Produktivitas & Karir
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 27 Oktober 2025
Bagian 1: Pengantar - Ketika Sebuah Paper Mengusik Rasa Aman Saya
Saya pernah berpikir 'keselamatan kerja' adalah urusan orang-orang yang memakai helm di proyek konstruksi, para insinyur di pabrik, atau pilot di kokpit pesawat. Bukan urusan saya, seorang pekerja pengetahuan yang senjatanya hanya laptop dan secangkir kopi. Sampai suatu hari, saat terburu-buru mengejar deadline, saya hampir tersandung kabel charger laptop saya sendiri di kantor. Insiden sepele, tidak ada yang terluka, tapi cukup untuk membuat jantung saya berdebar kencang.
Saat itu saya sadar: risiko ada di mana-mana, hanya skalanya yang berbeda. Insiden kecil itu membuat saya berpikir, apa sebenarnya yang membuat sebuah lingkungan kerja benar-benar aman? Apakah sekadar memasang tanda "Awas Licin" atau memiliki kebijakan setebal kamus yang tidak pernah dibaca siapa pun?
Rasa penasaran ini membawa saya ke sebuah paper ilmiah yang tak terduga dari Malaysia, berjudul “Safety Personnel's Perceptions on the Significant Factors that Affect Construction Projects Safety Performance”. Saya membukanya dengan sedikit skeptis. Apa yang bisa saya pelajari dari industri konstruksi, sebuah dunia yang digambarkan dalam paper itu sendiri sebagai industri "4-D": Dirty, Dangerous, Difficult, and Death (Kotor, Berbahaya, Sulit, dan Mematikan)?
Ternyata, banyak sekali.
Paper ini langsung menyajikan data yang mengejutkan. Di Malaysia saja, pada tahun 2020, sektor konstruksi menyumbang 31% dari seluruh kematian di tempat kerja (66 dari 213 kasus). Angka ini bukan sekadar statistik; ini adalah pengingat brutal bahwa bagi sebagian orang, bekerja berarti mempertaruhkan nyawa setiap hari. Urgensi inilah yang membuat penelitian ini begitu penting.
Namun, yang paling menarik perhatian saya bukanlah angka-angka suram tersebut, melainkan sebuah kalimat di bagian abstrak: "kinerja keselamatan yang buruk... menyebabkan beberapa kelemahan dan kegagalan dalam aspek kinerja proyek, biaya, waktu penyelesaian proyek, dan produktivitas". Di sinilah saya menemukan koneksi universalnya. Selama ini, kita sering melihat keselamatan dan produktivitas sebagai dua kutub yang berlawanan. Prosedur keselamatan dianggap memperlambat pekerjaan, menambah birokrasi, dan menghambat efisiensi.
Paper ini membalikkan logika itu. Kecelakaanlah yang menyebabkan penundaan proyek, membengkakkan biaya, dan menghancurkan produktivitas. Jadi, investasi dalam keselamatan sebenarnya adalah investasi dalam prediktabilitas, stabilitas, dan pada akhirnya, kinerja. Lingkungan yang aman adalah lingkungan yang produktif karena mengurangi gangguan tak terduga.
Tujuan tulisan ini bukan untuk membahas cara membangun gedung pencakar langit dengan aman. Tujuannya adalah untuk membedah prinsip-prinsip universal di balik keselamatan dan kinerja yang ditemukan dalam penelitian ini, dan menerjemahkannya agar bisa kita terapkan di industri apa pun—dari startup teknologi hingga agensi kreatif, dari ruang kelas hingga ruang rapat. Karena ternyata, pelajaran dari para ahli yang setiap hari berhadapan dengan risiko hidup dan mati bisa mengubah cara kita semua bekerja.
Bagian 2: Dua Dunia Keselamatan yang Sering Kita Lupakan
Saat membaca lebih dalam, saya menemukan bahwa para peneliti, Nor Haslinda Abas dan timnya, tidak hanya membuat daftar panjang tentang "hal-hal yang harus dilakukan". Mereka menyajikan sebuah kerangka berpikir yang brilian dan sangat sederhana untuk memahami fondasi keselamatan kerja. Mereka membaginya menjadi dua level yang berbeda namun saling terkait: Level Proyek dan Level Organisasi.
Bayangkan Anda sedang melatih sebuah tim sepak bola.
Level Proyek adalah semua yang terjadi di lapangan latihan. Ini adalah tentang teknik menendang bola, cara pemain berlari tanpa cedera, bagaimana mereka berkomunikasi saat pertandingan berlangsung, dan strategi spesifik untuk menghadapi lawan minggu ini. Ini adalah tindakan langsung, di tempat, sangat taktis, dan terlihat mata. Dalam konteks kerja, ini adalah inspeksi harian, penggunaan alat yang benar, pengawasan langsung oleh mandor, dan pelatihan spesifik untuk sebuah tugas.
Lalu, ada Level Organisasi. Ini adalah strategi besar dari pelatih kepala dan manajemen klub. Formasi apa yang akan kita gunakan sepanjang musim? Filosofi permainan apa yang kita anut—menyerang total atau bertahan rapat? Siapa saja pemain yang kita rekrut dan bagaimana kita membangun budaya di ruang ganti? Ini adalah kebijakan, sistem, anggaran, dan budaya yang menopang semua yang terjadi di lapangan. Ini adalah kekuatan yang tak terlihat, yang datang dari "kantor pusat".
Paper ini mendefinisikan Level Proyek sebagai hal-hal yang berkaitan dengan implementasi di lapangan, seperti sistem kerja yang aman, pengawasan, dan audit di lokasi. Sementara itu, Level Organisasi digambarkan sebagai komitmen dari manajemen puncak, kebijakan perusahaan, dan sistem manajemen keselamatan secara keseluruhan.
Pemisahan ini sangat penting. Mengapa? Karena sering kali, perusahaan atau tim kita gagal bukan karena tidak punya niat baik, tetapi karena ada "putus koneksi" antara dua dunia ini.
Manajemen (Level Organisasi) bisa saja membuat kebijakan keselamatan setebal 500 halaman yang terlihat impresif di atas kertas. Tapi jika di lapangan (Level Proyek) tidak ada supervisor yang mengawasi, tidak ada pelatihan yang memadai, atau para pekerja tidak diberi waktu untuk mengikuti prosedur, maka kebijakan itu hanyalah tumpukan kertas tak berguna.
Sebaliknya, seorang manajer lapangan (Level Proyek) yang sangat peduli pada keselamatan timnya akan frustrasi dan tidak berdaya jika perusahaan (Level Organisasi) tidak menyediakan anggaran untuk membeli peralatan pelindung yang layak, tidak memberikan sumber daya untuk pelatihan, atau terus-menerus menekan target waktu yang tidak realistis sehingga memaksa timnya mengambil jalan pintas yang berbahaya.
Keselamatan yang efektif, dan saya berani bilang kinerja yang efektif, hidup di titik temu antara niat strategis (Organisasi) dan eksekusi taktis (Proyek). Kerangka berpikir ini memberi kita alat diagnostik yang kuat. Jika ada masalah dalam tim atau perusahaan Anda, coba tanyakan: "Apakah ini masalah eksekusi di lapangan, atau ini masalah sistem dan kebijakan dari atas?" Jawabannya sering kali akan mengejutkan Anda.
Bagian 3: Di Tengah Debu Proyek: Apa yang Sebenarnya Paling Penting?
Untuk memahami apa yang benar-benar penting di "lapangan", para peneliti tidak bertanya kepada para teoretisi. Mereka bertanya langsung kepada 56 personel keselamatan—Safety and Health Officer (SHO), Site Safety Supervisor (SSS), dan manajer keselamatan—yang bekerja di lokasi konstruksi di Kuala Lumpur. Ini bukan suara dari menara gading, tapi suara dari mereka yang setiap hari menghirup debu proyek dan berhadapan langsung dengan risiko. Kredibilitas mereka tak perlu diragukan; hampir separuh dari mereka (48.21%) memiliki pengalaman kerja antara 6 hingga 10 tahun.
Apa kata mereka?
Jawaban dari 56 Ahli di Lapangan
Ketika diminta untuk menilai faktor-faktor di Level Proyek yang paling signifikan dalam mempengaruhi kinerja keselamatan, jawaban mereka sangat jelas. Menggunakan metode analisis Average Index (AI) dengan skala 1 (sangat tidak signifikan) hingga 5 (sangat signifikan), hasilnya menunjukkan sebuah prioritas yang kuat.
Faktor yang menduduki peringkat teratas adalah "Safety training" (Pelatihan Keselamatan), dengan skor AI yang sangat tinggi, yaitu 4.66 dari 5.00. Ini adalah temuan yang sangat kuat. Di tengah semua prosedur, kebijakan, dan peralatan canggih, para praktisi di lapangan mengatakan bahwa hal yang paling fundamental adalah melatih orang dengan benar.
Berikut adalah rangkuman temuan teratas di Level Proyek:
🥇 Juara Pertama: Pelatihan Keselamatan (AI: 4.66) - Bukan hanya memberi aturan, tapi membangun kemampuan dan kesadaran.
🥈 Peringkat Dua: Implementasi Lingkungan Kerja Aman (AI: 4.59) - Mustahil bekerja dengan aman di tempat yang kacau dan berbahaya.
🥉 Peringkat Tiga: Implementasi Petugas & Supervisor Keselamatan (AI: 4.59) - Butuh "wasit" di lapangan yang mengawasi, membimbing, dan menegakkan aturan main.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, mari kita lihat peringkat faktor-faktor paling kritis di Level Proyek berdasarkan persepsi para ahli ini.
Coba bayangkan siklusnya:
Pelatihan memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada pekerja tentang cara mengidentifikasi bahaya dan bekerja dengan aman.
Lingkungan Kerja yang Aman menyediakan arena yang kondusif bagi mereka untuk menerapkan pengetahuan tersebut. Sulit menerapkan teori jika lingkungan sekitarnya sudah penuh bahaya.
Supervisor memastikan pengetahuan itu diterapkan secara konsisten setiap hari. Mereka adalah penegak aturan, pelatih, dan mata di lapangan.
Inspeksi dan Audit berfungsi sebagai mekanisme umpan balik. Keduanya memeriksa apakah sistem ini—pelatihan, lingkungan, dan pengawasan—berjalan efektif dan di mana letak kelemahannya. Hasil audit kemudian bisa digunakan untuk memperbaiki program pelatihan berikutnya.
Para ahli ini secara intuitif tidak memilih satu "obat mujarab". Mereka memilih komponen-komponen dari sebuah sistem yang dinamis dan terintegrasi di tingkat operasional. Ini adalah pelajaran penting: untuk menciptakan lingkungan kerja yang unggul, kita tidak bisa hanya fokus pada satu inisiatif, misalnya "ayo kita adakan lebih banyak pelatihan". Kita harus membangun dan memelihara seluruh ekosistem pendukungnya di lapangan.
Bagian 4: Dari Ruang Rapat ke Lokasi Proyek: Kekuatan Tak Terlihat dari Atas
Jika Level Proyek adalah tentang aksi di lapangan, maka Level Organisasi adalah tentang fondasi yang dibangun oleh para pemimpin di ruang rapat. Ini adalah tentang kebijakan, budaya, dan komitmen yang mengalir dari atas ke bawah. Apa kata para ahli tentang level ini?
Temuannya bahkan lebih tajam.
Bukan Sekadar Dokumen: Mengapa "Aturan" Jadi Juara Bertahan
Faktor yang menduduki peringkat paling puncak di Level Organisasi—dan bahkan di seluruh penelitian ini—adalah "Safety rules" (Aturan Keselamatan), dengan skor AI yang luar biasa tinggi: 4.68.
Pada awalnya, ini terdengar membosankan dan birokratis. Aturan? Bukankah aturan justru yang sering kali menghambat inovasi dan kecepatan? Namun, jika kita melihat lebih dalam, "aturan" di sini bukan berarti birokrasi yang kaku. Ini berarti kejelasan, konsistensi, dan standar yang tidak bisa ditawar. Aturan yang baik menciptakan lingkungan yang prediktif, di mana setiap orang—dari direktur hingga pekerja baru—tahu persis apa yang diharapkan dari mereka, apa batasannya, dan apa konsekuensinya. Paper ini mengutip penelitian lain yang menyatakan bahwa "sikap keselamatan pekerja dipengaruhi oleh pemahaman mereka tentang... aturan keselamatan dan prosedur kerja". Tanpa aturan yang jelas, semua orang akan beroperasi berdasarkan asumsi mereka sendiri, dan di situlah kekacauan dan risiko muncul.
Berikut adalah tiga pilar utama di Level Organisasi:
🚀 Paling Mendasar: Aturan Keselamatan (AI: 4.68) - Memberikan kepastian, standar, dan bahasa yang sama untuk semua orang.
🧠 Pilar Kedua: Induksi & Pemantauan Kinerja (AI: 4.61) - Memastikan semua orang memulai dengan benar melalui orientasi yang baik, dan kinerjanya terus dipantau untuk perbaikan berkelanjutan.
💡 Pilar Ketiga: Kebijakan & Sistem Manajemen (AI: 4.59) - Kerangka kerja formal yang membuktikan bahwa komitmen perusahaan terhadap keselamatan bukanlah sekadar isapan jempol, melainkan sesuatu yang terstruktur dan terukur.
Menciptakan aturan dan sistem yang efektif seperti ini bukanlah pekerjaan mudah. Ini membutuhkan keahlian dalam manajemen risiko dan pengembangan kebijakan, sesuatu yang seringkali menjadi inti dari program sertifikasi K3 seperti yang ditawarkan di(https://diklatkerja.com/).
Di sinilah sebuah "paradoks" menarik muncul. Para ahli di lapangan menilai "Aturan Keselamatan" internal perusahaan sebagai faktor nomor satu. Namun, di bagian lain, paper ini juga mengutip beberapa studi yang menyatakan bahwa "peraturan dan legislasi saja tidak cukup untuk mencapai tujuan nol kecelakaan".
Apa artinya ini? Ini menunjukkan adanya perbedaan krusial antara kepatuhan (compliance) dan komitmen (commitment). Peraturan dan legislasi dari pemerintah adalah standar minimum yang harus dipatuhi. Itu adalah tentang compliance. Namun, "Aturan Keselamatan" yang dinilai sangat tinggi oleh para ahli ini kemungkinan besar merujuk pada aturan internal perusahaan yang lebih dari sekadar standar minimum. Aturan ini adalah cerminan dari budaya dan commitment nyata perusahaan untuk menciptakan lingkungan kerja yang seaman mungkin.
Perusahaan yang biasa-biasa saja akan bertanya, "Apakah kita sudah patuh pada hukum?" Tapi perusahaan yang hebat akan bertanya, "Apakah sistem dan aturan internal kita benar-benar menciptakan lingkungan kerja yang paling aman dan produktif, jauh melampaui apa yang diwajibkan oleh hukum?" Ini adalah pergeseran dari pola pikir reaktif ("jangan sampai kita kena denda") ke pola pikir proaktif ("mari kita menjadi yang terbaik dalam hal ini").
Bagian 5: Pandangan Pribadi Saya: Cemerlang, Tapi Bukan Tanpa Catatan
Setelah membedah paper ini, saya harus mengakui bahwa saya sangat terkesan. Kejelasan para peneliti dalam memisahkan Level Proyek dan Level Organisasi memberikan sebuah lensa yang sangat praktis dan kuat untuk menganalisis masalah di tempat kerja mana pun. Ini adalah kerangka kerja yang bisa langsung saya gunakan untuk mendiagnosis masalah dalam tim saya sendiri.
Namun, seperti halnya semua penelitian, ada beberapa hal yang membuat saya penasaran. Meski temuannya hebat, penggunaan metode kuantitatif "Average Index" (AI) terasa sedikit menyederhanakan persepsi manusia yang kompleks. Skor 4.68 untuk "Aturan Keselamatan" adalah angka yang kuat, tapi saya penasaran: Apakah semua 56 responden setuju? Atau apakah ada perdebatan sengit di balik angka rata-rata itu? Mungkin ada cerita, pengalaman pribadi, atau frustrasi di balik angka-angka tersebut yang tidak bisa ditangkap oleh kuesioner. Analisis kualitatif tambahan, seperti wawancara mendalam, bisa jadi akan mengungkap "mengapa" di balik "apa".
Terlepas dari catatan kecil itu, kekuatan terbesar dari studi ini adalah kemampuannya untuk diterjemahkan ke berbagai konteks. Mari kita coba.
Di dunia startup teknologi, "Aturan Keselamatan" bisa berarti "standar coding" yang jelas untuk mencegah bug kritis. "Pelatihan Keselamatan" bisa berarti proses onboarding yang proper bagi developer baru agar mereka paham arsitektur sistem. "Inspeksi Keselamatan" bisa berupa code review yang rutin dan teliti.
Di sebuah agensi kreatif, "Lingkungan Kerja Aman" bisa berarti menciptakan budaya psikologis yang aman, di mana setiap orang merasa nyaman untuk memberikan ide gila atau mengkritik karya tanpa takut dihakimi. "Supervisor Keselamatan" adalah peran seorang creative director yang memastikan proses kreatif berjalan sehat dan tidak ada burnout.
Bahkan dalam pekerjaan pribadi sebagai seorang freelancer, "Level Organisasi" adalah sistem yang kita bangun untuk diri kita sendiri (jadwal kerja, manajemen keuangan), sementara "Level Proyek" adalah eksekusi tugas harian kita.
Prinsipnya tetap sama: struktur dari atas harus mendukung eksekusi di bawah.
Bagian 6: Kesimpulan - Pelajaran untuk Kita Semua dan Langkah Selanjutnya
Jadi, apa pelajaran terbesar yang bisa kita ambil dari 56 ahli keselamatan di Kuala Lumpur?
Bagi saya, pesannya sangat jelas: keselamatan dan kinerja unggul bukanlah hasil dari satu program tunggal atau satu kebijakan ajaib. Keduanya adalah produk dari sebuah tarian yang harmonis antara dua dunia. Dunia Level Organisasi yang menyediakan struktur, aturan, dan sumber daya dari atas ke bawah (top-down), dan dunia Level Proyek yang membangun keterampilan, kesadaran, dan pengawasan dari bawah ke atas (bottom-up).
Aturan terbaik di dunia tidak ada artinya tanpa pelatihan untuk menjalankannya. Dan pelatihan terbaik di dunia akan sia-sia tanpa aturan yang konsisten, lingkungan yang mendukung, dan komitmen yang terlihat dari para pemimpin. Keduanya saling membutuhkan. Aturan tanpa latihan adalah tirani. Latihan tanpa aturan adalah kekacauan.
Jadi, coba lihat sejenak lingkungan kerjamu. Apakah atasanmu hanya membuat aturan tanpa memberikan pelatihan yang memadai? Atau apakah timmu diberi banyak pelatihan tapi tanpa arah dan standar yang jelas dari perusahaan? Mungkin, seperti yang ditunjukkan oleh 56 ahli ini, kunci untuk lompatan kinerja berikutnya ada di titik temu keduanya.
Kalau tulisan ini membuat Anda penasaran dan ingin menyelami datanya lebih dalam, saya sangat merekomendasikan Anda untuk membaca paper aslinya. Siapa tahu, Anda akan menemukan wawasan yang bisa mengubah cara Anda bekerja juga.