Sosiohidrologi

Warga Pesisir Semarang Bangkit Hadapi Iklim Lewat Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Perubahan iklim menjadi tantangan nyata, terutama di kawasan pesisir yang rentan terhadap bencana hidrometeorologi. Penelitian berjudul “Kajian Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim Berbasis Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Kota Semarang” oleh Dwi Rahmawati dan Trida Ridho Fariz (2024) memberikan gambaran mendalam tentang bagaimana masyarakat memanfaatkan lima sumber daya utama untuk bertahan dan pulih dari dampak perubahan iklim: alam, manusia, finansial, sosial, dan fisik.

Latar Belakang: Krisis Iklim dan Pesisir Semarang

Data BNPB menunjukkan bahwa 99,1% dari 1.675 bencana yang terjadi dari Januari hingga Mei 2023 merupakan bencana hidrometeorologi. Kota Semarang, khususnya Kelurahan Tugurejo, menghadapi ancaman multibencana seperti banjir, rob, dan intrusi air laut. Dua wilayah krusial dalam studi ini—RT 06/RW 01 dan RT 07/RW 05—diidentifikasi sebagai lokasi dengan tingkat kerentanan tertinggi.

Metodologi: Pendekatan Holistik dan Partisipatif

Penelitian ini menggunakan metode campuran kuantitatif dan kualitatif (mixed method), dengan total responden 85 KK. Pendekatan yang digunakan adalah penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood approach), yang mencakup:

  • Modal manusia
  • Modal alam
  • Modal sosial
  • Modal finansial
  • Modal fisik

Temuan Utama: Kekuatan Sosial dan Kelemahan Akses Alam

1. Sumber Daya Manusia – Terkuat

  • RT 06/RW 01: skor 3,80/5
  • RT 07/RW 05: skor 4,02/5

Keduanya memiliki tingkat kesehatan masyarakat yang sangat baik, dengan >97% responden tanpa penyakit kronis atau disabilitas. Pendidikan warga RT 07 menunjukkan 27,5% lulusan perguruan tinggi.

2. Sumber Daya Alam – Terlemah

  • RT 06/RW 01: skor 2,07
  • RT 07/RW 05: skor 2,00

Hanya 4,5% masyarakat yang bekerja sebagai petani tambak. Sebagian besar tidak memiliki tambak atau lahan produktif, bahkan beberapa tinggal di tanah milik PT KAI atau KORPRI.

3. Sumber Daya Finansial

Mayoritas penduduk bekerja sebagai buruh industri dengan pendapatan setara UMR. Tabungan dan aset finansial masih terbatas, namun cukup stabil untuk kebutuhan dasar.

4. Sumber Daya Sosial

Adanya Kelompok Wanita Tani (KWT) dan organisasi seperti Karang Taruna memperkuat jaringan sosial warga. Aktivitas seperti urban farming juga mendukung ketahanan pangan lokal.

5. Sumber Daya Fisik

Masyarakat memiliki rumah milik pribadi, namun sebagian berdiri di atas lahan yang bukan milik mereka. Hal ini berdampak pada keamanan jangka panjang dan nilai properti.

Studi Kasus Lokal: Strategi Adaptasi Masyarakat

Contoh nyata dari upaya adaptasi meliputi:

  • Pertanian urban di pekarangan rumah.
  • Pembentukan KWT Sumber Hasil dan KWT Wema Mekar.
  • Pergeseran profesi dari petani tambak menjadi buruh industri akibat pencemaran dan akuisisi lahan oleh perusahaan dan bandara.

Faktor Penentu Konsistensi Skor

Skor antara kedua wilayah relatif homogen karena:

  • Topografi yang seragam (dataran rendah pesisir)
  • Akses fasilitas yang mirip, termasuk layanan kesehatan
  • Kualitas lingkungan fisik yang sebanding

Namun, perbedaan preferensi kerja dan status lahan memengaruhi dinamika ekonomi dan keberlanjutan jangka panjang di kedua RT.

Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi

Studi ini relevan bagi penyusunan kebijakan adaptasi iklim berbasis lokal, khususnya untuk:

  • RPPLH (Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup)
  • Kebijakan pemanfaatan lahan pesisir dan relokasi warga di lahan milik negara
  • Program pemberdayaan sosial berbasis komunitas

Rekomendasi strategis mencakup:

  • Pembobotan indikator dalam penilaian kapasitas untuk evaluasi lebih presisi.
  • Pendekatan komunikasi berbasis budaya lokal agar masyarakat lebih terbuka dalam memberi data dan terlibat aktif.

Kesimpulan

Kapasitas masyarakat menghadapi perubahan iklim bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga daya adaptasi sosial, pengetahuan lokal, dan partisipasi komunitas. Temuan penting menunjukkan bahwa:

  • Kesehatan dan pendidikan adalah fondasi kuat bagi ketahanan warga.
  • Keterbatasan akses lahan dan ketergantungan pada pekerjaan informal menjadi tantangan utama.
  • Kegiatan sosial seperti KWT dan Karang Taruna mampu memperkuat solidaritas dan adaptasi berbasis komunitas.

Studi ini dapat menjadi model praktik baik untuk daerah pesisir lain di Indonesia yang menghadapi ancaman serupa. Dengan pendekatan berbasis aset dan penghidupan berkelanjutan, ketahanan lokal bisa dibangun dari bawah ke atas, dengan memanfaatkan apa yang dimiliki, bukan apa yang tidak dimiliki.

Sumber : Rahmawati, D., & Fariz, T. R. (2024). Kajian Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim Berbasis Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Kota Semarang. Desa-Kota: Jurnal Perencanaan Wilayah, Kota, dan Permukiman, 6(2), 150–161.

Selengkapnya
Warga Pesisir Semarang Bangkit Hadapi Iklim Lewat Pendekatan Penghidupan Berkelanjutan

Sosiohidrologi

Finlandia Bangun Layanan Air dan Sanitasi Berkelanjutan dengan Strategi Jangka Panjang

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Layanan air dan sanitasi bukan hanya soal infrastruktur, melainkan tentang visi peradaban. Itulah pelajaran penting yang dapat dipetik dari studi komprehensif “Managing Water and Wastewater Services in Finland, 1860–2020 and Beyond” karya Katko dkk. (2022). Artikel ini mengeksplorasi 160 tahun perkembangan layanan air di Finlandia, dari sistem kayu pedesaan hingga infrastruktur canggih dan tahan krisis, menggunakan kerangka PESTEL (Politik, Ekonomi, Sosial, Teknologi, Ekologi, Legal).

Konteks Historis: Air, Api, dan Miasma

Layanan air di Finlandia berakar pada kebutuhan dasar: mencegah kebakaran, memenuhi kebutuhan domestik, dan menjaga kebersihan. Kota Helsinki membangun sistem air publik pertama pada 1876, dipicu oleh risiko kebakaran besar dan kepercayaan masa itu terhadap teori miasma (udara kotor penyebab penyakit). Di pedesaan, sistem pipa kayu dari pinus mulai digunakan sejak 1872, digerakkan oleh kebutuhan peternakan sapi perah.

Keputusan Penting yang Meninggalkan Jejak

Beberapa kebijakan strategis memberi dampak panjang, seperti:

  • Menolak penggunaan pipa timah sejak 1880 karena berbahaya bagi kesehatan.
  • Mengadopsi pipa plastik sejak 1950-an untuk menggantikan kayu.
  • Membangun sistem pengelolaan air yang terintegrasi sejak 1953, lebih awal dari banyak negara Eropa.

Finlandia menunjukkan bahwa “path dependence”—atau keputusan masa lalu—tidak harus menjadi beban, tapi bisa jadi dasar kuat pembangunan berkelanjutan.

Transformasi Teknologi dan Lingkungan

Perkembangan teknologi air berjalan seiring perubahan sosial:

  • Penggunaan air per kapita turun drastis sejak 1974, akibat krisis energi dan pemberlakuan tarif air limbah.
  • Sekitar 65% air publik berasal dari air tanah atau rekayasa akuifer (Managed Aquifer Recharge).
  • Pengolahan air limbah mencakup biologis dan kimiawi, dengan rata-rata efisiensi: BOD 98%, fosfor 96,5%, nitrogen 66% (2017).

Tantangan Infrastruktur: Pipa Tua dan Cuaca Ekstrem

Sebagian besar infrastruktur air Finlandia dibangun pasca-Perang Dunia II. Kini, usia pipa dan jaringan mulai menua, menuntut investasi besar dalam peremajaan. Di wilayah utara, masalah seperti tanah beku dan curah hujan tinggi menambah tantangan teknis.

Finlandia menggunakan teknik no-dig untuk rehabilitasi jaringan, memanfaatkan teknologi pengawasan jarak jauh, dan sistem pemompaan cerdas. Namun, kebutuhan akan pendanaan dan inovasi kelembagaan tetap mendesak.

Keberhasilan Pengendalian Polusi Air

Sejak UU Air 1962, Finlandia mewajibkan industri dan kota memperoleh izin pembuangan limbah. Hanya dalam dua dekade, seluruh negara telah memiliki instalasi pengolahan limbah modern.

Industri pulp dan kertas, sempat menjadi penyumbang utama pencemaran, akhirnya tunduk pada tekanan sosial dan regulasi:

  • Konsumsi air per ton pulp turun dari 250 m³ (1970) menjadi 5–15 m³ (2020).
  • Limbah organik dan padat berkurang drastis sejak 1980-an.

Ragam Kelembagaan: Dari Koperasi ke Jaringan Supra-Municipal

Finlandia memiliki model kelembagaan majemuk, termasuk:

  • 1.400 koperasi air di daerah terpencil.
  • Utilitas kota dan antar kota, baik besar maupun kecil.
  • Mekanisme pendanaan berbasis tarif pelanggan, bukan subsidi besar pemerintah.

Sebagai catatan, pada 2021, Parlemen Finlandia melarang privatisasi utilitas air dan mengesahkan inisiatif rakyat secara bulat—sebuah preseden politik penting di Eropa.

PESTEL: Pilar Analitik Layanan Air di Finlandia

  1. Politik: Kestabilan politik dan kepercayaan publik mendukung konsistensi kebijakan.
  2. Ekonomi: Biaya layanan air <1% dari pengeluaran rumah tangga, namun tantangan pembiayaan renovasi terus meningkat.
  3. Sosial: Fokus pada keadilan akses dan pelibatan komunitas lokal.
  4. Teknologi: Beralih dari sistem kayu ke plastik, lalu ke MAR, serta teknologi digital untuk pengawasan jaringan.
  5. Ekologi: Dari eutrofikasi dan pencemaran menjadi pemulihan sungai dan danau.
  6. Legal: Legislasi progresif, fleksibel, dan adaptif sejak 1902 hingga kini.

Relevansi Global: Apa yang Bisa Dipelajari?

Bagi negara berkembang, kisah Finlandia memberi pelajaran:

  • Infrastruktur air butuh visi 100 tahun, bukan proyek jangka pendek.
  • Kebijakan harus berdasarkan ilmu, partisipasi publik, dan adaptasi lokal.
  • Diversitas kelembagaan bukan kelemahan, melainkan kekuatan.

Kesimpulan

Layanan air bukan sekadar pipa dan pompa, tapi refleksi dari visi sosial dan komitmen politik jangka panjang. Studi ini membuktikan bahwa dengan pendekatan integratif—teknologi, regulasi, dan partisipasi—sebuah negara kecil seperti Finlandia dapat menjadi contoh dunia dalam mewujudkan akses air bersih dan sanitasi universal yang berkelanjutan.

Sumber : Katko, T. S., Juuti, P. S., Juuti, R. P., & Nealer, E. J. (2022). Managing Water and Wastewater Services in Finland, 1860–2020 and Beyond. Earth, 3(2), 590–613.

Selengkapnya
Finlandia Bangun Layanan Air dan Sanitasi Berkelanjutan dengan Strategi Jangka Panjang

Sosiohidrologi

Strategi Pengelolaan Air Tropis Jadi Kunci Masa Depan Lingkungan Global

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Air di wilayah tropis selama ini dianggap berlimpah. Namun, kenyataan menunjukkan sebaliknya: daerah tropis justru menghadapi tekanan luar biasa terhadap sumber daya air, baik karena curah hujan ekstrem, kelembapan tinggi, maupun degradasi kualitas air akibat urbanisasi dan industrialisasi.

Laporan “Hydrology and Water Management in the Humid Tropics” yang diterbitkan oleh UNESCO dan CATHALAC (2002) menampilkan hasil Second International Colloquium yang diselenggarakan di Panama. Konferensi ini diikuti oleh ratusan ahli hidrologi, pembuat kebijakan, dan perwakilan lembaga dari seluruh dunia untuk mendiskusikan strategi pengelolaan air di wilayah tropis.

Kenapa Kawasan Tropis Butuh Pendekatan Khusus?

Wilayah tropis memiliki tantangan yang unik:

  • Curah hujan sangat tinggi dan tidak merata.
  • Populasi padat dengan infrastruktur air yang terbatas.
  • Krisis kualitas air karena pencemaran industri dan limbah rumah tangga.
  • Risiko tinggi terhadap siklon, banjir, dan tanah longsor.

Meskipun wilayah tropis memiliki air dalam jumlah besar, ironisnya banyak penduduknya justru kesulitan mendapatkan air bersih, terutama di kawasan perdesaan dan pulau-pulau kecil.

Konferensi Internasional di Panama: Tonggak Global

Konferensi ini berlangsung selama Water Week in Panama (21–26 Maret 1999) dan dihadiri lebih dari 300 peserta dari berbagai belahan dunia. Acara ini mencakup:

  • Presentasi makalah teknis.
  • Dialog antar negara tentang kebijakan air.
  • Festival Air dan Anak-anak yang melibatkan 120 anak dari 21 negara.

Tujuan utamanya adalah mengintegrasikan ilmu pengetahuan, kebijakan, dan komunitas lokal untuk mencapai manajemen air yang berkelanjutan.

Tema Utama dan Studi Kasus Global

Beberapa tema penting yang dibahas:

1. Pendekatan Multidimensional

Makalah oleh O.O. Sodeko menunjukkan bahwa perempuan memiliki peran kunci dalam pengelolaan air di Afrika Barat, namun partisipasi mereka masih sering diabaikan dalam perencanaan kebijakan.

2. Variabilitas Iklim dan Dampaknya

Contoh dari:

  • El Niño 1997-1998 yang menyebabkan kekeringan parah di Fiji (laporan oleh Terry dan Raja).
  • Selangor, Malaysia, yang mengalami perubahan signifikan dalam pola hujan (penelitian oleh M. Desa et al).
  • Kamerun bagian selatan, yang menunjukkan perubahan debit sungai akibat fluktuasi iklim.

3. Kualitas Air Permukaan dan Bawah Tanah

  • Studi di Basin Danau Chad menunjukkan kontaminasi air tanah oleh pestisida dan limbah pertanian (Oguntola & Bonell).
  • Studi dari Spanyol membahas transportasi polutan di akuifer karstik dan pentingnya sistem pemantauan modern.

4. Hidrologi Perkotaan

  • Studi urban stream di Brazil menyoroti pencemaran nutrien dan limbah domestik.
  • Makalah J. Niemczynowicz mengidentifikasi tantangan masa depan seperti banjir perkotaan dan keterbatasan ruang hijau.

5. Hidrologi Pulau Tropis

  • Penelitian di Tarawa Atoll, Kiribati menunjukkan ancaman terhadap cadangan air tawar akibat naiknya muka air laut dan eksploitasi berlebihan.
  • Makalah dari Indonesia menyoroti kebutuhan teknologi air adaptif untuk pulau kecil berkarakter vulkanik.

6. Hutan Awan Tropis Pegunungan

  • Penelitian di Venezuela, Jamaika, dan Asia Tenggara menunjukkan bahwa kawasan ini memiliki fungsi vital dalam regulasi air dan penyimpanan kelembapan.

Isu Strategis: Kolaborasi, Edukasi, dan Ketahanan

Pesan utama dari konferensi:

  • Data dan informasi tentang siklus air di wilayah tropis masih sangat terbatas.
  • Koordinasi kelembagaan sering tumpang tindih dan tidak efektif.
  • Pendekatan top-down dalam proyek air tanpa partisipasi lokal sering gagal.
  • Pendidikan publik dan generasi muda sangat penting; terbukti lewat Festival Anak “Water is Life”.

Inisiatif Regional: Pendirian CATHALAC

Salah satu pencapaian konkret dari konferensi adalah pendirian CATHALAC (Centro del Agua del Trópico Húmedo para América Latina y El Caribe) pada 1992 di Panama, sebagai pusat riset dan pelatihan kawasan tropis.

Fokus utama CATHALAC:

  • Manajemen kualitas air.
  • Hidrologi perkotaan.
  • Pulau kecil dan interaksi laut-darat.
  • Edukasi masyarakat.
  • Transfer pengetahuan dan teknologi.

Pusat ini kini berperan penting sebagai lengan ilmiah organisasi seperti OAS dan turut merancang strategi kebijakan air regional.

Relevansi Bagi Indonesia dan Asia Tenggara

Indonesia sebagai negara tropis dengan ribuan pulau juga menghadapi:

  • Ketergantungan tinggi pada air tanah.
  • Ancaman pencemaran dan salinisasi di wilayah pesisir.
  • Kurangnya koordinasi antar lembaga air.
  • Kebutuhan edukasi publik dan penguatan kapasitas lokal.

Model kerja CATHALAC dapat direplikasi di Asia Tenggara untuk:

  • Membangun pusat riset regional.
  • Melatih generasi muda di bidang air.
  • Mendorong riset lintas negara ASEAN tentang adaptasi air tropis.

Kesimpulan

Krisis air di wilayah tropis bukan soal kelangkaan kuantitas, melainkan manajemen yang buruk. Hasil dari konferensi ini menegaskan bahwa:

  • Ilmu pengetahuan, teknologi, kebijakan, dan masyarakat harus bergerak bersama.
  • Butuh pendekatan lintas sektor dan lintas batas negara.
  • Anak-anak dan perempuan harus dilibatkan sejak awal sebagai agen perubahan.

Visi masa depan air di wilayah tropis harus berlandaskan pada:

  • Etika penggunaan air,
  • Keadilan akses, dan
  • Kebijakan yang berpihak pada lingkungan dan generasi mendatang.

Sumber : UNESCO & CATHALAC. (2002). Hydrology and Water Management in the Humid Tropics: Proceedings of the Second International Colloquium, 22–26 March 1999, Panama. Technical Documents in Hydrology No. 52. Paris: UNESCO.

Selengkapnya
Strategi Pengelolaan Air Tropis Jadi Kunci Masa Depan Lingkungan Global

Sosiohidrologi

Negara Pulau Hadapi Krisis Air, IWRM Jadi Solusi Terintegrasi dalam Pengelolaan Sumber Daya

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Integrated Water Resources Management (IWRM) menjadi konsep yang diadopsi secara luas dalam kebijakan air global, termasuk di kawasan Small Island Developing States (SIDS) seperti negara-negara Karibia. Namun, apakah pendekatan ini benar-benar diterapkan dan efektif?

Makalah teknis dari Global Water Partnership (GWP) tahun 2014 ini membahas 15 negara Karibia berbahasa Inggris dan menyajikan evaluasi menyeluruh atas capaian, tantangan, dan arah ke depan dari implementasi IWRM di kawasan tersebut.

Mengapa IWRM Penting untuk SIDS?

Negara pulau kecil menghadapi tantangan unik:

  • Ketersediaan air terbatas akibat geografis dan perubahan iklim.
  • Kepadatan penduduk tinggi, urbanisasi cepat, dan pertumbuhan ekonomi yang menuntut kebutuhan air lebih besar.
  • Keterkaitan darat-laut yang sangat kuat, sehingga pengelolaan air berdampak langsung pada ekosistem laut.

IWRM menjadi solusi karena:

  • Mengintegrasikan pengelolaan hulu-hilir (“source to sea”).
  • Memadukan aspek kebijakan, institusi, dan instrumen teknis.
  • Menyasar keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan secara bersamaan.

Kemajuan Nyata: Apa yang Sudah Dicapai?

Sejak 2002, Karibia berkomitmen menyusun rencana IWRM & efisiensi air (WUE) sebelum 2005. Namun hingga 2014, hanya sebagian kecil negara yang benar-benar menerapkannya secara menyeluruh.

Data penting:

  • >95% warga memiliki akses ke air, tapi banyak infrastruktur yang sudah tua dan tidak terawat.
  • Tarif air masih diatur politis, bukan berdasarkan nilai ekonomi.
  • Negara seperti Jamaika dan Guyana sudah memiliki kementerian khusus air, tetapi sebagian besar negara lain belum memisahkan manajemen air dan pelayanan air minum.

Studi Kasus Negara-Negara Karibia

  1. Barbados
    • Menggunakan hampir 100% sumber daya air yang tersedia.
    • Rentan terhadap kekeringan dan salinisasi air tanah.
    • Mengandalkan desalinasi air laut.
  2. Saint Lucia
    • Mengalami defisit pasokan 35%.
    • Sumber air utama adalah sungai pendek dengan debit musiman yang sangat berfluktuasi.
  3. Trinidad dan Tobago
    • Mengalami defisit air sejak 2000.
    • Upaya pemisahan fungsi layanan dan pengelolaan mulai dijalankan.
  4. Dominika, Grenada, Saint Vincent
    • Mengalami kekurangan air selama musim kering akibat penurunan aliran sungai.

Kelemahan Sistem Saat Ini

  • Institusi air tumpang tindih, satu lembaga bisa merangkap fungsi regulasi dan penyedia layanan.
  • Politik tarif air menyebabkan minimnya insentif efisiensi dan investasi.
  • Kurangnya pengawasan atas kualitas air dan pengelolaan limbah.
  • Partisipasi publik rendah, membuat perubahan sistem berjalan lambat.

Proyek Percontohan: Titik Terang di Tengah Tantangan

Proyek demonstrasi skala kecil justru menunjukkan hasil paling nyata:

  • Contoh: Proyek IWCAM (Integrating Watershed and Coastal Area Management) yang didanai oleh GEF dan dijalankan antara 2004–2013.
  • Fokus pada komunitas lokal dan melibatkan pemangku kepentingan lintas sektor.
  • Membuktikan bahwa pendekatan integratif efektif jika menjawab masalah nyata yang dihadapi warga.

Tantangan IWRM di Masa Depan

Makalah ini mengidentifikasi tantangan utama:

  1. Lemahnya kelembagaan dan pembagian tugas antarsektor.
  2. Pendanaan terbatas, ketergantungan pada proyek luar negeri.
  3. Ketidaksiapan politis untuk perubahan struktural, seperti kenaikan tarif atau restrukturisasi institusi.
  4. Ketidakterhubungan antara kebijakan air dan iklim, padahal Karibia sangat rentan terhadap siklon dan perubahan pola hujan.

Rekomendasi Strategis

Makalah ini menawarkan beberapa strategi kunci:

  • Pendekatan inkremental, bukan reformasi total, karena lebih realistis secara politis.
  • Brokering politik: memastikan solusi sesuai dengan persepsi dan kebutuhan politisi.
  • Penguatan kapasitas profesional, bukan hanya teknis tetapi juga dalam negosiasi dan advokasi.
  • Keterlibatan masyarakat dan CBO, sebagai aktor pengawas dan mitra dalam implementasi.

Opini dan Relevansi Global

Artikel ini relevan bukan hanya untuk Karibia, tapi juga untuk negara-negara seperti Indonesia yang memiliki banyak pulau kecil dengan persoalan serupa:

  • Ketergantungan pada air hujan dan air tanah.
  • Minimnya koordinasi antar instansi air.
  • Perluasan wilayah urban yang mengganggu catchment area.

IWRM dapat diadaptasi untuk wilayah pesisir Indonesia dengan strategi lokal, penguatan peran pemda, dan pendekatan partisipatif yang konsisten.

Kesimpulan

IWRM bukan solusi instan, tapi fondasi penting untuk pengelolaan air berkelanjutan di negara-negara kecil yang rentan. Pengalaman 15 tahun di Karibia menunjukkan bahwa pendekatan ini:

  • Berhasil bila dikaitkan dengan masalah nyata di lapangan.
  • Perlu dukungan politis tingkat tinggi dan pembiayaan jangka panjang.
  • Membutuhkan fleksibilitas dan adaptasi lokal.

Melalui kombinasi antara kebijakan, aksi komunitas, dan kesadaran politik, pendekatan IWRM dapat menjadi jalan keluar dari krisis air yang kian memburuk.

Sumber : Cashman, A., Cox, C., Daniel, J., & Smith, T. (2014). Integrated water resources management in the Caribbean: The challenges facing Small Island Developing States. Global Water Partnership Technical Focus Paper. ISBN: 978-91-87823-01-5.

Selengkapnya
Negara Pulau Hadapi Krisis Air, IWRM Jadi Solusi Terintegrasi dalam Pengelolaan Sumber Daya

Sosiohidrologi

Pendekatan Sosiohidrologi Hadirkan Solusi Adaptif untuk Krisis Air di Pulau Sungai Asia

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Masalah air bersih menjadi salah satu tantangan global paling mendesak, terlebih di kawasan pulau-pulau besar di sungai Asia seperti Fraserganj (India), Dakshin Bedkashi (Bangladesh), dan Con Dao (Vietnam). Meski dikelilingi air, masyarakat di wilayah ini justru terjebak dalam kelangkaan air bersih, krisis lingkungan, dan ketimpangan sosial. Studi oleh Pankaj Kumar dan kolega ini menekankan pentingnya pendekatan socio-hydrology—sebuah integrasi antara ilmu hidrologi dan dinamika sosial—dalam mengelola sumber daya air secara adaptif dan inklusif.

Mengapa Sosiohidrologi Dibutuhkan?

Secara global, lebih dari 2,4 miliar orang hidup dalam kondisi kekurangan air, dan jumlah ini diprediksi naik menjadi dua pertiga populasi dunia pada 2025. Di Asia, meski memiliki >35% cadangan air tawar dunia, distribusi air per kapita tetap rendah akibat urbanisasi, perubahan iklim, dan intrusi air laut.

Pulau sungai menghadapi kombinasi tekanan yang unik:

  • Intrusi salinitas air tanah akibat badai dan naiknya permukaan laut.
  • Penurunan produktivitas pertanian (contoh: 12% penurunan hasil panen padi setiap kenaikan 1 dS/m salinitas).
  • Gangguan mental dan sosial akibat kelangkaan air, dari kecemasan hingga kekerasan rumah tangga.

Tiga Studi Kasus: Fraserganj, Bedkashi, dan Con Dao

Fraserganj, India

Terletak di delta Sundarbans, wilayah ini mengalami:

  • Naiknya salinitas air tanah hingga memicu pertumbuhan alga beracun.
  • Peralihan mata pencaharian dari pertanian ke tambak air payau yang merusak lahan.
  • Proyeksi tahun 2051 menunjukkan lonjakan kebutuhan air dua kali lipat, sedangkan ketersediaan stagnan.

Dakshin Bedkashi, Bangladesh

  • Warga menghadapi banjir, siklon, kekeringan, dan intrusi salin secara reguler.
  • Perempuan menjadi korban paling rentan karena ketimpangan gender dalam distribusi air, nutrisi, dan hak sosial.
  • Air asin menyebabkan kulit kasar dan gelap, yang dalam budaya lokal berujung pada peningkatan biaya mahar pernikahan.

Con Dao, Vietnam

  • Menyediakan air dari 25 sumur bor dengan pasokan 3400 m³/hari.
  • Tingkat air tanah turun 1,19 meter dalam 6 tahun akibat eksploitasi berlebih.
  • Kebutuhan air domestik diprediksi naik tiga kali lipat pada 2030, sedangkan ketersediaan terus menurun.

Temuan Penting dari Studi Lapangan

Penelitian ini melakukan 14 diskusi kelompok (FGD) di Delta GBM. Temuan utama:

  • Salinitas air bukan hanya masalah lingkungan, tetapi pemicu stres psikologis jangka panjang.
  • Munculnya perubahan mata pencaharian, migrasi, konflik sosial, bahkan pembunuhan akibat konflik air.
  • Dua pemicu utama gangguan mental:
    1. Gagal panen dan kehilangan pekerjaan.
    2. Kesulitan akses air minum saat musim kering.

Sosiohidrologi sebagai Solusi Terpadu

Pendekatan sosiohidrologi terdiri dari dua bagian utama:

  1. Siklus Sosiohidrologi
    • Kebutuhan dan ketersediaan air (analisis anggaran air dan proyeksi).
    • Respons sosial-budaya (kearifan lokal, adaptasi pertanian, konsumsi air).
    • Tata kelola dan kebijakan (integrasi top-down dan bottom-up).
    • Kesiapsiagaan bencana (terutama siklon dan banjir).
    • Manajemen produktivitas lahan dan air (konservasi air & pencegahan intrusi salin).
  2. Faktor Normalisasi Makro
    • Ekosistem & layanan lingkungan
    • Regim iklim dan skala perubahan

Tujuan akhirnya adalah mencapai 6 dimensi ketahanan air:

  • Air domestik, ekonomi, kota, lingkungan, bencana, dan lintas batas.

Empat Tahapan Implementasi Sosiohidrologi

  1. Pengumpulan Informasi: Identifikasi pemangku kepentingan dan risiko.
  2. Analisis & Pengambilan Keputusan: Gunakan skenario kuantitatif & data warga.
  3. Implementasi Keputusan: Libatkan warga dalam eksekusi solusi.
  4. Monitoring & Evaluasi: Revisi metode berdasarkan umpan balik komunitas.

Model ini mendorong ko-desain dan ko-delivery antara ilmuwan, warga, dan pembuat kebijakan—bukan sekadar dari atas ke bawah, tapi juga “oleh dan untuk masyarakat.”

Tinjauan Kritis dan Relevansi Global

Artikel ini menyoroti perlunya model integratif untuk menjawab tantangan krisis air secara manusiawi dan ilmiah. Hal ini sangat relevan di negara-negara delta seperti Indonesia yang menghadapi ancaman serupa, seperti di Demak, Indramayu, atau pesisir Kalimantan.

Opini dan saran penulis:

  • Penelitian air jangan hanya fokus teknis, tetapi juga kesehatan mental dan dinamika gender.
  • Penanganan air butuh partisipasi lokal, bukan sekadar proyek teknokratik.
  • Socio-hydrology adalah pendekatan yang fleksibel, kolaboratif, dan berbasis realita sosial.

Kesimpulan

Sosiohidrologi bukan sekadar konsep, tapi pendekatan strategis untuk menghubungkan kebutuhan manusia dengan dinamika air secara berkelanjutan. Dengan mengintegrasikan sains dan perspektif masyarakat, pendekatan ini menjadi solusi kunci menghadapi krisis air, ketimpangan sosial, dan perubahan iklim secara serentak.

Sumber : Kumar, P., Avtar, R., Dasgupta, R., Johnson, B. A., Mukherjee, A., Ahsan, M. N., Nguyen, D. C. H., Nguyen, H. Q., Shaw, R., & Mishra, B. K. (2020). Socio-hydrology: A key approach for adaptation to water scarcity and achieving human well-being in large riverine islands. Progress in Disaster Science, 8, 100134.

Selengkapnya
Pendekatan Sosiohidrologi Hadirkan Solusi Adaptif untuk Krisis Air di Pulau Sungai Asia

Sosiohidrologi

Warga Pantau Air, Pemerintah Lambat Tanggap: Tantangan Integrasi Data CBM ke Kebijakan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025


Community-Based Monitoring (CBM) atau pemantauan berbasis komunitas, telah menjadi strategi yang berkembang pesat dalam upaya pelestarian lingkungan. Artikel ilmiah "Linking Community-Based Monitoring to Water Policy: Perceptions of Citizen Scientists" karya Tyler Carlson dan Alice Cohen menyoroti hubungan antara data lingkungan yang dikumpulkan oleh warga dengan penggunaan data tersebut dalam kebijakan pemerintah, khususnya dalam konteks sumber daya air di Kanada.

Mengapa CBM Diperlukan dan Bagaimana Itu Bekerja?

CBM memungkinkan masyarakat lokal baik ilmuwan warga maupun relawan untuk mengukur kualitas air melalui parameter seperti pH, suhu, oksigen terlarut, dan konduktivitas. Pendekatan ini bukan hanya menambah cakupan pemantauan air yang tidak mampu dijangkau oleh pemerintah, tetapi juga meningkatkan literasi ilmiah masyarakat dan keterlibatan publik terhadap isu lingkungan lokal.

Fakta penting:

  • Rata-rata usia program CBM adalah 8,9 tahun, dengan rentang antara kurang dari 1 tahun hingga 47 tahun.
  • Sejak tahun 2000 hingga 2016, jumlah program CBM naik empat kali lipat di Kanada.
  • 78% responden mengikuti protokol pemantauan standar, menunjukkan perbaikan integritas data.

Masalah Utama: Data Tak Diterima Pemerintah

Meski sebagian besar program CBM mengikuti standar ilmiah, hanya 46% responden menyatakan bahwa data mereka digunakan dalam kebijakan pemerintah. Bahkan, 30% menyatakan data mereka diabaikan, dan 24% tidak tahu apakah datanya dimanfaatkan.

Studi kasus menarik:
Program yang menjalin kemitraan dengan pemerintah dan jaringan CBM lainnya memiliki tingkat efektivitas tertinggi (74%) dalam mencapai tujuan awal mereka. Sebaliknya, hanya 29% dari program tanpa kemitraan yang merasa program mereka efektif.

Motivasi Warga Beragam, Tapi Tetap Konsisten

Dari hasil survei terhadap 121 organisasi, lima alasan utama warga melakukan CBM adalah:

  1. Kekhawatiran terhadap ekosistem lokal (52%)
  2. Edukasi & literasi lingkungan (27%)
  3. Kekosongan data dari pemerintah (22%)
  4. Mempengaruhi kebijakan (20%)
  5. Riset jangka panjang (15%)

Ini menunjukkan bahwa meskipun tujuan bisa berbeda, kebutuhan akan data lingkungan dari warga sangat penting.

Studi Kasus Implementasi di Lapangan

CBM digunakan oleh warga untuk berbagai tujuan lokal seperti:

  • Dampak pertambangan (8 kasus)
  • Pertanian & urbanisasi (14 kasus)
  • Banjir, logging, rekreasi, dan PLTA (10+ kasus)

Namun, keberhasilan CBM dalam memengaruhi kebijakan sangat bergantung pada tiga faktor:

  1. Usia program: Program >15 tahun memiliki tingkat adopsi kebijakan 58%.
  2. Jenis protokol: Protokol pemerintah daerah memiliki tingkat adopsi 50%, dibandingkan protokol federal hanya 25%.
  3. Kemitraan: Program dengan kolaborasi ganda lebih sukses dalam menciptakan perubahan.

Antara Data Berkualitas dan Keterlibatan Warga

Ironisnya, banyak ilmuwan masih meragukan kredibilitas data CBM. Namun studi terbaru menunjukkan bahwa kesalahan data warga setara dengan ilmuwan profesional, terutama dalam parameter sederhana seperti suhu dan pH. Bahkan, ketika komunitas diberi pelatihan dan alat ukur memadai, mereka dapat menghasilkan data setara kualitas laboratorium.

Masalah utama bukan kualitas data, melainkan akses dan komunikasi antar lembaga. Banyak pemerintah tidak transparan soal apakah dan bagaimana mereka memakai data CBM. Kurangnya umpan balik ini menyebabkan kebingungan dan demoralisasi komunitas.

Menuju Kolaborasi dan Kebijakan yang Lebih Inklusif

Para penulis menekankan bahwa pemerintah seharusnya tidak melihat CBM sebagai alternatif murah dari riset ilmiah resmi. CBM harus dianggap sebagai mitra strategis dalam pengumpulan data jangka panjang, terutama mengingat tantangan fiskal dan geografis yang dihadapi negara seperti Kanada.

Rekomendasi dari penelitian ini:

  • Pemerintah perlu memberikan pendanaan jangka panjang dan pelatihan teknis kepada program CBM.
  • Standarisasi protokol harus fleksibel, agar tidak menghilangkan pendekatan lokal dan kearifan lokal.
  • Harus ada mekanisme umpan balik agar warga tahu bagaimana data mereka digunakan.

Pelajaran untuk Indonesia dan Dunia

Meskipun studi ini dilakukan di Kanada, pelajarannya sangat relevan bagi negara-negara lain seperti Indonesia, yang memiliki banyak komunitas lokal yang peduli terhadap sumber daya air namun kurang terlibat dalam pembuatan kebijakan.

Untuk menjadikan CBM sebagai alat transformasi, diperlukan:

  • Integrasi data CBM ke sistem informasi resmi.
  • Peningkatan kapasitas digital dan teknologi di komunitas lokal.
  • Pendekatan multi-aktor: melibatkan LSM, pemerintah, industri, dan universitas.

Kesimpulan

Artikel ini memberikan kontribusi penting dalam memahami tantangan dan potensi CBM sebagai jembatan antara warga dan pembuat kebijakan. Dengan menjembatani kesenjangan antara pengetahuan lokal dan keputusan formal, CBM dapat menjadi pilar utama dalam pengelolaan sumber daya air yang lebih demokratis dan berkelanjutan.

Sumber: Carlson, T., & Cohen, A. (2018). Linking Community-Based Monitoring to Water Policy: Perceptions of Citizen Scientists. Journal of Environmental Management, 219, 168–177. DOI: 10.1016/j.jenvman.2018.04.077

Selengkapnya
Warga Pantau Air, Pemerintah Lambat Tanggap: Tantangan Integrasi Data CBM ke Kebijakan
« First Previous page 8 of 9 Next Last »