Risiko Bencana

Menavigasi Ketidakpastian: Tantangan dan Peluang Tata Kelola Risiko Bencana di Mozambik

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juli 2025


Mengapa Tata Kelola Risiko Bencana Menjadi Isu Global?

Dalam dua dekade terakhir, bencana alam semakin sering terjadi dan menimbulkan kerugian besar, baik dari sisi ekonomi maupun sosial. Tahun 2017 saja, tercatat 318 bencana alam di seluruh dunia yang memengaruhi 96 juta orang, menyebabkan lebih dari 9.500 kematian, dan kerugian ekonomi mencapai US$314 miliar. Negara-negara berpenghasilan rendah seperti Mozambik menjadi yang paling rentan, karena siklus bencana yang berulang memperparah kemiskinan dan memperlambat pembangunan. Di tengah perubahan iklim dan urbanisasi, tata kelola risiko bencana (Disaster Risk Governance/DRG) menjadi kunci untuk membangun ketahanan masyarakat dan memastikan pembangunan berkelanjutan.

Artikel ini mengulas secara kritis hasil penelitian Jenni Koivisto (2020) tentang tantangan dan peluang tata kelola risiko bencana di Mozambik. Dengan mengangkat studi kasus, data empiris, serta membandingkan dengan tren global, artikel ini diharapkan menjadi referensi strategis bagi pembuat kebijakan, praktisi, dan akademisi di bidang manajemen risiko bencana.

Latar Belakang: Mozambik di Pusaran Bencana dan Ketidakpastian

Sejarah dan Kondisi Sosial-Ekonomi

Mozambik merdeka dari Portugal pada 1975, namun langsung terjerumus dalam perang saudara yang berlangsung hingga 1992. Konflik ini menghancurkan infrastruktur, ekonomi, dan kepercayaan sosial-politik. Hingga kini, Mozambik masih termasuk salah satu negara termiskin di dunia, dengan ketergantungan tinggi pada bantuan luar negeri dan kapasitas tata kelola yang terbatas.

Paparan Bencana Alam

Secara geografis, Mozambik sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologi. Antara 1975–2018, negara ini mengalami 34 banjir, 23 badai, 13 kekeringan, dua longsor, satu gempa bumi, dan satu kebakaran besar. Sebagian besar penduduk dan aktivitas ekonomi terkonsentrasi di wilayah pesisir dan dataran rendah, sehingga paparan terhadap banjir dan badai sangat tinggi. Ketergantungan pada pertanian subsisten yang mengandalkan hujan juga memperbesar kerentanan masyarakat terhadap kekeringan.

Dampak Bencana terhadap Pembangunan

Bencana yang berulang menyebabkan kerugian ekonomi besar dan memperlambat pembangunan. Misalnya, banjir besar tahun 2000 menjadi titik balik yang memaksa pemerintah Mozambik untuk mulai mengadopsi pendekatan proaktif dalam manajemen bencana, termasuk pembentukan National Disasters Management Institute (INGC) dan penyusunan Master Plan for Disaster Risk Reduction.

Studi Kasus: Tata Kelola Risiko Bencana di Mozambik

Metodologi Penelitian

Penelitian Koivisto menggunakan pendekatan studi kasus dengan kombinasi wawancara semi-terstruktur, observasi partisipatif, dan analisis dokumen kebijakan. Data dikumpulkan selama dua periode lapangan di Maputo (2013 dan 2015), melibatkan 44 wawancara dengan 52 responden dari kementerian, LSM, lembaga internasional, donor bilateral, dan akademisi.

Temuan Utama: Faktor Pendorong dan Penghambat

Enabler (Faktor Pendorong)

  • Pengalaman Bencana Masa Lalu: Bencana besar seperti banjir 2000 mendorong perubahan kebijakan.
  • Dukungan Internasional: Bantuan teknis dan pendanaan dari lembaga global mempercepat adopsi kebijakan DRR.
  • Partisipasi Multi-Sektor: Keterlibatan berbagai aktor dari pemerintah, LSM, dan masyarakat sipil memperkaya perspektif.
  • Peningkatan Pengetahuan dan Kesadaran: Edukasi dan pelatihan meningkatkan kapasitas aktor lokal.
  • Difusi Kebijakan: Adopsi praktik terbaik dari negara lain melalui kerjasama internasional.

Constraints (Faktor Penghambat)

  • Keterbatasan Sumber Daya: Anggaran dan SDM yang minim membatasi implementasi kebijakan.
  • Kurangnya Koordinasi: Informasi tidak mengalir lancar antar lembaga, menyebabkan tumpang tindih dan inefisiensi.
  • Sistem Politik Hierarkis: Pengambilan keputusan terpusat, partisipasi lokal terbatas.
  • Mandat Tidak Jelas: Tumpang tindih tugas antar lembaga menyebabkan kebingungan.
  • Ambiguitas Konsep DRR: Pemahaman yang berbeda-beda tentang DRR menghambat sinergi.
  • Prioritas pada Respons Bencana: Fokus masih pada penanganan darurat, bukan pencegahan dan pengurangan risiko.

Studi Kasus Lapangan: Relokasi di Lembah Sungai Zambezi

Salah satu kebijakan utama pemerintah Mozambik adalah relokasi penduduk dari dataran banjir di Lembah Sungai Zambezi. Namun, kebijakan ini menuai pro dan kontra:

  • Pendekatan Relokasi: Pemerintah menilai relokasi sebagai solusi utama untuk mengurangi risiko banjir.
  • Preferensi Masyarakat Lokal: Banyak warga lebih memilih tetap tinggal di dekat sungai karena alasan ekonomi dan budaya.
  • Peran LSM dan Organisasi Internasional: Mendorong pendekatan “living with floods” dengan perbaikan infrastruktur dan edukasi, bukan relokasi paksa.

Kebijakan relokasi ini menunjukkan pentingnya mendengarkan suara masyarakat dan mengintegrasikan pengetahuan lokal dalam perumusan kebijakan DRR.

Komite Manajemen Risiko Lokal

Mozambik membentuk komite manajemen risiko di tingkat komunitas yang beranggotakan relawan. Komite ini efektif dalam mobilisasi saat darurat, namun seringkali hanya berfokus pada respons, bukan pengurangan risiko jangka panjang. Selain itu, keterlibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan masih sangat terbatas.

Tantangan Desentralisasi

Meskipun struktur DRR di Mozambik secara formal mengikuti pendekatan multi-level (nasional, provinsi, distrik, lokal), kenyataannya, kapasitas dan sumber daya di tingkat sub-nasional sangat terbatas. Desentralisasi belum berjalan optimal karena distribusi kekuasaan dan anggaran masih terpusat.

Analisis Kritis: Ketidakpastian, Koordinasi, dan Dinamika Kekuasaan

Ketidakpastian dalam Tata Kelola

Penelitian ini menyoroti bahwa ketidakpastian dalam DRG tidak hanya berasal dari kurangnya data atau pengetahuan, tetapi juga dari dinamika strategis dan institusional. Semakin banyak aktor yang terlibat, semakin kompleks koordinasi dan semakin besar potensi konflik kepentingan.

Advocacy Coalition Framework (ACF) dalam DRR

Koivisto menggunakan pendekatan ACF untuk menganalisis koalisi aktor dalam subsistem kebijakan DRR di Mozambik. Terdapat dua koalisi utama:

  • Koalisi Manajemen Bencana: Melihat DRR sebagai bagian dari respons bencana.
  • Koalisi Pembangunan Partisipatif: Memahami DRR sebagai isu pembangunan yang membutuhkan partisipasi masyarakat.

Meskipun perbedaan tidak terlalu tajam, pergeseran anggota koalisi dan ambiguitas peran sering menghambat pengambilan keputusan.

Dampak Tingginya Pergantian Staf

Tingkat pergantian staf yang tinggi di lembaga-lembaga DRR menyebabkan hilangnya pengetahuan institusional, melemahkan kapasitas organisasi, dan menghambat kesinambungan program. Dampak negatif ini lebih terasa jika staf keluar dari sistem DRR secara keseluruhan, bukan hanya pindah antar lembaga di dalam sistem.

Pengaruh Global dan Ketergantungan Donor

Mozambik sangat bergantung pada pendanaan dan arahan dari lembaga internasional. Seringkali, prioritas program lebih ditentukan oleh agenda donor daripada kebutuhan lokal. Hal ini menyebabkan ketidaksesuaian antara kebijakan nasional dan kebutuhan masyarakat di lapangan.

Angka-Angka Kunci dari Penelitian

  • Jumlah bencana 1975–2018: 34 banjir, 23 badai, 13 kekeringan, 2 longsor, 1 gempa bumi, 1 kebakaran besar.
  • Dampak bencana 2017 (global): 318 bencana, 96 juta terdampak, 9.500 kematian, US$314 miliar kerugian.
  • Jumlah wawancara penelitian: 44 wawancara, 52 responden dari berbagai sektor.
  • Cakupan relokasi: Ribuan warga di Lembah Zambezi direlokasi pasca banjir besar.

Perbandingan dengan Tren Global dan Studi Lain

Benchmarking Internasional

  • Negara-negara maju umumnya sudah mengadopsi tata kelola risiko bencana yang kolaboratif, adaptif, dan transparan, dengan desentralisasi yang kuat.
  • Negara berkembang seperti Mozambik masih menghadapi tantangan besar dalam hal kapasitas, koordinasi, dan ketergantungan pada donor.
  • Studi di Asia dan Amerika Latin menunjukkan bahwa keberhasilan DRR sangat ditentukan oleh partisipasi masyarakat, desentralisasi, dan integrasi DRR ke dalam kebijakan pembangunan.

Opini dan Kritik

  • Kelebihan Mozambik: Komitmen politik untuk menempatkan DRR di agenda nasional cukup kuat, didukung oleh kerjasama internasional yang intensif.
  • Kekurangan: Implementasi kebijakan masih lemah, partisipasi masyarakat terbatas, dan sistem terlalu bergantung pada individu kunci yang rentan terhadap pergantian staf.
  • Peluang: Dengan memperkuat kapasitas lokal, memperluas desentralisasi, dan mengintegrasikan pengetahuan lokal, Mozambik dapat menjadi model bagi negara-negara lain di Afrika.

Rekomendasi Strategis untuk Masa Depan

1. Penguatan Kapasitas Lokal dan Desentralisasi

  • Pelatihan dan transfer pengetahuan harus difokuskan pada level provinsi, distrik, dan komunitas.
  • Desentralisasi anggaran dan kewenangan agar pengambilan keputusan lebih responsif terhadap kebutuhan lokal.

2. Kolaborasi Multi-Sektor dan Multi-Stakeholder

  • Membangun forum dialog antara pemerintah, LSM, donor, dan masyarakat untuk merumuskan kebijakan DRR yang inklusif.
  • Mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi program DRR.

3. Integrasi DRR ke dalam Pembangunan

  • DRR harus menjadi bagian integral dari kebijakan pembangunan nasional dan daerah, bukan sekadar respons darurat.
  • Penguatan sistem monitoring dan evaluasi untuk memastikan kebijakan benar-benar diimplementasikan dan berdampak nyata.

4. Manajemen Pengetahuan dan Retensi SDM

  • Dokumentasi dan transfer pengetahuan harus menjadi prioritas untuk mengurangi dampak negatif pergantian staf.
  • Insentif dan jenjang karier bagi staf DRR agar mereka bertahan lebih lama di sistem.

5. Adaptasi terhadap Perubahan Iklim

  • Integrasi DRR dan adaptasi perubahan iklim dalam perencanaan pembangunan, mengingat Mozambik sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Hubungan dengan Tren Industri dan Kebijakan Global

  • Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015–2030 menekankan pentingnya tata kelola risiko bencana yang inklusif, transparan, dan berbasis data.
  • SDGs (Sustainable Development Goals), khususnya SDG 11 dan 13, menuntut negara-negara untuk membangun kota dan komunitas yang tangguh serta mengambil aksi nyata terhadap perubahan iklim.
  • Industri asuransi dan keuangan mulai melirik DRR sebagai bagian dari manajemen risiko investasi, membuka peluang kemitraan baru antara sektor publik dan swasta.

Kesimpulan: Menuju Tata Kelola Risiko Bencana yang Tangguh dan Inklusif

Penelitian Jenni Koivisto (2020) menegaskan bahwa tata kelola risiko bencana di Mozambik masih menghadapi tantangan besar, mulai dari ketidakpastian institusional, koordinasi yang lemah, hingga ketergantungan pada donor. Namun, komitmen politik, pengalaman bencana masa lalu, dan dukungan internasional menjadi modal penting untuk membangun sistem yang lebih tangguh dan inklusif.

Kunci keberhasilan ke depan terletak pada penguatan kapasitas lokal, desentralisasi, kolaborasi multi-stakeholder, dan integrasi DRR ke dalam kebijakan pembangunan. Dengan demikian, Mozambik tidak hanya mampu mengurangi dampak bencana, tetapi juga mempercepat pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Sumber asli:
Jenni Koivisto (2020), Navigating in the Midst of Uncertainties: Challenges in disaster risk governance in Mozambique, EBA Dissertation Brief 2020:09, November 2020, Expertgruppen för biståndsanalys, Sverige.

Selengkapnya
Menavigasi Ketidakpastian: Tantangan dan Peluang Tata Kelola Risiko Bencana di Mozambik

Risiko Bencana

Desentralisasi Fiskal dan Mitigasi Bencana di Filipina: Peluang, Tantangan, dan Fakta Lapangan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juli 2025


Mengapa Desentralisasi Fiskal Penting dalam Mitigasi Bencana?

Desentralisasi fiskal—yakni pelimpahan kewenangan keuangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah—selama ini dianggap sebagai “obat mujarab” untuk meningkatkan pelayanan publik, termasuk dalam pengurangan risiko bencana. Teori dan kebijakan internasional, seperti Sendai Framework for Disaster Risk Reduction, menekankan pentingnya peran pemerintah lokal dalam menghadapi bencana. Namun, apakah desentralisasi fiskal benar-benar efektif dalam konteks negara rawan bencana seperti Filipina? Artikel ini merangkum temuan utama dari tesis Reynaldo Jr. Beluso Delos Santos (2023), mengupas data, studi kasus, dan perbandingan dengan tren global, serta menawarkan refleksi kritis untuk pembaca Indonesia dan Asia Tenggara.

Konteks Filipina: Negara Rawan Bencana dan Desentralisasi yang Kuat

Risiko Bencana di Filipina

Filipina adalah salah satu negara dengan risiko bencana alam tertinggi di dunia. Setiap tahun, rata-rata 20 topan melanda wilayah ini, menyumbang sekitar 25% dari total topan dunia. Selain itu, Filipina rawan gempa bumi, letusan gunung api, tanah longsor, dan banjir. Data 1990–2022 menunjukkan 212 juta penduduk terdampak bencana dengan 41.000 korban jiwa dan kerugian ekonomi mencapai USD 36 miliar.

Sistem Pemerintahan dan Desentralisasi Fiskal

Sejak diberlakukannya Local Government Code tahun 1991, Filipina menganut sistem desentralisasi yang kuat. Pemerintah daerah (provinsi, kota, munisipalitas, dan barangay) mendapat kewenangan luas dalam pelayanan publik, termasuk mitigasi bencana, serta akses pada dana transfer pusat (Internal Revenue Allotment/IRA) yang mencapai 40% dari pajak nasional.

Namun, ketergantungan pada dana pusat justru meningkat: pada 2021, 77,8% pendapatan provinsi berasal dari transfer pusat, naik dari 75,5% pada 2012. Hanya sekitar 15% pendapatan provinsi yang benar-benar berasal dari sumber lokal.

Studi Kasus: Bencana Besar dan Peran Pemerintah Daerah

Topan Yolanda (Haiyan) 2013

  • Korban jiwa: >6.300 orang
  • Penduduk terdampak: >16 juta jiwa
  • Kerugian ekonomi: USD 2 miliar
  • Wilayah terdampak: 44 provinsi, 591 munisipalitas, 57 kota

Topan Yolanda menyoroti tantangan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Banyak daerah yang sistem manajemen bencananya lumpuh, sementara bantuan pusat terlambat karena lemahnya komunikasi dan fragmentasi birokrasi.

Topan Pablo (Bopha) 2012

  • Korban jiwa: >1.000 orang
  • Penduduk terdampak: >6 juta jiwa
  • Kerugian ekonomi: USD 1,7 miliar

Temuan Utama: Desentralisasi Fiskal Justru Berkorelasi dengan Kerugian Lebih Besar

Metodologi dan Data

Penelitian ini menggunakan data panel 81 provinsi di Filipina (2017–2021), dengan dua indikator utama:

  • Tingkat kematian akibat bencana
  • Jumlah penduduk terdampak bencana

Indikator desentralisasi fiskal diukur dari persentase pendapatan asli daerah (PAD) terhadap total pendapatan provinsi. Model statistik yang digunakan adalah Generalized Linear Models (GLM), khususnya negative binomial regression untuk mengatasi data count dan overdispersion.

Hasil Utama

  • Desentralisasi fiskal berkorelasi positif dengan kematian dan jumlah penduduk terdampak bencana.
    • Setiap kenaikan 1 poin pada indeks kemandirian fiskal, angka kematian akibat bencana meningkat hingga 30 kali lipat (IRR=30,34; CI: 0,97–945,49).
    • Untuk jumlah penduduk terdampak, efeknya bahkan lebih besar: 86 kali lipat (IRR=86,65; CI: 2,67–2817,34).
  • Variabel lain yang signifikan:
    • Paparan bencana: Setiap tambahan kejadian bencana meningkatkan risiko kematian (IRR=2,06) dan penduduk terdampak (IRR=3,85).
    • Urbanisasi dan kepemilikan lahan: Urbanisasi dan kepemilikan lahan yang aman menurunkan risiko kematian.
    • Good Governance Index: Anehnya, indeks tata kelola yang baik justru berkorelasi positif dengan angka kematian, menandakan bahwa tata kelola formal belum tentu efektif dalam konteks bencana.

Penjelasan: Mengapa Desentralisasi Tidak Selalu Efektif?

  • Spillover antarwilayah: Infrastruktur pengendali banjir atau mitigasi di satu daerah bisa berdampak pada daerah lain, sehingga koordinasi lintas wilayah sangat penting.
  • Moral hazard: Ketergantungan pada bantuan pusat membuat daerah enggan berinvestasi pada mitigasi bencana.
  • Fragmentasi: Banyaknya level pemerintahan dan kurangnya koordinasi menyebabkan tumpang tindih dan inefisiensi.
  • Prioritas politik: Pemerintah daerah lebih memilih investasi yang “terlihat” seperti infrastruktur ekonomi, bukan mitigasi bencana yang manfaatnya jangka panjang dan tidak populer secara politik.

Studi Kasus Tambahan: Fragmentasi dan Koordinasi Lemah

  • Typhoon Washi (Sendong) 2010 di Misamis Oriental: Struktur manajemen bencana yang terlalu “tinggi” dan birokratis justru menghambat koordinasi dan respons. Studi merekomendasikan re-sentralisasi manajemen bencana di tingkat regional.
  • Metro Manila dan Metro Cebu: Program nasional sering tidak terintegrasi dengan rencana daerah, sehingga banyak proyek mitigasi bencana berjalan sendiri-sendiri tanpa sinergi.

Perbandingan dengan Penelitian Global

  • Studi lintas negara (Escaleras & Register 2012; Skidmore & Toya 2013) umumnya menemukan desentralisasi fiskal menurunkan angka kematian bencana, terutama di negara berkembang.
  • Penelitian di AS dan Turki (Miao et al. 2020; Hermansson 2016) menemukan hasil sebaliknya: desentralisasi fiskal justru meningkatkan kerugian bencana karena masalah koordinasi dan insentif yang salah.
  • Penelitian di Indonesia (Putra & Matsuyuki 2019): Desentralisasi memperburuk fragmentasi, ketergantungan pada pusat, dan korupsi dalam penanganan bencana.

Implikasi Kebijakan: Haruskah Desentralisasi Diperkuat?

Rekomendasi Praktis

  1. Koordinasi Vertikal dan Horizontal
    • Pemerintah pusat harus tetap memegang peran utama dalam perencanaan dan pendanaan mitigasi bencana lintas wilayah.
    • Perlu mekanisme insentif dan sanksi agar daerah tidak hanya mengandalkan bantuan pusat.
  2. Penguatan Kapasitas Daerah
    • Transfer fiskal harus diimbangi dengan peningkatan kapasitas teknis dan perencanaan di daerah.
    • Monitoring dan evaluasi berbasis kinerja harus diperkuat.
  3. Integrasi Data dan Sistem Informasi
    • Sistem informasi bencana harus terintegrasi dari pusat ke daerah, memudahkan respons cepat dan akurat.
  4. Reformasi Dana Bencana
    • Dana bencana daerah (LDRRMF) harus lebih fleksibel untuk digunakan pada upaya mitigasi, bukan hanya respons pasca-bencana.
  5. Keseimbangan antara Desentralisasi dan Sentralisasi
    • Tidak semua fungsi harus didesentralisasikan; mitigasi bencana dengan efek lintas wilayah lebih efektif jika dikelola terpusat atau melalui kolaborasi antardaerah.

Kritik dan Refleksi: Apa yang Bisa Dipelajari Indonesia?

  • Desentralisasi fiskal bukan jaminan otomatis perbaikan mitigasi bencana. Tanpa koordinasi, insentif yang tepat, dan pengawasan, justru bisa memperburuk kerugian.
  • Pentingnya desain transfer fiskal: Transfer berbasis kinerja dan kebutuhan nyata, bukan sekadar formula populasi atau luas wilayah.
  • Mitigasi bencana harus jadi prioritas politik: Perlu edukasi dan advokasi agar investasi mitigasi bencana mendapat tempat dalam agenda pembangunan daerah.
  • Konteks lokal dan nasional berbeda: Hasil positif di satu negara belum tentu berlaku di negara lain, tergantung pada struktur pemerintahan, kapasitas, dan budaya politik.

Kesimpulan: Menuju Sistem Mitigasi Bencana yang Efektif

Desentralisasi fiskal di Filipina, alih-alih menurunkan risiko bencana, justru berkorelasi dengan peningkatan korban jiwa dan penduduk terdampak. Temuan ini menantang dogma internasional dan menyoroti pentingnya desain kelembagaan, insentif fiskal, serta koordinasi lintas wilayah dan level pemerintahan. Bagi Indonesia dan negara berkembang lain, pelajaran utamanya: desentralisasi fiskal harus diiringi tata kelola yang kuat, insentif yang tepat, dan pengawasan efektif agar benar-benar berdampak positif pada mitigasi bencana.

Sumber artikel:
Delos Santos, Reynaldo Jr. Beluso. (2023). Fiscal Decentralization and Disaster Mitigation: Evidence from the Philippines. Graduate School of Public Policy, The University of Tokyo.

Selengkapnya
Desentralisasi Fiskal dan Mitigasi Bencana di Filipina: Peluang, Tantangan, dan Fakta Lapangan

Risiko Bencana

Strategi Struktural dalam Mengurangi Risiko Bencana Hidrometeorologi di Sri Lanka: Studi Kasus, dan Implikasi Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juli 2025


Bencana hidrometeorologi seperti banjir, kekeringan, longsor, dan erosi pantai semakin sering terjadi di berbagai belahan dunia akibat perubahan iklim dan urbanisasi yang pesat. Sri Lanka, sebuah negara kepulauan di Asia Selatan, menjadi salah satu contoh nyata di mana bencana-bencana ini berdampak besar pada kehidupan masyarakat, ekonomi, dan pembangunan wilayah. Menurut data, rata-rata 1,98 juta penduduk Sri Lanka terdampak bencana hidrometeorologi setiap tahun antara 2009–2018, dengan kerugian ekonomi yang sangat signifikan1.

Artikel ilmiah “An assessment of structural measures for risk reduction of hydrometeorological disasters in Sri Lanka” oleh Kanchana Ginige dkk. (2022) membedah secara komprehensif efektivitas, tantangan, dan kebutuhan pengembangan langkah-langkah struktural (structural measures) untuk mitigasi bencana hidrometeorologi di Sri Lanka. Resensi ini akan mengulas temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus konkret, mengaitkan dengan tren global, serta memberikan analisis kritis dan perbandingan dengan praktik di negara lain.

Apa Itu Langkah Struktural dalam Mitigasi Bencana?

Langkah struktural adalah intervensi fisik atau rekayasa teknik yang bertujuan mengurangi dampak bencana, misalnya pembangunan bendungan, tanggul, kanal, tembok laut, sistem drainase, dan penguatan lereng. Langkah ini berbeda dengan langkah non-struktural seperti edukasi, peringatan dini, atau kebijakan tata ruang. Di negara berkembang seperti Sri Lanka, langkah struktural sering menjadi andalan utama karena dianggap memberikan perlindungan langsung dan nyata terhadap bahaya fisik1.

Ragam dan Kondisi Langkah Struktural di Sri Lanka

Tipe-Tipe Langkah Struktural

Berdasarkan hasil telaah literatur dan wawancara dengan 12 pakar dari berbagai institusi kunci (Dinas Irigasi, NBRO, Coast Conservation Dept, dan lainnya), langkah struktural di Sri Lanka dikategorikan menurut jenis bencana sebagai berikut:

  • Banjir: Bendungan, embung, kanal, tanggul, pintu air, sistem pompa, dinding penahan banjir, sandbag, dan kanal drainase.
  • Erosi Pantai: Tembok laut, revetment batu, breakwater, groin, beach nourishment.
  • Kekeringan: Embung dan bendungan (namun jumlahnya sangat terbatas untuk mitigasi kekeringan).
  • Longsor: Dinding penahan, soil nailing, sistem drainase lereng, rumah tahan longsor, shotcrete, serta solusi berbasis alam (Nature-based Solutions/NbS)1.

Sebagian besar langkah struktural di Sri Lanka bersifat permanen dan “hard engineering”, sementara solusi temporer atau berbasis alam masih terbatas penerapannya.

Kondisi Terkini: Tantangan Usia dan Teknologi

Salah satu temuan penting adalah banyak infrastruktur pengendali banjir dan erosi di Sri Lanka sudah berusia tua—mayoritas dibangun sebelum tahun 1980-an. Akibatnya, efektivitasnya menurun, sering mengalami overtopping (air melimpas tanggul), dan tidak mampu mengimbangi perubahan iklim serta pertumbuhan penduduk dan urbanisasi1.

Sebagai contoh, proyek-proyek pengendalian banjir di DAS Kelani, Gin, dan Nilwala sudah sangat membutuhkan rehabilitasi. Banyak struktur ini tidak lagi sesuai dengan kebutuhan perlindungan saat ini karena perubahan tata guna lahan dan peningkatan populasi di sekitar area rawan banjir.

Studi Kasus: Banjir di Kota Rathnapura

Kota Rathnapura, pusat perdagangan batu permata di Sri Lanka, menjadi studi kasus utama dalam paper ini. Kota ini hampir setiap tahun mengalami banjir besar akibat curah hujan tinggi dan letaknya di dataran banjir Sungai Kalu. Pada banjir besar tahun 2017, 206 keluarga dan 1.203 jiwa terdampak, 80% area kota terendam selama 2–5 hari. Kerusakan meliputi infrastruktur, lahan pertanian, dan korban jiwa1.

Sebagai respons, Dinas Irigasi mengusulkan pembangunan tanggul besar dari Warakatota Bridge hingga Ayurveda Office untuk melindungi kota. Studi kelayakan menunjukkan bahwa biaya pembangunan sistem perlindungan penuh lebih kecil dibandingkan kerugian ekonomi akibat banjir dan longsor tahun 2017. Ini memperkuat argumen bahwa investasi besar di awal pada langkah struktural akan membuahkan manfaat ekonomi dan sosial jangka panjang.

Kekurangan dan Tantangan Implementasi

1. Usia Infrastruktur

Mayoritas struktur pengendali banjir dan erosi sudah tua, sehingga efektivitasnya menurun drastis. Banyak struktur dibangun sebelum 1980-an dan belum diperbarui secara signifikan.

2. Kurangnya Langkah untuk Kekeringan

Dibandingkan dengan banjir dan erosi, langkah struktural untuk mitigasi kekeringan sangat minim. Padahal, kekeringan menjadi penyumbang terbesar kerugian ekonomi di sektor kesehatan, dengan rata-rata US$52,8 juta per tahun, 78% dari total biaya bencana kesehatan1.

3. Praktik Konstruksi yang Buruk

Karena keterbatasan anggaran, Sri Lanka kerap membangun struktur pelindung pantai dengan biaya rendah tanpa studi kelayakan menyeluruh. Akibatnya, sering terjadi kebocoran, cacat konstruksi, dan bahkan keruntuhan.

4. Dampak Lingkungan

Beberapa proyek besar seperti Uma Oya Multipurpose Project dan Mahaweli Reservoir menyebabkan kerusakan lingkungan serius: erosi tanah, pencemaran air tanah, gangguan pada habitat satwa, dan intrusi air asin.

5. Kerusakan Infrastruktur Sekitar

Pembangunan struktur besar kadang merusak infrastruktur sekitar, seperti sumur dan jaringan air bersih, akibat aktivitas pengeboran dan penggalian.

6. Kurangnya Koordinasi dan Kerangka Keputusan

Tidak ada kerangka pengambilan keputusan yang konsisten berbasis analisis biaya-manfaat (Cost-Benefit Analysis/CBA) atau cost-effectiveness analysis (CEA) seperti yang lazim di Eropa atau Jepang. Akibatnya, prioritas proyek sering berubah tergantung pergantian pemerintahan dan tekanan sosial.

7. Keterbatasan Teknologi dan Dana

Sri Lanka belum mampu mengadopsi teknologi mutakhir seperti di Jepang atau Belanda, baik karena keterbatasan dana maupun sumber daya manusia.

Biaya dan Manfaat: Analisis Ekonomi dan Sosial

Manfaat Utama

  • Perlindungan jiwa dan aset: Mengurangi korban jiwa dan kerugian harta benda secara signifikan.
  • Pengembangan ekonomi: Infrastruktur yang aman mendorong investasi dan pertumbuhan kota.
  • Pengembangan lahan dan stabilitas kota: Wilayah yang terlindungi dari bencana menjadi lebih layak huni dan berkembang.
  • Manfaat tambahan: Beberapa struktur memungkinkan pengembangan wisata, perikanan, dan rekreasi.

Biaya dan Tantangan

  • Biaya awal tinggi: Investasi besar diperlukan untuk pembangunan dan penggantian struktur.
  • Biaya pemeliharaan: Struktur tua membutuhkan biaya perawatan dan rehabilitasi yang terus meningkat.
  • Dampak sosial: Proyek besar kadang memerlukan relokasi warga, yang menimbulkan masalah kompensasi dan kehilangan nilai historis tanah.
  • Dampak lingkungan: Struktur besar dapat mengganggu ekosistem lokal dan mengubah pola alami bencana.
  • Risiko residual: Tidak ada struktur yang mampu memberikan perlindungan 100%; risiko sisa tetap ada dan harus dikelola dengan langkah non-struktural.

Perbandingan Global: Apa yang Bisa Dipelajari dari Negara Lain?

Jepang:

Setelah tsunami 2011, Jepang membangun tanggul laut raksasa, penguatan tebing, dan jalan-jalan baru yang ditinggikan. Namun, investasi besar ini hanya mungkin dilakukan oleh negara dengan sumber daya ekonomi besar. Jepang juga mengombinasikan langkah struktural dengan sistem peringatan dini dan edukasi masyarakat.

Belanda:

Belanda menerapkan pendekatan multifungsi pada tanggul dan bendungan, mengintegrasikan fungsi perlindungan banjir dengan transportasi, rekreasi, dan perumahan. Analisis biaya-manfaat menjadi standar dalam setiap pengambilan keputusan.

Sri Lanka:

Sri Lanka masih tertinggal dalam hal adopsi teknologi, pemeliharaan, dan integrasi antara langkah struktural dan non-struktural. Namun, ada potensi besar untuk mengadopsi solusi berbasis alam (NbS) dan teknologi tepat guna yang lebih murah dan ramah lingkungan.

Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan

  1. Rehabilitasi dan Penggantian Infrastruktur Tua
    • Prioritaskan peremajaan struktur pengendali banjir dan erosi yang sudah tua.
  2. Pengembangan Langkah Struktural untuk Kekeringan
    • Investasi pada embung bawah tanah dan perlindungan air tanah.
  3. Peningkatan Kapasitas Teknologi dan SDM
    • Transfer teknologi dari negara maju dan pelatihan tenaga ahli lokal.
  4. Integrasi Analisis Biaya-Manfaat dalam Pengambilan Keputusan
    • Terapkan CBA dan CEA untuk memastikan efisiensi dan efektivitas investasi.
  5. Kombinasi dengan Langkah Non-Struktural
    • Edukasi masyarakat, sistem peringatan dini, dan tata ruang berbasis risiko.
  6. Adopsi Solusi Berbasis Alam
    • Kembangkan NbS seperti reforestasi, bioengineering lereng, dan buffer zone pantai.
  7. Peningkatan Koordinasi Antar Lembaga
    • Bentuk badan khusus yang terintegrasi untuk mitigasi bencana hidrometeorologi.

Penutup: Pelajaran untuk Indonesia dan Dunia

Pengalaman Sri Lanka menegaskan bahwa investasi pada langkah struktural harus diimbangi dengan inovasi, pemeliharaan, dan integrasi kebijakan. Negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang juga rawan bencana hidrometeorologi, bisa mengambil pelajaran penting: pentingnya investasi jangka panjang, pemanfaatan teknologi tepat guna, dan sinergi antara langkah struktural dan non-struktural.

Dengan perubahan iklim yang semakin nyata, tantangan mitigasi bencana akan semakin kompleks. Hanya dengan pendekatan holistik, berbasis data, dan partisipatif, upaya pengurangan risiko bencana dapat memberikan perlindungan optimal bagi masyarakat dan pembangunan berkelanjutan.

Sumber artikel:
Ginige, Kanchana; Mendis, Kalindu; Thayaparan, Menaha. (2022). An assessment of structural measures for risk reduction of hydrometeorological disasters in Sri Lanka. Progress in Disaster Science, 14, 100232.

Selengkapnya
Strategi Struktural dalam Mengurangi Risiko Bencana Hidrometeorologi di Sri Lanka: Studi Kasus, dan Implikasi Global

Risiko Bencana

Mengapa Community-Based Disaster Risk Reduction (CBDRR) Gagal Memanfaatkan Pengetahuan Lokal? Studi Kritis atas Pengalaman Malawi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025


Antara Retorika dan Realitas Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas

Dalam satu dekade terakhir, pendekatan Community-Based Disaster Risk Reduction (CBDRR) atau pengurangan risiko bencana berbasis komunitas dianggap sebagai solusi inovatif untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana. Di atas kertas, CBDRR menjanjikan pelibatan aktif masyarakat dan pemanfaatan pengetahuan lokal (local knowledge/LK) yang telah terbukti efektif dalam menghadapi bencana. Namun, apakah retorika ini benar-benar terwujud di lapangan? Paper Robert Šakić Trogrlić dkk. (2022) membedah secara mendalam praktik CBDRR di Malawi, salah satu negara dengan tingkat kerentanan bencana tertinggi di Afrika Sub-Sahara, untuk melihat sejauh mana pengetahuan lokal benar-benar diintegrasikan dalam pengurangan risiko bencana.

Artikel ini akan mengulas temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus di Lower Shire Valley, angka-angka penting, serta mengaitkan hasilnya dengan tren global dan tantangan nyata di negara berkembang lain.

Teori Dasar: Pengetahuan Lokal dan Peran CBDRR

Pengetahuan lokal dalam konteks pengurangan risiko bencana meliputi segala hal yang diketahui masyarakat tentang bahaya alam, persepsi risiko, serta strategi adaptasi yang diwariskan dan terus berkembang seiring pengalaman menghadapi bencana. Pengetahuan ini sangat beragam, dinamis, dan sering kali lebih kontekstual dibanding pengetahuan saintifik dari luar. CBDRR sendiri lahir sebagai respons terhadap kegagalan pendekatan top-down yang sering mengabaikan konteks lokal dan partisipasi masyarakat12.

Namun, meski dokumen internasional seperti Sendai Framework dan laporan IPCC menekankan pentingnya pengetahuan lokal, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pengakuan ini belum sepenuhnya diterjemahkan ke dalam praktik. Studi global oleh GNDR (2019) menemukan hanya 16% masyarakat di negara rawan bencana merasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan pengurangan risiko1.

Studi Kasus Malawi: Konteks, Metode, dan Angka Kunci

Latar Belakang Malawi

Malawi adalah negara kecil tanpa pantai di Afrika, dengan 51,5% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Negara ini sangat rentan terhadap banjir, kekeringan, dan bencana iklim lain. Setiap tahun, sekitar 100.000 orang terdampak banjir, dan pada 2015 serta 2019, banjir besar memengaruhi lebih dari satu juta jiwa dan menewaskan ratusan orang12.

CBDRR menjadi pendekatan utama di Malawi, didukung oleh kebijakan nasional seperti National Disaster Risk Management Policy (2015) dan Malawi Growth and Development Strategy III (2017-2022). Namun, implementasinya sangat bergantung pada kerja sama antara pemerintah daerah, NGO, dan komunitas lokal.

Metodologi Penelitian

Penelitian dilakukan pada 2016–2017 di Lower Shire Valley, kawasan paling rawan banjir di Malawi (Chikwawa dan Nsanje). Data dikumpulkan melalui:

  • 15 Focus Group Discussions (FGD) dan 36 wawancara mendalam dengan masyarakat di 7 komunitas.
  • 3 FGD dengan NGO dan pemerintah lokal, serta 68 wawancara dengan pejabat pemerintah, NGO nasional, dan konsultan risiko banjir.
  • Analisis tematik menggunakan perangkat lunak NVivo untuk mengidentifikasi pola dan hambatan utama dalam integrasi pengetahuan lokal.

Temuan Utama: Lima Hambatan Utama Integrasi Pengetahuan Lokal dalam CBDRR

1. Praktik Partisipasi Komunitas yang Tidak Inklusif

Secara teori, CBDRR menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam identifikasi masalah dan solusi. Namun, di Malawi, partisipasi sering kali hanya formalitas. Komite seperti Village Civil Protection Committees (VCPC) menjadi “wajah komunitas”, tetapi seringkali tidak benar-benar mewakili suara seluruh warga. Banyak keputusan sudah ditentukan oleh pemerintah atau NGO sebelum konsultasi dengan komunitas. Selain itu, pemilihan anggota VCPC kerap dipengaruhi elite lokal, sehingga pengetahuan dan kebutuhan kelompok rentan (perempuan, lansia, minoritas) kurang terwakili. Hasilnya, pengetahuan lokal yang diakomodasi hanya milik segelintir orang, bukan komunitas secara menyeluruh12.

2. Keterbatasan Dana dan Kapasitas Pemerintah serta NGO

Desentralisasi tata kelola bencana di Malawi tidak diikuti dengan alokasi dana dan sumber daya manusia yang memadai. Komite di tingkat desa hingga distrik seringkali tidak memiliki dana operasional, staf, atau pelatihan yang memadai. Akibatnya, interaksi dengan masyarakat dan penggalian pengetahuan lokal sangat terbatas. NGO juga menghadapi kendala serupa: proposal proyek harus disusun cepat, sering tanpa riset mendalam, dan lebih banyak menggunakan data sekunder yang sudah usang. Kurangnya dana untuk tahap inisiasi (baseline study) membuat pelibatan pengetahuan lokal hanya menjadi pelengkap, bukan inti program12.

3. Lanskap Donor yang Tidak Fleksibel

Sebagian besar pendanaan CBDRR di Malawi berasal dari donor internasional yang cenderung lebih menyukai solusi berbasis teknologi atau “best practice” dari luar negeri. Proyek-proyek donor biasanya berjangka pendek, menuntut hasil cepat dan terukur, sehingga proses partisipatif yang membutuhkan waktu dan tenaga sering dikorbankan. Banyak NGO mengaku “menari mengikuti irama donor”, sehingga kebutuhan dan pengetahuan lokal sering diabaikan jika tidak sesuai dengan prioritas donor. Bahkan, ada kasus proyek yang meniru model dari India tanpa menyesuaikan konteks lokal Malawi12.

4. Kelemahan Konsolidasi dan Berbagi Informasi

Koordinasi antara pemerintah, NGO, dan komunitas masih lemah. Informasi hasil konsultasi atau pengetahuan lokal yang dikumpulkan NGO sering tidak sampai ke pemerintah daerah atau tidak terdokumentasi dengan baik. Contohnya, indikator peringatan dini berbasis lokal (seperti perilaku hewan atau perubahan alam) jarang diintegrasikan ke dalam dokumen perencanaan bencana tingkat distrik. Akibatnya, pengetahuan lokal yang sudah didokumentasikan pun tidak dimanfaatkan secara optimal dalam pengambilan keputusan12.

5. Sikap dan Preferensi Stakeholder Eksternal

Banyak pejabat pemerintah dan staf NGO mengakui pentingnya pengetahuan lokal, tetapi dalam praktiknya lebih percaya pada data saintifik dan “modern”. Pengetahuan lokal sering dianggap tak berdasar, kuno, atau bahkan takhayul, kecuali sudah divalidasi secara ilmiah. Akibatnya, ada dikotomi tajam antara pengetahuan lokal dan pengetahuan saintifik, dan CBDRR justru gagal menjadi jembatan yang mempertemukan keduanya. Sikap ini membuat komunitas merasa pengetahuan mereka tidak dihargai, sehingga partisipasi menjadi formalitas belaka12.

Studi Kasus dan Kutipan Nyata

  • Dalam satu FGD, warga mengeluhkan bahwa “pemerintah dan NGO datang sudah dengan rencana sendiri, kami hanya diberi tahu, bukan diajak memutuskan.”
  • Seorang anggota NGO di tingkat nasional mengakui, “kami sering tidak punya waktu dan dana untuk benar-benar memahami pengetahuan lokal, proposal harus cepat, hasil harus jelas.”
  • Dari segi donor, seorang peserta menyatakan, “kami hanya mengikuti apa yang diinginkan donor, kalau mereka tidak minta pengetahuan lokal, ya tidak kami masukkan.”
  • Di tingkat informasi, seorang pejabat lokal mengungkapkan, “laporan dari NGO sering tidak sampai ke kami, sehingga kami tidak tahu pengetahuan apa yang sudah digali dari masyarakat.”
  • Mengenai sikap, seorang staf NGO berkata, “kami sering menganggap pengetahuan lokal itu hanya mitos, padahal kadang sangat relevan.”

Analisis Kritis: Mengapa Gap Ini Terjadi?

Kelemahan Desain dan Implementasi CBDRR

CBDRR di Malawi secara struktural sudah mengadopsi sistem desentralisasi dan pelibatan masyarakat. Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa sistem ini masih sangat top-down, baik karena tekanan donor, keterbatasan sumber daya, maupun budaya birokrasi yang belum sepenuhnya inklusif. Selain itu, kurangnya pelatihan bagi staf pemerintah dan NGO dalam metode partisipatif dan penggalian pengetahuan lokal memperparah masalah.

Tantangan Universal di Negara Berkembang

Temuan di Malawi bukan kasus tunggal. Studi serupa di Indonesia, Filipina, dan negara Afrika lain juga menemukan bahwa partisipasi komunitas dan integrasi pengetahuan lokal sering hanya menjadi jargon proyek. Kesenjangan antara retorika dan praktik ini diperkuat oleh dominasi pendekatan saintifik, tekanan donor, dan lemahnya kapasitas lokal.

Potensi Transformasi: Apa yang Bisa Diperbaiki?

  • Kebijakan harus lebih operasional: Pengakuan pentingnya pengetahuan lokal harus diterjemahkan ke dalam panduan teknis, indikator keberhasilan, dan mekanisme monitoring yang jelas.
  • Donor perlu lebih fleksibel: Skema pendanaan harus memberi ruang untuk proses partisipatif dan penggalian pengetahuan lokal, bukan hanya output fisik.
  • Penguatan kapasitas lokal: Pelatihan metode partisipatif, dokumentasi, dan validasi pengetahuan lokal perlu menjadi bagian dari program pengurangan risiko bencana.
  • Ko-produksi pengetahuan: Kolaborasi antara saintis, pemerintah, dan masyarakat harus diarahkan pada penciptaan pengetahuan hibrida yang relevan secara lokal dan dapat diterima secara ilmiah.

Implikasi untuk Kebijakan dan Praktik Global

  • SDGs dan Sendai Framework menuntut pelibatan komunitas dan pengetahuan lokal, namun tanpa perbaikan sistemik, target ini sulit dicapai.
  • Negara berkembang harus belajar dari pengalaman Malawi: desentralisasi dan partisipasi harus didukung sumber daya, pelatihan, dan insentif yang memadai.
  • Industri dan NGO perlu mengadopsi pendekatan “learning by doing” dan refleksi kritis atas praktik partisipasi mereka.

Penutup: Menuju CBDRR yang Benar-Benar Inklusif

Studi Trogrlić dkk. menegaskan bahwa CBDRR di Malawi masih gagal memanfaatkan potensi pengetahuan lokal secara optimal akibat lima hambatan utama: partisipasi semu, keterbatasan dana dan kapasitas, tekanan donor, lemahnya konsolidasi informasi, dan bias terhadap pengetahuan saintifik. Tanpa transformasi mendasar dalam desain, implementasi, dan evaluasi, CBDRR berisiko menjadi sekadar formalitas, bukan motor perubahan nyata. Pelajaran dari Malawi sangat relevan untuk negara-negara lain yang ingin membangun ketangguhan bencana berbasis komunitas secara otentik dan berkelanjutan.

Sumber asli:
Robert Šakić Trogrlić, Melanie Duncan, Grant Wright, Marc van den Homberg, Adebayo Adeloye, Faidess Mwale. (2022). Why does community-based disaster risk reduction fail to learn from local knowledge? Experiences from Malawi. International Journal of Disaster Risk Reduction, 83, 103405.

Selengkapnya
Mengapa Community-Based Disaster Risk Reduction (CBDRR) Gagal Memanfaatkan Pengetahuan Lokal? Studi Kritis atas Pengalaman Malawi
« First Previous page 2 of 2