Studi Arsitektur Kolonial
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 28 April 2025
Pendahuluan: Bangirejo Taman, Warisan Kolonial yang Terlupakan
Bangirejo Taman di Yogyakarta menyimpan jejak sejarah arsitektur kolonial Belanda yang unik. Kawasan ini awalnya dibangun sebagai perumahan dinas untuk para amtenaar—pegawai pemerintahan kolonial—sekitar tahun 1930-an. Berbeda dari pemukiman sekitarnya, Bangirejo Taman didesain dengan taman sentral, mengusung prinsip garden city yang kala itu mulai diperkenalkan di berbagai kota kolonial.
Penelitian yang dilakukan Dimas Wihardyanto dan Ikaputra ini bertujuan untuk mengungkap karakteristik asli rumah-rumah tersebut, menggunakan pendekatan interpretive historical research, sehingga dapat mengungkap tata ruang, orientasi, sirkulasi, serta hubungan ruang dalam konteks fungsionalitas dan higienitas.
Metode Penelitian: Interpretasi Sejarah melalui Rekonstruksi Denah
Pendekatan penelitian ini tidak sekadar observasi, melainkan rekonstruksi spasial berdasarkan pengamatan lapangan terhadap 7 rumah dari total 22 rumah yang ada, dipilih menggunakan teknik snowball sampling. Peneliti juga memperhatikan konsistensi data dengan membandingkan hasil wawancara penghuni rumah untuk mendapatkan gambaran autentik tata ruang.
Penekanan pada rumah-rumah yang relatif tidak berubah memastikan validitas data, mengingat perubahan besar dapat mengaburkan karakteristik asli bangunan kolonial.
Sejarah Pembangunan: Dari Prinses Juliana Laan ke Bangirejo Taman
Sejarah mencatat kawasan ini awalnya dinamai Prinses Juliana Laan, bagian dari pengembangan kota kolonial Belanda di Yogyakarta. Letaknya yang strategis, dekat pusat pendidikan dan perdagangan, menunjukkan bahwa kawasan ini memiliki nilai ekonomi dan politik yang tinggi bahkan sejak masa kolonial.
Pada tahun 1935, berdasarkan peta kuno, terlihat bahwa Bangirejo Taman telah berkembang menjadi kawasan permukiman yang terstruktur dan berorientasi taman—sebuah konsep modern saat itu.
Temuan Utama: Ciri Khas Tata Ruang dan Pola Hidup Kolonial
1. Tata Massa dan Tata Ruang
Bangunan terbagi dua massa: rumah utama (hoofdgebouw) dan bangunan servis (bijgebouw).
Keduanya dipisahkan oleh selasar terbuka, sebuah pendekatan fungsional yang juga meningkatkan sirkulasi udara dan cahaya alami.
Luas bangunan sekitar 92 m² dengan lahan 200–400 m², menghasilkan Building Coverage Ratio (BCR) rendah (23–46%), menunjang prinsip taman kota.
2. Sirkulasi dan Orientasi
Pintu utama tidak sejajar langsung dengan pintu rumah, meningkatkan privasi.
Akses ke dapur dan servis dibuat terpisah untuk efisiensi dan keselamatan, terutama terkait risiko kebakaran dari dapur.
3. Higienitas dan Ventilasi
Semua rumah menempatkan bangunan di tengah kavling, dikelilingi halaman, sehingga prinsip cross ventilation tercapai sempurna.
Penempatan kamar mandi dan WC terpisah dari ruang utama, sesuai prinsip higienitas Jawa tradisional.
4. Garden City dalam Skala Mikro
Konsep taman di tengah kawasan bukan sekadar estetika, tapi juga fungsional:
Sebagai buffer udara.
Menjadi ruang publik alami untuk komunitas.
Menghubungkan rumah-rumah dalam jaringan sosial yang sehat.
Studi Kasus: Tata Ruang dan Hirarki Bangunan Kolonial
Rekonstruksi denah menunjukkan adanya:
Sumbu ruang utama: teras → ruang tamu → ruang keluarga.
Hierarki ruang sangat tegas: ruang privat (kamar tidur) lebih dalam, ruang publik (tamu) di depan.
Selasar menjadi elemen kunci, menghubungkan fungsi rumah dan servis dengan jelas namun efisien.
Diagram hubungan ruang dan analisis pola sirkulasi memperlihatkan bahwa fungsi, privasi, dan efisiensi adalah prinsip dominan dalam desain ini—karakter yang membedakan rumah kolonial dengan rumah-rumah tradisional Jawa yang lebih terbuka.
Analisis Tambahan: Relevansi dengan Tren Arsitektur Saat Ini
Dalam konteks modern, prinsip-prinsip yang ditemukan di Bangirejo Taman masih sangat relevan:
Efisiensi lahan dan optimalisasi ventilasi menjadi keharusan di kota-kota padat.
Fleksibilitas ruang antara fungsi publik dan privat kini banyak diadopsi dalam desain rumah perkotaan kontemporer.
Konsep garden city kembali populer lewat tren eco-living dan smart urban planning.
Namun, tantangan modern adalah mengadaptasi prinsip kolonial tersebut dengan kebutuhan masa kini—misalnya, kebutuhan ruang kerja remote (home office) yang dulu tidak dipertimbangkan.
Kritik dan Perbandingan: Apa yang Kurang?
Salah satu kritik terhadap desain kolonial Bangirejo Taman adalah:
Minimnya akomodasi untuk tenaga kerja domestik di rumah kecil, padahal pada masa itu pembantu rumah tangga umum dimiliki keluarga Belanda.
Tidak adanya garasi khusus, yang menjadi kebutuhan penting saat ini.
Jika dibandingkan dengan Kotabaru, kawasan kolonial lain di Yogyakarta, Bangirejo Taman terasa lebih sederhana dan fungsional, lebih fokus pada penghuni kalangan menengah ke bawah dibandingkan elite administrasi tinggi.
Kesimpulan: Menyelamatkan Warisan Arsitektur Fungsional
Studi ini mengingatkan kita bahwa arsitektur kolonial di Indonesia bukan sekadar soal estetika Eropa, tetapi bagaimana adaptasi terhadap iklim tropis dan kebutuhan fungsional dijalankan dengan presisi tinggi.
Bangirejo Taman, meski kecil, adalah cerminan cerdas dari bagaimana prinsip desain berkelanjutan, fungsional, dan sehat diterapkan sejak awal abad ke-20. Pelestarian kawasan seperti ini, termasuk struktur tata ruang aslinya, menjadi sangat penting untuk menjaga sejarah arsitektur tropis Indonesia tetap hidup.
Sumber
Penelitian ini dapat diakses di Nature: National Academic Journal of Architecture, Vol. 7 No. 2 (2020).
DOI: https://doi.org/10.24252/nature.v7i2a7