Risiko Banjir

Menakar Efektivitas Manajemen Banjir: Studi Kasus Turki dan Inggris dalam Perspektif Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Juli 2025


Banjir, Ancaman yang Terus Meningkat

Banjir adalah bencana alam yang paling sering terjadi dan berdampak besar di seluruh dunia. Dalam dua dekade terakhir, intensitas dan frekuensi banjir meningkat akibat perubahan iklim, urbanisasi, serta perubahan tata guna lahan yang tidak terkendali. Negara-negara dengan karakteristik ekonomi dan geografis berbeda menghadapi tantangan unik dalam mengelola risiko banjir. Paper karya Ali N. Yasitli (2021) berjudul “Assessing the effectiveness of flood management: a comparative study between Turkey and the UK” membandingkan manajemen banjir di Turki dan Inggris, dua negara dengan pendekatan dan tingkat kesiapan berbeda. Artikel ini akan membedah temuan utama paper tersebut, mengangkat studi kasus, angka-angka penting, serta mengaitkannya dengan tren dan tantangan manajemen banjir masa kini.

Mengapa Perbandingan Turki-Inggris Relevan?

Turki, sebagai negara berkembang, menghadapi tantangan klasik: sistem manajemen bencana yang cenderung reaktif dan terpusat, keterbatasan data, serta minimnya keterlibatan masyarakat. Sementara Inggris, sebagai negara maju, telah mengembangkan sistem manajemen banjir yang lebih terstruktur, proaktif, dan melibatkan banyak pihak. Perbandingan ini penting karena banyak negara berkembang di Asia dan Afrika menghadapi masalah serupa dengan Turki, sedangkan Inggris sering dijadikan rujukan praktik baik di Eropa.

Pilar Penting Manajemen Banjir

Dalam studi ini, manajemen banjir dibagi menjadi tiga pilar utama:

  1. Kesiapsiagaan: Meliputi perencanaan, edukasi masyarakat, dan pengembangan sistem peringatan dini.
  2. Respons: Tindakan saat banjir terjadi, termasuk evakuasi, koordinasi antar lembaga, dan penyaluran bantuan.
  3. Pemulihan: Rehabilitasi infrastruktur, bantuan ekonomi, serta evaluasi dan pembelajaran institusional setelah bencana.

Yasitli mengembangkan indikator efisiensi manajemen banjir (Flood Management Effectiveness Indicators/FMEIs) yang menilai aspek-aspek seperti ketersediaan rencana mitigasi, keterlibatan komunitas, sistem peringatan dini, serta sumber daya manusia dan finansial.

Studi Kasus: Marmara 2009 (Turki) dan Kendal 2015 (Inggris)

Banjir Marmara 2009, Turki

Pada 7–10 September 2009, wilayah Marmara di Turki, khususnya Istanbul dan Tekirdag, mengalami banjir besar akibat hujan ekstrem selama tiga hari. Curah hujan lebih dari 250 mm menyebabkan 32 orang tewas dan lebih dari 35.000 penduduk terdampak. Kerugian ekonomi diperkirakan mencapai lebih dari $70 juta.

Analisis Yasitli menunjukkan bahwa kesiapsiagaan di Turki sangat minim. Tidak ada peta risiko banjir, rencana mitigasi, atau sistem peringatan dini yang efektif. Respons pemerintah bersifat terpusat dan lambat, dengan koordinasi yang kurang antara lembaga. Komunitas lokal nyaris tidak dilibatkan dalam proses evakuasi atau penanganan darurat. Setelah banjir, pemulihan berjalan tanpa rencana yang jelas dan minim evaluasi untuk pembelajaran ke depan.

Angka-angka penting dari kasus ini:

  • 40 korban jiwa
  • 35.020 orang terdampak
  • Kerugian tercatat $550.000 (kemungkinan jauh lebih besar karena banyak kerugian tidak tercatat)

Banjir Kendal 2015, Inggris

Pada Desember 2015, kota Kendal di Cumbria, Inggris, dilanda banjir besar akibat curah hujan ekstrem lebih dari 340 mm dalam 48 jam. Ribuan rumah terendam, infrastruktur rusak, dan kerugian ekonomi sangat signifikan.

Inggris menunjukkan kesiapsiagaan yang jauh lebih baik. Peta risiko banjir tersedia dan diperbarui secara berkala. Sistem peringatan dini menggunakan berbagai kanal, mulai dari telepon, media massa, hingga media sosial. Komunitas lokal dilibatkan dalam pelatihan dan simulasi evakuasi. Respons pemerintah cepat dan terkoordinasi, melibatkan Environment Agency, otoritas lokal, dan relawan. Setelah banjir, pemulihan dilakukan secara terstruktur dengan dukungan asuransi dan evaluasi menyeluruh.

Angka-angka penting dari kasus Kendal:

  • 6 korban jiwa
  • 48.000 orang terdampak
  • Kerugian sekitar £1,2 juta hanya untuk Kendal

Perbandingan Sistem Manajemen Banjir: Turki dan Inggris

Turki mengandalkan pendekatan sentralistik dan reaktif. Pemerintah pusat mendominasi pengambilan keputusan, sementara pemerintah daerah dan masyarakat lokal kurang dilibatkan. Sistem peringatan dini masih terbatas pada media konvensional, seperti radio dan televisi. Asuransi bencana lebih difokuskan pada gempa bumi, dengan perlindungan banjir sebagai tambahan yang belum menyeluruh. Evaluasi dan pelatihan pasca-bencana jarang dilakukan secara rutin.

Sebaliknya, Inggris menerapkan pendekatan desentralistik dan proaktif. Pemerintah daerah, komunitas, dan NGO aktif terlibat dalam semua fase manajemen banjir. Sistem peringatan dini memanfaatkan teknologi digital, termasuk SMS dan aplikasi seluler. Skema asuransi banjir (Flood Re) menjangkau banyak rumah tangga, meski masih ada tantangan untuk pelaku usaha kecil. Evaluasi dan simulasi dilakukan secara berkala untuk memastikan kesiapan menghadapi banjir berikutnya.

Angka-angka Dampak Banjir 2005–2020

Penelitian ini juga menyoroti beberapa data penting dari kedua negara dalam kurun waktu 2005–2020. Di Turki, banjir besar pada 2009 menewaskan 40 orang dan berdampak pada lebih dari 35.000 orang, dengan kerugian finansial yang tercatat sekitar $550.000. Di Inggris, banjir tahun 2007 menewaskan 13 orang, berdampak pada 340.000 orang, dan menyebabkan kerugian sekitar $4 miliar. Banjir tahun 2012 mengakibatkan 4 korban jiwa dan kerugian sekitar $1,63 miliar. Sementara banjir Kendal 2015 menyebabkan 6 korban jiwa dan kerugian sekitar £1,2 juta.

Analisis Kritis dan Opini

Kelebihan Studi

Paper ini sangat komprehensif karena menggabungkan analisis kebijakan, wawancara dengan praktisi, serta studi kasus nyata. Indikator efisiensi (FMEIs) yang dikembangkan memberikan alat ukur objektif untuk membandingkan sistem manajemen banjir lintas negara. Temuan dari studi ini sangat relevan bagi negara-negara berkembang lain yang menghadapi tantangan serupa dengan Turki.

Keterbatasan

Keterbatasan utama ada pada data di Turki yang kurang lengkap, karena fokus historis pada bencana gempa bumi membuat pendokumentasian banjir tidak optimal. Selain itu, rekomendasi perbaikan untuk Turki bisa terhambat oleh budaya birokrasi yang masih kaku dan sentralistik.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Temuan Yasitli sejalan dengan literatur internasional yang menekankan pentingnya desentralisasi, keterlibatan komunitas, dan sistem peringatan dini dalam manajemen bencana. Studi di Belanda dan Jepang juga menyoroti pentingnya integrasi kebijakan lintas sektor dan adaptasi berbasis ekosistem. Dengan demikian, paper ini memperkuat argumen bahwa pembelajaran institusional dan inovasi teknologi adalah kunci efektivitas manajemen banjir.

Rekomendasi Strategis

Untuk Turki

  • Perkuat perencanaan dan peta risiko: Segera buat dan perbarui peta risiko banjir serta rencana mitigasi di tingkat lokal.
  • Desentralisasi dan libatkan komunitas: Berikan ruang lebih besar bagi pemerintah daerah dan komunitas lokal dalam pengambilan keputusan.
  • Modernisasi sistem peringatan dini: Manfaatkan teknologi digital seperti SMS, aplikasi, dan media sosial untuk memperluas jangkauan peringatan.
  • Tingkatkan pelatihan dan evaluasi: Lakukan simulasi dan evaluasi pasca-bencana secara berkala untuk meningkatkan kesiapan.

Untuk Inggris

  • Perluas edukasi publik: Fokus pada kelompok rentan dan wilayah baru yang mulai rawan banjir akibat perubahan iklim.
  • Tingkatkan efektivitas peringatan dini: Pastikan sistem peringatan benar-benar menjangkau seluruh lapisan masyarakat, terutama yang paling rentan.
  • Sinergikan asuransi dan bantuan pemerintah: Evaluasi skema Flood Re agar juga bisa menjangkau pelaku usaha kecil dan penyewa.

Tren Global dan Relevansi Industri

Perubahan iklim diprediksi akan meningkatkan intensitas dan frekuensi banjir di masa depan. Oleh sebab itu, negara-negara, terutama yang sedang berkembang, harus segera mengadopsi pendekatan proaktif dan berbasis komunitas. Teknologi digital seperti big data, AI, dan IoT kini mulai dimanfaatkan untuk deteksi dini dan respons cepat terhadap banjir. Urbanisasi yang pesat juga menuntut penataan ruang yang lebih adaptif dan kolaboratif.

Kesimpulan: Menata Ulang Manajemen Banjir untuk Masa Depan

Studi Yasitli menegaskan bahwa efektivitas manajemen banjir bukan hanya soal infrastruktur fisik, tetapi juga tata kelola, keterlibatan komunitas, serta pembelajaran berkelanjutan. Inggris menjadi contoh praktik baik, namun tetap harus beradaptasi dengan tantangan baru. Turki dan negara berkembang lain harus berani bertransformasi dari sistem reaktif dan sentralistik menuju model proaktif, desentralistik, dan berbasis komunitas serta data. Dengan demikian, risiko dan dampak banjir di masa depan dapat ditekan seminimal mungkin.

Sumber

Ali N. Yasitli. (2021). Assessing the effectiveness of flood management: a comparative study between Turkey and the UK. PhD Thesis, University of Portsmouth.

Selengkapnya
Menakar Efektivitas Manajemen Banjir: Studi Kasus Turki dan Inggris dalam Perspektif Global

Risiko Banjir

Mengintegrasikan Pengurangan Risiko Banjir dan Kekeringan: Urgensi, Tantangan, dan Solusi untuk Manajemen Risiko Bencana Masa Depan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025


Mengapa Integrasi Pengelolaan Banjir dan Kekeringan Semakin Mendesak?

Banjir dan kekeringan adalah dua ekstrem dari siklus hidrologi yang sama, namun selama ini sering dikelola secara terpisah—baik dalam kebijakan, penelitian, maupun praktik lapangan. Padahal, kedua bencana ini telah berdampak pada sekitar 2,3 miliar orang (banjir) dan 1,1 miliar orang (kekeringan) antara 1995–2015, dan dampaknya terus meningkat akibat perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan ekspansi ekonomi12. Paper Philip J. Ward dkk. (2020) menjadi salah satu referensi utama yang menyoroti pentingnya integrasi strategi pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction/DRR) untuk banjir dan kekeringan, serta memberikan analisis kritis tentang interaksi, trade-off, dan dampak tidak terduga dari berbagai intervensi DRR.

Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, mengulas studi kasus global, angka-angka kunci, serta membandingkannya dengan tren, tantangan, dan rekomendasi kebijakan mutakhir.

Banjir dan Kekeringan: Dua Ekstrem, Satu Siklus Hidrologi

Dampak Global dan Tren Masa Depan

  • Banjir dan kekeringan bersama-sama telah menyebabkan kematian lebih dari 166 ribu orang dan kerugian ratusan miliar dolar antara 2000–20202.
  • Dampak keduanya diproyeksikan meningkat akibat perubahan iklim yang memperbesar variabilitas curah hujan, perubahan tutupan lahan, dan pertumbuhan populasi.
  • Contoh nyata: Setelah kekeringan lima tahun (2012–2017), California dilanda hujan ekstrem yang merusak spillway Bendungan Oroville, memaksa evakuasi hampir 200.000 orang. Demikian pula, Drought Millennium di Australia (1997–2009) diakhiri oleh banjir besar yang menyebabkan kegagalan tanggul di Sungai Murray1.

Interaksi Kompleks: Trade-off dan Efek Tak Terduga

  • Langkah DRR untuk satu bahaya bisa memperbesar risiko bahaya lain. Misal, bendungan yang dioptimalkan untuk penanggulangan banjir (menyimpan air rendah) bisa memperburuk risiko kekeringan, sedangkan jika dioptimalkan untuk kekeringan (menyimpan air tinggi) justru memperbesar risiko banjir jika terjadi hujan ekstrem1.
  • Dampak kebijakan juga sering tidak terduga: Pembangunan tanggul dan levee memangkas risiko banjir lokal, tapi menurunkan infiltrasi dan recharge air tanah, sehingga memperparah kekeringan. Sebaliknya, pengurasan bendungan untuk antisipasi banjir bisa menyebabkan kekurangan air saat musim kering13.

Studi Kasus Global: Ilustrasi Interaksi Banjir-Kekeringan

1. Infrastruktur Fisik: Tanggul, Bendungan, dan Subsurface Storage

  • Tanggul dan Levee: Di Belanda, 5% kegagalan tanggul antara 1134–2006 dipicu kekeringan, seperti kegagalan tanggul Wilnis 2003 yang menyebabkan 600 rumah terendam dan 2.000 orang dievakuasi. Kekeringan membuat tanah gambut menyusut, menurunkan bobot tanggul, sehingga mudah tergelincir saat debit sungai naik1.
  • Bendungan: Di California, 40% kapasitas Folsom Reservoir harus disisihkan untuk pengendalian banjir, yang berarti cadangan air untuk kekeringan berkurang. Di India, kekeringan pasca-banjir Kerala 2018 diperparah karena bendungan sudah dikuras untuk antisipasi banjir1.
  • Subsurface Storage: Di Thailand, recharge air banjir ke akuifer (Managed Aquifer Recharge/MAR) menjadi solusi ganda untuk banjir dan kekeringan, namun jika over-pumping terjadi saat kekeringan, bisa memicu penurunan tanah dan memperbesar risiko banjir saat hujan deras13.

2. Praktik Pertanian dan Pengelolaan Lahan

  • Dams mikro di Brasil: Lebih dari 3.000 dam kecil dibangun 2001–2009, meningkatkan kelembaban tanah, memperbaiki vegetasi, dan menurunkan risiko kekeringan. Namun, jika tidak dikelola baik, bisa meningkatkan sedimentasi dan risiko banjir lokal1.
  • Reforestasi: Di Jerman dan Fiji, reforestasi terbukti meningkatkan infiltrasi dan menurunkan risiko banjir, tapi di musim kering justru mengurangi aliran air dasar (baseflow), memperparah kekeringan1.
  • Teknologi irigasi hemat air: Penggantian irigasi banjir dengan drip irrigation menurunkan risiko kekeringan, namun bisa meningkatkan risiko banjir karena berkurangnya evaporasi dan meningkatnya limpasan saat hujan ekstrem3.

3. Migrasi dan Urbanisasi

  • Relokasi pasca-banjir di Mozambik: Lebih dari 40.000 keluarga dipindahkan dari zona banjir ke upland yang lebih rawan kekeringan. Produktivitas pertanian menurun, sehingga banyak yang kembali ke dataran rendah dan terpapar banjir ulang1.
  • Urbanisasi Dakar, Senegal: 40% migran baru antara 1998–2008 menempati zona rawan banjir. Urbanisasi memperbesar limpasan permukaan, memperparah risiko banjir, dan meningkatkan tekanan air bersih1.

4. Sistem Peringatan Dini dan Kesiapsiagaan

  • Early Warning System (EWS): Salah input pada EWS banjir bisa menyebabkan pengurasan air bendungan yang tidak perlu, memperparah kekeringan jika hujan tidak datang. Sebaliknya, EWS kekeringan yang gagal bisa membuat petani gagal menanam atau panen saat musim hujan tiba-tiba datang1.

Tantangan Pengetahuan dan Kebijakan

1. Fragmentasi Penanganan

Sebagian besar kebijakan dan riset masih fokus pada satu bahaya saja, dengan institusi, regulasi, dan sistem data yang terpisah untuk banjir dan kekeringan. Padahal, trade-off, sinergi, dan efek tak terduga antar dua bahaya ini sangat nyata14.

2. Skala dan Kompleksitas

Perbedaan skala spasial dan temporal antara banjir (kejadian cepat, lokal) dan kekeringan (proses lambat, meluas) membuat integrasi pengelolaan menjadi rumit. Banyak teknologi (misal, stormwater control) hanya efektif di skala lokal, sementara efeknya bisa berdampak ke hilir atau kawasan lain15.

3. Data dan Monitoring

Kurangnya data terintegrasi tentang curah hujan, debit sungai, status bendungan, dan penggunaan air tanah menghambat pengambilan keputusan berbasis bukti. Banyak data operasi bendungan tidak terbuka untuk publik atau peneliti15.

4. Dinamika Sosial dan Ekonomi

Keputusan masyarakat (misal, migrasi, perubahan pola tanam) sangat dipengaruhi persepsi risiko, pengalaman masa lalu, dan insentif ekonomi. Namun, model risiko bencana masih jarang memasukkan dinamika perilaku manusia secara dinamis1.

Best Practices dan Rekomendasi Global

1. Pendekatan Holistik dan Multi-Risiko

  • Integrated Flood Management (IFM) dan Integrated Drought Management (IDM) menjadi kerangka utama yang direkomendasikan UNESCO dan lembaga internasional. IFM menuntut pengelolaan siklus air secara utuh, integrasi lahan-air, manajemen risiko & ketidakpastian, serta partisipasi multi-aktor52.
  • EPIC Response Framework menekankan pentingnya tata kelola lintas sektor, perencanaan multi-level (dari DAS hingga komunitas), investasi pada infrastruktur dan ekosistem, serta pengendalian penggunaan lahan dan air5.

2. Investasi pada Solusi Ganda

  • Room for the River (Belanda): Mengembalikan ruang sungai untuk banjir, sekaligus meningkatkan recharge air tanah dan konservasi ekosistem13.
  • Managed Aquifer Recharge (Thailand, California): Menyimpan air banjir di akuifer untuk digunakan saat kekeringan, mengurangi risiko keduanya secara bersamaan1.
  • Stormwater Control Measures (SCM): Green infrastructure seperti taman resapan, green roof, dan rain garden bisa menahan air saat banjir dan menyimpan air untuk musim kering13.

3. Tata Kelola dan Kelembagaan

  • Harmonisasi kebijakan lintas sektor dan negara sangat penting, terutama di DAS lintas negara seperti Volta Basin di Afrika Barat yang mengembangkan strategi bersama untuk banjir dan kekeringan4.
  • Partisipasi masyarakat dan multi-aktor: Semua pihak—pemerintah, swasta, LSM, komunitas—harus dilibatkan dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi52.

4. Monitoring, Early Warning, dan Data Terbuka

  • Sistem monitoring dan peringatan dini harus terintegrasi untuk banjir dan kekeringan, dengan data real-time dan akses terbuka bagi semua pemangku kepentingan52.
  • Pengumpulan paired-event case studies (banjir dan kekeringan berurutan di satu wilayah) sangat penting untuk pembelajaran dan evaluasi efektivitas kebijakan1.

Studi Banding dan Angka-Angka Kunci

  • Afghanistan (2017–2019): Kekeringan multi-tahun menyebabkan 9,8 juta orang rawan pangan. Hujan deras dan snowmelt tiba-tiba pada 2019 menyebabkan banjir besar, 65 korban jiwa, dan 200.000 terdampak1.
  • Corigliano-Rossano, Italia (2015): Banjir pluvial dengan curah hujan return period >100 tahun, terjadi saat puncak musim wisata, menyebabkan kerugian ekonomi besar karena eksposur tinggi6.
  • North Carolina, AS (2007–2009): Kekeringan ekstrem 27 bulan menyebabkan kerugian pertanian €535 juta, meski sistem peringatan dini berhasil mengurangi kerentanan dibanding periode 2000–20036.

Kritik, Opini, dan Rekomendasi

Kelebihan Paper Ward dkk.

  • Menyajikan analisis interaksi banjir-kekeringan dengan contoh nyata lintas benua.
  • Memberikan kerangka konseptual dan tabel ringkasan dampak intervensi DRR pada kedua bahaya.
  • Menyoroti pentingnya integrasi data, tata kelola, dan partisipasi multi-aktor.

Tantangan dan Keterbatasan

  • Banyak solusi masih bersifat “best practice” dan belum teruji di semua konteks, terutama di negara berkembang dengan kapasitas terbatas.
  • Perlu riset lebih lanjut tentang efektivitas jangka panjang solusi ganda, serta dampak sosial-ekonomi dari trade-off kebijakan.

Rekomendasi Praktis

  • Integrasikan DRR banjir dan kekeringan dalam perencanaan nasional dan lokal: Hindari silo kebijakan dan pastikan satu intervensi tidak memperparah risiko lain.
  • Kembangkan sistem monitoring dan data terbuka untuk mendukung pengambilan keputusan adaptif.
  • Dorong inovasi teknologi dan solusi berbasis alam yang memberikan manfaat ganda.
  • Libatkan masyarakat dan sektor swasta dalam perencanaan dan implementasi, serta perkuat edukasi risiko lintas bahaya.

Penutup: Menuju Manajemen Risiko Bencana yang Terintegrasi dan Adaptif

Studi Ward dkk. menegaskan bahwa pengelolaan banjir dan kekeringan yang terpisah sudah tidak relevan di era perubahan iklim. Integrasi strategi, kebijakan, dan praktik DRR untuk kedua bahaya ini bukan hanya kebutuhan teknis, tapi juga syarat mutlak untuk mencapai ketahanan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan. Dengan pendekatan holistik, berbasis data, dan kolaboratif, risiko bencana air di masa depan dapat dikelola lebih efektif dan adil.

Sumber asli:
Philip J. Ward, Marleen C. de Ruiter, Johanna Mård, Kai Schröter, Anne Van Loon, Ted Veldkamp, Nina von Uexkull, Niko Wanders, Amir AghaKouchak, Karsten Arnbjerg-Nielsen, Lucinda Capewell, Maria Carmen Llasat, Rosie Day, Benjamin Dewals, Giuliano Di Baldassarre, Laurie S. Huning, Heidi Kreibich, Maurizio Mazzoleni, Elisa Savelli, Claudia Teutschbein, Harmen van den Berg, Anne van der Heijden, Jelle M.R. Vincken, Maarten J. Waterloo, Marthe Wens. (2020). The need to integrate flood and drought disaster risk reduction strategies. Water Security, 11, 100070.

Selengkapnya
Mengintegrasikan Pengurangan Risiko Banjir dan Kekeringan: Urgensi, Tantangan, dan Solusi untuk Manajemen Risiko Bencana Masa Depan

Risiko Banjir

Faktor Penyebab Kerusakan Rumah Akibat Banjir di Kanada: Resensi Kritis atas Studi Deschamps dkk. (2025)

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025


Mengapa Estimasi Kerusakan Banjir Penting dan Masih Penuh Ketidakpastian?

Banjir adalah bencana alam paling sering dan paling merugikan di Kanada, dengan lebih dari 1,5 juta rumah berada di zona risiko tinggi dan proyeksi kerugian tahunan akibat banjir bisa melonjak hingga $5,5 miliar pada pertengahan abad ini. Namun, estimasi kerugian akibat banjir di sektor perumahan masih sangat bergantung pada satu variabel utama: kedalaman genangan (inundation depth). Padahal, kerusakan nyata di lapangan jauh lebih kompleks, dipengaruhi puluhan faktor lain yang sering diabaikan dalam model konvensional. Paper Bernard Deschamps dkk. (2025) menawarkan terobosan dengan mengidentifikasi dan memprioritaskan 40 faktor penyebab kerusakan rumah akibat banjir berdasarkan konsensus 45 pakar lintas sektor di Kanada. Artikel ini mengulas temuan utama, studi kasus, angka-angka kunci, serta relevansi hasilnya untuk kebijakan dan praktik manajemen risiko banjir di era perubahan iklim.

Latar Belakang: Keterbatasan Model Kerusakan Konvensional

Model estimasi kerusakan banjir di Kanada umumnya menggunakan kurva kerusakan berdasarkan kedalaman air (depth-damage curves). Kurva ini memang praktis dan banyak digunakan untuk analisis risiko, perencanaan mitigasi, hingga justifikasi investasi proteksi banjir. Namun, pendekatan ini menghadapi tiga masalah utama:

  • Tingkat ketidakpastian tinggi: Hubungan antara kedalaman air dan tingkat kerusakan sangat bervariasi antar bangunan, lokasi, dan jenis banjir.
  • Kurangnya faktor pelengkap: Banyak variabel penting lain (misal kecepatan arus, durasi banjir, kualitas bangunan, kontaminasi air) tidak masuk dalam model.
  • Keterbatasan data mikro: Kurva ini gagal menjelaskan variasi kerusakan di tingkat rumah tangga, padahal keputusan mitigasi sering diambil di level ini.

Studi ini bertujuan mengisi gap tersebut dengan mengidentifikasi faktor-faktor tambahan yang signifikan, sekaligus menyoroti peran sentral pemerintah kota dalam mengurangi risiko banjir.

Metode: Konsultasi dan Survei Pakar Nasional

Penelitian ini menggunakan pendekatan dua tahap ala Delphi, melibatkan 45 pakar (adjuster, insinyur, estimator, kontraktor) dari sektor asuransi, konstruksi, restorasi bencana, dan teknik. Konsultasi dilakukan dalam 31 sesi video (Februari–April 2023), diikuti survei daring dengan 35 responden pada April–Mei 2023. Setiap pakar diminta mengidentifikasi dan memprioritaskan faktor penyebab kerusakan rumah akibat banjir, tanpa dibatasi jenis banjir (pluvial, fluvial, kegagalan infrastruktur, dsb). Standarisasi dilakukan dengan menggunakan profil rumah referensi: rumah keluarga tunggal, 1–2 lantai, dibangun 2022 ke atas, dengan basement semi-finished.

Hasil konsultasi dan survei kemudian dianalisis dengan metode weighted average untuk menentukan ranking dan bobot relatif setiap faktor.

Temuan Utama: Sepuluh Faktor Penyebab Kerusakan Banjir Paling Penting

Dari 40 faktor yang diidentifikasi, berikut 10 teratas menurut para pakar (beserta angka mention rate dan ranking):

  1. Jarak bangunan ke sungai/tinggi lahan (31% mention rate, ranking 1)
    • Faktor utama yang menentukan probabilitas dan tingkat kerusakan. Semakin dekat ke sungai atau semakin rendah elevasi, risiko makin besar.
  2. Kecepatan dan arus air (7%, ranking 2)
    • Kecepatan arus (misal 3 m/s dengan head 1 m) bisa menyebabkan kerusakan struktural serius pada dinding rumah.
  3. Waktu respons penanganan (36%, ranking 3)
    • Semakin cepat tim restorasi tiba dan melakukan mitigasi (pengeringan, pembersihan), kerusakan bisa ditekan signifikan.
  4. Basement yang diubah jadi ruang tinggal (40%, ranking 4)
    • Basement yang difungsikan sebagai ruang tinggal (dengan material organik, karpet, drywall) jauh lebih rentan terhadap kerusakan dan jamur.
  5. Kewajiban mengikuti kode bangunan baru (31%, ranking 5)
    • Rehabilitasi rumah pasca-banjir seringkali harus mengikuti kode bangunan terbaru, menambah biaya dan kompleksitas.
  6. Durasi kejadian banjir (49%, ranking 6)
    • Semakin lama air menggenang, semakin besar kerusakan akibat kapilaritas, kelembaban, dan kontaminasi.
  7. Desain dan pemeliharaan sistem drainase dan air limbah (44%, ranking 7)
    • Drainase yang buruk atau tidak terawat menyebabkan backflow, limpasan, dan kerusakan lebih besar.
  8. Penataan lahan dan lanskap (49%, ranking 8)
    • Topografi, tingkat mineralisasi, vegetasi, dan kemiringan lahan sangat mempengaruhi arah dan akumulasi air.
  9. Kesiapan dan kompetensi pemerintah kota (11%, ranking 9)
    • Kota yang siap dan kompeten dalam respons serta edukasi risiko mampu menekan kerugian lebih baik.
  10. Jenis program kompensasi dan syarat klaim (13%, ranking 10)
  • Proses klaim yang lambat dan rumit memperparah kerusakan karena penundaan perbaikan.

Menariknya, tujuh dari sepuluh faktor teratas berada di bawah kewenangan pemerintah kota (penataan ruang, kode bangunan, drainase, kesiapsiagaan), menegaskan pentingnya peran pemerintah lokal dalam manajemen risiko banjir.

Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci

  • Basement: Studi di Quebec (2011) pada 1.639 rumah terdampak banjir Richelieu menunjukkan 18% rumah tanpa basement, 25% unfinished, dan 57% finished basement. Basement finished jauh lebih rentan dan mahal diperbaiki.
  • Kode Bangunan: Koefisien kerusakan untuk rumah sebelum 1965 adalah 130 (basis 100 untuk rumah setelah 2022), artinya rumah tua 30% lebih rentan rusak.
  • Jenis tanah: Tanah liat (clay) memiliki koefisien kerusakan 120 (20% lebih tinggi dari pasir/sand).
  • Nilai bangunan: Nilai pengganti (replacement cost) rata-rata 1,5 kali nilai penilaian properti oleh kota (koefisien 150), sedangkan nilai isi rumah sekitar 35% dari nilai bangunan.
  • Durasi klaim: Rata-rata waktu penyelesaian klaim banjir di Quebec mencapai 221 hari (2019) dan 521 hari (2017), menunda pemulihan dan memperbesar kerugian sekunder.

Analisis Kritis: Implikasi dan Inovasi

1. Mengapa Inundation Depth Bukan Segalanya?

Meskipun kedalaman air tetap penting, para pakar Kanada justru menempatkannya di urutan ke-11. Ini menegaskan bahwa model kerusakan berbasis satu variabel sangat rentan bias dan tidak cukup akurat di tingkat rumah tangga. Faktor-faktor seperti kecepatan arus, waktu respons, dan kualitas bangunan seringkali lebih menentukan besarnya kerugian.

2. Peran Sentral Pemerintah Kota

Sebagai pemegang otoritas utama penataan ruang, perizinan bangunan, dan pengelolaan infrastruktur, pemerintah kota dapat menekan risiko banjir secara signifikan. Contohnya:

  • Melarang pembangunan di zona rawan banjir,
  • Mewajibkan standar bangunan tahan banjir,
  • Investasi pada sistem drainase dan edukasi publik.

3. Koefisien Penyesuaian untuk Estimasi Kerusakan

Studi ini mengusulkan penggunaan koefisien penyesuaian (misal: jenis tanah, tahun bangunan, nilai bangunan, distribusi nilai antar lantai) untuk memperbaiki akurasi estimasi kerusakan. Contoh:

  • Rumah di tanah liat: kerusakan 20% lebih tinggi dari rumah di pasir.
  • Rumah tua (sebelum 1965): kerusakan 30% lebih tinggi dari rumah baru.
  • Basement finished: kerugian lebih besar dibanding unfinished.

4. Keterbatasan dan Tantangan

  • Mayoritas pakar berasal dari industri asuransi, sehingga ada potensi bias pada faktor yang sering muncul di klaim.
  • Studi fokus pada rumah tinggal; perlu riset lebih lanjut untuk bangunan komersial dan infrastruktur.
  • Data mikro seperti jenis basement, kode bangunan, dan detail lanskap masih tersebar di banyak basis data, belum terintegrasi.

Perbandingan dan Relevansi Global

Temuan ini sejalan dengan studi di AS, Eropa, dan Asia yang menyoroti pentingnya faktor fisik bangunan, kualitas infrastruktur, dan kesiapsiagaan pemerintah lokal dalam menekan risiko banjir. Negara-negara seperti Belanda dan Jepang juga mulai mengintegrasikan variabel-variabel ini ke dalam model risiko dan kebijakan penataan ruang.

Rekomendasi Praktis

  • Integrasi data mikro: Pemerintah kota perlu mengumpulkan dan mengintegrasikan data jenis basement, tahun bangunan, kode bangunan, jenis tanah, dan lanskap ke dalam sistem penilaian properti.
  • Reformasi penilaian risiko: Model estimasi kerusakan harus memasukkan koefisien penyesuaian untuk faktor-faktor utama, bukan hanya kedalaman air.
  • Peningkatan kesiapsiagaan kota: Investasi pada sistem drainase, edukasi risiko, dan percepatan proses klaim sangat krusial.
  • Kolaborasi lintas sektor: Asuransi, pemerintah, dan masyarakat harus bekerja sama mengembangkan sistem mitigasi dan kompensasi yang lebih responsif.

Penutup: Menuju Estimasi Kerusakan Banjir yang Lebih Akurat dan Responsif

Studi Deschamps dkk. menegaskan bahwa estimasi kerusakan banjir yang hanya mengandalkan kedalaman air sudah tidak memadai untuk era risiko iklim ekstrem. Integrasi faktor-faktor fisik, sosial, dan kelembagaan—serta peran aktif pemerintah kota—adalah kunci untuk memperbaiki akurasi estimasi, memperkuat mitigasi, dan mempercepat pemulihan. Temuan ini sangat relevan untuk negara-negara lain, termasuk Indonesia, yang menghadapi tantangan serupa dalam manajemen risiko banjir perkotaan.

Sumber asli:
Bernard Deschamps, Mathieu Boudreault, Philippe Gachon. (2025). Flooding: Contributing factors to residential flood damage in Canada. International Journal of Disaster Risk Reduction, 120, 105348.

Selengkapnya
Faktor Penyebab Kerusakan Rumah Akibat Banjir di Kanada: Resensi Kritis atas Studi Deschamps dkk. (2025)

Risiko Banjir

Merancang dan Mengevaluasi Nature-Based Solutions (NBS) yang Tangguh untuk Pengurangan Risiko Hidrometeorologi: Studi Kasus Sistem Irigasi Tradisional di Dataran Banjir Chao Phraya, Thailand

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025


Mengapa Nature-Based Solutions (NBS) Penting dalam Pengurangan Risiko Banjir?

Perubahan iklim dan degradasi lingkungan telah meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi (hydro-meteorological hazards/HMH) seperti banjir, kekeringan, dan badai di seluruh dunia. Kawasan urban dan dataran banjir, terutama di Asia Tenggara, kini menghadapi tantangan besar akibat pertumbuhan penduduk, perubahan tata guna lahan, dan pembangunan yang tidak terkendali. Dalam konteks ini, Nature-Based Solutions (NBS) semakin diakui sebagai pendekatan inovatif yang tidak hanya mengurangi risiko bencana, tetapi juga memberikan manfaat ekosistem dan sosial secara bersamaan. Namun, bagaimana merancang dan mengevaluasi NBS yang benar-benar tangguh dan efektif untuk menghadapi bencana ekstrem masih menjadi pertanyaan besar dalam literatur dan praktik kebijakan.

Paper karya Sipho Mashiyi dkk. (2023) di International Journal of Disaster Risk Reduction secara komprehensif membahas proses desain dan evaluasi NBS yang tangguh untuk pengurangan risiko hidrometeorologi, dengan studi kasus sistem irigasi tradisional di Dataran Banjir Chao Phraya, Thailand. Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus, data kunci, serta membandingkannya dengan tren global dan tantangan nyata di negara berkembang.

Konsep Dasar: Definisi, Multifungsi, dan Kriteria Ketangguhan NBS

NBS adalah istilah payung untuk pendekatan berbasis ekosistem yang bertujuan mengatasi berbagai tantangan sosial, seperti ketahanan pangan, air, kesehatan, dan perubahan iklim. Berbeda dengan infrastruktur abu-abu (grey infrastructure) seperti tanggul beton, NBS menekankan pemanfaatan dan restorasi fungsi alami ekosistem—misal, lahan basah, hutan riparian, atau sistem irigasi tradisional—untuk mengurangi risiko sekaligus memberi manfaat tambahan (co-benefits).

Tiga prinsip utama NBS:

  • Bisa berdiri sendiri atau dikombinasikan dengan solusi lain,
  • Diterapkan pada skala lanskap,
  • Menjadi bagian integral dari desain kebijakan dan tindakan penanganan tantangan sosial.

Multifungsi NBS berarti satu intervensi mampu memberikan berbagai layanan ekosistem sekaligus, misal: pengendalian banjir, penyimpanan air, pengisian air tanah, peningkatan kualitas air, dan habitat keanekaragaman hayati.

Tantangan Merancang NBS yang Tangguh

Meskipun manfaat NBS sudah banyak diakui, masih ada gap besar dalam literatur dan praktik terkait bagaimana merancang dan mengevaluasi NBS yang benar-benar tangguh (robust). Ketangguhan di sini didefinisikan sebagai kemampuan sistem untuk mempertahankan fungsi ekosistem meski menghadapi gangguan ekstrem yang melebihi kriteria desain awal, namun masih dalam batas toleransi ekosistem.

Proses desain NBS tangguh meliputi:

  • Robust parameter design: Meningkatkan karakteristik fisik dan proses ekologis agar sistem tahan terhadap bencana ekstrem (misal, memperdalam furrow irigasi, memilih vegetasi tahan genangan).
  • Robust control: Menyediakan mekanisme kontrol dinamis (misal, pintu air, pompa, pengalihan aliran) agar fungsi ekosistem bisa diubah sementara saat terjadi bencana (misal, taman kota menjadi kolam retensi banjir).

Studi Kasus: Sistem Irigasi Tradisional di Nong Sua, Pathum Thani, Thailand

Latar Belakang Wilayah

Nong Sua adalah distrik pertanian di dataran banjir Sungai Chao Phraya, bagian dari kawasan metropolitan Bangkok. Wilayah ini memiliki jaringan kanal dan furrow irigasi tradisional yang telah berusia lebih dari 100 tahun, berfungsi ganda sebagai saluran irigasi dan penampung air banjir. Kawasan ini sangat datar (kemiringan 0–3%) dan rentan terhadap banjir besar, seperti yang terjadi pada 2011 dan 2016.

Sistem Kanal dan Furrow

  • Sistem utama: Kanal Raphiphat (kapasitas maksimal 215–170 m³/detik), kanal Rangsit (45 m³/detik), serta sub-kanal Klong 7–12 (masing-masing 15–30 m³/detik).
  • Area pertanian: 44,16 km² dari total 54,48 km² wilayah Nong Sua.
  • Sistem pengelolaan: Kolaborasi antara Royal Irrigation Department (RID), Hydro Informatics Institute (HII), dan komunitas petani.

Konsep “Monkey Cheeks” (Kaem Ling)

Konsep ini, diinspirasi oleh cara monyet menyimpan makanan di pipinya, diterapkan dengan menampung air banjir di lahan pertanian dan furrow irigasi selama puncak banjir, lalu mengalirkannya secara bertahap setelah debit sungai turun. Pada banjir 2016, sistem ini berhasil mencegah banjir besar di Bangkok dan kawasan industri sekitarnya.

Data dan Angka Kunci

  • Selama 32 tahun (1985–2016), tercatat 69 kejadian banjir besar di Thailand.
  • Pada 2011, curah hujan musiman mencapai 1823 mm (28% di atas rata-rata 2002–2010), menyebabkan banjir besar yang merusak enam kawasan industri dan menyebabkan 70% kerugian sektor manufaktur di Pathum Thani dan Ayutthaya.
  • Sistem irigasi tradisional mampu menampung limpasan banjir hingga 160 m³/detik, jauh di atas kapasitas desain kanal utama (40 m³/detik).

Proses Desain dan Evaluasi NBS Tangguh

1. Desain Ketangguhan

  • Parameter kunci: Kedalaman furrow, jumlah pintu air (flow regulator), vegetasi tahan genangan, dan tanggul perimeter.
  • Intervensi: Setelah banjir 2011, petani memperdalam dan memperluas furrow, serta menambah pintu air di Klong 7–10 (misal, Klong 7 dari 1 menjadi 6 pintu air).
  • Integrasi infrastruktur abu-abu: Penggunaan flow regulator dan tanggul perimeter untuk mengendalikan genangan dan mencegah limpasan tak terkendali.

2. Evaluasi Ketangguhan: Metode Robust Analysis

  • Menggunakan model hidrodinamika 1-D (MIKE HYDRO River) untuk mensimulasikan respons sistem terhadap berbagai skenario banjir (55–160 m³/detik).
  • Indikator robust analysis:
    • Lower resistance threshold: Titik air mulai naik di furrow (+1,53 m MSL).
    • Proportionality: Seberapa besar kenaikan air di furrow dan kanal utama terhadap peningkatan debit banjir.
    • Manageability: Kemampuan menjaga air di bawah level bed tanaman (+2,55 m MSL) dan tanggul perimeter (+2,91 m MSL).
    • Upper resistance threshold: Titik di mana air melebihi bed tanaman atau tanggul, menyebabkan kerusakan ekonomi dan lingkungan.

3. Hasil Evaluasi

  • Tanpa NBS, kanal utama akan meluap pada debit 70 m³/detik (30 m³/detik di atas kapasitas desain).
  • Dengan NBS, kanal mampu berfungsi hingga debit 160 m³/detik tanpa meluap, berkat penampungan air di furrow.
  • Efisiensi penyimpanan air di furrow Klong 7 dan 8 meningkat dari 82% dan 81% menjadi 96% dan 95% setelah penambahan pintu air.
  • Sistem ini juga menjaga air tetap di bawah level bed tanaman, sehingga kerusakan tanaman dan kerugian ekonomi bisa diminimalkan.

4. Co-Benefits dan Batasan

  • Selain pengendalian banjir, air yang tertampung bisa digunakan untuk irigasi di musim kemarau, meningkatkan ketahanan pangan dan pendapatan petani.
  • Karakteristik tanah liat di Nong Sua (plasticity index 30–50%, liquid limit 60–80%) membuat air bisa ditahan lebih lama, namun membatasi infiltrasi dan pengisian air tanah.
  • Keterbatasan model: Studi hanya menggunakan model 1-D, sehingga belum mengevaluasi limpasan permukaan secara spasial penuh (butuh model 2-D untuk analisis lanjutan).

Analisis Kritis dan Opini

Kelebihan Studi

  • Mengembangkan proses desain dan evaluasi NBS tangguh yang sistematis, bisa diadaptasi untuk berbagai konteks.
  • Studi kasus berbasis data nyata dan kolaborasi multi-aktor, sehingga hasilnya relevan untuk perumusan kebijakan.
  • Menunjukkan pentingnya integrasi NBS dan infrastruktur abu-abu (hybrid solution) untuk ketangguhan sistem.

Tantangan dan Keterbatasan

  • Masih sedikit studi yang mengevaluasi NBS secara kuantitatif dan membandingkannya dengan solusi konvensional.
  • Keterbatasan data dan kapasitas teknis di banyak negara berkembang bisa menjadi hambatan implementasi.
  • Studi ini fokus pada banjir; aplikasi untuk kekeringan dan kawasan pesisir masih perlu pengembangan lebih lanjut.

Perbandingan dengan Tren Global

  • Konsep serupa diterapkan di Belanda (“Room for the River”), Denmark (Cloudburst Management), dan Tiongkok (Sponge City), namun adaptasi lokal sangat penting.
  • Banyak negara kini mulai mengadopsi solusi berbasis alam untuk pengurangan risiko bencana, didukung kebijakan internasional (EU Green Deal, SDGs, Sendai Framework).

Rekomendasi Praktis dan Implikasi untuk Indonesia

  • Wilayah dataran banjir di Indonesia (misal, Bekasi, Karawang, Semarang) dapat mengadopsi pendekatan serupa, mengoptimalkan sistem irigasi tradisional dan lahan pertanian sebagai penampung banjir musiman.
  • Penting untuk melibatkan komunitas lokal dalam desain dan pengelolaan NBS, serta mengintegrasikan solusi dengan infrastruktur abu-abu.
  • Evaluasi kuantitatif dengan model hidrodinamika dan indikator robust analysis harus menjadi standar dalam perencanaan NBS.
  • Perlu penguatan kapasitas teknis, pendanaan, dan kolaborasi lintas sektor untuk implementasi skala besar.

Penutup: Menuju Sistem Pengelolaan Banjir yang Adaptif dan Berbasis Alam

Studi Mashiyi dkk. membuktikan bahwa NBS yang dirancang dan dievaluasi secara robust dapat meningkatkan ketangguhan sistem pengelolaan banjir, memberikan manfaat ekosistem dan ekonomi, serta menjadi solusi masa depan di tengah ketidakpastian iklim. Proses desain dan evaluasi yang dikembangkan dapat diadaptasi di berbagai negara, termasuk Indonesia, sebagai bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan dan pengurangan risiko bencana berbasis alam.

Sumber asli:
Sipho Mashiyi, Sutat Weesakul, Zoran Vojinovic, Arlex Sanchez Torres, Mukand S. Babel, Sirapee Ditthabumrung, Laddaporn Ruangpan. (2023). Designing and evaluating robust nature-based solutions for hydro-meteorological risk reduction. International Journal of Disaster Risk Reduction, 93, 103787.

Selengkapnya
Merancang dan Mengevaluasi Nature-Based Solutions (NBS) yang Tangguh untuk Pengurangan Risiko Hidrometeorologi: Studi Kasus Sistem Irigasi Tradisional di Dataran Banjir Chao Phraya, Thailand

Risiko Banjir

Dinamika Demografi dan Manajemen Risiko Banjir di Pegunungan Alpen: Studi Kasus Gailtal, Austria

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025


Mengapa Demografi Penting dalam Manajemen Risiko Banjir?

Wilayah pedesaan pegunungan Eropa, khususnya di Alpen, kini menghadapi dua tantangan besar: penurunan populasi akibat penuaan dan migrasi keluar serta ancaman banjir yang terus berulang. Literatur global kerap berasumsi bahwa penurunan populasi otomatis memperburuk kerentanan sosial dan menurunkan kapasitas adaptasi komunitas terhadap bencana. Namun, apakah benar demikian untuk komunitas makmur di Eropa Tengah? Paper karya Christoph Clar dkk. (2023) di International Journal of Disaster Risk Reduction membedah secara kritis keterkaitan antara perubahan demografi dan sistem manajemen risiko banjir di Gailtal, Austria, dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang mendalam.

Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus Gailtal, angka-angka penting, serta membandingkannya dengan tren global dan pelajaran untuk kebijakan pengelolaan risiko bencana di era perubahan iklim dan demografi.

Latar Belakang: Penurunan Populasi dan Tantangan Sosial-Ekonomi

Sepertiga wilayah pedesaan Austria telah mengalami penurunan populasi dalam beberapa dekade terakhir, terutama karena penuaan dan migrasi keluar. Dampaknya meliputi:

  • Berkurangnya kapasitas ekonomi dan fiskal,
  • Penurunan layanan publik (transportasi, kesehatan, pendidikan),
  • Berkurangnya tenaga sukarela untuk penanggulangan bencana,
  • Potensi “lingkaran setan kemunduran” komunitas rural.

Di sisi lain, banjir tetap menjadi ancaman utama di wilayah ini, membutuhkan sumber daya besar untuk perlindungan dan pemulihan. Literatur sebelumnya umumnya berasumsi bahwa penurunan populasi memperburuk kerentanan sosial dan menurunkan kapasitas adaptasi komunitas, terutama di wilayah yang kurang makmur.

Studi Kasus Gailtal, Austria: Metodologi dan Data

Penelitian ini berfokus di distrik Hermagor, lembah Gailtal, Carinthia, Austria—wilayah yang terpencil, mengalami penurunan populasi, dan rawan banjir. Populasi turun dari 20.245 (1991) menjadi 18.224 (2019), dengan proporsi penduduk usia 60+ naik dari 29% (2013) menjadi 33% (2019). Proyeksi hingga 2040 menunjukkan penurunan populasi 13% lagi.

Metode yang digunakan:

  • Survei rumah tangga (respons 7,8%) untuk mengukur kerentanan sosial, kapasitas coping, dan adaptasi.
  • Analisis spasial dengan ArcGIS untuk memetakan perubahan eksposur bangunan terhadap banjir (1998–2019) dan proyeksi masa depan.
  • Wawancara semi-terstruktur dengan pejabat, walikota, perencana, dan relawan bencana.
  • Analisis wacana kebijakan dan media.

Temuan Utama: Kerentanan, Kapasitas, dan Paradox Eksposur

1. Kerentanan Sosial dan Kapasitas Komunitas

  • 81,8% responden survei adalah pemilik rumah, mayoritas tinggal di rumah sendiri.
  • 75,1% responden pernah mengalami banjir; 38,7% pernah mengalami banjir kecil dan sebagian besar masih mengingat banjir besar 1965–1966.
  • Tingkat kohesi sosial tinggi: 45% aktif di organisasi lokal, hampir semua responden tinggal di area studi sejak lahir.
  • 10,7% rumah tangga memiliki anggota dengan kebutuhan khusus.
  • Tingkat kesiapsiagaan individu untuk banjir 2018: rata-rata 2,45 (skala 1–5), kesiapsiagaan komunitas 2,22, dan kesiapsiagaan otoritas publik 2,79.
  • Pengalaman banjir masa lalu meningkatkan kesiapsiagaan: Responden yang pernah mengalami banjir lebih siap menghadapi banjir berikutnya (χ2 (5) = 23.584; p < 0.001).
  • Faktor gender signifikan: Perempuan cenderung lebih siap secara individu dan dalam ekspektasi terhadap kejadian masa depan (F = 12.775, p < 0.000).

2. Paradox Eksposur: Bangunan Bertambah, Penduduk Berkurang

  • Jumlah bangunan di area rawan banjir justru meningkat meski populasi menurun.
  • Antara 1998–2019, di beberapa kota seperti Kötschach-Mauthen, bangunan di zona banjir naik 14%.
  • Proyeksi masa depan: jika semua lahan permukiman yang diizinkan dibangun, 31% (19 ha) tambahan lahan permukiman di Kötschach-Mauthen akan berada di zona rawan banjir.
  • Populasi Gailtal turun 7% (2001–2019), tapi bangunan di zona banjir terus bertambah.
  • Fenomena ini disebut “exposure paradox”: penurunan populasi tidak otomatis menurunkan eksposur terhadap banjir, karena pembangunan rumah baru (termasuk rumah kedua dan migrasi pensiunan kaya) tetap terjadi di area rawan.

3. Strategi Manajemen Risiko Banjir

  • Sejak 1970, Austria menginvestasikan sekitar EUR 60 juta untuk perlindungan banjir di Gailtal, dengan tambahan EUR 25–35 juta per tahun (2000–2019) untuk Carinthia.
  • Proyek besar:
    • St. Stefan (2013): EUR 5,1 juta, plus EUR 9 juta dari WLV untuk perlindungan sungai.
    • Kötschach-Mauthen (2017): EUR 11,5 juta, perlindungan terhadap banjir 100-tahunan.
    • Hermagor (2020): EUR 13 juta untuk pelebaran sungai dan retensi air.
  • Fokus utama tetap pada infrastruktur fisik: bendungan, pelebaran sungai, retensi air.
  • Pendanaan dan prioritas proyek tidak pernah mempertimbangkan indikator demografi sebagai syarat utama. Namun, komunitas mulai khawatir pendanaan bisa berkurang jika populasi terus turun.

4. Diskursus Kebijakan: Demografi dan Banjir Masih Terpisah

  • Di tingkat negara bagian, isu demografi dan banjir diakui sebagai tantangan, namun jarang diintegrasikan dalam satu kebijakan.
  • Wacana publik dan media lebih banyak menyoroti solusi teknis (infrastruktur) dibanding adaptasi berbasis demografi.
  • Beberapa kebijakan mulai mempertimbangkan usia relawan, kebutuhan rumah tangga dengan anggota lanjut usia, dan urban sprawl akibat migrasi pensiunan.

Studi Kasus: Banjir 2018 dan 2019 di Gailtal

  • Oktober 2018: hujan ekstrem menyebabkan jebolnya tanggul di Rattendorf, menenggelamkan 39 rumah, merusak jalan dan jembatan, dengan kerugian EUR 233 juta.
  • November 2019: banjir besar kembali terjadi, menyebabkan kerusakan “ratusan juta euro” di Carinthia, sekitar EUR 100 juta di sektor privat.
  • 5300 petugas pemadam kebakaran dan militer dikerahkan selama banjir 2018.
  • Komunitas menunjukkan proses pemulihan cepat, namun kompensasi kerugian dinilai masih rendah.

Analisis Kritis: Membongkar Asumsi Lama

1. Apakah Komunitas Tua dan Menyusut Selalu Lebih Rentan?

  • Studi ini menantang asumsi bahwa komunitas tua otomatis lebih rentan.
  • Di Gailtal, kohesi sosial tinggi, pengalaman banjir masa lalu, dan keterlibatan di organisasi lokal justru memperkuat kapasitas coping dan adaptasi.
  • Namun, jika proporsi lansia 80+ tahun terus naik, bisa terjadi “tipping point” di mana kapasitas komunitas benar-benar menurun.

2. Paradox Eksposur: Mengapa Bangunan Bertambah Saat Penduduk Menyusut?

  • Penurunan jumlah anggota rumah tangga (lebih banyak rumah satu-dua orang), kebijakan lokal yang ingin menarik penduduk baru, dan pembangunan rumah kedua berperan besar.
  • Zoning lahan permukiman sering dilakukan tanpa memperhatikan peta bahaya banjir yang baru tersedia bertahun-tahun setelahnya.
  • Migrasi “new highlanders” (pensiunan kaya) ke Alpen juga memperbanyak rumah di zona rawan.

3. Implikasi untuk Kebijakan

  • Pendanaan proyek banjir masih kuat, tetapi masa depan bisa berubah jika populasi terus turun dan cost-benefit ratio menurun.
  • Tantangan utama ke depan: bagaimana mempertahankan dan merawat infrastruktur perlindungan banjir dengan sumber daya manusia dan dana yang makin terbatas.
  • Kebijakan perlu mulai mengintegrasikan data demografi, proyeksi populasi, dan kebutuhan kelompok rentan dalam perencanaan risiko.

Perbandingan dengan Studi Global

  • Studi di Belanda, Jerman, dan AS juga menemukan bahwa penurunan populasi tidak selalu menurunkan eksposur banjir, terutama jika pembangunan rumah baru tetap terjadi di zona rawan.
  • Kohesi sosial dan pengalaman bencana masa lalu terbukti memperkuat resiliensi di banyak komunitas rural Eropa.
  • Namun, jika tren penuaan ekstrem berlanjut, banyak negara menghadapi tantangan serupa: kekurangan relawan, dana, dan kapasitas perawatan infrastruktur.

Rekomendasi dan Pelajaran untuk Indonesia

  • Banyak daerah pegunungan di Indonesia juga menghadapi migrasi keluar dan penuaan populasi, terutama di desa-desa terpencil.
  • Penting untuk tidak hanya fokus pada jumlah penduduk, tetapi juga pola pembangunan rumah, kohesi sosial, dan pengalaman bencana lokal.
  • Perencanaan tata ruang dan kebijakan banjir harus mengantisipasi “paradox eksposur”—jangan sampai pembangunan baru justru memperbesar risiko meski penduduk menurun.
  • Investasi pada kohesi sosial, edukasi risiko, dan dokumentasi pengalaman bencana sangat penting untuk membangun resiliensi jangka panjang.

Penutup: Menuju Manajemen Risiko Banjir yang Adaptif dan Kontekstual

Studi Clar dkk. menunjukkan bahwa hubungan antara perubahan demografi dan risiko banjir jauh lebih kompleks dari asumsi umum. Penurunan populasi tidak otomatis berarti penurunan risiko; bahkan bisa terjadi “paradox eksposur” jika pembangunan rumah baru tetap berlangsung di zona rawan. Kohesi sosial, pengalaman bencana, dan kebijakan lokal sangat menentukan kapasitas adaptasi komunitas. Ke depan, kebijakan manajemen risiko banjir harus lebih adaptif, berbasis data lokal, dan mempertimbangkan dinamika demografi secara strategis.

Sumber asli:
Christoph Clar, Lena Junger, Ralf Nordbeck, Thomas Thaler. (2023). The impact of demographic developments on flood risk management systems in rural regions in the Alpine Arc. International Journal of Disaster Risk Reduction, 90, 103648.

Selengkapnya
Dinamika Demografi dan Manajemen Risiko Banjir di Pegunungan Alpen: Studi Kasus Gailtal, Austria

Risiko Banjir

Kolaborasi Lintas Batas: Regulasi Manajemen Risiko Banjir Sungai Transnasional di Perbatasan Belanda-Jerman

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 20 Juni 2025


Tantangan Banjir di Era Perubahan Iklim

Perubahan iklim telah meningkatkan frekuensi dan intensitas curah hujan ekstrem di Eropa, sehingga risiko banjir pada sungai-sungai besar yang melintasi beberapa negara, termasuk di kawasan perbatasan Belanda-Jerman, makin tinggi. Sungai-sungai seperti Rhine, Meuse, Ems, Dinkel, dan Vecht, yang mengalir dari Jerman ke Belanda, menuntut adanya kolaborasi lintas negara dalam mengelola risiko banjir. Artikel ini mereview secara kritis paper Cristine Johanna Kuiper (2020), yang menganalisis bagaimana berbagai level institusi—dari Uni Eropa, pemerintah nasional, hingga regional—bekerja sama dalam mengelola risiko banjir sungai lintas batas di kawasan ini123.

Pentingnya Studi: Mengapa Kolaborasi Lintas Negara Jadi Kunci?

Banjir lintas negara tidak bisa dikelola secara sepihak. Setiap tindakan di hulu (Jerman) akan berdampak pada hilir (Belanda), dan sebaliknya. Oleh karena itu, paper ini sangat relevan di tengah tren global yang menuntut kolaborasi antarnegara dalam menghadapi perubahan iklim dan bencana alam. Selain itu, studi ini menutup kekosongan literatur terkait bagaimana perbedaan tata kelola dan budaya birokrasi mempengaruhi efektivitas manajemen risiko banjir lintas batas.

Kerangka Teoritis: Multilevel Governance dan Cross-Border Cooperation

Konsep Utama

  • Flood Management: Melibatkan upaya pencegahan, perlindungan, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pemulihan pasca-banjir.
  • Multilevel Governance: Pengelolaan risiko banjir dilakukan secara terintegrasi dari tingkat internasional (UE), nasional (Belanda & Jerman), hingga regional dan lokal.
  • Cross-Border Cooperation: Kolaborasi lintas negara sangat penting karena sungai-sungai besar tidak mengenal batas politik, sehingga data, pengalaman, dan strategi harus dibagi bersama demi hasil optimal123.

Regulasi dan Kebijakan: Dari Uni Eropa ke Nasional

1. EU Floods Directive (2007)

Uni Eropa menerapkan EU Floods Directive sebagai kerangka hukum utama. Tujuannya:

  • Mengurangi risiko banjir dan dampaknya terhadap manusia, lingkungan, dan ekonomi.
  • Mengharuskan negara anggota melakukan preliminary flood risk assessment, membuat flood hazard maps, dan menyusun flood risk management plans yang diperbarui setiap enam tahun.
  • Menekankan prinsip solidarity, yaitu negara anggota tidak boleh menerapkan kebijakan yang memperburuk risiko banjir di negara lain123.

2. Implementasi di Belanda

  • Multilevel System: Terdiri dari pemerintah pusat, otoritas air nasional, provinsi, 400+ kota, 25 otoritas air regional, dan 25 safety regions.
  • Standar Perlindungan Tinggi: Misal, kawasan Randstad memiliki standar perlindungan banjir 1:10.000 tahun, sementara kawasan kurang padat penduduk 1:4.000 tahun.
  • Proyek Inovatif: Room for the River—merancang ulang sungai agar mampu menampung volume air lebih besar di masa depan.
  • Fokus pada Pencegahan & Adaptasi: Penilaian dan pemeliharaan infrastruktur pertahanan banjir dilakukan setiap lima tahun, dengan penyesuaian terhadap perubahan iklim123.

3. Implementasi di Jerman

  • Federal Water Act (Wasserhaushaltsgesetz): Diperbarui untuk menyesuaikan dengan EU Floods Directive.
  • Desentralisasi: 16 negara bagian (Länder) memiliki otonomi mengelola 10 distrik DAS utama, termasuk Rhine, Meuse, dan Ems.
  • Koordinasi & Solidaritas: Dibentuk Länderarbeitsgruppe Wasser untuk memastikan koordinasi antarnegara bagian dan berbagi data dengan negara tetangga.
  • Penilaian Risiko: Peta risiko banjir dibuat untuk area dengan peluang banjir 1:200 hingga 1:100 tahun, diperbarui setiap enam tahun123.

Studi Kasus: Kolaborasi di Sungai Rhine, Meuse, dan Ems

1. Rhine: International Commission for the Protection of the Rhine (ICPR)

  • Anggota: Jerman, Belanda, Prancis, Swiss, Austria, Italia, Luksemburg, Belgia, Liechtenstein.
  • Target: Mengurangi risiko kerusakan akibat banjir sebesar 25%, menurunkan puncak banjir hingga 70 cm di hilir, dan memperpanjang masa peringatan dini banjir.
  • Pendekatan: Jika tindakan regional/lokal berdampak lintas batas, harus ada pertukaran informasi dan koordinasi internasional.
  • Adaptasi Iklim: Strategi adaptasi seperti memberi ruang lebih bagi sungai dan menjaga floodplain tetap alami123.

2. Meuse: International Meuse Commission

  • Anggota: Prancis, Belgia, Jerman, Belanda, Luksemburg.
  • Fokus: Penilaian risiko banjir bersama, koordinasi peta bahaya, dan penekanan pada solidaritas serta keseimbangan ekologi.
  • Tujuan: Semua negara anggota wajib bertindak secara adil dan berbagi informasi tentang tindakan yang berdampak lintas batas123.

3. Ems: International Steering Group Ems

  • Anggota: Jerman & Belanda.
  • Kebijakan: Tidak ada komisi khusus, tetapi ada korespondensi menteri dan kelompok kerja teknis.
  • Kolaborasi: Peta risiko banjir dan skenario dibuat bersama, data dikombinasikan untuk memperkirakan dampak banjir lintas batas123.

4. Sungai Kecil: Dinkel, Vecht, Berkel, Oude IJssel

  • Organisasi: Grensoverschrijdend Platform voor Regionaal Waterbeheer (GPRW).
  • Proyek Nyata: Pembangunan meander di perbatasan sebagai contoh solidaritas dan pengelolaan ekosistem lintas negara.
  • Fokus: Tidak hanya pada risiko banjir, tapi juga kualitas air dan keanekaragaman hayati123.

Analisis Angka dan Dampak

  • Belanda: Standar perlindungan banjir sangat tinggi—misal, Randstad 1:10.000 tahun, kawasan lain 1:4.000–1:250 tahun. Ada 68 tindakan perlindungan, 12 pencegahan, 28 kesiapsiagaan, dan 8 pemulihan yang diidentifikasi dalam Flood Risk Management Plans nasional.
  • Jerman: Peta risiko banjir dibuat untuk area dengan peluang banjir 1:200 hingga 1:100 tahun. Di Nordrhein-Westfalen, semua sungai utama perbatasan (Rhine, Meuse, Ems) telah memiliki peta risiko dan rencana aksi yang spesifik.
  • ICPR: Target menurunkan kerusakan banjir sebesar 25% dan menurunkan puncak banjir hingga 70 cm di hilir Rhine.
  • GPRW: Kolaborasi regional menghasilkan proyek-proyek nyata yang memperbaiki ekosistem sekaligus mengurangi risiko banjir123.

Nilai Tambah, Kritik, dan Perbandingan

Nilai Tambah:

  • Solidaritas Nyata: Prinsip solidaritas UE terbukti efektif dalam mencegah tindakan sepihak yang merugikan negara lain.
  • Inovasi Adaptasi: Proyek seperti Room for the River di Belanda dan adaptasi floodplain di Jerman menjadi inspirasi global.
  • Pendekatan Multilevel: Integrasi dari tingkat UE, nasional, hingga lokal memastikan solusi lebih kontekstual dan responsif.

Kritik:

  • Koordinasi Masih Terbatas: Tidak ada rencana aksi tunggal di tingkat UE; implementasi sangat tergantung pada kebijakan nasional dan regional, sehingga bisa muncul ketidaksinkronan.
  • Desentralisasi Jerman: Otonomi Länder membuat implementasi kebijakan tidak selalu seragam, menyulitkan evaluasi efektivitas secara nasional.
  • Keterbatasan Data: Penilaian risiko dan peta bahaya sangat bergantung pada kualitas data dan update berkala, yang tidak selalu konsisten antarnegara bagian.

Perbandingan dengan Negara Lain:

  • Prancis & Swiss: Terlibat dalam ICPR, tetapi memiliki model tata kelola air yang lebih sentralistik dibanding Jerman.
  • Amerika Serikat: Pengelolaan sungai lintas negara bagian (misal, Mississippi) juga menghadapi tantangan koordinasi serupa, namun tanpa kerangka hukum supranasional seperti UE.

Relevansi dan Implikasi ke Depan

  • Tren Industri: Manajemen risiko banjir lintas negara menjadi model penting di era perubahan iklim, terutama untuk kawasan delta dan sungai besar dunia.
  • Smart Water Management: Integrasi data real-time, IoT, dan pemodelan prediktif sangat potensial untuk meningkatkan respons dan koordinasi lintas batas.
  • Peluang Kolaborasi: Model Belanda-Jerman dapat diadopsi di kawasan lain, seperti Mekong (Asia Tenggara) atau Danube (Eropa Timur), yang juga menghadapi tantangan banjir lintas negara.

Menuju Tata Kelola Banjir Lintas Batas yang Efektif

Paper ini menegaskan bahwa pengelolaan risiko banjir sungai lintas negara memerlukan:

  • Kerangka hukum supranasional yang kuat (EU Floods Directive).
  • Implementasi multilevel yang fleksibel namun terkoordinasi.
  • Prinsip solidaritas dan pertukaran data yang konsisten.
  • Inovasi adaptasi berbasis ekosistem dan teknologi.

Belanda dan Jerman telah menunjukkan bahwa, meski tantangan birokrasi dan perbedaan sistem pemerintahan tetap ada, kolaborasi lintas batas yang efektif sangat mungkin dilakukan. Studi kasus Rhine, Meuse, Ems, dan sungai kecil lainnya membuktikan pentingnya kerja sama, inovasi, dan adaptasi dalam menghadapi risiko banjir yang semakin kompleks akibat perubahan iklim.

Sumber Artikel 

Cristine Johanna Kuiper (2020). The regulation of flood risk management of transboundary rivers in the Dutch-German border area. University of Twente, Faculty of Behavioural, Management and Social Sciences, Management, Society & Technology – Bachelor Thesis.

Selengkapnya
Kolaborasi Lintas Batas: Regulasi Manajemen Risiko Banjir Sungai Transnasional di Perbatasan Belanda-Jerman
page 1 of 2 Next Last »