Reformasi Birokrasi
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 06 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Penelitian “Occupational Safety and Health (OSH) Management Practices of Building Contractors in Johor, Malaysia” (2023) mengungkap bahwa kontraktor bangunan di Johor sering kali hanya menerapkan aspek K3 secara parsial. Banyak proyek melihat keselamatan sebagai kewajiban administratif atau syarat tender, bukan sebagai elemen hakiki dalam budaya kerja organisasi. Temuan ini penting karena sektor konstruksi berisiko tinggi: kecelakaan, cedera, bahkan kematian merupakan konsekuensi nyata dari kelemahan dalam manajemen keselamatan, pengawasan, pelatihan, dan akuntabilitas.
Bagi perumusan kebijakan publik, hal ini menunjukkan bahwa regulasi, meski penting sebagai kerangka kerja hukum, tidak akan efektif tanpa evaluasi sistemik, komitmen manajemen puncak, dan mekanisme akuntabilitas yang jelas. Di Indonesia, banyak kebijakan K3 dan regulasi seperti SMK3 (Sistem Manajemen Keselamatan & Kesehatan Kerja) telah dibuat (PP No. 50/2012, Permenaker, dsb.), tapi konsistensi implementasi tetap menjadi tantangan besar.
Karena itu, studi Johor berkontribusi sebagai bahan perbandingan: kita bisa mengukur “sejauh mana regulasi dan kebijakan di Indonesia sejalan dengan praktik internasional”, dan mengidentifikasi mana aspek yang perlu diperkuat dalam regulasi, pendidikan, dan supervisi.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak
Penurunan tingkat kecelakaan kerja — Kontraktor yang secara proaktif menerapkan manajemen K3 (pelatihan reguler, pengawasan rutin, penggunaan APD) memiliki kecenderungan menurunkan insiden kecelakaan. Dampak langsung berupa berkurangnya kerugian biayanya, baik dari kompensasi, kerusakan material, maupun keterlambatan proyek.
Produktivitas yang membaik — Pekerja merasa aman dan terlindungi sehingga motivasinya lebih tinggi, absensi karena cedera menurun, dan kerja lebih efisien. Sesi briefing keselamatan dapat mengurangi kesalahan kerja yang sering menyebabkan revisi desain atau kebocoran anggaran.
Kepercayaan publik & reputasi — Perusahaan yang dikenal memiliki catatan keselamatan yang baik akan lebih dipercaya dalam tender pemerintah atau proyek swasta besar. Pemerintah juga lebih mudah mendapatkan dukungan masyarakat ketika proyek berjalan dengan aman.
Hambatan
Komitmen manajemen yang rendah — Banyak kontraktor, terutama kecil dan menengah, melihat penerapan K3 sebagai biaya tambahan, bukan investasi jangka panjang. Manajemen atas kadang hanya menandatangani dokumen K3 untuk memenuhi persyaratan formal tender, tanpa memastikan pelaksanaannya di lapangan.
Keterbatasan sumber daya — Baik tenaga ahli K3 bersertifikasi maupun infrastruktur pelatihan dan pengawasan cukup terbatas. Ada kekurangan orang yang benar-benar terlatih dalam evaluasi risiko, audit K3, dan supervisi implementasi.
Biaya & waktu — Pelatihan K3, audit eksternal, pengadaan APD dan pemasangan fasilitas keselamatan memerlukan alokasi anggaran dan waktu. Sering kali proyek dipaksakan untuk selesai cepat, dan aspek keselamatan dianggap memperlambat.
Budaya kerja & persepsi risiko rendah — Di banyak proyek, terutama di daerah, pekerja atau mandor melihat prosedur keselamatan sebagai hambatan daripada kebutuhan. Risiko dianggap kecil, atau sering diabaikan karena telah “biasa begitu”.
Penegakan hukum dan audit eksternal lemah — Walau regulasi ada, pengawasan oleh pemda, Dinas Tenaga Kerja, atau lembaga regulasi lainnya kurang konsisten. Audit eksternal sering tidak dilakukan, atau jika dilakukan, tindak lanjutnya lemah.
Kesulitan akses pelatihan dan sertifikasi di daerah terpencil — Fasilitas dan institusi pelatihan sering terkonsentrasi di kota besar, sementara di daerah jauh atau kepulauan aksesnya terbatas dan biaya transportasi/logistik tinggi.
Peluang
Digitalisasi K3 — Aplikasi mobile untuk pelaporan insiden, sistem pelatihan daring (e-learning), dan dashboard pemantauan keselamatan dapat meningkatkan akses dan efektivitas. Contoh lokal: artikel Evaluasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Industri Manufaktur yang menekankan penggunaan data survei dan dokumentasi digital untuk pemantauan K3.
Model evaluasi peer review & audit bersama — Kontraktor besar bisa bekerjasama dengan kontraktor kecil untuk audit keselamatan; asosiasi profesi dapat menyediakan auditor independen.
Insentif pemerintah & kebijakan tender yang mengedepankan keselamatan — Tender publik bisa memberi poin tambahan untuk aspek keselamatan, atau menyyaratkan bukti penerapan K3 sebelum kontraktor diizinkan ikut lelang.
Peningkatan edukasi dan pelatihan berbasis lokal — Pelatihan K3 yang disesuaikan dengan konteks lokal (cuaca, jenis kontruksi, karakter pekerja) lebih efektif daripada pelatihan generik. Partisipasi pekerja dalam simulasi risiko lokal efektif meningkatkan kepatuhan.
Budaya keselamatan & kepemimpinan yang responsif — Kepemimpinan di semua jenjang proyek (manajemen atas, mandor, pekerja) yang menunjukkan komitmen nyata — misalnya dengan menyediakan sarana keselamatan, menerapkan sanksi dan penghargaan — dapat mengubah kultur kerja ke arah lebih aman.
Relevansi untuk Indonesia
Berdasarkan data dan praktik lokal, relevansi dari temuan Johor sangat tinggi bagi Indonesia. Beberapa praktik dan kondisi lokal yang mencerminkan hambatan serupa:
Implementasi SMK3 di proyek konstruksi
Dalam proyek pembangunan gedung di Kendari, studi Meningkatkan Kinerja K3 di Proyek Konstruksi: Evaluasi Implementasi SMK3 pada Pembangunan Gedung mengungkap bahwa walau kebijakan dan dokumen SMK3 disusun, pelaksanaannya di lapangan terutama dalam pengawasan dan evaluasi masih sangat lemah.
Penerapan SMK3 di industri galangan kapal kecil
Industri galangan kapal memiliki potensi bahaya tinggi, tetapi kepatuhan terhadap SMK3 sangat rendah sebagaimana dalam artikel Evaluasi Penerapan SMK3 di Industri Galangan Kapal Kecil. Keselamatan, pelatihan, dan penggunaan APD masih minim.
Evaluasi praktik K3 di industri manufaktur
Studi Evaluasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Industri Manufaktur menunjukkan bahwa meskipun perusahaan telah tersertifikasi, ada perbedaan besar antara dokumentasi formal dan praktek di lapangan. Beberapa perusahaan bersertifikasi tapi tetap memiliki tingkat kecelakaan yang signifikan karena pelatihan atau kepatuhan operasional yang kurang.
Kebijakan publik terkait sertifikasi kompetensi dan pelatihan
Artikel Kebijakan Publik atas Construction Industry Training Assessment Framework (Jadallah et al., 2021) memperlihatkan bahwa pelatihan konstruksi perlu dievaluasi tidak hanya dari jumlah peserta tetapi dari hasil nyata di lapangan—idealnya meliputi perilaku keselamatan dan dampak ekonomi.
Dengan memanfaatkan referensi-referensi lokal tersebut, Indonesia dapat mengadaptasi praktik baik dari Johor sambil menghindari jebakan yang sama (formalitas tanpa implementasi, audit tanpa tindak lanjut, pelatihan tanpa konteks lokal).
Rekomendasi Kebijakan Praktis
Integrasi Evaluasi & Audit K3 dalam Tender Proyek Publik
Setiap proyek publik diwajibkan menyertakan audit keselamatan proyek secara mandiri atau melalui pihak berwenang sebagai bagian dari kontrak, dan hasil audit tersebut menjadi syarat pencairan anggaran atau pembayaran lanjutan.
Standarisasi Pelatihan dan Sertifikasi K3 berdasarkan Kondisi Lokal
Pemerintah, LPJK, dan asosiasi profesi harus menetapkan standar pelatihan K3 yang sesuai jenis konstruksi (gedung, jalan, jembatan, proyek risiko tinggi), serta memastikan lembaga pelatihan terakreditasi tersebar ke daerah terpencil.
Insentif dan Sanksi yang Jelas
Pemerintah dapat memberikan insentif (subsidi, pengurangan pajak, prioritas tender) kepada kontraktor dengan kinerja K3 yang baik, dan sanksi administratif/keuangan atau larangan tender bagi kontraktor yang mengabaikan keselamatan secara berulang.
Pemanfaatan Teknologi Digital & Pelaporan Real-time
Sistem digital untuk pelaporan insiden, near miss, audit K3, dan alat pelindung kerja harus diwajibkan. Dashboard nasional K3 bisa menjadi sumber data untuk kebijakan jangka panjang.
Peningkatan Peran Pengawasan & Akuntabilitas Lembaga regulator
Dinas Tenaga Kerja dan instansi pemerintah lainnya perlu memperkuat kapasitas inspeksi K3, audit eksternal, dan memastikan mekanisme hukum yang dapat menindak pelanggaran K3.
Penguatan Kepemimpinan Keselamatan & Budaya Kerja
Kepemimpinan proyek—termasuk manajemen atas, mandor—harus menunjukkan contoh nyata dalam keselamatan kerja: melibatkan pekerja dalam evaluasi lapangan, menyediakan sarana keselamatan, dan menerapkan penghargaan atau sanksi berdasarkan kinerja keselamatan.
Evaluasi Kebijakan K3 secara Berkala dan Berbasis Data
Kebijakan K3 harus dievaluasi secara periodik (misalnya tiap 2-3 tahun), menggunakan indikator terukur: jumlah insiden, tingkat kepatuhan pelatihan, audit lapangan, dan kepuasan pekerja. Data harus dipublikasi untuk transparansi publik.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Jika kebijakan difokuskan hanya pada proyek besar dan regulasi formal, proyek kecil dan informal akan tetap diabaikan, sehingga kesenjangan risiko keselamatan akan melebar.
Kebijakan yang mewajibkan banyak pelaporan dan audit bisa membebani kontraktor kecil jika tidak disertai dukungan finansial atau fasilitas pelatihan yang memadai.
Teknologi digital mungkin efektif di kota-kota besar, tapi akses internet, literasi teknologi, dan ketersediaan perangkat di daerah terpencil menjadi kendala nyata.
Risiko bahwa audit eksternal hanya menjadi “laporan kertas” tanpa tindakan korektif yang nyata jika penindakan hukum dan pengawasan tidak tegas.
Kemungkinan resistensi budaya: pekerja atau pengawas lapangan mungkin melihat prosedur keselamatan sebagai hambatan waktu atau birokrasi, bukan sebagai bagian dari kinerja operasional.
Penutup
Studi dari Johor memperlihatkan bahwa manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang efektif adalah hasil dari kombinasi regulasi, pelatihan, supervisi, audit, dan budaya organisasi yang mendukung. Indonesia, dengan potensi dan tantangannya sendiri, bisa belajar dari Johor dan dari studi-studi lokal agar kebijakan publik K3 tidak hanya formalitas administratif, tetapi suatu ekosistem keselamatan yang nyata dan terpadu.
Rekomendasi kebijakan di atas, jika dijalankan dengan konsistensi, transparansi, dan partisipasi stakeholder, dapat membawa industri konstruksi Indonesia ke arah yang lebih aman, produktif, dan berkelanjutan. Evaluasi kebijakan, akuntabilitas, dan kepemimpinan keselamatan harus menjadi pijakan utama dalam reformasi sektor ini.
Sumber
Abukhashabah, E., Summan, A., & Balkhyour, M. (2020). Occupational Accidents and Injuries in Construction Industry in Jeddah City. Saudi Journal of Biological Sciences. DOI: 10.1016/j.sjbs.2020.06.033.