Sertifikasi Profesi dan Tenaga Kerja

Membangun Maros dari Fondasi Tenaga Kerja: Mengulik Program Pembekalan Teknis Konstruksi

Dipublikasikan oleh Hansel pada 09 September 2025


Di balik deretan gedung, jalan, dan jembatan yang berdiri di berbagai pelosok Indonesia, ada tangan-tangan pekerja konstruksi yang menopang peradaban modern. Mereka adalah aktor utama pembangunan, namun ironisnya, seringkali berada di posisi yang paling rentan: minim pelatihan, kurang sertifikasi, dan terbatas akses terhadap pengakuan formal.

Sebuah studi terbaru di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, membuka tabir persoalan klasik ini. Penelitian tersebut menyoroti program Pembekalan Teknis Tenaga Kerja Konstruksi yang digagas Universitas Hasanuddin (Unhas), bekerja sama dengan pemerintah setempat, sebagai upaya menjawab tantangan besar dalam sektor konstruksi: bagaimana memastikan tenaga kerja yang terlibat dalam proyek vital bukan hanya sekadar ada, tetapi juga mampu dan terlatih sesuai standar.

Artikel ini akan membedah secara mendalam hasil studi itu—mulai dari akar masalah, metode, hingga dampak nyata—dengan bahasa yang mudah dipahami publik. Lebih jauh lagi, kita akan menelusuri mengapa kisah Maros ini relevan bukan hanya untuk Sulawesi Selatan, melainkan untuk seluruh Indonesia yang sedang berpacu dalam pembangunan infrastruktur.

Latar Belakang: Antara Regulasi dan Realitas Lapangan

Indonesia sejatinya telah memiliki payung hukum yang jelas untuk menjamin kualitas tenaga kerja konstruksi. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi menegaskan bahwa setiap pekerja konstruksi wajib memiliki sertifikasi kompetensi. Aturan ini bukan formalitas belaka; ia dirancang untuk memastikan keselamatan, mutu pekerjaan, dan keberlangsungan pembangunan nasional.

Namun, praktik di lapangan seringkali bercerita lain. Di berbagai daerah, terutama di luar kota-kota besar, ribuan pekerja konstruksi tetap bekerja tanpa sertifikat. Alasannya beragam: biaya sertifikasi yang dianggap mahal, akses ke lembaga pelatihan yang terbatas, hingga rendahnya kesadaran pekerja maupun kontraktor akan pentingnya legalitas kompetensi.

Di Kabupaten Maros, masalah ini juga nyata. Banyak tenaga kerja berpengalaman yang sehari-hari terlibat dalam pembangunan gedung atau jalan, tetapi statusnya masih “tenaga kasat mata”: terlihat bekerja, namun tak terdaftar dalam sistem resmi. Situasi ini berbahaya. Tanpa pengakuan formal, pekerja kehilangan perlindungan hukum, sementara proyek terancam menghadapi risiko mutu dan keselamatan.

Mengapa Program Ini Penting Hari Ini?

Penelitian dari Unhas menyoroti hal yang mengejutkan: masih ada jurang besar antara regulasi dan implementasi. Padahal, Indonesia sedang gencar melaksanakan proyek infrastruktur berskala masif—dari jalan tol, bendungan, hingga ibu kota negara baru.

  • Bayangkan sebuah jembatan senilai miliaran rupiah dikerjakan oleh pekerja tanpa standar kompetensi. Risiko kesalahan konstruksi bukan hanya soal uang, tetapi juga soal nyawa.
  • Tanpa sertifikasi, pekerja terampil di daerah seperti Maros sulit diakui secara nasional. Mereka tetap dipandang “buruh kasar”, padahal sebagian punya keterampilan yang sebanding dengan teknisi profesional.
  • Bagi pemerintah daerah, membiarkan pekerja tanpa sertifikasi berarti membiarkan pembangunan berjalan di atas fondasi rapuh.

Inilah yang membuat program pembekalan teknis menjadi relevan sekaligus mendesak. Ia bukan sekadar kegiatan formalitas, melainkan pintu masuk menuju tata kelola konstruksi yang lebih aman, adil, dan berdaya saing.

Studi Kasus Maros: Kolaborasi Unhas dan Pemerintah Daerah

Penelitian ini berfokus pada program Pembekalan Teknis Tenaga Kerja Konstruksi di Maros. Universitas Hasanuddin sebagai perguruan tinggi terkemuka di timur Indonesia mengambil peran sebagai motor penggerak, berkolaborasi dengan Dinas Pekerjaan Umum dan lembaga terkait.

Program ini dirancang bukan hanya untuk memberi penyuluhan singkat, tetapi juga untuk mengukur kompetensi peserta melalui mekanisme pre-test dan post-test. Dengan demikian, hasilnya bisa dinilai secara objektif: apakah ada peningkatan pengetahuan dan keterampilan setelah pembekalan?

Peserta kegiatan adalah tenaga kerja lokal—mulai dari tukang batu, tukang kayu, hingga pekerja jalan—yang sehari-hari terlibat dalam proyek konstruksi, tetapi mayoritas belum memiliki sertifikat kompetensi.

Metodologi: Dari Kelas ke Lapangan

Kegiatan pembekalan teknis berlangsung dalam beberapa tahapan.

  1. Seleksi dan Sosialisasi
    Pekerja lokal dipilih untuk mengikuti pelatihan dengan mempertimbangkan pengalaman kerja dan kebutuhan daerah. Sosialisasi menekankan pentingnya sertifikasi sebagai syarat hukum sekaligus jalan menuju pengakuan profesional.
  2. Materi Pembekalan
    • Bidang Gedung: teknik pekerjaan beton, pemasangan dinding, hingga manajemen keselamatan kerja.
    • Bidang Jalan: perataan tanah, pengaspalan, hingga standar mutu material.
      Materi diberikan secara kombinasi: teori di kelas dan praktik langsung di lapangan.
  3. Pre-test dan Post-test
    Setiap peserta menjalani tes awal untuk mengukur pengetahuan dasar, lalu dites kembali setelah pembekalan. Pola ini memungkinkan peneliti mengukur peningkatan objektif, bukan sekadar kesan subjektif.
  4. Pendampingan
    Peserta tidak dibiarkan belajar sendirian. Instruktur dari Unhas mendampingi secara intensif, baik dalam memahami teori maupun menerapkan praktik konstruksi sesuai standar.

Hasil: Peningkatan Nyata di Maros

Hasil penelitian menunjukkan temuan yang menggembirakan. Rata-rata skor post-test peserta meningkat signifikan dibanding pre-test. Dengan kata lain, dalam waktu singkat, pekerja mengalami lonjakan pemahaman teknis yang relevan dengan bidang kerja mereka.

  • Misalnya, dalam pekerjaan beton, banyak peserta awalnya tidak memahami proporsi campuran yang tepat. Setelah pelatihan, mereka bisa menjelaskan sekaligus mempraktikkan formula yang benar.
  • Di bidang jalan, peserta yang sebelumnya hanya mengandalkan pengalaman “turun-temurun” mulai memahami mengapa standar ketebalan lapisan aspal harus dipatuhi.

Lebih dari sekadar angka, peningkatan ini juga tercermin dalam sikap. Peserta mengaku lebih percaya diri, lebih memahami aspek keselamatan kerja, dan lebih siap menghadapi uji sertifikasi resmi.

Cerita di Balik Angka: Siapa yang Terdampak?

Salah satu poin menarik dalam studi ini adalah sisi manusiawi dari pekerja. Banyak di antara mereka yang sudah bertahun-tahun bekerja di lapangan, tetapi tetap dipandang sebagai tenaga informal. Program ini memberi mereka secercah harapan untuk naik kelas.

Bayangkan seorang tukang batu yang selama 15 tahun bekerja tanpa pengakuan formal. Setelah mengikuti pembekalan, ia bukan hanya memahami teknik baru, tetapi juga memiliki peluang nyata untuk mendapatkan sertifikat kompetensi. Itu berarti akses lebih besar ke proyek pemerintah, peningkatan upah, dan—yang paling penting—pengakuan sosial bahwa keterampilannya berharga.

Implikasi: Lebih dari Sekadar Pelatihan

Penelitian ini menegaskan bahwa dampak program pembekalan teknis tidak berhenti pada individu, melainkan meluas ke tingkat daerah dan nasional.

  • Bagi Kabupaten Maros, program ini memperkuat basis tenaga kerja lokal yang siap menghadapi proyek besar tanpa harus mendatangkan pekerja dari luar daerah.
  • Bagi Pemerintah Nasional, inisiatif ini menjadi contoh konkret desentralisasi pelatihan tenaga kerja: universitas dan pemerintah daerah bisa bekerja sama untuk mempercepat sertifikasi.
  • Bagi Dunia Usaha, tenaga kerja yang lebih terlatih berarti proyek bisa selesai lebih cepat, lebih aman, dan dengan mutu yang lebih terjamin.

Opini Kritis: Keterbatasan dan Peluang

Meski hasilnya menjanjikan, penelitian ini juga menyimpan catatan kritis. Pertama, cakupan program masih terbatas. Jumlah peserta yang dilatih relatif kecil dibanding ribuan pekerja konstruksi di Maros. Kedua, pelatihan hanya berlangsung singkat, sehingga ada risiko keterampilan baru tidak bertahan lama jika tidak segera diikuti uji sertifikasi.

Selain itu, penelitian ini hanya berfokus pada pekerja lapangan. Padahal, ekosistem konstruksi melibatkan banyak level, termasuk mandor, pengawas, hingga kontraktor kecil. Tanpa pelatihan menyeluruh, risiko miskomunikasi dan kesenjangan standar masih terbuka.

Namun, justru di sinilah peluangnya. Studi ini bisa menjadi batu loncatan untuk program yang lebih besar, terintegrasi, dan berkelanjutan.

Konteks Global dan Relevansi untuk Indonesia

Masalah tenaga kerja konstruksi bukan monopoli Maros. Di banyak negara berkembang, pekerja konstruksi sering berstatus informal, tanpa sertifikat, dan kurang akses pada pelatihan. Konsekuensinya sama: mutu proyek menurun, risiko kecelakaan meningkat, dan pekerja tetap miskin meski bekerja keras.

Bagi Indonesia, kisah Maros adalah cermin kecil dari tantangan besar nasional. Jika ribuan proyek infrastruktur terus berjalan tanpa tenaga kerja terlatih, Indonesia berisiko membangun gedung dan jalan di atas fondasi rapuh.

Sebaliknya, jika program pembekalan teknis digelar secara masif di seluruh daerah, dampaknya bisa dahsyat:

  • Kualitas proyek meningkat.
  • Angka kecelakaan kerja menurun.
  • Pekerja mendapat pengakuan dan kesejahteraan lebih baik.
  • Indonesia lebih siap bersaing di kancah global.

Kesimpulan: Dari Maros untuk Indonesia

Studi ini memberi pesan tegas: membangun infrastruktur tidak cukup dengan dana besar dan desain megah. Kualitas proyek bergantung pada tenaga kerja yang mengeksekusinya.

Program Pembekalan Teknis Tenaga Kerja Konstruksi di Maros adalah contoh baik bagaimana universitas, pemerintah, dan masyarakat bisa berkolaborasi. Meski masih terbatas, hasilnya nyata: pengetahuan meningkat, sikap berubah, dan harapan baru terbuka bagi pekerja konstruksi lokal.

Jika model ini diperluas, Indonesia bisa melahirkan generasi pekerja konstruksi yang bukan hanya kuat di lapangan, tetapi juga sah secara kompetensi. Dalam lima tahun, efeknya bisa terlihat: biaya pembangunan berkurang karena minim rework, mutu proyek lebih terjamin, dan pekerja lokal naik kelas.

Pembangunan sejatinya bukan hanya soal beton dan baja. Ia adalah soal manusia yang mengerjakannya. Maros sudah memulai langkah kecil itu. Kini, giliran Indonesia menjadikannya gerakan nasional.

Sumber Artikel

Universitas Hasanuddin. (2023). Pembekalan Teknis Tenaga Kerja Konstruksi Bidang Pekerjaan Gedung dan Jalan di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan

Selengkapnya
Membangun Maros dari Fondasi Tenaga Kerja: Mengulik Program Pembekalan Teknis Konstruksi

Sertifikasi Profesi dan Tenaga Kerja

Membangun Tanpa Pengakuan: Krisis Sertifikasi Tenaga Konstruksi

Dipublikasikan oleh Hansel pada 04 September 2025


Di balik gedung-gedung yang menjulang, jembatan yang kokoh, hingga rumah sederhana yang nyaman ditinggali, ada jutaan pekerja konstruksi yang sehari-harinya memanggul batu, mencetak bata, atau merakit kayu. Namun, ironisnya, sebagian besar dari mereka hidup tanpa pengakuan resmi atas keterampilan yang mereka miliki. Mereka terlihat di lapangan, tetapi “tak terlihat” di sistem formal.

Sebuah studi komprehensif yang mengulas program Recognition of Prior Learning (RPL) di Tanzania, khususnya yang digerakkan oleh Vocational Education and Training Authority (VETA), membuka fakta penting. RPL seharusnya menjadi jembatan: memberi sertifikat resmi kepada para pekerja informal yang sebenarnya sudah mahir melalui pengalaman. Namun kenyataannya, jembatan ini seringkali terputus di tengah jalan.

Masalahnya ternyata bukan sekadar sertifikat. Lebih dalam dari itu, penelitian menemukan bahwa ada lapisan hambatan struktural, biaya, akses, dan persepsi yang terus menghalangi pekerja untuk benar-benar mendapat pengakuan. Bila dibiarkan, situasi ini bukan hanya merugikan pekerja, tetapi juga melemahkan mutu proyek konstruksi, mengikis standar keselamatan, dan membatasi peluang ekonomi sebuah negara.

Artikel ini membuka lembaran penting di mana banyak tenaga konstruksi yang “terlihat” di lapangan namun tak diakui secara formal. Kegagalan pengakuan itu bukan sekadar soal sertifikat melainkan masalah struktur, biaya, akses, dan persepsi yang jika dibiarkan, memperlemah mutu proyek, mengikis keselamatan, dan menahan peluang ekonomi.

Mengapa isu ini penting hari ini?

Industri konstruksi di negara berkembang bergantung besar pada tenaga informal: tukang yang belajar dari pengalaman, keluarga, atau ‘turun-temurun’ praktik kerja. Di Tanzania, sektor informal menyumbang 60–80% kesempatan kerja dan memegang peranan signifikan dalam output industri. Ketika sebagian besar tenaga kerja ini tidak terakreditasi, negara kehilangan peluang besar untuk menaikkan standar mutu, keselamatan, dan mobilitas tenaga kerja. 

Masalahnya bukan teori: pengakuan keterampilan—atau ketiadaannya—mempengaruhi setiap langkah proyek. Pekerja tanpa sertifikat sulit diikutsertakan dalam penawaran kontrak resmi, terbatasi akses pembiayaan, dan cenderung lebih rentan terhadap upah rendah serta kecelakaan. Studi ini menegaskan: formalitas keterampilan adalah jembatan antara pengalaman lapangan dan peluang yang aman, produktif, serta berkelanjutan. 

Tanpa adanya sertifikat, keterampilan mereka tidak tercatat, tidak terukur, dan tidak bisa dibandingkan dengan standar resmi. Akibatnya, mereka:

  • Sulit diikutsertakan dalam tender atau kontrak resmi.
  • Terbatas aksesnya pada lembaga keuangan, karena tidak punya bukti formal atas profesinya.
  • Lebih rentan terhadap upah rendah dan diskriminasi.
  • Tidak memiliki perlindungan cukup terhadap kecelakaan kerja.

Dengan kata lain, tanpa pengakuan keterampilan, mereka terus berada di pinggiran, meski konstruksi modern justru berdiri di atas kerja keras mereka.

Metodologi singkat seberapa kuat datanya?

Penelitian ini menggunakan desain deskriptif campuran (kualitatif + kuantitatif), mengambil sampel 68 calon peserta RPL dari dua bidang: Masonry/Bricklaying dan Carpentry/Joinery, dengan respons valid sekitar 68% (46 responden). Analisis memakai Relative Importance Index (RII) untuk meranking hambatan-hambatan utama. Hasilnya memberi bobot empiris pada masalah yang selama ini hanya “dirasakan” pelaku lapangan.

Data besar lain yang layak disebut: pada fase penilaian (Feb 2017–Nov 2018) tercatat 22.390 terdaftar, namun hanya 3.989 yang dinilai dan 3.580 lulus memperlihatkan bahwa kapasitas penilaian dan aliran kandidat masih jauh dari kebutuhan nyata di lapangan. Angka-angka ini memberi dimensi kuantitatif yang membumi: potensi besar, tapi realisasi kecil. 

Temuan inti: tiga kelompok hambatan utama

Penelitian merangkum hambatan dalam tiga blok: (1) aturan & prosedur RPL, (2) kendala pengembangan keterampilan (skills development), dan (3) keterbatasan institusional & sumber daya. Tiap poin di bawah dijelaskan dengan narasi yang lebih rinci.

1) Aturan dan prosedur RPL birokrasi yang menyurutkan niat

Prosedur RPL mengikuti alur logis: awareness → fasilitasi → screening → assessment → sertifikasi. Namun kenyataannya, proses ini terasa kompleks bagi pekerja harian: persyaratan bukti (portfolio), waktu pengumpulan, dan biaya menjadi penghalang nyata. Hasil RII menunjukkan kurangnya awareness sebagai hambatan utama pada level prosedur.
Proses yang ideal di atas lapangan sering berbenturan dengan realitas pekerja informally employed—mereka bekerja dari proyek ke proyek, jam kerja panjang, dan pendapatan harian yang tidak stabil. Mengumpulkan bukti, menghadiri fasilitasi, atau bahkan datang ke pusat VETA berarti kehilangan penghasilan sehari atau beberapa hari. Jadi, aturan yang tampak wajar secara teknis menjadi mahal secara ekonomi bagi individu. Akibatnya, banyak calon menilai RPL sebagai “waktu terbuang” persepsi ini mendapatkan skor RII tertinggi pada beberapa kategori (mis. RII 0,90 untuk persepsi pemborosan waktu pada kelompok masonry). Ketika program dianggap mengganggu mata pencaharian, partisipasi otomatis turun, terlepas dari manfaat jangka panjang sertifikasi.

2) Hambatan pengembangan keterampilan kesenjangan informasi dan akses

Responden menempatkan kurangnya pengetahuan tentang manfaat sertifikat RPL sebagai penghalang besar banyak pekerja percaya sertifikat hanya berguna untuk yang hendak melanjutkan studi, bukan untuk meningkatkan permintaan jasa mereka sehari-hari. Ini membuat motivasi pendaftaran rendah. 
Mispersepsi ini berakar pada struktur pasar lokal: klien perorangan lebih tertarik harga dan kecepatan, jarang menanyakan sertifikat ke tukang. Akibatnya, tukang yang bertahan di siklus kerja informal tidak melihat keuntungan langsung dari sertifikasi. Studi menunjukkan sekitar 73% pekerja beranggapan sertifikat “hanya untuk belajar lebih lanjut,” sehingga potensi peningkatan upah atau akses tender formal kurang kentara dalam benak mereka. 

Selain itu, ketersediaan pusat VETA di area rural sangat terbatas. Akses fisik yang sulit menambah biaya dan waktu perjalanan, faktor yang krusial bagi pekerja harian. Perluasan kapasitas infrastruktur menjadi salah satu rekomendasi utama penelitian.

3) Keterbatasan institusional: profesional RPL & relevansi standar

Penelitian menyorot kekurangan tenaga fasilitator, assessor, dan moderator RPL yang kompeten. Tanpa kapasitas itu, kualitas assessment terancam inkonsistensi. Selain itu, standar kualifikasi yang ada (class standards) kerap tidak pas dengan standar lapangan—artinya, apa yang dinilai di dokumen formal tidak selalu mencerminkan keterampilan praktis yang dikuasai tukang di lokasi kerja.
Bayangkan seorang tukang batu yang mahir membuat dinding kokoh lewat teknik lokal yang terbukti tahan lama namun jika standar formal menilai kemampuan berbeda (mis. prosedur kerja atau terminologi), ia berisiko gagal hanya karena terminologi atau format portofolio. Ini menempatkan beban ganda: pekerja harus menyesuaikan praktik nyata dengan format formal, menambah waktu dan biaya. Kekurangan profesional RPL memperparah masalah karena assessor kurang familiar dengan konteks lapangan, sehingga penilaian bisa terasa “asing” bagi kandidat.

Fakta menarik (dalam bullet, agar mudah diserap)

  • Rata-rata partisipasi yang dinilai jauh lebih kecil dibanding yang terdaftar: dari 22.390 terdaftar hanya 3.989 dinilai
  • Persepsi “waktu terbuang” (wasted time) mendapat RII tertinggi artinya, faktor ekonomi dan waktu mendominasi keputusan tidak ikut RPL. 
  • Kurangnya VETA/ketersediaan pusat pelatihan di area rural menjadi hambatan nyata, dinilai penting oleh hampir semua responden. 

Rekomendasi praktis dari studi apa yang bisa dilakukan sekarang?

Peneliti menyusun strategi terukur berdasarkan analisis RII dan masukan lapangan. Inti rekomendasinya dapat diringkas sebagai lima langkah prioritas berikut, yang setiap langkah akan saya jelaskan dua paragraf agar jelas implementasinya.

1) Perbaiki dan perluas program sosialisasi (advertising & awareness)

Sosialisasi harus keluar dari kanal formal (website, brosur) ke kanal yang diikuti pekerja: pengumuman di vijiwe(tempat tunggu harian tukang), megaphone di pasar, fliers di halte angkutan, serta jam penyuluhan di lokasi proyek. Strategi sederhana ini mendapat RII tertinggi untuk efektivitas. 

VETA dapat bekerja sama dengan komunitas lokal, menggunakan peta vijiwe untuk target kampanye, dan menjadwalkan roadshow teratur saat musim sepi proyek agar pekerja bisa hadir tanpa kehilangan penghasilan utama. Langkah ini murah tetapi berdampak besar pada awareness. 

2) Perluas titik layanan VETA buka pusat dekat komunitas pekerja

Peningkatan kapasitas VETA, terutama di daerah rural dan pinggiran kota, akan mengurangi biaya akses dan waktu hilang bagi calon peserta. Alternatif: mobile-assessment units atau kerja sama dengan LSM/organisasi gereja lokal untuk ruang assessment sementara. 

Dampak langsungnya adalah ketika jarak dan biaya berkurang, pendaftaran meningkat bukan sekadar teori: penelitian mengkonfirmasi bahwa akses fisik memengaruhi keputusan pekerja untuk mendaftar. Investasi ini juga membuka jalur pemberdayaan ekonomi setempat. 

3) Sederhanakan proses bukti (portfolio) dan adaptasikan metode penilaian

Penelitian menyoroti bahwa metode portfolio sering dianggap mahal dan memakan waktu. Solusi: tetapkan template bukti kerja yang sederhana (foto, video singkat kerja nyata, tanda tangan klien) serta opsi assessment on-site yang menilai kemampuan langsung tanpa prosedur administratif berbelit.

Selain itu, kembangkan metode penilaian yang kontekstual assessor harus dilatih mengenali variasi teknik lokal yang valid. Ini mengurangi risiko “mengadili” keterampilan praktis dengan standar teoritis yang tak relevan. 

4) Bangun mekanisme pembiayaan bersama (cost-sharing)

RPL dinilai mahal oleh banyak calon. Skema pembiayaan bersama antara pemerintah (subsidi SDL), kontraktor, dan kandidat bisa mengurangi beban langsung. Insentif bagi perusahaan yang memfasilitasi pekerja mereka mengikuti RPL (mis. prioritas tender) juga disarankan peneliti.

Anggap RPL sebagai investasi sektor perusahaan yang menanggung biaya sertifikasi jangka menengah akan mendapat tenaga kerja lebih produktif, mengurangi rework, dan meningkatkan reputasi. Skema pilot bisa dimulai di satu wilayah lalu diperluas. 

5) Bangun target nasional dan kerjasama multi-pihak

Peneliti menyarankan target nasional jumlah informal workers yang mendapat recognition per tahun, serta kerjasama VETA–industri–LSM untuk knowledge sharing, pengembangan tool, dan monitoring. Target membuat program terukur dan memudahkan alokasi anggaran. 

Implementasi nyata: bentuk taskforce lokal yang memonitor enrolment, outcome penempatan kerja, dan tingkat lulus—data ini bisa dipakai untuk perbaikan berkelanjutan. 

Kritik realistis apa yang kurang dari studi dan implementasi

Pertama, cakupan riset terbatas pada dua trade (masonry dan carpentry) dan area Dar-es-Salaam; hasilnya kuat untuk konteks itu tetapi perlu generalisasi hati-hati sebelum diterapkan di seluruh negara atau sektor lain. Studi sendiri merekomendasikan perluasan penelitian ke lebih banyak trade. 

Kedua, rekomendasi implementatif memerlukan komitmen anggaran dan reformasi institusional—bukan sekadar kampanye. Misalnya, penambahan VETA centre di rural memerlukan dana dan kebijakan fiskal; skema cost-sharing perlu kerangka hukum agar berkelanjutan. Tanpa politik dan dana, ide bagus akan tetap retorika. 

Kesimpulan: dari masalah ke peluang nyata

Penelitian ini menegaskan: mengakui keterampilan informal lewat RPL bukan sekadar memberi “kertas” pada tukang ini pintu untuk keselamatan kerja lebih baik, mutu konstruksi lebih tinggi, mobilitas tenaga kerja, dan pengurangan ketimpangan akses pendidikan vokasi. Bila strategi yang direkomendasikan diterapkan—iklan yang tepat sasaran, pusat layanan lebih dekat, proses bukti yang sederhana, pendanaan bersama, dan target nasional efeknya bisa terasa cepat: peningkatan pendaftaran, penurunan rework, dan peningkatan peluang kerja formal.

Jika pemerintah bersama sektor swasta serius menjalankan paket rekomendasi tersebut, negara seperti Tanzania (dan konteks serupa) berpeluang melihat lonjakan pengakuan keterampilan dalam 3–5 tahun, yang pada gilirannya akan memperbaiki kualitas pembangunan infrastruktur dan menambah daya tawar pekerja. Akhirnya, formalitas keterampilan membuka akses pada pasar yang lebih besar—dari pekerjaan rumah tangga ke kontrak publik. 

Sumber Artikel:

Mbunda, U., Lello, D., & Tesha, D. (2020). Barriers of the recognition of informal construction workers towards improving their skills; The case of Recognizing Prior Learning (RPL) programme in Tanzania. International Journal of Construction Engineering and Management9(2), 63-80.

Selengkapnya
Membangun Tanpa Pengakuan: Krisis Sertifikasi Tenaga Konstruksi

Sertifikasi Profesi dan Tenaga Kerja

Meningkatkan Produktivitas Tenaga Kerja Konstruksi: Evaluasi Strategis di Proyek Gedung

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 06 Mei 2025


Pendahuluan: Mengapa Produktivitas Tenaga Kerja Jadi Isu Sentral?

Dalam industri konstruksi, tenaga kerja merupakan elemen vital yang memengaruhi langsung durasi, kualitas, dan biaya proyek. Namun, masalah klasik seperti keterlambatan proyek dan pembengkakan anggaran seringkali berakar pada rendahnya produktivitas tenaga kerja. Artikel karya Mustaqim T. dan Arif S. Pane ini mengangkat tema tersebut dengan fokus pada proyek pembangunan gedung, memberikan gambaran mendalam tentang faktor-faktor yang memengaruhi kinerja pekerja dan bagaimana upaya peningkatan dapat diterapkan secara nyata.

Tujuan Penelitian dan Konteks Proyek

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur produktivitas tenaga kerja secara kuantitatif dan mengidentifikasi faktor-faktor penyebab rendahnya kinerja. Studi dilakukan di proyek pembangunan gedung Universitas Negeri Medan dengan metode kuantitatif deskriptif. Fokus utama adalah pada pekerjaan bekisting, pembesian, dan pengecoran kolom yang secara umum membutuhkan keterampilan dan koordinasi tinggi di lapangan.

Metodologi: Mengupas Produktivitas dengan Data Lapangan

Pengumpulan data dilakukan melalui:

  • Observasi langsung terhadap 30 pekerja di 10 hari kerja

  • Penggunaan metode kuantifikasi produktivitas satuan output/jam kerja

  • Wawancara dengan mandor dan pengawas lapangan

 

Metodologi ini relevan dan aplikatif untuk diterapkan dalam proyek serupa karena menyajikan hasil konkret berdasarkan aktivitas kerja harian.

Dari hasil wawancara dan observasi, penyebab rendahnya produktivitas antara lain:

  • Minimnya pelatihan kerja

  • Kurangnya pengawasan langsung

  • Peralatan kerja tidak optimal

  • Kedisiplinan dan kehadiran pekerja yang fluktuatif

  • Koordinasi antartim yang belum optimal
     

Kondisi ini menggambarkan bahwa produktivitas bukan hanya soal kemampuan teknis, tapi juga manajerial dan motivasional.

Perbandingan dengan Studi Lain

Studi ini sejalan dengan temuan Fiqra Afrian dkk. (2022) mengenai rendahnya produktivitas pekerja pada pekerjaan dinding bata ringan akibat kurangnya perencanaan tenaga kerja dan monitoring yang lemah. Demikian pula, penelitian Adebowale & Agumba (2021) menyebutkan bahwa faktor manajemen proyek, termasuk komunikasi dan logistik, merupakan variabel signifikan dalam mendorong produktivitas kerja.

Relevansi Industri: Tantangan dan Solusi Praktis

Tantangan Umum di Proyek Konstruksi:

  • Tenaga kerja tidak terampil banyak digunakan demi menekan biaya.

  • Ketidaksesuaian antara perencanaan waktu dan realisasi di lapangan.

  • Absennya sistem evaluasi kinerja individual secara berkala.

Solusi yang Disarankan Berdasarkan Temuan Penelitian:

  1. Peningkatan Pelatihan: Pelatihan singkat pra-proyek untuk menstandarkan teknik kerja dasar.

  2. Reward System: Sistem insentif berbasis produktivitas nyata (misalnya: bonus harian berdasarkan target capaian).

  3. Perbaikan Koordinasi: Penambahan pengawas lapangan dan perbaikan komunikasi vertikal/horizontal dalam proyek.

  4. Pemanfaatan Teknologi: Penggunaan aplikasi monitoring kerja harian (contoh: penggunaan time tracker sederhana).

Kritik dan Catatan untuk Penelitian

Meskipun penelitian ini menyajikan data konkret dan metode observasional yang baik, terdapat beberapa hal yang bisa ditingkatkan:

  • Keterbatasan Sampel: Hanya dilakukan pada satu proyek dan dalam waktu pengamatan relatif singkat (10 hari).

  • Aspek Kualitatif Minim: Penilaian terhadap motivasi, kepuasan kerja, atau faktor psikososial belum dieksplorasi.

  • Tidak Ada Simulasi Produktivitas Alternatif: Misalnya, simulasi dampak jika satu faktor (misal pelatihan) ditingkatkan 50%.

Namun demikian, artikel ini memberikan fondasi kuat bagi pengembangan studi lebih lanjut, terutama yang mengintegrasikan pendekatan multidisiplin (manajemen proyek + psikologi kerja).

Studi Kasus Industri: Pembelajaran dari Proyek MRT Jakarta

Sebagai perbandingan, proyek MRT Jakarta dikenal sebagai salah satu proyek dengan kontrol produktivitas tenaga kerja yang ketat. Di proyek tersebut, dilakukan:

  • Briefing pagi setiap hari selama 15 menit

  • Penilaian mingguan terhadap setiap kelompok kerja

  • Insentif kolektif berbasis kinerja mingguan

Dengan sistem ini, waktu penyelesaian pekerjaan struktur bisa ditekan 20% lebih cepat dibandingkan proyek sejenis.

Jika pendekatan serupa diterapkan pada proyek seperti yang diteliti dalam paper ini, potensi peningkatan efisiensi dapat ditingkatkan secara signifikan.

Kesimpulan: Pentingnya Intervensi Manajerial untuk Produktivitas Optimal

Produktivitas tenaga kerja adalah tolok ukur utama dalam keberhasilan proyek konstruksi. Penelitian oleh Mustaqim T. dan Arif S. Pane mengungkap bahwa pencapaian tenaga kerja masih berada di bawah standar nasional, terutama karena faktor manajemen, motivasi, dan kurangnya dukungan teknis. Untuk mencapai target efisiensi dan kualitas, intervensi berbasis pelatihan, motivasi, dan manajemen proyek perlu segera diterapkan. Industri konstruksi Indonesia dapat mengambil pelajaran berharga dari temuan ini untuk menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks dan kompetitif.

Sumber

Mustaqim T., Arif S. Pane. Kinerja Produktivitas Tenaga Kerja pada Proyek Pembangunan Gedung. Jurnal Ilmiah Teknik Sipil dan Arsitektur. Tersedia di: https://ejurnal.untag-smd.ac.id/index.php/TEK/article/view/4631

Selengkapnya
Meningkatkan Produktivitas Tenaga Kerja Konstruksi: Evaluasi Strategis di Proyek Gedung

Sertifikasi Profesi dan Tenaga Kerja

Badan Nasional Sertifikasi Profesi

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 16 Mei 2024


Badan Nasional Sertifikasi Profesi disingkat (BNSP) adalah sebuah lembaga independen yang dibentuk pemerintah untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Badan ini bekerja untuk menjamin mutu kompetensi dan pengakuan tenaga kerja pada seluruh sektor bidang profesi di Indonesia melalui proses sertifikasi kompetensi kerja bagi tenaga kerja, baik yang berasal dari lulusan pelatihan kerja maupun dari pengalaman kerja.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah melantik 7 anggota Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) periode 2023-2028 15 November 2023.

Adapun 7 anggota BNSP yang dilantik, yaitu Syamsi Hari (ketua merangkap anggota), Ulfah Masfufah (wakil ketua merangkap anggota), Amilin (anggota), Miftahul Azis (anggota), Adi Mahfudz Wuhadji (anggota), Nurwijoyo Satrio Aji Martono (anggota), dan Muhammad Nur Hayid (anggota).

Tugas pokok dan fungsi

Tugas pokok dan fungsi BNSP sebagai otoritas sertifikasi personel sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi, utamanya pasal 4 Ayat 1): Guna terlaksananya tugas sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, BNSP dapat memberikan lisensi kepada lembaga sertifikasi profesi yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja. Ayat 2): Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian lisensi lembaga sertifikasi profesi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1) ditetapkan lebih lanjut oleh BNSP.

Sumber: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Badan Nasional Sertifikasi Profesi
page 1 of 1