Risiko Bencana
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juli 2025
Mengapa Tata Kelola Risiko Bencana Menjadi Isu Global?
Dalam dua dekade terakhir, bencana alam semakin sering terjadi dan menimbulkan kerugian besar, baik dari sisi ekonomi maupun sosial. Tahun 2017 saja, tercatat 318 bencana alam di seluruh dunia yang memengaruhi 96 juta orang, menyebabkan lebih dari 9.500 kematian, dan kerugian ekonomi mencapai US$314 miliar. Negara-negara berpenghasilan rendah seperti Mozambik menjadi yang paling rentan, karena siklus bencana yang berulang memperparah kemiskinan dan memperlambat pembangunan. Di tengah perubahan iklim dan urbanisasi, tata kelola risiko bencana (Disaster Risk Governance/DRG) menjadi kunci untuk membangun ketahanan masyarakat dan memastikan pembangunan berkelanjutan.
Artikel ini mengulas secara kritis hasil penelitian Jenni Koivisto (2020) tentang tantangan dan peluang tata kelola risiko bencana di Mozambik. Dengan mengangkat studi kasus, data empiris, serta membandingkan dengan tren global, artikel ini diharapkan menjadi referensi strategis bagi pembuat kebijakan, praktisi, dan akademisi di bidang manajemen risiko bencana.
Latar Belakang: Mozambik di Pusaran Bencana dan Ketidakpastian
Sejarah dan Kondisi Sosial-Ekonomi
Mozambik merdeka dari Portugal pada 1975, namun langsung terjerumus dalam perang saudara yang berlangsung hingga 1992. Konflik ini menghancurkan infrastruktur, ekonomi, dan kepercayaan sosial-politik. Hingga kini, Mozambik masih termasuk salah satu negara termiskin di dunia, dengan ketergantungan tinggi pada bantuan luar negeri dan kapasitas tata kelola yang terbatas.
Paparan Bencana Alam
Secara geografis, Mozambik sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologi. Antara 1975–2018, negara ini mengalami 34 banjir, 23 badai, 13 kekeringan, dua longsor, satu gempa bumi, dan satu kebakaran besar. Sebagian besar penduduk dan aktivitas ekonomi terkonsentrasi di wilayah pesisir dan dataran rendah, sehingga paparan terhadap banjir dan badai sangat tinggi. Ketergantungan pada pertanian subsisten yang mengandalkan hujan juga memperbesar kerentanan masyarakat terhadap kekeringan.
Dampak Bencana terhadap Pembangunan
Bencana yang berulang menyebabkan kerugian ekonomi besar dan memperlambat pembangunan. Misalnya, banjir besar tahun 2000 menjadi titik balik yang memaksa pemerintah Mozambik untuk mulai mengadopsi pendekatan proaktif dalam manajemen bencana, termasuk pembentukan National Disasters Management Institute (INGC) dan penyusunan Master Plan for Disaster Risk Reduction.
Studi Kasus: Tata Kelola Risiko Bencana di Mozambik
Metodologi Penelitian
Penelitian Koivisto menggunakan pendekatan studi kasus dengan kombinasi wawancara semi-terstruktur, observasi partisipatif, dan analisis dokumen kebijakan. Data dikumpulkan selama dua periode lapangan di Maputo (2013 dan 2015), melibatkan 44 wawancara dengan 52 responden dari kementerian, LSM, lembaga internasional, donor bilateral, dan akademisi.
Temuan Utama: Faktor Pendorong dan Penghambat
Enabler (Faktor Pendorong)
Constraints (Faktor Penghambat)
Studi Kasus Lapangan: Relokasi di Lembah Sungai Zambezi
Salah satu kebijakan utama pemerintah Mozambik adalah relokasi penduduk dari dataran banjir di Lembah Sungai Zambezi. Namun, kebijakan ini menuai pro dan kontra:
Kebijakan relokasi ini menunjukkan pentingnya mendengarkan suara masyarakat dan mengintegrasikan pengetahuan lokal dalam perumusan kebijakan DRR.
Komite Manajemen Risiko Lokal
Mozambik membentuk komite manajemen risiko di tingkat komunitas yang beranggotakan relawan. Komite ini efektif dalam mobilisasi saat darurat, namun seringkali hanya berfokus pada respons, bukan pengurangan risiko jangka panjang. Selain itu, keterlibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan masih sangat terbatas.
Tantangan Desentralisasi
Meskipun struktur DRR di Mozambik secara formal mengikuti pendekatan multi-level (nasional, provinsi, distrik, lokal), kenyataannya, kapasitas dan sumber daya di tingkat sub-nasional sangat terbatas. Desentralisasi belum berjalan optimal karena distribusi kekuasaan dan anggaran masih terpusat.
Analisis Kritis: Ketidakpastian, Koordinasi, dan Dinamika Kekuasaan
Ketidakpastian dalam Tata Kelola
Penelitian ini menyoroti bahwa ketidakpastian dalam DRG tidak hanya berasal dari kurangnya data atau pengetahuan, tetapi juga dari dinamika strategis dan institusional. Semakin banyak aktor yang terlibat, semakin kompleks koordinasi dan semakin besar potensi konflik kepentingan.
Advocacy Coalition Framework (ACF) dalam DRR
Koivisto menggunakan pendekatan ACF untuk menganalisis koalisi aktor dalam subsistem kebijakan DRR di Mozambik. Terdapat dua koalisi utama:
Meskipun perbedaan tidak terlalu tajam, pergeseran anggota koalisi dan ambiguitas peran sering menghambat pengambilan keputusan.
Dampak Tingginya Pergantian Staf
Tingkat pergantian staf yang tinggi di lembaga-lembaga DRR menyebabkan hilangnya pengetahuan institusional, melemahkan kapasitas organisasi, dan menghambat kesinambungan program. Dampak negatif ini lebih terasa jika staf keluar dari sistem DRR secara keseluruhan, bukan hanya pindah antar lembaga di dalam sistem.
Pengaruh Global dan Ketergantungan Donor
Mozambik sangat bergantung pada pendanaan dan arahan dari lembaga internasional. Seringkali, prioritas program lebih ditentukan oleh agenda donor daripada kebutuhan lokal. Hal ini menyebabkan ketidaksesuaian antara kebijakan nasional dan kebutuhan masyarakat di lapangan.
Angka-Angka Kunci dari Penelitian
Perbandingan dengan Tren Global dan Studi Lain
Benchmarking Internasional
Opini dan Kritik
Rekomendasi Strategis untuk Masa Depan
1. Penguatan Kapasitas Lokal dan Desentralisasi
2. Kolaborasi Multi-Sektor dan Multi-Stakeholder
3. Integrasi DRR ke dalam Pembangunan
4. Manajemen Pengetahuan dan Retensi SDM
5. Adaptasi terhadap Perubahan Iklim
Hubungan dengan Tren Industri dan Kebijakan Global
Kesimpulan: Menuju Tata Kelola Risiko Bencana yang Tangguh dan Inklusif
Penelitian Jenni Koivisto (2020) menegaskan bahwa tata kelola risiko bencana di Mozambik masih menghadapi tantangan besar, mulai dari ketidakpastian institusional, koordinasi yang lemah, hingga ketergantungan pada donor. Namun, komitmen politik, pengalaman bencana masa lalu, dan dukungan internasional menjadi modal penting untuk membangun sistem yang lebih tangguh dan inklusif.
Kunci keberhasilan ke depan terletak pada penguatan kapasitas lokal, desentralisasi, kolaborasi multi-stakeholder, dan integrasi DRR ke dalam kebijakan pembangunan. Dengan demikian, Mozambik tidak hanya mampu mengurangi dampak bencana, tetapi juga mempercepat pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Sumber asli:
Jenni Koivisto (2020), Navigating in the Midst of Uncertainties: Challenges in disaster risk governance in Mozambique, EBA Dissertation Brief 2020:09, November 2020, Expertgruppen för biståndsanalys, Sverige.
Risiko Bencana
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juli 2025
Mengapa Desentralisasi Fiskal Penting dalam Mitigasi Bencana?
Desentralisasi fiskal—yakni pelimpahan kewenangan keuangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah—selama ini dianggap sebagai “obat mujarab” untuk meningkatkan pelayanan publik, termasuk dalam pengurangan risiko bencana. Teori dan kebijakan internasional, seperti Sendai Framework for Disaster Risk Reduction, menekankan pentingnya peran pemerintah lokal dalam menghadapi bencana. Namun, apakah desentralisasi fiskal benar-benar efektif dalam konteks negara rawan bencana seperti Filipina? Artikel ini merangkum temuan utama dari tesis Reynaldo Jr. Beluso Delos Santos (2023), mengupas data, studi kasus, dan perbandingan dengan tren global, serta menawarkan refleksi kritis untuk pembaca Indonesia dan Asia Tenggara.
Konteks Filipina: Negara Rawan Bencana dan Desentralisasi yang Kuat
Filipina adalah salah satu negara dengan risiko bencana alam tertinggi di dunia. Setiap tahun, rata-rata 20 topan melanda wilayah ini, menyumbang sekitar 25% dari total topan dunia. Selain itu, Filipina rawan gempa bumi, letusan gunung api, tanah longsor, dan banjir. Data 1990–2022 menunjukkan 212 juta penduduk terdampak bencana dengan 41.000 korban jiwa dan kerugian ekonomi mencapai USD 36 miliar.
Sistem Pemerintahan dan Desentralisasi Fiskal
Sejak diberlakukannya Local Government Code tahun 1991, Filipina menganut sistem desentralisasi yang kuat. Pemerintah daerah (provinsi, kota, munisipalitas, dan barangay) mendapat kewenangan luas dalam pelayanan publik, termasuk mitigasi bencana, serta akses pada dana transfer pusat (Internal Revenue Allotment/IRA) yang mencapai 40% dari pajak nasional.
Namun, ketergantungan pada dana pusat justru meningkat: pada 2021, 77,8% pendapatan provinsi berasal dari transfer pusat, naik dari 75,5% pada 2012. Hanya sekitar 15% pendapatan provinsi yang benar-benar berasal dari sumber lokal.
Studi Kasus: Bencana Besar dan Peran Pemerintah Daerah
Topan Yolanda (Haiyan) 2013
Topan Yolanda menyoroti tantangan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Banyak daerah yang sistem manajemen bencananya lumpuh, sementara bantuan pusat terlambat karena lemahnya komunikasi dan fragmentasi birokrasi.
Topan Pablo (Bopha) 2012
Temuan Utama: Desentralisasi Fiskal Justru Berkorelasi dengan Kerugian Lebih Besar
Metodologi dan Data
Penelitian ini menggunakan data panel 81 provinsi di Filipina (2017–2021), dengan dua indikator utama:
Indikator desentralisasi fiskal diukur dari persentase pendapatan asli daerah (PAD) terhadap total pendapatan provinsi. Model statistik yang digunakan adalah Generalized Linear Models (GLM), khususnya negative binomial regression untuk mengatasi data count dan overdispersion.
Hasil Utama
Penjelasan: Mengapa Desentralisasi Tidak Selalu Efektif?
Studi Kasus Tambahan: Fragmentasi dan Koordinasi Lemah
Perbandingan dengan Penelitian Global
Implikasi Kebijakan: Haruskah Desentralisasi Diperkuat?
Rekomendasi Praktis
Kritik dan Refleksi: Apa yang Bisa Dipelajari Indonesia?
Kesimpulan: Menuju Sistem Mitigasi Bencana yang Efektif
Desentralisasi fiskal di Filipina, alih-alih menurunkan risiko bencana, justru berkorelasi dengan peningkatan korban jiwa dan penduduk terdampak. Temuan ini menantang dogma internasional dan menyoroti pentingnya desain kelembagaan, insentif fiskal, serta koordinasi lintas wilayah dan level pemerintahan. Bagi Indonesia dan negara berkembang lain, pelajaran utamanya: desentralisasi fiskal harus diiringi tata kelola yang kuat, insentif yang tepat, dan pengawasan efektif agar benar-benar berdampak positif pada mitigasi bencana.
Sumber artikel:
Delos Santos, Reynaldo Jr. Beluso. (2023). Fiscal Decentralization and Disaster Mitigation: Evidence from the Philippines. Graduate School of Public Policy, The University of Tokyo.
Risiko Bencana
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juli 2025
Bencana hidrometeorologi seperti banjir, kekeringan, longsor, dan erosi pantai semakin sering terjadi di berbagai belahan dunia akibat perubahan iklim dan urbanisasi yang pesat. Sri Lanka, sebuah negara kepulauan di Asia Selatan, menjadi salah satu contoh nyata di mana bencana-bencana ini berdampak besar pada kehidupan masyarakat, ekonomi, dan pembangunan wilayah. Menurut data, rata-rata 1,98 juta penduduk Sri Lanka terdampak bencana hidrometeorologi setiap tahun antara 2009–2018, dengan kerugian ekonomi yang sangat signifikan1.
Artikel ilmiah “An assessment of structural measures for risk reduction of hydrometeorological disasters in Sri Lanka” oleh Kanchana Ginige dkk. (2022) membedah secara komprehensif efektivitas, tantangan, dan kebutuhan pengembangan langkah-langkah struktural (structural measures) untuk mitigasi bencana hidrometeorologi di Sri Lanka. Resensi ini akan mengulas temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus konkret, mengaitkan dengan tren global, serta memberikan analisis kritis dan perbandingan dengan praktik di negara lain.
Apa Itu Langkah Struktural dalam Mitigasi Bencana?
Langkah struktural adalah intervensi fisik atau rekayasa teknik yang bertujuan mengurangi dampak bencana, misalnya pembangunan bendungan, tanggul, kanal, tembok laut, sistem drainase, dan penguatan lereng. Langkah ini berbeda dengan langkah non-struktural seperti edukasi, peringatan dini, atau kebijakan tata ruang. Di negara berkembang seperti Sri Lanka, langkah struktural sering menjadi andalan utama karena dianggap memberikan perlindungan langsung dan nyata terhadap bahaya fisik1.
Ragam dan Kondisi Langkah Struktural di Sri Lanka
Tipe-Tipe Langkah Struktural
Berdasarkan hasil telaah literatur dan wawancara dengan 12 pakar dari berbagai institusi kunci (Dinas Irigasi, NBRO, Coast Conservation Dept, dan lainnya), langkah struktural di Sri Lanka dikategorikan menurut jenis bencana sebagai berikut:
Sebagian besar langkah struktural di Sri Lanka bersifat permanen dan “hard engineering”, sementara solusi temporer atau berbasis alam masih terbatas penerapannya.
Kondisi Terkini: Tantangan Usia dan Teknologi
Salah satu temuan penting adalah banyak infrastruktur pengendali banjir dan erosi di Sri Lanka sudah berusia tua—mayoritas dibangun sebelum tahun 1980-an. Akibatnya, efektivitasnya menurun, sering mengalami overtopping (air melimpas tanggul), dan tidak mampu mengimbangi perubahan iklim serta pertumbuhan penduduk dan urbanisasi1.
Sebagai contoh, proyek-proyek pengendalian banjir di DAS Kelani, Gin, dan Nilwala sudah sangat membutuhkan rehabilitasi. Banyak struktur ini tidak lagi sesuai dengan kebutuhan perlindungan saat ini karena perubahan tata guna lahan dan peningkatan populasi di sekitar area rawan banjir.
Studi Kasus: Banjir di Kota Rathnapura
Kota Rathnapura, pusat perdagangan batu permata di Sri Lanka, menjadi studi kasus utama dalam paper ini. Kota ini hampir setiap tahun mengalami banjir besar akibat curah hujan tinggi dan letaknya di dataran banjir Sungai Kalu. Pada banjir besar tahun 2017, 206 keluarga dan 1.203 jiwa terdampak, 80% area kota terendam selama 2–5 hari. Kerusakan meliputi infrastruktur, lahan pertanian, dan korban jiwa1.
Sebagai respons, Dinas Irigasi mengusulkan pembangunan tanggul besar dari Warakatota Bridge hingga Ayurveda Office untuk melindungi kota. Studi kelayakan menunjukkan bahwa biaya pembangunan sistem perlindungan penuh lebih kecil dibandingkan kerugian ekonomi akibat banjir dan longsor tahun 2017. Ini memperkuat argumen bahwa investasi besar di awal pada langkah struktural akan membuahkan manfaat ekonomi dan sosial jangka panjang.
Kekurangan dan Tantangan Implementasi
1. Usia Infrastruktur
Mayoritas struktur pengendali banjir dan erosi sudah tua, sehingga efektivitasnya menurun drastis. Banyak struktur dibangun sebelum 1980-an dan belum diperbarui secara signifikan.
2. Kurangnya Langkah untuk Kekeringan
Dibandingkan dengan banjir dan erosi, langkah struktural untuk mitigasi kekeringan sangat minim. Padahal, kekeringan menjadi penyumbang terbesar kerugian ekonomi di sektor kesehatan, dengan rata-rata US$52,8 juta per tahun, 78% dari total biaya bencana kesehatan1.
3. Praktik Konstruksi yang Buruk
Karena keterbatasan anggaran, Sri Lanka kerap membangun struktur pelindung pantai dengan biaya rendah tanpa studi kelayakan menyeluruh. Akibatnya, sering terjadi kebocoran, cacat konstruksi, dan bahkan keruntuhan.
4. Dampak Lingkungan
Beberapa proyek besar seperti Uma Oya Multipurpose Project dan Mahaweli Reservoir menyebabkan kerusakan lingkungan serius: erosi tanah, pencemaran air tanah, gangguan pada habitat satwa, dan intrusi air asin.
5. Kerusakan Infrastruktur Sekitar
Pembangunan struktur besar kadang merusak infrastruktur sekitar, seperti sumur dan jaringan air bersih, akibat aktivitas pengeboran dan penggalian.
6. Kurangnya Koordinasi dan Kerangka Keputusan
Tidak ada kerangka pengambilan keputusan yang konsisten berbasis analisis biaya-manfaat (Cost-Benefit Analysis/CBA) atau cost-effectiveness analysis (CEA) seperti yang lazim di Eropa atau Jepang. Akibatnya, prioritas proyek sering berubah tergantung pergantian pemerintahan dan tekanan sosial.
7. Keterbatasan Teknologi dan Dana
Sri Lanka belum mampu mengadopsi teknologi mutakhir seperti di Jepang atau Belanda, baik karena keterbatasan dana maupun sumber daya manusia.
Biaya dan Manfaat: Analisis Ekonomi dan Sosial
Manfaat Utama
Biaya dan Tantangan
Perbandingan Global: Apa yang Bisa Dipelajari dari Negara Lain?
Jepang:
Setelah tsunami 2011, Jepang membangun tanggul laut raksasa, penguatan tebing, dan jalan-jalan baru yang ditinggikan. Namun, investasi besar ini hanya mungkin dilakukan oleh negara dengan sumber daya ekonomi besar. Jepang juga mengombinasikan langkah struktural dengan sistem peringatan dini dan edukasi masyarakat.
Belanda:
Belanda menerapkan pendekatan multifungsi pada tanggul dan bendungan, mengintegrasikan fungsi perlindungan banjir dengan transportasi, rekreasi, dan perumahan. Analisis biaya-manfaat menjadi standar dalam setiap pengambilan keputusan.
Sri Lanka:
Sri Lanka masih tertinggal dalam hal adopsi teknologi, pemeliharaan, dan integrasi antara langkah struktural dan non-struktural. Namun, ada potensi besar untuk mengadopsi solusi berbasis alam (NbS) dan teknologi tepat guna yang lebih murah dan ramah lingkungan.
Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
Penutup: Pelajaran untuk Indonesia dan Dunia
Pengalaman Sri Lanka menegaskan bahwa investasi pada langkah struktural harus diimbangi dengan inovasi, pemeliharaan, dan integrasi kebijakan. Negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang juga rawan bencana hidrometeorologi, bisa mengambil pelajaran penting: pentingnya investasi jangka panjang, pemanfaatan teknologi tepat guna, dan sinergi antara langkah struktural dan non-struktural.
Dengan perubahan iklim yang semakin nyata, tantangan mitigasi bencana akan semakin kompleks. Hanya dengan pendekatan holistik, berbasis data, dan partisipatif, upaya pengurangan risiko bencana dapat memberikan perlindungan optimal bagi masyarakat dan pembangunan berkelanjutan.
Sumber artikel:
Ginige, Kanchana; Mendis, Kalindu; Thayaparan, Menaha. (2022). An assessment of structural measures for risk reduction of hydrometeorological disasters in Sri Lanka. Progress in Disaster Science, 14, 100232.
Risiko Bencana
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025
Antara Retorika dan Realitas Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas
Dalam satu dekade terakhir, pendekatan Community-Based Disaster Risk Reduction (CBDRR) atau pengurangan risiko bencana berbasis komunitas dianggap sebagai solusi inovatif untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana. Di atas kertas, CBDRR menjanjikan pelibatan aktif masyarakat dan pemanfaatan pengetahuan lokal (local knowledge/LK) yang telah terbukti efektif dalam menghadapi bencana. Namun, apakah retorika ini benar-benar terwujud di lapangan? Paper Robert Šakić Trogrlić dkk. (2022) membedah secara mendalam praktik CBDRR di Malawi, salah satu negara dengan tingkat kerentanan bencana tertinggi di Afrika Sub-Sahara, untuk melihat sejauh mana pengetahuan lokal benar-benar diintegrasikan dalam pengurangan risiko bencana.
Artikel ini akan mengulas temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus di Lower Shire Valley, angka-angka penting, serta mengaitkan hasilnya dengan tren global dan tantangan nyata di negara berkembang lain.
Teori Dasar: Pengetahuan Lokal dan Peran CBDRR
Pengetahuan lokal dalam konteks pengurangan risiko bencana meliputi segala hal yang diketahui masyarakat tentang bahaya alam, persepsi risiko, serta strategi adaptasi yang diwariskan dan terus berkembang seiring pengalaman menghadapi bencana. Pengetahuan ini sangat beragam, dinamis, dan sering kali lebih kontekstual dibanding pengetahuan saintifik dari luar. CBDRR sendiri lahir sebagai respons terhadap kegagalan pendekatan top-down yang sering mengabaikan konteks lokal dan partisipasi masyarakat12.
Namun, meski dokumen internasional seperti Sendai Framework dan laporan IPCC menekankan pentingnya pengetahuan lokal, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pengakuan ini belum sepenuhnya diterjemahkan ke dalam praktik. Studi global oleh GNDR (2019) menemukan hanya 16% masyarakat di negara rawan bencana merasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan pengurangan risiko1.
Studi Kasus Malawi: Konteks, Metode, dan Angka Kunci
Latar Belakang Malawi
Malawi adalah negara kecil tanpa pantai di Afrika, dengan 51,5% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Negara ini sangat rentan terhadap banjir, kekeringan, dan bencana iklim lain. Setiap tahun, sekitar 100.000 orang terdampak banjir, dan pada 2015 serta 2019, banjir besar memengaruhi lebih dari satu juta jiwa dan menewaskan ratusan orang12.
CBDRR menjadi pendekatan utama di Malawi, didukung oleh kebijakan nasional seperti National Disaster Risk Management Policy (2015) dan Malawi Growth and Development Strategy III (2017-2022). Namun, implementasinya sangat bergantung pada kerja sama antara pemerintah daerah, NGO, dan komunitas lokal.
Metodologi Penelitian
Penelitian dilakukan pada 2016–2017 di Lower Shire Valley, kawasan paling rawan banjir di Malawi (Chikwawa dan Nsanje). Data dikumpulkan melalui:
Temuan Utama: Lima Hambatan Utama Integrasi Pengetahuan Lokal dalam CBDRR
1. Praktik Partisipasi Komunitas yang Tidak Inklusif
Secara teori, CBDRR menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam identifikasi masalah dan solusi. Namun, di Malawi, partisipasi sering kali hanya formalitas. Komite seperti Village Civil Protection Committees (VCPC) menjadi “wajah komunitas”, tetapi seringkali tidak benar-benar mewakili suara seluruh warga. Banyak keputusan sudah ditentukan oleh pemerintah atau NGO sebelum konsultasi dengan komunitas. Selain itu, pemilihan anggota VCPC kerap dipengaruhi elite lokal, sehingga pengetahuan dan kebutuhan kelompok rentan (perempuan, lansia, minoritas) kurang terwakili. Hasilnya, pengetahuan lokal yang diakomodasi hanya milik segelintir orang, bukan komunitas secara menyeluruh12.
2. Keterbatasan Dana dan Kapasitas Pemerintah serta NGO
Desentralisasi tata kelola bencana di Malawi tidak diikuti dengan alokasi dana dan sumber daya manusia yang memadai. Komite di tingkat desa hingga distrik seringkali tidak memiliki dana operasional, staf, atau pelatihan yang memadai. Akibatnya, interaksi dengan masyarakat dan penggalian pengetahuan lokal sangat terbatas. NGO juga menghadapi kendala serupa: proposal proyek harus disusun cepat, sering tanpa riset mendalam, dan lebih banyak menggunakan data sekunder yang sudah usang. Kurangnya dana untuk tahap inisiasi (baseline study) membuat pelibatan pengetahuan lokal hanya menjadi pelengkap, bukan inti program12.
3. Lanskap Donor yang Tidak Fleksibel
Sebagian besar pendanaan CBDRR di Malawi berasal dari donor internasional yang cenderung lebih menyukai solusi berbasis teknologi atau “best practice” dari luar negeri. Proyek-proyek donor biasanya berjangka pendek, menuntut hasil cepat dan terukur, sehingga proses partisipatif yang membutuhkan waktu dan tenaga sering dikorbankan. Banyak NGO mengaku “menari mengikuti irama donor”, sehingga kebutuhan dan pengetahuan lokal sering diabaikan jika tidak sesuai dengan prioritas donor. Bahkan, ada kasus proyek yang meniru model dari India tanpa menyesuaikan konteks lokal Malawi12.
4. Kelemahan Konsolidasi dan Berbagi Informasi
Koordinasi antara pemerintah, NGO, dan komunitas masih lemah. Informasi hasil konsultasi atau pengetahuan lokal yang dikumpulkan NGO sering tidak sampai ke pemerintah daerah atau tidak terdokumentasi dengan baik. Contohnya, indikator peringatan dini berbasis lokal (seperti perilaku hewan atau perubahan alam) jarang diintegrasikan ke dalam dokumen perencanaan bencana tingkat distrik. Akibatnya, pengetahuan lokal yang sudah didokumentasikan pun tidak dimanfaatkan secara optimal dalam pengambilan keputusan12.
5. Sikap dan Preferensi Stakeholder Eksternal
Banyak pejabat pemerintah dan staf NGO mengakui pentingnya pengetahuan lokal, tetapi dalam praktiknya lebih percaya pada data saintifik dan “modern”. Pengetahuan lokal sering dianggap tak berdasar, kuno, atau bahkan takhayul, kecuali sudah divalidasi secara ilmiah. Akibatnya, ada dikotomi tajam antara pengetahuan lokal dan pengetahuan saintifik, dan CBDRR justru gagal menjadi jembatan yang mempertemukan keduanya. Sikap ini membuat komunitas merasa pengetahuan mereka tidak dihargai, sehingga partisipasi menjadi formalitas belaka12.
Studi Kasus dan Kutipan Nyata
Analisis Kritis: Mengapa Gap Ini Terjadi?
Kelemahan Desain dan Implementasi CBDRR
CBDRR di Malawi secara struktural sudah mengadopsi sistem desentralisasi dan pelibatan masyarakat. Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa sistem ini masih sangat top-down, baik karena tekanan donor, keterbatasan sumber daya, maupun budaya birokrasi yang belum sepenuhnya inklusif. Selain itu, kurangnya pelatihan bagi staf pemerintah dan NGO dalam metode partisipatif dan penggalian pengetahuan lokal memperparah masalah.
Tantangan Universal di Negara Berkembang
Temuan di Malawi bukan kasus tunggal. Studi serupa di Indonesia, Filipina, dan negara Afrika lain juga menemukan bahwa partisipasi komunitas dan integrasi pengetahuan lokal sering hanya menjadi jargon proyek. Kesenjangan antara retorika dan praktik ini diperkuat oleh dominasi pendekatan saintifik, tekanan donor, dan lemahnya kapasitas lokal.
Potensi Transformasi: Apa yang Bisa Diperbaiki?
Implikasi untuk Kebijakan dan Praktik Global
Penutup: Menuju CBDRR yang Benar-Benar Inklusif
Studi Trogrlić dkk. menegaskan bahwa CBDRR di Malawi masih gagal memanfaatkan potensi pengetahuan lokal secara optimal akibat lima hambatan utama: partisipasi semu, keterbatasan dana dan kapasitas, tekanan donor, lemahnya konsolidasi informasi, dan bias terhadap pengetahuan saintifik. Tanpa transformasi mendasar dalam desain, implementasi, dan evaluasi, CBDRR berisiko menjadi sekadar formalitas, bukan motor perubahan nyata. Pelajaran dari Malawi sangat relevan untuk negara-negara lain yang ingin membangun ketangguhan bencana berbasis komunitas secara otentik dan berkelanjutan.
Sumber asli:
Robert Šakić Trogrlić, Melanie Duncan, Grant Wright, Marc van den Homberg, Adebayo Adeloye, Faidess Mwale. (2022). Why does community-based disaster risk reduction fail to learn from local knowledge? Experiences from Malawi. International Journal of Disaster Risk Reduction, 83, 103405.