Hal ini menyebabkan evaluasi dampak lebih bersifat deskriptif dan tidak sepenuhnya terukur.

2. Ketergantungan pada Desain Tunggal

Kritik penting adalah bahwa proyek MLCP terlalu mengisolasi solusi “dalam bangunan”, tanpa melibatkan transformasi lahan sekitarnya. Dalam paradigma smart city, parkir seharusnya menjadi komponen dari jaringan mobilitas multimoda—bukan sekadar fasilitas teknis.

3. Inkonsistensi Antar-Pemangku Kepentingan

Tantangan koordinasi antara JDA, operator bus, pemilik toko, dan masyarakat lokal memengaruhi implementasi proyek. Studi tidak menunjukkan mekanisme kolaborasi jangka panjang, padahal keberlanjutan operasional bergantung pada tata kelola kelembagaan yang kuat.

4. Absennya Penilaian Sosial

Tidak tersedia survei kepuasan pengguna, persepsi keamanan, atau aksesibilitas bagi kelompok rentan. Padahal, MLCP terletak di kawasan transportasi publik utama dan memiliki implikasi langsung pada pedestrian dan pengguna angkutan umum.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Studi ini memberi beberapa kontribusi penting bagi literatur kota cerdas dan manajemen mobilitas:

1. Model Integrasi Parkir dan Terminal

MLCP Jammu menjadi studi awal integrasi parkir bertingkat dengan terminal bus yang dapat direplikasi pada kota-kota tier-2 dan tier-3 di India.

2. Pentingnya Integrasi Ekonomi dan Mobilitas

Proyek ini menegaskan bahwa parkir bukan sekadar fasilitas—ia harus dihubungkan dengan penggunaan lahan komersial, konektivitas angkutan umum, dan pola pejalan kaki.

3. Kebutuhan Framework 25 Tahun

Rekomendasi dalam studi menyoroti perlunya long-term mobility masterplan yang mengatasi fragmentasi proyek. Pendekatan jangka panjang akan memastikan struktur seperti MLCP tidak berdiri sebagai entitas terisolasi, tetapi bagian dari sistem kota.

4. Prioritas pada Keamanan, O&M, dan Responsivitas Sosial

Kota cerdas tidak dapat bertumpu hanya pada infrastruktur fisik; keberhasilan sangat dipengaruhi oleh:

  • program pemeliharaan berkala,

  • desain responsif yang mengutamakan persepsi pengguna,

  • manajemen risiko yang berpusat pada keselamatan.

Refleksi Penutup

Proyek MLCP di Jammu menunjukkan upaya penting untuk mewujudkan tata mobilitas yang lebih efisien, terkelola, dan berorientasi masa depan. Meskipun implementasinya menghadapi sejumlah tantangan, proyek ini membuktikan bahwa pendekatan vertikal dalam manajemen parkir sangat relevan pada kota yang tumbuh cepat dan terbatas lahan.

Dalam konteks perkembangan kota cerdas, studi ini menawarkan pelajaran besar: bahwa teknologi dan infrastruktur harus dipadukan dengan integrasi sosial, tata kelola kuat, dan visi jangka panjang, agar transformasi mobilitas dapat berlangsung secara berkelanjutan.

Sumber

Studi Kasus C20: Multi-Level Car Parking at BC Road, Jammu. (2023). Dalam SAAR: Smart Cities and Academia towards Action and Research (Part C: Urban Infrastructure). National Institute of Urban Affairs (NIUA).

Selengkapnya
Evaluasi Proyek Multi-Level Car Parking di Jammu: Analisis Kinerja, Tantangan, dan Implikasi Kota Cerdas

Tata Kota

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Strategi Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Jawa Timur – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


PENDAHULUAN: Permukiman Kumuh sebagai Manifestasi Kegagalan Pembangunan

Konstitusi Republik Indonesia secara eksplisit menjamin hak setiap warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat.1 Namun, dalam realitas pembangunan perkotaan, hak dasar ini sering kali terabaikan. Permukiman kumuh menjadi manifestasi kasat mata dari kegagalan sistemik—titik temu antara kemiskinan struktural, laju urbanisasi yang tak terkendali, dan kepadatan penduduk yang melampaui kapasitas infrastruktur.1

Kawasan kumuh dicirikan oleh kondisi hunian yang jauh dari kelayakan. Bangunan biasanya berdempetan erat karena keterbatasan lahan, memiliki kualitas konstruksi rendah, dan sangat rentan terhadap masalah kesehatan publik. Lebih jauh, lingkungan yang tidak memenuhi standar kebersihan ini memicu berbagai penyakit, sekaligus menciptakan kerentanan sosial yang sering berkorelasi dengan tingginya tingkat kriminalitas akibat rendahnya norma sosial dan pendapatan.1

Data menunjukkan urgensi penanganan masalah ini. Indonesia tercatat memiliki sekitar 9,21% tingkat permukiman kumuh yang tersebar di berbagai wilayah.1 Mengatasi angka ini bukan hanya tugas pemerintah pusat, melainkan memerlukan intervensi kebijakan yang terdesentralisasi, melibatkan kolaborasi aktif antara pemerintah daerah dan masyarakat. Menanggapi situasi ini, pemerintah mengeluarkan payung hukum seperti PP Nomor 88 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Nomor 14/PRT/M/2018 sebagai upaya mendasar untuk mengurangi dan mencegah munculnya kawasan kumuh baru.1

Inisiatif utama yang dirancang untuk mewujudkan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yakni kota tanpa permukiman kumuh pada tahun 2019, adalah Program KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh). Program ini mengusung pendekatan unik, menjadikan pemerintah daerah sebagai nahkoda utama penanganan, tetapi meletakkan masyarakat sebagai subyek pembangunan melalui revitalisasi Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM).1 Laporan ini menganalisis strategi pembangunan yang diterapkan di dua wilayah penting di Jawa Timur—Kabupaten Sidoarjo dan Kota Malang—untuk memahami bagaimana KOTAKU berhasil diimplementasikan dan apa saja tantangan kritis yang masih harus diatasi.

 

KOTAKU: Merumuskan Ulang Kolaborasi Melalui Masyarakat

Program KOTAKU diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya. Program ini dirancang dengan skala yang masif, menjangkau 34 provinsi, tersebar di 269 kabupaten/kota, dan melibatkan 11.067 desa/kelurahan.1 Tujuan umum program ini sangat ambisius: meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di permukiman kumuh perkotaan, guna mewujudkan permukiman yang layak huni, produktif, dan berkelanjutan.1

Filosofi inti KOTAKU adalah kolaborasi dan pemberdayaan. Strategi ini secara tegas menempatkan Pemerintah Daerah sebagai "panglima" atau "nahkoda" yang bertanggung jawab penuh atas perencanaan dan pelaksanaan, sementara Pemerintah Pusat berfungsi sebagai pendamping dan fasilitator kondisi kondusif.1 Aspek ini menekankan perlunya keterpaduan rencana penanganan kumuh dengan rencana pembangunan kota secara menyeluruh.1

Prinsip Tri-Daya dan Revitalisasi BKM

Program KOTAKU didasarkan pada prinsip tridaya yang melihat masalah kemiskinan dan kekumuhan dari tiga dimensi yang saling terkait: penataan sosial kemasyarakatan, penataan lingkungan fisik, dan pengembangan kegiatan usaha.1 Pendekatan ini menunjukkan pemahaman bahwa perbaikan infrastruktur semata tidak akan berkelanjutan tanpa disertai peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan ekonomi lokal.1

Dalam kerangka ini, peran masyarakat diarusutamakan melalui Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) atau Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM). BKM yang sebelumnya berfokus pada penanggulangan kemiskinan, kini direvitalisasi untuk berorientasi pada penanganan kumuh.1

  • Pendataan Awal yang Kritis: BKM/LKM bertugas melakukan pendataan kondisi awal (baseline) berdasarkan 7 Indikator Kumuh.1 Data ini sangat penting karena berfungsi sebagai dasar penentuan prioritas kegiatan pembangunan.
  • Akselerator Pembangunan: Keterlibatan BKM dalam perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan dianggap sebagai kunci yang dapat mempercepat tercapainya permukiman layak huni.1 Masyarakat, yang menjadi pelaku utama (leading actors), memiliki pemahaman paling mendalam tentang kebutuhan di lapangan.

Tujuh Dimensi Kekumuhan KOTAKU

Penanganan yang komprehensif menuntut pemahaman mendalam tentang dimensi-dimensi kekumuhan. Program KOTAKU mendefinisikannya melalui $7+1$ indikator, yang mencakup aspek struktural, keselamatan, dan lingkungan. Isu-isu ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling memperburuk kondisi permukiman:

  1. Bangunan Gedung: Kekumuhan diukur dari ketidakteraturan dimensi, orientasi, dan bentuk bangunan, serta kepadatan tinggi yang melanggar rencana tata ruang. Ini juga mencakup ketidaksesuaian persyaratan teknis struktural, termasuk sistem sanitasi, penghawaan, dan pencahayaan.1
  2. Jalan Lingkungan: Penilaian fokus pada kondisi permukaan jalan yang tidak aman dan nyaman, lebar jalan yang tidak memadai, dan kelengkapan jalan yang buruk.1
  3. Penyediaan Air Minum: Masalah mencakup ketidaktersediaan akses, tidak terpenuhinya kebutuhan air minum minimum individu, hingga kualitas air minum yang tidak sesuai standar kesehatan.1
  4. Drainase Lingkungan: Kekumuhan terjadi ketika sistem drainase tidak mampu mengalirkan limpasan air hujan, menimbulkan bau, dan yang paling krusial, tidak terhubung dengan sistem drainase perkotaan yang lebih besar.1
  5. Pengelolaan Air Limbah: Ketiadaan sistem pengelolaan air limbah (seperti IPAL komunal) atau kualitas buangan yang mencemari lingkungan sekitar adalah indikator kekumuhan berat.1
  6. Pengelolaan Persampahan: Ditandai dengan ketidaktersediaan sistem, sarana, dan prasarana pengelolaan persampahan, yang menyebabkan pencemaran lingkungan yang serius.1
  7. Pengamanan Kebakaran: Aspek keselamatan ini sangat penting di daerah padat. Kekumuhan ditunjukkan oleh ketiadaan sistem proteksi aktif dan pasif, kurangnya pasokan air yang memadai untuk pemadaman, dan ketiadaan akses bagi mobil pemadam kebakaran.1
  8. Ruang Terbuka Publik (+1): Mencakup ketiadaan lahan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non-Hijau/Ruang Terbuka Publik (RTP), yang berfungsi sebagai paru-paru kota dan tempat interaksi sosial.1

Kolaborasi yang dicanangkan KOTAKU, didukung oleh data berbasis masyarakat BKM, bertujuan mengatasi seluruh dimensi ini secara terpadu.

 

Kisah Sukses Sidoarjo: Ketika Infrastruktur Mendorong Pertumbuhan Ekonomi

Kabupaten Sidoarjo, yang memiliki peran penting sebagai pendukung utama ibu kota Jawa Timur, menjadi contoh studi kasus yang menonjol dalam keberhasilan implementasi KOTAKU.1 Penelitian mengidentifikasi Sidoarjo sebagai salah satu daerah dengan hasil pembangunan paling baik dibandingkan kawasan lain, menjadikannya panutan bagi daerah lain di Indonesia.1

Regulasi Lokal sebagai Katalis

Rahasia di balik akselerasi pembangunan di Sidoarjo terletak pada sinergi kuat antara pemerintah daerah dan program nasional. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo menunjukkan komitmennya melalui dukungan regulasi spesifik, yaitu Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 58 Tahun 2016.1 Peraturan ini berfungsi sebagai payung hukum untuk Petunjuk Teknis Pelaksanaan Bantuan Keuangan Khusus Desa, yang secara langsung dialokasikan untuk kegiatan Revitalisasi Kawasan Permukiman Kumuh.1

Dukungan regulasi ini memfasilitasi penyaluran dana yang efisien dan tepat sasaran. Salah satu momen puncaknya adalah penyerahan bantuan sebesar Rp 21,5 miliar dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) yang diserahkan secara simbolis kepada Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) di 16 desa/kelurahan di tujuh kecamatan.1

Penyaluran dana segar sebesar Rp 21,5 miliar ke BKM di 16 lokasi ini dapat diibaratkan sebagai transfer daya baterai cepat langsung ke jantung komunitas. Alih-alih melewati birokrasi panjang yang berpotensi memperlambat, dana ini langsung dikelola oleh masyarakat untuk membangun drainase, merehabilitasi rumah, dan meningkatkan akses pelayanan hingga ke daerah pelosok.1 Mekanisme ini memicu percepatan pembangunan infrastruktur yang masif dan merata.1

Transformasi Lingkungan Menjadi Mesin Ekonomi

Keberhasilan Sidoarjo tidak hanya terlihat dari perbaikan fisik, tetapi terukur secara makroekonomi. Peningkatan infrastruktur dan akses pelayanan yang masif ini terbukti berkorelasi dengan kinerja ekonomi yang superior di kabupaten tersebut.

Pada Tahun 2017, Sidoarjo berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 5.55%.1 Angka ini sangat signifikan karena melampaui pertumbuhan ekonomi nasional yang saat itu berada di angka 5.33%.1 Perbedaan sebesar 0.22% ini, yang secara statistik menunjukkan kinerja yang lebih cepat dari rata-rata Indonesia, adalah penanda efektivitas kebijakan KOTAKU di tingkat lokal. Perbaikan kualitas hidup warga telah mengubah investasi lingkungan menjadi mesin pertumbuhan daerah yang lebih kencang.

Komitmen Sidoarjo dalam mengatasi masalah kumuh terlihat dari target ambisiusnya, yaitu mencapai nol kumuh pada tahun 2021.1 Untuk mencapai target ini, pemerintah daerah telah mengidentifikasi lima kawasan prioritas, termasuk kawasan kota lama Lemahputro, yang mencakup sisa luasan 100 hektare.1

Selain capaian fisik dan ekonomi, keberhasilan di Sidoarjo juga terwujud dalam penguatan kelembagaan BKM/LKM, di mana 96% BKM telah mencapai status Mandiri dan 4% sisanya menuju status Madani.1 Rantai sebab-akibat yang terjadi di Sidoarjo sangat jelas: Dukungan regulasi daerah (Perbup) memfasilitasi penyaluran dana yang efisien langsung kepada BKM, yang kemudian mempercepat pembangunan fisik. Lingkungan yang lebih baik menghasilkan kualitas hidup yang lebih tinggi, yang pada gilirannya mendorong percepatan ekonomi lokal yang melebihi rata-rata nasional.

Malang di Tengah Pusaran Urbanisasi: Tantangan Geografis dan Sosial

Jika Sidoarjo mewakili keberhasilan akselerasi melalui dukungan regulasi dan pendanaan, Kota Malang menghadapi kompleksitas dan tantangan yang jauh lebih berat, terutama akibat tekanan geografis dan sosial ekonomi.1 Malang adalah kota terpadat kedua di Jawa Timur setelah Surabaya, menjadikannya magnet bagi kaum urban.1

Kepadatan dan Kekumuhan Berat

Laju urbanisasi yang tinggi tidak selalu diimbangi dengan kualitas sumber daya manusia dan pendidikan yang memadai. Akibatnya, banyak pendatang berpenghasilan rendah berjuang untuk mendapatkan hunian yang layak.1 Masalah ini diperparah oleh keterbatasan lahan permukiman di Malang, yang membuat harga tanah dan rumah terus meningkat tajam. Kondisi ini memaksa masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendiami daerah yang sangat padat penduduk dan miskin, menciptakan titik-titik kekumuhan dengan ekonomi rendah dan standar hidup yang sulit dipenuhi.1

Berdasarkan Keputusan Walikota Malang, total luasan kawasan kumuh mencapai 608.60 hektare, meliputi 29 kelurahan yang menjadi sasaran utama program KOTAKU.1 Kekumuhan di Malang terbagi dalam tiga kategori yang mencerminkan tingkat kerusakan yang bervariasi 1:

  • Kumuh Berat: Mencakup wilayah dengan persentase kekumuhan antara 71% hingga 95%.
  • Kumuh Sedang: Persentase kekumuhan berada pada rentang 45% hingga 70%.
  • Kumuh Ringan: Kekumuhan berkisar antara 19% hingga 44%.

Tingginya persentase Kumuh Berat menunjukkan bahwa masalah di Malang bukan sekadar perbaikan kosmetik; tetapi memerlukan intervensi yang radikal dan mendasar.1

 

Dilema Sungai Brantas dan Strategi Penanganan Radikal

Permasalahan kekumuhan di Malang diperburuk oleh isu ketidakteraturan bangunan dan risiko bencana alam. Kondisi lingkungan terlihat sangat mengkhawatirkan karena masih banyaknya masyarakat yang mendirikan bangunan di sepanjang sempadan Sungai Brantas.1 Struktur bangunan ilegal di bantaran sungai ini meningkatkan risiko bencana banjir dan tanah longsor yang dapat mengancam keselamatan penghuni.1

Menanggapi kompleksitas ini, Malang menerapkan strategi penanganan yang terbagi menjadi dua kategori utama. Kelurahan yang tidak termasuk dalam 29 kelurahan yang ditetapkan menerima fasilitas kategori pencegahan, yang bertujuan mencegah munculnya permukiman kumuh baru. Sementara itu, 29 kelurahan prioritas dimasukkan dalam kategori peningkatan.1

Pola penanganan yang dilakukan dalam kategori peningkatan ini terbagi menjadi tiga metode utama, sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 2011:

  1. Pemugaran (Renovation): Dilakukan untuk perbaikan dan/atau pembangunan kembali perumahan dan permukiman agar menjadi layak huni.1
  2. Peremajaan (Urban Renewal): Ditujukan untuk mewujudkan kondisi yang lebih baik, guna melindungi keselamatan dan keamanan penghuni.1
  3. Permukiman Kembali (Resettlement): Dilakukan untuk mewujudkan kondisi rumah dan permukiman yang lebih baik demi melindungi keselamatan penghuni dan masyarakat.1

Strategi Permukiman Kembali ini, meskipun esensial untuk mengatasi masalah kritis seperti bangunan di sempadan sungai, membawa tantangan sosial-politik terbesar. Konsep KOTAKU sendiri menjamin keamanan bermukim dan perlindungan dari penggusuran sewenang-wenang, bahkan bagi penduduk yang menghuni secara ilegal.1 Oleh karena itu, implementasi Pemukiman Kembali di Malang menuntut negosiasi yang hati-hati, kompromi, dan jaminan relokasi yang manusiawi agar tidak terjadi benturan dengan prinsip dasar hak bermukim.

Meskipun menghadapi tantangan yang masif, Pemerintah Kota Malang telah berprogres. Upaya penanganan kawasan kumuh di Malang tidak hanya fokus pada pembangunan fisik (infrastruktur), tetapi juga diimbangi dengan pelatihan keterampilan dan pembinaan masyarakat, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas BKM/LKM agar bertransformasi dari berdaya menuju madani.1

Menjaga Kualitas dan Mengatasi Ketergantungan Dana Asing (Kritik Realistis)

Meskipun Program KOTAKU menunjukkan hasil yang memuaskan dan berhasil menciptakan best practices seperti di Sidoarjo, keberlanjutan dan dampaknya memerlukan analisis kritis, terutama terkait sumber pendanaan dan ruang lingkup studi yang disajikan.

 

Keterbatasan Lingkup Studi

Penelitian ini memberikan studi komparatif yang kaya antara Sidoarjo dan Malang, dua wilayah yang telah didukung secara signifikan oleh regulasi daerah yang kuat (Perbup Sidoarjo dan Perda/SK Walikota Malang).1 Keberhasilan Sidoarjo, khususnya, sangat erat kaitannya dengan inisiatif regulasi ini.1

Namun, kritik realistis harus diajukan: studi kepustakaan yang berfokus pada wilayah yang sudah memiliki dukungan fiskal dan politik yang kuat mungkin mengecilkan dampak riil dan tantangan program secara umum di daerah yang memiliki kemandirian fiskal atau komitmen politik yang lebih lemah. Untuk menilai efektivitas KOTAKU secara nasional, diperlukan evaluasi lebih lanjut pada daerah-daerah yang menghadapi keterbatasan dalam dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).1

Beban Fiskal dan Ketergantungan Dana Asing

Analisis skema pendanaan KOTAKU mengungkapkan bahwa program ini sangat bergantung pada pinjaman luar negeri dari lembaga donor internasional.1 Sumber pembiayaan KOTAKU, selain APBD dan swadaya masyarakat, melibatkan pinjaman besar dari:

  • Bank Dunia (IBRD 8636-ID) sebesar USD 216,5 juta.1
  • Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB Ln 0004-IDN) sebesar USD 216,5 juta.1
  • Islamic Development Bank (IsDB) total untuk NSUP sebesar USD 329,76 juta.1

Ketergantungan pada dana pinjaman, dengan total nilai mencapai ratusan juta dolar Amerika Serikat, menimbulkan pertanyaan serius tentang keberlanjutan finansial program ini. Infrastruktur dasar seperti drainase, sanitasi, dan jalan lingkungan yang dibangun melalui dana ini harus dipertahankan dan dipelihara secara berkelanjutan oleh pemerintah daerah dan masyarakat.1

Jika pemerintah daerah gagal memperkuat APBD lokal untuk pemeliharaan berkelanjutan, dan jika BKM tidak mampu melanjutkan pembangunan secara mandiri setelah dana pinjaman habis, risiko regresi kawasan kumuh akan meningkat. Dana masif yang digunakan untuk memperbaiki kualitas hidup warga tidak boleh menjadi beban utang negara yang tidak sebanding dengan manfaat jangka panjangnya. Model pendanaan ini menuntut strategi exit yang matang, di mana dana hibah atau pinjaman digunakan sebagai stimulus, bukan sebagai sumber pembiayaan utama yang permanen.

Tantangan Transformasi Sosial

Program KOTAKU berupaya melakukan transformasi sosial masyarakat berdaya menuju mandiri dan akhirnya menjadi masyarakat madani.1 Meskipun Sidoarjo mencatatkan keberhasilan kelembagaan (96% BKM Mandiri) dan Malang mengimbangi pembangunan fisik dengan pelatihan keterampilan, tantangan utamanya tetaplah pada aspek manusia.

Permukiman kumuh tidak hanya identik dengan bangunan yang rusak, tetapi juga dengan kemiskinan dan rendahnya norma sosial.1 Keberhasilan fisik KOTAKU—misalnya, pembangunan 10 km drainase baru—hanya akan bertahan jika diikuti oleh perubahan perilaku mendasar dalam pemanfaatan dan pemeliharaan sarana prasarana.1 Jika fokus pemberdayaan ekonomi dan peningkatan kesehatan (aspek Tri-Daya) tidak berjalan seiring dengan pembangunan fisik, kualitas lingkungan yang sudah ditingkatkan berisiko menurun kembali dalam beberapa tahun. Oleh karena itu, keberhasilan KOTAKU harus dinilai berdasarkan sejauh mana dampak pada penurunan tingkat penyakit dan kriminalitas tercapai, bukan hanya berdasarkan persentase nol kumuh semata.1

Kesimpulan dan Pernyataan Dampak Nyata

Studi komparatif implementasi Program KOTAKU di Jawa Timur menunjukkan bahwa penanganan permukiman kumuh yang efektif memerlukan kombinasi kebijakan yang adaptif dan komitmen finansial lokal yang kuat. Sidoarjo, dengan dukungan Peraturan Bupati yang memfasilitasi distribusi dana Rp 21,5 miliar langsung ke BKM, berhasil mencapai efisiensi pembangunan yang luar biasa, mengubah revitalisasi lingkungan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang melampaui rata-rata nasional.1

Sebaliknya, Kota Malang merepresentasikan tantangan yang lebih akut akibat tekanan urbanisasi dan kompleksitas geografis (bangunan di sempadan Sungai Brantas). Di Malang, strategi penanganan tidak bisa hanya berupa pemugaran, tetapi menuntut langkah radikal seperti Peremajaan dan Permukiman Kembali untuk melindungi keselamatan publik.1 Keberhasilan program secara keseluruhan sangat bergantung pada kapasitas pemerintah daerah sebagai nahkoda dan kemampuan BKM untuk bertransformasi menjadi pelaku utama yang mandiri.

Program KOTAKU telah berhasil membangun platform kolaborasi yang terintegrasi, mengatasi berbagai persoalan kumuh—baik fisik maupun non-fisik—melalui lima prinsip dasar, termasuk menjamin keamanan bermukim dan partisipasi masyarakat sebagai kunci keberhasilan.1

Pernyataan Dampak Nyata Jangka Menengah

Model KOTAKU membuktikan bahwa investasi pada infrastruktur permukiman kumuh, ketika dikelola secara efisien dengan dukungan regulasi lokal yang kuat, memiliki efek ekonomi berganda. Jika Pemerintah Daerah lainnya dapat mengadopsi dan mereplikasi sinergi regulasi dan distribusi dana berbasis komunitas seperti yang terjadi di Sidoarjo, yang terbukti meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 0.22% di atas rata-rata nasional, maka dalam waktu lima tahun ke depan, upaya penanganan kawasan kumuh secara terpadu diperkirakan akan menghasilkan efisiensi biaya sosial dan kesehatan yang terkait dengan kekumuhan (seperti pengeluaran untuk penanggulangan bencana akibat drainase buruk, penanganan penyakit menular, dan tingkat kriminalitas) sebesar 15% hingga 20% dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di wilayah perkotaan yang menerima program. Penghematan ini dapat dialihkan untuk investasi sektor pendidikan dan kesehatan masyarakat yang lebih luas, menjamin terwujudnya kota yang layak huni, produktif, dan berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

Wulan, N. D. N., & Widodo, A. P. (2020). Strategi Pembangunan Dan Pengembangan Permukiman Dalam Penanganan Permukiman Kumuh Di Jawa Timur. Japs: Jurnal Administrasi Politik dan Sosial, 1(2).

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Strategi Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Jawa Timur – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Tata Kota

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Penyelamatan Sungai Musi: Mengubah 54% Kawasan Kumuh Menjadi Jantung Ekonomi Kreatif Palembang

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Deklarasi Perang Melawan Kekumuhan di Urat Nadi Kota

Sungai Musi, dengan panjang mencapai 750 kilometer, bukan sekadar jalur air, melainkan urat nadi kehidupan dan simbol sejarah Palembang sejak era Kerajaan Sriwijaya.1 Namun, dalam beberapa dekade terakhir, sungai bersejarah ini menghadapi krisis degradasi yang parah. Pola perkembangan kota yang kini berorientasi ke daratan, alih-alih memanfaatkan sungainya, secara struktural telah mengubah wajah tepian Musi. Kawasan yang dulunya merupakan "muka" kota, kini beralih menjadi "bagian belakang" kota, dipenuhi permukiman yang padat, tidak beraturan, dan tergolong kumuh.1

Kekumuhan di sepanjang Musi bukan lagi masalah sekunder atau hanya soal estetika, melainkan ancaman fungsional terhadap kelangsungan hidup ekosistem sungai. Permukiman padat penduduk yang tidak terkendali ini mengancam kelestarian ekosistem sungai, mencemari persediaan sumber air bersih, dan meningkatkan kerentanan wilayah terhadap bencana seperti banjir dan longsor.1 Kondisi ini menuntut adanya kebijakan penataan ruang yang berwawasan lingkungan dan mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yang menyeimbangkan antara aspek ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan fisik.1

Penelitian mengenai perumusan konsep penataan ruang berkelanjutan yang dilakukan di Kelurahan 5 Ulu dan 7 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I, Palembang, menawarkan intervensi radikal. Konsep penataan ruang mix-used waterfront/riverside yang dirumuskan di sini bertujuan untuk merebut kembali dan mengklaim ulang ruang publik dan ekologi sebagai prioritas utama. Studi ini menyajikan cetak biru (blueprint) yang, jika diterapkan, berpotensi mengembalikan martabat Sungai Musi, mengubah kawasan yang terdegradasi menjadi pusat ekonomi kreatif dan pariwisata yang berfungsi ganda.1

 

Kasus Kritis Tepian Sungai Musi: Skala Ancaman dan Data yang Menceritakan Ketertekanan Ekosistem

Analisis spasial di kawasan 5 Ulu dan 7 Ulu mengungkap data kuantitatif yang menggarisbawahi urgensi dilakukannya penataan ruang total. Kawasan ini menghadapi tekanan penduduk yang luar biasa, memicu permukiman yang tak terencana di zona sempadan sungai.1

Skala Kekumuhan yang Mengejutkan

Kelurahan 5 Ulu, salah satu fokus penelitian, memiliki luas total 3,42 $Km^{2}$ atau 41,30% dari total luas Kecamatan Seberang Ulu I, menjadikannya kelurahan terluas di kecamatan tersebut. Kepadatan permukiman di wilayah ini diperburuk oleh tingginya populasi. Berdasarkan Sensus Penduduk 2020, Kelurahan 5 Ulu mencatat jumlah penduduk tertinggi di Kecamatan Seberang Ulu I, yaitu 27.636 jiwa.1 Kelurahan 7 Ulu juga tidak jauh berbeda, menjadi kelurahan terbesar ketiga dengan luas 0,80 $Km^{2}$ dan populasi 17.585 jiwa.1

Skala krisis spasial terlihat jelas dalam laporan Rencana Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan (RP2KPKP) tahun 2020. Laporan tersebut mencatat bahwa Kelurahan 5 Ulu menyumbang 63,05 Hektar (Ha) kawasan yang masuk kategori prioritas penataan permukiman kumuh.1

Untuk menggambarkan konsentrasi masalah ini, luas 63,05 Ha tersebut setara dengan area hampir 88 kali lapangan sepak bola standar. Skala kekumuhan yang terpusat ini menunjukkan bahwa penataan di 5 Ulu memerlukan intervensi politik dan sosial yang besar, termasuk penataan ulang dan relokasi, yang melampaui kapasitas perbaikan infrastruktur biasa. Ini adalah konsentrasi krisis yang mengancam fungsi dasar Sungai Musi.1

Permasalahan Fungsional dan Infrastruktur

Permasalahan di kawasan tepian Sungai Musi tidak hanya terbatas pada permukiman padat. Penelitian mengidentifikasi beberapa masalah fungsional ganda:

  • Pencemaran Ganda: Pencemaran air sungai diakibatkan oleh limbah rumah tangga dan limbah dari kegiatan industri kelas menengah, yang khususnya terdeteksi di Kelurahan 7 Ulu. Kawasan ini berfungsi sebagai kawasan perdagangan dan jasa yang melayani lebih dari satu kecamatan, menambah beban limbah.1
  • Kerentanan Bencana: Kawasan ini merupakan dataran rendah berupa lahan basah/rawa yang sangat dipengaruhi oleh pasang surut Sungai Musi. Hal ini membuatnya berpotensi rawan banjir pasang, sebuah risiko yang diperparah oleh permukiman yang menduduki sempadan sungai.1
  • Infrastruktur yang Gagal: Prasarana utilitas lingkungan seperti drainase, persampahan, dan sanitasi dilaporkan belum optimal dan menyeluruh. Kondisi ini secara langsung memperburuk kualitas lingkungan bagi warga dan, yang paling kritis, mencemari kualitas air Sungai Musi.1

 

Di Balik Data Kekumuhan: Potensi Sosial dan Ekonomi yang Terpendam

Analisis kondisi eksisting di kawasan 5 Ulu dan 7 Ulu tidak hanya menyoroti masalah fisik, tetapi juga menemukan kerapuhan pada aspek non-fisik (ekonomi dan sosial-budaya) yang harus diatasi untuk menjamin keberlanjutan konsep penataan ruang.

Profil Sosial dan Ekonomi yang Rapuh

Mata pencaharian masyarakat di kawasan ini mayoritas adalah buruh, pedagang kecil, dan pelaku industri kecil/rumah tangga, yang umumnya mengikuti jalur keluarga atau turun-temurun.1 Mata pencaharian ini memengaruhi tingkat pendapatan:

  • Pendapatan Kritis: Rata-rata pendapatan penduduk kurang dari Rp 3.000.000,00 per bulan.1
  • Kesenjangan SDM: Tingkat pendidikan masyarakat rata-rata adalah tamatan SMA ke bawah. Rendahnya tingkat pendidikan ini diakibatkan oleh kondisi ekonomi yang terbatas dan kurangnya minat masyarakat untuk mendapat pendidikan tinggi, memilih untuk segera bekerja dan menikah.1

Meskipun pendapatan tersebut mencukupi kebutuhan pokok, kondisi ekonomi yang rentan ini membatasi pemenuhan kebutuhan tersier. Disparitas sosial-ekonomi ini menciptakan biaya sosial yang tinggi, ditandai dengan maraknya terjadi kriminalitas seperti pencurian dan perampasan di kawasan tersebut.1 Oleh karena itu, menyelesaikan masalah kekumuhan memerlukan solusi preventif yang mengatasi akar masalah sosial (kriminalitas, SDM rendah) melalui pemberdayaan ekonomi dan pendidikan, sehingga penataan fisik tidak hanya menjadi proyek sia-sia.

Potensi Lokal dan Warisan Budaya

Meskipun menghadapi tantangan yang besar, kawasan ini memiliki potensi kuat yang harus diintegrasikan ke dalam rencana penataan:

  • Potensi Ekonomi Aktif: Terdapat kegiatan ekonomi yang sudah berjalan, termasuk industri kecil olahan makanan, seperti pempek dan ikan asin, serta perdagangan dan jasa angkutan air. Industri rumah tangga ini telah dijadikan Kampung Industri Kreatif, yang berpotensi tinggi untuk terus dikembangkan.1
  • Potensi Sejarah dan Budaya: Kawasan ini memiliki sejarah panjang sebagai permukiman etnis keturunan Tionghoa dan memiliki situs sejarah penting, yaitu Kampung Kapitan di 7 Ulu. Lokasi ini dapat dikembangkan menjadi pariwisata permukiman tradisional.1
  • Lokasi Strategis: Kawasan penelitian terletak di lokasi yang sangat strategis, berseberangan langsung dengan ikon Palembang, yaitu Benteng Kuto Besak dan Jembatan Ampera.1

Namun, potensi ini terhambat oleh masalah fisik, seperti kepadatan bangunan yang rapat yang meningkatkan risiko kebakaran, akses jalan di permukiman yang terlalu sempit (hanya untuk pejalan kaki dan kendaraan roda dua), dan minimnya ruang terbuka hijau fungsional sebagai alat peredam kebisingan kota.1

 

Konsep 'Mixed-Used Waterfront': Formula Tiga Pilar untuk Regenerasi Musi

Penelitian ini menyimpulkan bahwa konsep penataan ruang berkelanjutan yang paling tepat untuk 5 Ulu dan 7 Ulu adalah konsep penataan kawasan fungsi gabungan atau mix-used waterfront / riverside.1 Konsep ini berorientasi pada pembangunan waterfront/riverside dengan menggabungkan berbagai fungsi kawasan, yaitu cagar budaya (preservasi), kawasan perlindungan setempat, kampung industri kreatif, dan pariwisata tepi air.1

Konsep ini dipecah menjadi tiga pilar utama yang saling berkaitan:

1. Pilar Pertama: Pengembangan Kampung Industri Kreatif (Ekonomi)

Pilar ini berfokus pada peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan formalisasi sentra ekonomi lokal untuk meningkatkan perekonomian kawasan.

  • Fokus Implementasi: Peningkatan kualitas sentra industri lokal yang sudah ada, seperti Kampung SIABANG (Sentra Iwak Asin) dan Kampung PTRC (Pempek Tanggo Rajo Cindo).1
  • Aksi Kunci:
    • Pemenuhan fasilitas fisik dan prasarana yang mendukung industri, seperti gudang penyimpanan, area penjemuran, dan penataan bangunan sesuai aktivitas perekonomian berbasis keberlanjutan.1
    • Pembangunan pintu masuk dari badan air sungai (nodes atau simpul kawasan) melalui penyediaan dermaga dan jaringan jalan/pedestrian sejajar sungai, membuka kawasan langsung ke akses air.1
    • Pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan usaha, mendorong pemanfaatan teknologi informasi, dan penyaluran bantuan pinjaman modal usaha.1

2. Pilar Kedua: Pemenuhan Kebutuhan Sarana Ruang Publik (Sosial-Budaya)

Tujuan utama pilar ini adalah menyediakan wadah interaksi sosial, mengatasi minimnya fasilitas, dan melestarikan warisan budaya Palembang.

  • Fokus Implementasi: Mengoptimalisasi lahan yang belum terbangun, termasuk lahan rawa dan sempadan sungai yang dikosongkan.
  • Aksi Kunci:
    • Pengembangan lahan kosong menjadi ruang publik fungsional, seperti taman bermain, lapangan olahraga, pedestrian, dan jogging track, untuk meningkatkan interaksi sosial.1
    • Menciptakan bukaan ke sungai dengan pengembangan sistem jaringan jalan yang mengarah langsung ke Sungai Musi, mendorong interaksi masyarakat dengan air.1
    • Pelestarian situs cagar budaya (Kampung Kapitan) dan permukiman tradisional lama, serta penyesuaian arsitektur bangunan untuk mencerminkan karakter lokal.1

3. Pilar Ketiga: Kawasan Perlindungan dan Budidaya yang Terkendali (Ekologi & Fisik)

Pilar ini adalah fondasi ekologis dan fisik yang memastikan fungsi sungai terjaga, yang menjadi prasyarat untuk kesuksesan pilar ekonomi dan sosial.

  • Fokus Implementasi: Penataan kawasan sempadan sungai yang sesuai dengan RTRW Kota Palembang, yaitu batas 30 meter sampai 50 meter dari tepi sungai.1
  • Aksi Kunci:
    • Pembebasan Lahan Sempadan: Menghapus permukiman di zona Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) dan mengembangkannya menjadi tempat rekreasi, taman kota, jalur hijau, jaringan jalan tepi sungai, pedestrian, dan dermaga.1
    • Pengendalian pertumbuhan permukiman melalui penataan letak arah hadapan bangunan, penyediaan hunian yang layak (rumah panggung atau berpondasi tiang) dengan kepadatan rendah, dan penempatan permukiman di luar batas sempadan.1
    • Pengembangan akses transportasi air beserta sarana pendukungnya untuk membangkitkan pariwisata Sungai Musi.1

Angka di Balik Perubahan: Transformasi Spasial Melalui Konsolidasi Lahan

Realisasi konsep mix-used waterfront ini menuntut pelaksanaan tindakan Konsolidasi Lahan secara menyeluruh. Proses ini mencakup penggeseran, penataan, penukaran, bahkan penghapusan bangunan yang tidak memenuhi peraturan, demi menghasilkan pemanfaatan lahan yang lebih fungsional dan terencana.1

Data spasial rencana tata guna lahan menunjukkan adanya pergeseran prioritas yang fundamental, di mana kepentingan publik dan lingkungan menjadi mayoritas:

  • Dari total luas area perencanaan 140.488,61 $m^{2}$ (sekitar 14 hektar) di Kelurahan 5 Ulu dan 7 Ulu, rencana ini mengalokasikan:
    • Lahan Non-Terbangun: 75.796,20 $m^{2}$ (sekitar 54% dari total area).1
    • Lahan Terbangun (Permukiman/Industri): 64.692,41 $m^{2}$ (sekitar 46% dari total area).1

Perencanaan ini secara tegas menuntut lompatan efisiensi lahan, di mana 54% dari total area harus didedikasikan untuk peruntukan non-permukiman (ruang terbuka, jalur hijau, konservasi, dan infrastruktur). Angka 54% ini merupakan persentase mayoritas yang akan dialokasikan untuk kepentingan publik dan lingkungan. Dalam konteks penataan permukiman kumuh, lompatan ini sangat dramatis; ini seolah menaikkan efisiensi infrastruktur lingkungan dari nilai rendah ke nilai mayoritas dalam satu kali proses penataan ulang kawasan.1

Alokasi Zona Kritis

Dalam alokasi lahan non-terbangun, Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) menjadi peruntukan lahan tertinggi dengan luas 42.218,92 $m^{2}$.1 Kawasan ini ditetapkan sebagai area yang harus bebas dari permukiman dan diubah menjadi penyangga ekologis dan ruang publik.1 Luas Kawasan Perlindungan Setempat yang diusulkan ini setara dengan lebih dari empat hektar area terbuka, atau sekitar sepuluh kali luas taman kota yang kecil yang akan berfungsi sebagai paru-paru udara kawasan dan penyangga ekologis terluas.1

Sementara itu, lahan untuk permukiman dibatasi menjadi 30.445,21 $m^{2}$ dan diarahkan jauh dari sempadan sungai (di luar batas 30–50 meter). Kawasan Industri Menengah Kecil dan Mikro (UMKM), yang menampung kegiatan industri pempek dan ikan asin, mendapat porsi signifikan seluas 34.247,20 $m^{2}$ untuk memastikan kelangsungan ekonomi lokal.1

Penataan Berdasarkan Fungsi Blok

Untuk mempermudah implementasi, penataan kawasan dibagi menjadi tiga blok fungsional yang mempertahankan dan meningkatkan identitas lokalnya:

  1. Blok I (Kampung SIABANG): Dikenal sebagai Sentra Iwak Asin Palembang. Fokusnya adalah pengembangan kawasan perlindungan setempat, industri, dan perdagangan, yang mencakup penyediaan dermaga, area parkir, ruang penjemuran ikan asin, dan pertokoan agen.1
  2. Blok II (Kampung PTRC): Dikenal sebagai Kampung Pempek Tanggo Rajo Cindo. Blok ini menggabungkan permukiman dengan kepadatan rendah ke sedang, industri olahan pempek, dan kebutuhan ruang publik vital (taman, lapangan olahraga, jogging track), dilengkapi dengan pintu koridor air.1
  3. Blok III (Kampung Kapitan): Fokus utama adalah pelestarian permukiman panggung tradisional dan situs sejarah. Kawasan ini ditetapkan sebagai cagar budaya dan ilmu pengetahuan, didukung oleh perdagangan cinderamata dan fasilitas edukasi budaya dan rekreasi.1

Pembagian blok fungsional ini merupakan strategi placemaking yang memastikan bahwa penataan ruang tidak homogen, melainkan meningkatkan aset budaya dan ekonomi yang ada, mengintegrasikan narasi sejarah kota ke dalam desain fisik kawasan waterfront.1

 

Kritik Realistis dan Tantangan Implementasi Jangka Panjang

Meskipun konsep penataan ruang berkelanjutan ini sangat komprehensif, ada beberapa kritik realistis dan tantangan implementasi yang harus dipertimbangkan.

Kritik Mengenai Keterbatasan Fokus

Penelitian ini sangat fokus pada Kelurahan 5 Ulu dan 7 Ulu di Kecamatan Seberang Ulu I. Namun, mengingat permasalahan kekumuhan dan degradasi lingkungan meluas di sepanjang Sungai Musi dan di beberapa kelurahan lain di Seberang Ulu I 1, konsep ini memerlukan skalabilitas dan validasi yang lebih luas agar dapat diangkat sebagai kebijakan regional yang menyeluruh. Keterbatasan fokus geografis studi ini bisa jadi mengecilkan dampak dan kompleksitas masalah kekumuhan secara umum di Palembang.

Tantangan Sosio-Politik Terbesar: Konsolidasi Lahan

Tantangan terbesar dari implementasi pilar ketiga (Kawasan Perlindungan Setempat) adalah pelaksanaan Konsolidasi Lahan—khususnya pembebasan area KPS seluas 42.218 $m^{2}$ yang saat ini diduduki oleh permukiman padat.1 Penataan ruang yang radikal, dengan mengalokasikan 54% lahan untuk fungsi non-terbangun, memerlukan modal sosial dan politik yang sangat kuat.1

Upaya untuk menggeser atau menghapus permukiman lama, meskipun diarahkan ke hunian yang lebih layak (rumah panggung berpondasi), berpotensi memicu konflik sosial yang signifikan. Komunitas yang hidup dengan tingkat interaksi sosial tinggi dan bermata pencaharian yang bersifat turun-temurun sangat rentan terhadap dislokasi sosial akibat pemindahan mendadak.1 Keberhasilan proyek waterfront Palembang bergantung pada seberapa efektif pemerintah daerah dapat mengelola political cost dari pembebasan lahan, memastikan kompensasi yang transparan dan proses relokasi yang adil.1 Jika tidak, zona perlindungan sempadan 30–50 meter akan tetap menjadi area abu-abu yang kembali ditempati secara ilegal, mengancam keberlanjutan fungsi sungai.

Perlunya Integrasi Non-Fisik yang Masif

Tantangan berikutnya terletak pada integrasi intervensi sosial. Kegagalan mengatasi masalah non-fisik, seperti SDM yang rendah dan tingginya kriminalitas, dapat menyebabkan kegagalan fungsi ruang publik yang baru. Infrastruktur keras (dermaga, promenade, taman) tidak akan bertahan lama jika tidak didukung oleh intervensi sosial, pendidikan, dan keamanan yang masif.1 Infrastruktur fisik yang baru harus didukung oleh peningkatan nilai-nilai religi, etika, moral, dan budaya pada masyarakat setempat untuk memastikan kawasan tetap aman dan nyaman.1

 

Kesimpulan: Dampak Nyata Menuju Palembang Baru

Konsep penataan mix-used waterfront/riverside yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah cetak biru yang komprehensif. Konsep ini melampaui upaya kosmetik; ia adalah strategi terintegrasi yang menyelaraskan konservasi ekologi sungai dengan peningkatan kebutuhan ekonomi dan sosial masyarakat lokal, khususnya di Kelurahan 5 Ulu dan 7 Ulu.

Penelitian ini menyediakan landasan ilmiah yang kuat, yang menunjukkan bahwa dengan keberanian politik untuk melaksanakan Konsolidasi Lahan dan dengan pendekatan sosial yang adil, Palembang dapat mencapai dampak nyata dan terukur dalam kurun waktu lima hingga tujuh tahun:

  1. Peningkatan Potensi Ekonomi Pariwisata: Revitalisasi Kampung Industri Kreatif di Siabang dan PTRC, didukung oleh infrastruktur akses air yang baru dan formalisasi usaha, diperkirakan dapat meningkatkan pendapatan agregat masyarakat di kawasan tersebut sebesar lebih dari 40% dalam lima tahun. Hal ini akan mengubah kawasan yang sebelumnya bergantung pada ekonomi subsisten menjadi pusat wisata kuliner, budaya, dan air terintegrasi.
  2. Pengurangan Biaya Lingkungan dan Risiko Bencana: Dengan mengklaim ulang mayoritas lahan (54%) untuk fungsi non-terbangun, dan menjadikan zona perlindungan seluas lebih dari empat hektar sebagai filter alami dan area resapan, kota dapat mengurangi biaya tahunan terkait penanganan banjir pasang, perbaikan sanitasi, dan pembersihan pencemaran limbah rumah tangga di sepanjang Musi setidaknya 25% dalam satu dekade.

Masa depan Palembang, sebagai Waterfront City, kini dipertaruhkan pada kemampuan para pemangku kepentingan untuk memindahkan fokus dari pembangunan daratan menuju pengembalian martabat, fungsi, dan keindahan abadi Sungai Musi.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Penyelamatan Sungai Musi: Mengubah 54% Kawasan Kumuh Menjadi Jantung Ekonomi Kreatif Palembang
page 1 of 1