Riset & Akademik
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 30 September 2025
Saya masih ingat dengan jelas momen itu. Duduk di depan calon pembimbing, jantung berdebar kencang, saya mempresentasikan ide tesis yang sudah saya siapkan berbulan-bulan. Saya yakin sekali ide itu brilian, baru, dan yang terpenting—orisinal. Setelah selesai, beliau menatap saya, tersenyum tipis, dan melontarkan pertanyaan yang menghantui setiap mahasiswa pascasarjana di muka bumi: “Tapi, apa orisinalitasnya?”
Seketika, seluruh kepercayaan diri saya runtuh. Apa maksudnya? Bukankah ide ini belum pernah ada sebelumnya? Apa definisi “orisinal” yang beliau pakai? Apakah ada standar rahasia yang tidak saya ketahui? Malam itu saya tidak bisa tidur, dihantui perasaan bahwa saya adalah seorang penipu, seorang imposter yang mencoba masuk ke dunia akademik tanpa membawa apa-apa.
Jika cerita ini terasa akrab, kamu tidak sendirian. Bertahun-tahun kemudian, saya menemukan sebuah paper penelitian karya Muhammad Shaheen dari tahun 2021 yang seolah-olah ditulis untuk menenangkan jiwa peneliti saya yang gelisah. Paper berjudul “The Concept of Originality in Academic Research of Engineering” ini seperti peta yang muncul di tengah hutan belantara kebingungan. Shaheen mengakui sejak awal bahwa konsep orisinalitas adalah subjek yang “kontroversial” dan bahkan “mistis” di kalangan akademisi.
Membaca kalimat itu saja sudah melegakan. Ternyata, bukan hanya saya yang bingung. Kebingungan ini adalah masalah sistemik. Dalam tulisan ini, saya ingin mengajakmu berjalan-jalan menelusuri temuan-temuan kunci dari paper tersebut. Kita akan menerjemahkan bahasa akademisnya yang padat menjadi wawasan praktis yang bisa kita gunakan, entah kamu sedang menulis disertasi, merintis proyek inovatif di kantor, atau sekadar penasaran dengan cara kerja pengetahuan.
Hantu di Ruang Ujian: Mengapa "Orisinalitas" Begitu Sulit Dipahami
Masalah utamanya, menurut paper Shaheen, adalah orisinalitas itu sangat subjektif. Tidak ada definisi hitam-putih yang bisa dipegang semua orang. Bayangkan kamu diminta memasak hidangan “lezat” untuk panel juri. Masalahnya, setiap juri punya definisi rahasia tentang apa itu “lezat”. Juri A suka pedas, Juri B benci bawang putih, dan Juri C hanya makan makanan organik. Tanpa kriteria yang jelas, kamu hanya bisa menebak-nebak.
Begitulah rasanya evaluasi tesis. Penilaiannya sangat bergantung pada pandangan pribadi penguji, yang bisa berbeda dari satu orang ke orang lain, bahkan dari satu bidang ilmu ke bidang lain.
Ini bukan sekadar masalah kecemasan mahasiswa. Ambiguitas ini punya dampak nyata dan serius. Paper tersebut menyoroti bahwa penilaian orisinalitas menjadi “faktor keputusan kritis” untuk banyak hal: kelulusan tesis, hibah proyek penelitian, pendanaan, hingga pengangkatan jabatan akademik. Nasib karier seseorang bisa bergantung pada sebuah konsep yang definisinya saja masih diperdebatkan.
Di sinilah letak pencerahan terbesarnya bagi saya. Rasa cemas yang kita rasakan tentang orisinalitas bukanlah kegagalan pribadi atau sekadar imposter syndrome. Itu adalah respons yang sangat rasional terhadap sistem yang definisinya longgar dan taruhannya tinggi. Fakta bahwa paper ini ada—dan harus melakukan survei mendalam terhadap ratusan akademisi untuk mencari titik temu—adalah bukti bahwa masalah ini nyata, meluas, dan bersifat institusional, bukan personal.
Membangun Katedral Pengetahuan vs. Mendirikan Pabrik Profit: Dua Jalan Riset yang Berbeda
Untuk mulai mengurai benang kusut ini, Shaheen menyoroti satu pembedaan fundamental yang sering kita lupakan: perbedaan antara riset akademik dan riset industri. Saya suka membayangkannya sebagai analogi “Membangun Katedral Pengetahuan” versus “Mendirikan Pabrik Profit”.
Membangun Katedral (Riset Akademik) adalah pekerjaan yang berorientasi pada warisan. Tujuannya adalah untuk memajukan pengetahuan umat manusia. Setiap penelitian adalah sebuah batu bata yang ditambahkan pada fondasi atau struktur katedral, membuatnya lebih kokoh, lebih tinggi, dan lebih megah untuk generasi mendatang. Fokusnya adalah pada kontribusi terhadap “badan pengetahuan” (body of knowledge), dan evaluasinya dilakukan oleh sesama arsitek (rekan sejawat) yang peduli pada kebenaran teoretis.
Mendirikan Pabrik (Riset Industri), di sisi lain, berorientasi pada hasil. Tujuannya adalah meningkatkan efisiensi, menciptakan produk baru, dan menghasilkan keuntungan. Inovasi di sini diukur dari dampaknya di pasar. Evaluasinya bukan dari rekan sejawat, melainkan dari atasan, pelanggan, dan laporan laba-rugi.
Mengapa pembedaan ini krusial? Karena di sinilah letak sumber utama kebingungan, terutama di bidang teknik (engineering). Paper ini sengaja memfokuskan studinya pada bidang teknik karena satu alasan penting: teknik adalah “zona konflik” di mana kedua dunia ini bertemu dengan paling keras.
Seorang mahasiswa teknik dilatih untuk memecahkan masalah praktis yang sangat mirip dengan masalah industri. Mereka membuat aplikasi, merancang sistem yang lebih efisien, atau membangun prototipe. Namun, saat mereka menulis tesis atau disertasi, karya mereka yang terlihat seperti produk “pabrik” ini tiba-tiba dinilai dengan standar “katedral”. Paper ini menyatakan bahwa masalah riset di bidang teknik “sangat mirip dengan masalah riset industri”, yang membuatnya “satu langkah lebih sulit untuk membedakan konsep orisinalitas” di antara keduanya. Mahasiswa teknik terjebak dalam benturan budaya: mereka memecahkan masalah yang
terlihat industrial, tetapi harus membenarkannya dengan sistem nilai akademik murni, yaitu kontribusi pada fondasi teori.
Resep Rahasia Orisinalitas: Apa yang Sebenarnya Dicari Para Penguji?
Baiklah, kita sudah paham masalahnya. Sekarang, bagian yang paling ditunggu-tunggu: apa solusinya? Paper Shaheen tidak hanya mengeluh tentang masalah ini; ia mencoba mencari jawaban dengan menyurvei 638 akademisi dan pakar dari seluruh dunia. Dari data tersebut, kita bisa merumuskan semacam “resep rahasia” tentang apa yang dianggap orisinal dalam dunia akademik.
Ini Bukan Sekadar "Baru", Ini Tentang Kontribusi pada Fondasi
Standar emas orisinalitas akademik adalah “kontribusi pada badan pengetahuan” (contribution to the body of knowledge atau BoK). Ini adalah frasa yang sering diulang-ulang tapi jarang dijelaskan. Analogi yang paling pas adalah: orisinalitas akademik bukan tentang menambahkan satu bata baru di puncak tembok yang sudah tinggi. Orisinalitas adalah tentang menciptakan jenis bata baru atau menemukan cara baru menyusun bata yang membuat keseluruhan tembok menjadi lebih kuat atau memungkinkan pembangunan struktur yang sebelumnya tidak mungkin.
Berdasarkan survei dalam paper tersebut, inilah elemen-elemen yang paling diakui sebagai kontribusi orisinal :
🚀 Standar Emas: Kontribusi pada Body of Knowledge. Ini adalah syarat mutlak, terutama untuk level PhD. Paper ini menekankan bahwa kontribusi pada BoK adalah hal yang tidak bisa ditawar untuk sebuah gelar akademik.
🧠 Paling Diakui: Metode/Algoritma Baru. Data survei menunjukkan bahwa menciptakan sebuah metode, algoritma, atau prosedur baru yang sebelumnya tidak ada adalah jalan paling jelas menuju pengakuan orisinalitas. Mayoritas responden menganggap ini sebagai bentuk orisinalitas tertinggi.
💡 Wawasan Mengejutkan: Kesimpulan yang Unik. Kamu tidak harus selalu menciptakan metode baru. Sebuah penelitian yang menggunakan metode lama tapi menghasilkan kesimpulan yang unik, tak terduga, dan mencerahkan juga sangat dihargai sebagai karya orisinal. Ini membuka jalan alternatif bagi para peneliti.
🚧 Jebakan Umum: Apa yang Bukan Orisinal. Ini mungkin bagian terpenting. Para responden survei dengan tegas menolak beberapa hal sebagai karya orisinal untuk level doktoral: sebuah makalah survei (sekalipun komprehensif), sebuah aplikasi unik dari teori yang sudah ada, atau sebuah proyek tanpa komponen riset yang jelas. Sebagai contoh, 78% responden menolak gagasan bahwa sekadar membuat aplikasi baru bisa dianggap orisinal untuk disertasi PhD. Ini adalah peringatan penting bagi banyak mahasiswa.
Perbedaan S2 dan S3: Bukan Cuma Soal Tebal Halaman
Lalu, apa bedanya orisinalitas di level S2 (Master) dan S3 (Doktor)? Banyak yang mengira perbedaannya terletak pada kuantitas atau jumlah kerja. Namun, paper ini mengungkapkan nuansa yang lebih dalam: perbedaannya ada pada “granularitas dan kompleksitas”.
Saya akan jelaskan dengan analogi lain.
Tesis S2 (Master) itu seperti menggunakan mikroskop super canggih yang sudah ada untuk menemukan detail baru pada spesimen yang sudah dikenal. Kamu melakukan sebuah perpanjangan (extension), perbaikan, atau aplikasi cerdas dari alat yang ada.
Disertasi S3 (Doktor) itu seperti membangun jenis mikroskop baru yang memungkinkan seluruh komunitas ilmuwan melihat hal-hal yang sebelumnya sama sekali tidak terlihat. Kamu berkontribusi pada area filosofis atau fondasi dari ilmunya itu sendiri.
Jadi, perbedaannya bukan pada seberapa banyak yang kamu tulis, tapi pada seberapa dalam kamu mengubah cara kita memahami atau melakukan sesuatu di bidangmu.
Sedikit Kritik: Peta Ini Berguna, Tapi Ada Wilayah yang Masih Kabur
Tentu saja, tidak ada penelitian yang sempurna. Kekuatan terbesar paper Shaheen adalah usahanya untuk mengganti opini subjektif dengan data sistematis. Ia berhasil memetakan konsensus di antara ratusan pakar. Namun, sebagai pembaca yang kritis, saya melihat ada beberapa wilayah yang masih sedikit kabur.
Pertama, bias disiplin. Fokus yang kuat pada bidang teknik adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memberikan kedalaman analisis. Di sisi lain, generalisasinya menjadi terbatas. Bagaimana definisi ini berlaku di bidang sosiologi, di mana “aplikasi unik” sebuah teori pada komunitas baru justru merupakan kontribusi utamanya? Atau di bidang sejarah, di mana “menafsirkan ulang materi yang ada” adalah salah satu bentuk orisinalitas tertinggi? Paper ini sendiri mengakui adanya perbedaan antar disiplin, namun tidak menjelajahinya lebih jauh.
Kedua, lingkaran setan subjektivitas. Meskipun paper ini berhasil mengukur apa yang dianggap orisinal oleh para pakar, ia tidak sepenuhnya memecahkan masalah akar dari subjektivitas itu sendiri. Pada akhirnya, evaluasi tetap kembali pada “penilaian rekan sejawat” (peer review) , yang pada dasarnya adalah proses manusiawi yang penuh variabel. Paper ini memberi kita peta konsensus, tapi tidak menciptakan GPS objektif yang bisa memberi tahu kita secara pasti apakah kita sudah sampai di tujuan.
Jadi, Apa yang Bisa Kamu Lakukan Besok?
Setelah semua analisis ini, apa pelajaran praktis yang bisa kita bawa pulang? Pesan utamanya adalah: “orisinalitas” bukanlah sambaran petir jenius yang magis. Ia adalah tentang memahami aturan main dan sistem nilai dari konteks di mana kamu berada.
Berikut adalah beberapa langkah yang bisa kamu ambil hari ini, baik untuk proyek tesis maupun pekerjaanmu:
Lakukan Audit Diri: Tanyakan pada dirimu: Apakah ideku ini sedang “membangun katedral” (menambah fondasi pengetahuan) atau “mendirikan pabrik” (menciptakan aplikasi yang efisien)? Keduanya sangat berharga, tapi hanya yang pertama yang akan lolos ujian orisinalitas akademik.
Ubah Pertanyaanmu: Alih-alih bertanya, “Apakah ide ini 100% baru?”, cobalah bertanya, “Kontribusi apa yang dimungkinkan oleh karyaku, yang sebelumnya tidak mungkin atau tidak terpikirkan? Apakah ia membuka pintu baru untuk penelitian selanjutnya?”
Memahami teori ini adalah satu hal, tapi mengeksekusinya adalah hal lain. Jika kamu ingin mengasah kemampuan riset praktismu untuk memastikan idemu bisa diartikulasikan sebagai kontribusi yang solid, mengikuti(https://diklatkerja.com) bisa menjadi langkah awal yang terstruktur.
Paper ini tidak memberikan semua jawaban, tapi ia memberikan kita pertanyaan yang jauh lebih baik. Ia memberi kita kosakata untuk mendiskusikan sesuatu yang sebelumnya terasa seperti hantu di lorong kampus. Ia mengubah kecemasan personal menjadi tantangan intelektual yang bisa kita pecahkan bersama.
Kalau kamu merasa tercerahkan (atau justru makin tertantang), saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya dan membentuk opinimu sendiri. Perdebatan tentang jiwa sebuah karya ini masih jauh dari selesai.