Privatisasi Sumberdaya
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Mei 2025
Pendahuluan: Air sebagai Medan Kuasa
Air bukan sekadar unsur kehidupan, tetapi telah berevolusi menjadi komoditas dan sumber konflik multidimensi. Di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, keberadaan 150 mata air tidak menjamin keadilan distribusi. Laporan penelitian "Ekologi Politik Konflik Sumber Daya Air" oleh Yosafat Hermawan Trinugraha dari Universitas Sebelas Maret menyoroti ketimpangan struktural dalam tata kelola air, terutama antara petani di daerah hilir dan perusahaan air minum kemasan yang menguasai daerah hulu. Dengan pendekatan ekologi politik dan konsep "waterscape," laporan ini mengungkap bagaimana air menjadi arena konflik antara korporasi, pemerintah, dan masyarakat.
Teori Ekologi Politik dan Waterscape
Pendekatan ekologi politik yang digunakan dalam laporan ini berpijak pada pandangan Paul Robbins (2012) yang menyoroti lima pilar: degradasi dan marjinalisasi, konflik lingkungan, konservasi dan kontrol, identitas lingkungan dan gerakan sosial, serta objek politik dan aktor. Konsep "waterscape" dari Budds dan Swyngedouw memperkuat kerangka analisis, dengan melihat air sebagai lanskap yang dipolitisasi di mana relasi kekuasaan dan distribusi sumber daya menjadi tak seimbang. Dalam konteks Klaten, waterscape memperlihatkan bagaimana air sebagai sumber daya bersama telah dikomodifikasi dan dimonopoli oleh kekuatan ekonomi tertentu.
Ironi Daerah Kaya Air
Kabupaten Klaten memiliki ratusan mata air dan merupakan sumber air penting untuk PDAM Surakarta sejak era kerajaan. Namun, di sisi lain, petani di Kecamatan Juwiring, Delanggu, Ceper, Trucuk, dan Karangdowo mengalami kekurangan air irigasi saat musim kemarau. Fenomena ini memperlihatkan ironi: daerah kaya air namun petani harus mengebor sumur untuk bertani.
Sejak tahun 2002, perusahaan multinasional seperti Danone melalui PT Tirta Investama memanfaatkan sumber air di Klaten untuk produksi air minum dalam kemasan (AMDK). Produk Aqua menjadi merek dominan di pasar nasional. Namun, kehadiran korporasi ini menimbulkan kecurigaan publik, terutama ketika debit air tanah semakin menurun di daerah hilir.
Metodologi Lapangan: Wawancara dan FGD
Laporan ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam, observasi, dan Focus Group Discussion (FGD) dengan petani, P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air), serta warga di Kecamatan Juwiring dan sekitarnya. Dalam diskusi tersebut, para petani menyuarakan keresahan:
"Air untuk minum orang kota diprioritaskan, sementara kami butuh air untuk makan," keluh seorang petani dalam FGD.
Transkrip wawancara dan observasi memperkuat dugaan bahwa alokasi air lebih menguntungkan sektor industri ketimbang pertanian.
Regulasi yang Berubah-ubah
Sejak era kolonial, kebijakan pengelolaan air sudah sarat kepentingan politik dan ekonomi. Regulasi seperti Algemene Water Reglement (AWR) tahun 1936 hingga Undang-Undang No. 11/1974 tentang Pengairan menekankan dominasi negara dalam distribusi air. Reformasi melahirkan UU No. 7/2004 yang membuka pintu lebar bagi swastanisasi. Namun, undang-undang ini dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2015 karena dianggap tidak berpihak kepada rakyat.
Kekosongan regulasi hingga saat ini memicu ketidakpastian hukum. Pemerintah daerah masih memperbolehkan operasional perusahaan AMDK meski belum ada undang-undang baru yang mengatur ulang distribusi air secara lebih adil.
Relasi Kekuasaan: Siapa Mendapat Apa?
Dalam konflik air di Klaten, terdapat empat aktor utama: pemerintah daerah, korporasi (Danone), masyarakat sipil (NGO), dan petani. Hubungan antara mereka sangat timpang. Pemerintah daerah cenderung mendukung investasi asing demi pemasukan daerah. NGO berperan sebagai penyeimbang, namun kurang memiliki kuasa struktural. Sementara itu, petani hanya menjadi objek kebijakan tanpa ruang partisipasi yang berarti.
Penelitian ini menemukan bahwa petani di hilir sering dianggap sekadar penerima manfaat, bukan aktor utama dalam perumusan kebijakan. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi air tidak hanya soal fisik, tapi juga soal kuasa dan akses.
Komodifikasi Air dan Konsekuensinya
Air yang seharusnya menjadi "common good" telah menjadi "private commodity". Produksi AMDK mengubah wajah ekonomi air dari layanan publik menjadi produk pasar. Ketika air dikomodifikasi, akses terhadapnya menjadi bergantung pada daya beli. Ini menyebabkan petani, yang posisinya lemah secara ekonomi dan politik, terpinggirkan dari akses sumber daya alam yang seharusnya menjadi hak dasar.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Klaten, tetapi juga di berbagai wilayah lain. Di Cochabamba, Bolivia (2000), privatisasi air oleh Bechtel memicu protes massal yang akhirnya membatalkan kontrak. Di Kerala, India, Coca-Cola kalah di pengadilan setelah dievaluasi menguras air tanah warga. Kasus Klaten merefleksikan dinamika yang sama, meskipun belum mencapai titik eskalasi serupa.
Kritik terhadap Penelitian
Meski laporan ini sangat kuat dalam narasi dan kerangka teori, terdapat beberapa kelemahan:
Solusi dan Rekomendasi
Laporan ini memberikan ruang refleksi penting tentang perlunya sistem tata kelola air yang lebih adil. Rekomendasi yang bisa ditarik antara lain:
Kesimpulan: Dari Konflik Menuju Keadilan Air
Penelitian ini menegaskan bahwa konflik air di Klaten bukan hanya persoalan teknis atau lingkungan, tetapi persoalan keadilan sosial dan relasi kuasa. Ketimpangan distribusi air mencerminkan ketimpangan ekonomi dan politik yang lebih luas. Di era perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk, sumber daya air tidak boleh lagi dikendalikan oleh logika pasar semata.
Air adalah hak, bukan komoditas. Kebijakan yang adil dan partisipatif menjadi syarat mutlak untuk menciptakan tata kelola air yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Sumber:
Trinugraha, Y. H. (2017). Ekologi Politik Konflik Sumber Daya Air. Laporan Penelitian Disertasi Doktor. Universitas Sebelas Maret.