Kolaborasi Lintas Batas: Regulasi Manajemen Risiko Banjir Sungai Transnasional di Perbatasan Belanda-Jerman

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

20 Juni 2025, 06.03

pixabay.com

Tantangan Banjir di Era Perubahan Iklim

Perubahan iklim telah meningkatkan frekuensi dan intensitas curah hujan ekstrem di Eropa, sehingga risiko banjir pada sungai-sungai besar yang melintasi beberapa negara, termasuk di kawasan perbatasan Belanda-Jerman, makin tinggi. Sungai-sungai seperti Rhine, Meuse, Ems, Dinkel, dan Vecht, yang mengalir dari Jerman ke Belanda, menuntut adanya kolaborasi lintas negara dalam mengelola risiko banjir. Artikel ini mereview secara kritis paper Cristine Johanna Kuiper (2020), yang menganalisis bagaimana berbagai level institusi—dari Uni Eropa, pemerintah nasional, hingga regional—bekerja sama dalam mengelola risiko banjir sungai lintas batas di kawasan ini123.

Pentingnya Studi: Mengapa Kolaborasi Lintas Negara Jadi Kunci?

Banjir lintas negara tidak bisa dikelola secara sepihak. Setiap tindakan di hulu (Jerman) akan berdampak pada hilir (Belanda), dan sebaliknya. Oleh karena itu, paper ini sangat relevan di tengah tren global yang menuntut kolaborasi antarnegara dalam menghadapi perubahan iklim dan bencana alam. Selain itu, studi ini menutup kekosongan literatur terkait bagaimana perbedaan tata kelola dan budaya birokrasi mempengaruhi efektivitas manajemen risiko banjir lintas batas.

Kerangka Teoritis: Multilevel Governance dan Cross-Border Cooperation

Konsep Utama

  • Flood Management: Melibatkan upaya pencegahan, perlindungan, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pemulihan pasca-banjir.
  • Multilevel Governance: Pengelolaan risiko banjir dilakukan secara terintegrasi dari tingkat internasional (UE), nasional (Belanda & Jerman), hingga regional dan lokal.
  • Cross-Border Cooperation: Kolaborasi lintas negara sangat penting karena sungai-sungai besar tidak mengenal batas politik, sehingga data, pengalaman, dan strategi harus dibagi bersama demi hasil optimal123.

Regulasi dan Kebijakan: Dari Uni Eropa ke Nasional

1. EU Floods Directive (2007)

Uni Eropa menerapkan EU Floods Directive sebagai kerangka hukum utama. Tujuannya:

  • Mengurangi risiko banjir dan dampaknya terhadap manusia, lingkungan, dan ekonomi.
  • Mengharuskan negara anggota melakukan preliminary flood risk assessment, membuat flood hazard maps, dan menyusun flood risk management plans yang diperbarui setiap enam tahun.
  • Menekankan prinsip solidarity, yaitu negara anggota tidak boleh menerapkan kebijakan yang memperburuk risiko banjir di negara lain123.

2. Implementasi di Belanda

  • Multilevel System: Terdiri dari pemerintah pusat, otoritas air nasional, provinsi, 400+ kota, 25 otoritas air regional, dan 25 safety regions.
  • Standar Perlindungan Tinggi: Misal, kawasan Randstad memiliki standar perlindungan banjir 1:10.000 tahun, sementara kawasan kurang padat penduduk 1:4.000 tahun.
  • Proyek Inovatif: Room for the River—merancang ulang sungai agar mampu menampung volume air lebih besar di masa depan.
  • Fokus pada Pencegahan & Adaptasi: Penilaian dan pemeliharaan infrastruktur pertahanan banjir dilakukan setiap lima tahun, dengan penyesuaian terhadap perubahan iklim123.

3. Implementasi di Jerman

  • Federal Water Act (Wasserhaushaltsgesetz): Diperbarui untuk menyesuaikan dengan EU Floods Directive.
  • Desentralisasi: 16 negara bagian (Länder) memiliki otonomi mengelola 10 distrik DAS utama, termasuk Rhine, Meuse, dan Ems.
  • Koordinasi & Solidaritas: Dibentuk Länderarbeitsgruppe Wasser untuk memastikan koordinasi antarnegara bagian dan berbagi data dengan negara tetangga.
  • Penilaian Risiko: Peta risiko banjir dibuat untuk area dengan peluang banjir 1:200 hingga 1:100 tahun, diperbarui setiap enam tahun123.

Studi Kasus: Kolaborasi di Sungai Rhine, Meuse, dan Ems

1. Rhine: International Commission for the Protection of the Rhine (ICPR)

  • Anggota: Jerman, Belanda, Prancis, Swiss, Austria, Italia, Luksemburg, Belgia, Liechtenstein.
  • Target: Mengurangi risiko kerusakan akibat banjir sebesar 25%, menurunkan puncak banjir hingga 70 cm di hilir, dan memperpanjang masa peringatan dini banjir.
  • Pendekatan: Jika tindakan regional/lokal berdampak lintas batas, harus ada pertukaran informasi dan koordinasi internasional.
  • Adaptasi Iklim: Strategi adaptasi seperti memberi ruang lebih bagi sungai dan menjaga floodplain tetap alami123.

2. Meuse: International Meuse Commission

  • Anggota: Prancis, Belgia, Jerman, Belanda, Luksemburg.
  • Fokus: Penilaian risiko banjir bersama, koordinasi peta bahaya, dan penekanan pada solidaritas serta keseimbangan ekologi.
  • Tujuan: Semua negara anggota wajib bertindak secara adil dan berbagi informasi tentang tindakan yang berdampak lintas batas123.

3. Ems: International Steering Group Ems

  • Anggota: Jerman & Belanda.
  • Kebijakan: Tidak ada komisi khusus, tetapi ada korespondensi menteri dan kelompok kerja teknis.
  • Kolaborasi: Peta risiko banjir dan skenario dibuat bersama, data dikombinasikan untuk memperkirakan dampak banjir lintas batas123.

4. Sungai Kecil: Dinkel, Vecht, Berkel, Oude IJssel

  • Organisasi: Grensoverschrijdend Platform voor Regionaal Waterbeheer (GPRW).
  • Proyek Nyata: Pembangunan meander di perbatasan sebagai contoh solidaritas dan pengelolaan ekosistem lintas negara.
  • Fokus: Tidak hanya pada risiko banjir, tapi juga kualitas air dan keanekaragaman hayati123.

Analisis Angka dan Dampak

  • Belanda: Standar perlindungan banjir sangat tinggi—misal, Randstad 1:10.000 tahun, kawasan lain 1:4.000–1:250 tahun. Ada 68 tindakan perlindungan, 12 pencegahan, 28 kesiapsiagaan, dan 8 pemulihan yang diidentifikasi dalam Flood Risk Management Plans nasional.
  • Jerman: Peta risiko banjir dibuat untuk area dengan peluang banjir 1:200 hingga 1:100 tahun. Di Nordrhein-Westfalen, semua sungai utama perbatasan (Rhine, Meuse, Ems) telah memiliki peta risiko dan rencana aksi yang spesifik.
  • ICPR: Target menurunkan kerusakan banjir sebesar 25% dan menurunkan puncak banjir hingga 70 cm di hilir Rhine.
  • GPRW: Kolaborasi regional menghasilkan proyek-proyek nyata yang memperbaiki ekosistem sekaligus mengurangi risiko banjir123.

Nilai Tambah, Kritik, dan Perbandingan

Nilai Tambah:

  • Solidaritas Nyata: Prinsip solidaritas UE terbukti efektif dalam mencegah tindakan sepihak yang merugikan negara lain.
  • Inovasi Adaptasi: Proyek seperti Room for the River di Belanda dan adaptasi floodplain di Jerman menjadi inspirasi global.
  • Pendekatan Multilevel: Integrasi dari tingkat UE, nasional, hingga lokal memastikan solusi lebih kontekstual dan responsif.

Kritik:

  • Koordinasi Masih Terbatas: Tidak ada rencana aksi tunggal di tingkat UE; implementasi sangat tergantung pada kebijakan nasional dan regional, sehingga bisa muncul ketidaksinkronan.
  • Desentralisasi Jerman: Otonomi Länder membuat implementasi kebijakan tidak selalu seragam, menyulitkan evaluasi efektivitas secara nasional.
  • Keterbatasan Data: Penilaian risiko dan peta bahaya sangat bergantung pada kualitas data dan update berkala, yang tidak selalu konsisten antarnegara bagian.

Perbandingan dengan Negara Lain:

  • Prancis & Swiss: Terlibat dalam ICPR, tetapi memiliki model tata kelola air yang lebih sentralistik dibanding Jerman.
  • Amerika Serikat: Pengelolaan sungai lintas negara bagian (misal, Mississippi) juga menghadapi tantangan koordinasi serupa, namun tanpa kerangka hukum supranasional seperti UE.

Relevansi dan Implikasi ke Depan

  • Tren Industri: Manajemen risiko banjir lintas negara menjadi model penting di era perubahan iklim, terutama untuk kawasan delta dan sungai besar dunia.
  • Smart Water Management: Integrasi data real-time, IoT, dan pemodelan prediktif sangat potensial untuk meningkatkan respons dan koordinasi lintas batas.
  • Peluang Kolaborasi: Model Belanda-Jerman dapat diadopsi di kawasan lain, seperti Mekong (Asia Tenggara) atau Danube (Eropa Timur), yang juga menghadapi tantangan banjir lintas negara.

Menuju Tata Kelola Banjir Lintas Batas yang Efektif

Paper ini menegaskan bahwa pengelolaan risiko banjir sungai lintas negara memerlukan:

  • Kerangka hukum supranasional yang kuat (EU Floods Directive).
  • Implementasi multilevel yang fleksibel namun terkoordinasi.
  • Prinsip solidaritas dan pertukaran data yang konsisten.
  • Inovasi adaptasi berbasis ekosistem dan teknologi.

Belanda dan Jerman telah menunjukkan bahwa, meski tantangan birokrasi dan perbedaan sistem pemerintahan tetap ada, kolaborasi lintas batas yang efektif sangat mungkin dilakukan. Studi kasus Rhine, Meuse, Ems, dan sungai kecil lainnya membuktikan pentingnya kerja sama, inovasi, dan adaptasi dalam menghadapi risiko banjir yang semakin kompleks akibat perubahan iklim.

Sumber Artikel 

Cristine Johanna Kuiper (2020). The regulation of flood risk management of transboundary rivers in the Dutch-German border area. University of Twente, Faculty of Behavioural, Management and Social Sciences, Management, Society & Technology – Bachelor Thesis.