Sertifikasi Profesi dan Tenaga Kerja
Dipublikasikan oleh Hansel pada 09 September 2025
Di balik deretan gedung, jalan, dan jembatan yang berdiri di berbagai pelosok Indonesia, ada tangan-tangan pekerja konstruksi yang menopang peradaban modern. Mereka adalah aktor utama pembangunan, namun ironisnya, seringkali berada di posisi yang paling rentan: minim pelatihan, kurang sertifikasi, dan terbatas akses terhadap pengakuan formal.
Sebuah studi terbaru di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, membuka tabir persoalan klasik ini. Penelitian tersebut menyoroti program Pembekalan Teknis Tenaga Kerja Konstruksi yang digagas Universitas Hasanuddin (Unhas), bekerja sama dengan pemerintah setempat, sebagai upaya menjawab tantangan besar dalam sektor konstruksi: bagaimana memastikan tenaga kerja yang terlibat dalam proyek vital bukan hanya sekadar ada, tetapi juga mampu dan terlatih sesuai standar.
Artikel ini akan membedah secara mendalam hasil studi itu—mulai dari akar masalah, metode, hingga dampak nyata—dengan bahasa yang mudah dipahami publik. Lebih jauh lagi, kita akan menelusuri mengapa kisah Maros ini relevan bukan hanya untuk Sulawesi Selatan, melainkan untuk seluruh Indonesia yang sedang berpacu dalam pembangunan infrastruktur.
Latar Belakang: Antara Regulasi dan Realitas Lapangan
Indonesia sejatinya telah memiliki payung hukum yang jelas untuk menjamin kualitas tenaga kerja konstruksi. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi menegaskan bahwa setiap pekerja konstruksi wajib memiliki sertifikasi kompetensi. Aturan ini bukan formalitas belaka; ia dirancang untuk memastikan keselamatan, mutu pekerjaan, dan keberlangsungan pembangunan nasional.
Namun, praktik di lapangan seringkali bercerita lain. Di berbagai daerah, terutama di luar kota-kota besar, ribuan pekerja konstruksi tetap bekerja tanpa sertifikat. Alasannya beragam: biaya sertifikasi yang dianggap mahal, akses ke lembaga pelatihan yang terbatas, hingga rendahnya kesadaran pekerja maupun kontraktor akan pentingnya legalitas kompetensi.
Di Kabupaten Maros, masalah ini juga nyata. Banyak tenaga kerja berpengalaman yang sehari-hari terlibat dalam pembangunan gedung atau jalan, tetapi statusnya masih “tenaga kasat mata”: terlihat bekerja, namun tak terdaftar dalam sistem resmi. Situasi ini berbahaya. Tanpa pengakuan formal, pekerja kehilangan perlindungan hukum, sementara proyek terancam menghadapi risiko mutu dan keselamatan.
Mengapa Program Ini Penting Hari Ini?
Penelitian dari Unhas menyoroti hal yang mengejutkan: masih ada jurang besar antara regulasi dan implementasi. Padahal, Indonesia sedang gencar melaksanakan proyek infrastruktur berskala masif—dari jalan tol, bendungan, hingga ibu kota negara baru.
Inilah yang membuat program pembekalan teknis menjadi relevan sekaligus mendesak. Ia bukan sekadar kegiatan formalitas, melainkan pintu masuk menuju tata kelola konstruksi yang lebih aman, adil, dan berdaya saing.
Studi Kasus Maros: Kolaborasi Unhas dan Pemerintah Daerah
Penelitian ini berfokus pada program Pembekalan Teknis Tenaga Kerja Konstruksi di Maros. Universitas Hasanuddin sebagai perguruan tinggi terkemuka di timur Indonesia mengambil peran sebagai motor penggerak, berkolaborasi dengan Dinas Pekerjaan Umum dan lembaga terkait.
Program ini dirancang bukan hanya untuk memberi penyuluhan singkat, tetapi juga untuk mengukur kompetensi peserta melalui mekanisme pre-test dan post-test. Dengan demikian, hasilnya bisa dinilai secara objektif: apakah ada peningkatan pengetahuan dan keterampilan setelah pembekalan?
Peserta kegiatan adalah tenaga kerja lokal—mulai dari tukang batu, tukang kayu, hingga pekerja jalan—yang sehari-hari terlibat dalam proyek konstruksi, tetapi mayoritas belum memiliki sertifikat kompetensi.
Metodologi: Dari Kelas ke Lapangan
Kegiatan pembekalan teknis berlangsung dalam beberapa tahapan.
Hasil: Peningkatan Nyata di Maros
Hasil penelitian menunjukkan temuan yang menggembirakan. Rata-rata skor post-test peserta meningkat signifikan dibanding pre-test. Dengan kata lain, dalam waktu singkat, pekerja mengalami lonjakan pemahaman teknis yang relevan dengan bidang kerja mereka.
Lebih dari sekadar angka, peningkatan ini juga tercermin dalam sikap. Peserta mengaku lebih percaya diri, lebih memahami aspek keselamatan kerja, dan lebih siap menghadapi uji sertifikasi resmi.
Cerita di Balik Angka: Siapa yang Terdampak?
Salah satu poin menarik dalam studi ini adalah sisi manusiawi dari pekerja. Banyak di antara mereka yang sudah bertahun-tahun bekerja di lapangan, tetapi tetap dipandang sebagai tenaga informal. Program ini memberi mereka secercah harapan untuk naik kelas.
Bayangkan seorang tukang batu yang selama 15 tahun bekerja tanpa pengakuan formal. Setelah mengikuti pembekalan, ia bukan hanya memahami teknik baru, tetapi juga memiliki peluang nyata untuk mendapatkan sertifikat kompetensi. Itu berarti akses lebih besar ke proyek pemerintah, peningkatan upah, dan—yang paling penting—pengakuan sosial bahwa keterampilannya berharga.
Implikasi: Lebih dari Sekadar Pelatihan
Penelitian ini menegaskan bahwa dampak program pembekalan teknis tidak berhenti pada individu, melainkan meluas ke tingkat daerah dan nasional.
Opini Kritis: Keterbatasan dan Peluang
Meski hasilnya menjanjikan, penelitian ini juga menyimpan catatan kritis. Pertama, cakupan program masih terbatas. Jumlah peserta yang dilatih relatif kecil dibanding ribuan pekerja konstruksi di Maros. Kedua, pelatihan hanya berlangsung singkat, sehingga ada risiko keterampilan baru tidak bertahan lama jika tidak segera diikuti uji sertifikasi.
Selain itu, penelitian ini hanya berfokus pada pekerja lapangan. Padahal, ekosistem konstruksi melibatkan banyak level, termasuk mandor, pengawas, hingga kontraktor kecil. Tanpa pelatihan menyeluruh, risiko miskomunikasi dan kesenjangan standar masih terbuka.
Namun, justru di sinilah peluangnya. Studi ini bisa menjadi batu loncatan untuk program yang lebih besar, terintegrasi, dan berkelanjutan.
Konteks Global dan Relevansi untuk Indonesia
Masalah tenaga kerja konstruksi bukan monopoli Maros. Di banyak negara berkembang, pekerja konstruksi sering berstatus informal, tanpa sertifikat, dan kurang akses pada pelatihan. Konsekuensinya sama: mutu proyek menurun, risiko kecelakaan meningkat, dan pekerja tetap miskin meski bekerja keras.
Bagi Indonesia, kisah Maros adalah cermin kecil dari tantangan besar nasional. Jika ribuan proyek infrastruktur terus berjalan tanpa tenaga kerja terlatih, Indonesia berisiko membangun gedung dan jalan di atas fondasi rapuh.
Sebaliknya, jika program pembekalan teknis digelar secara masif di seluruh daerah, dampaknya bisa dahsyat:
Kesimpulan: Dari Maros untuk Indonesia
Studi ini memberi pesan tegas: membangun infrastruktur tidak cukup dengan dana besar dan desain megah. Kualitas proyek bergantung pada tenaga kerja yang mengeksekusinya.
Program Pembekalan Teknis Tenaga Kerja Konstruksi di Maros adalah contoh baik bagaimana universitas, pemerintah, dan masyarakat bisa berkolaborasi. Meski masih terbatas, hasilnya nyata: pengetahuan meningkat, sikap berubah, dan harapan baru terbuka bagi pekerja konstruksi lokal.
Jika model ini diperluas, Indonesia bisa melahirkan generasi pekerja konstruksi yang bukan hanya kuat di lapangan, tetapi juga sah secara kompetensi. Dalam lima tahun, efeknya bisa terlihat: biaya pembangunan berkurang karena minim rework, mutu proyek lebih terjamin, dan pekerja lokal naik kelas.
Pembangunan sejatinya bukan hanya soal beton dan baja. Ia adalah soal manusia yang mengerjakannya. Maros sudah memulai langkah kecil itu. Kini, giliran Indonesia menjadikannya gerakan nasional.
Sumber Artikel
Universitas Hasanuddin. (2023). Pembekalan Teknis Tenaga Kerja Konstruksi Bidang Pekerjaan Gedung dan Jalan di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan