Perguruan Tinggi

Melembagakan Service-Learning: Tinjauan Multi-Kasus terhadap Proses, Alat, dan Keberlanjutan di Pendidikan Tinggi

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 16 November 2025


Latar Belakang Teoretis

Penelitian ini berakar pada sebuah masalah fundamental: tanpa pelembagaan (institutionalization), pedagogi Service-Learning (SL) tidak dapat dipertahankan secara berkelanjutan. Ketika SL tetap bersifat marjinal dan para pendukungnya terus "berjuang untuk bertahan hidup," sulit untuk mengembangkan atau mempertahankan kursus berkualitas tinggi. Lebih lanjut, dari perspektif komunitas, adalah "tidak bertanggung jawab" bagi sebuah institusi untuk mendorong kemitraan komunitas tanpa menciptakan infrastruktur yang diperlukan untuk menopang kemitraan tersebut dari waktu ke waktu.   

Kerangka teoretis yang diusung oleh buku ini adalah bahwa pelembagaan adalah sebuah proses perpindahan SL "dari pinggiran ke arus utama," menjadikannya bagian dari struktur akademik yang sah. Buku ini secara eksplisit mengadopsi metafora "polihedron" (bidang banyak) dari Paus Fransiskus, yang menyiratkan bahwa tujuannya bukanlah untuk menyajikan satu model yang sukses, melainkan untuk mempromosikan dialog dan membangun rasa kebersamaan dengan menyajikan berbagai sisi dan pengalaman dari institusi yang berbeda. Dengan demikian, tujuan utama dari kompilasi ini adalah untuk menyajikan beragam perspektif dan studi kasus dari lebih dari empat belas universitas di berbagai benua mengenai bagaimana mereka menavigasi proses pelembagaan SL.   

Metodologi dan Kebaruan

Sebagai sebuah volume kolektif, metodologi utama yang digunakan adalah studi multi-kasus komparatif dan analisis teoretis. Buku ini mengumpulkan dan menyajikan pengalaman mendalam dari berbagai Institusi Pendidikan Tinggi (IPT), terutama Institusi Pendidikan Tinggi Katolik (IPTK), dari berbagai konteks budaya dan struktural, termasuk studi kasus dari Chili , Belgia , Spanyol , Jerman , Kenya , Filipina , Argentina , Meksiko , Afrika Selatan , dan Hong Kong.   

Sebuah komponen metodologis utama yang dibahas dan digunakan di seluruh volume adalah Rubrik Penilaian Mandiri untuk Pelembagaan Service-Learning (Self-Assessment Rubric for the Institutionalization of Service-Learning), yang dikembangkan oleh Andrew Furco. Rubrik ini berfungsi sebagai alat diagnostik utama, yang mengukur kemajuan institusi melalui tiga tahap (Membangun Massa Kritis, Membangun Kualitas, Pelembagaan Berkelanjutan)  di lima dimensi utama: (1) Filosofi dan Misi, (2) Keterlibatan dan Dukungan Fakultas, (3) Keterlibatan dan Dukungan Mahasiswa, (4) Partisipasi Komunitas, dan (5) Dukungan Institusional.   

Kebaruan dari karya ini terletak pada cakupan globalnya yang luas dan presentasi beragam "wajah" dari proses pelembagaan, yang secara kolektif didukung oleh kerangka kerja penilaian yang konkret.   

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Analisis terhadap berbagai kerangka kerja teoretis dan studi kasus di dalam volume ini menghasilkan serangkaian temuan kunci mengenai proses pelembagaan SL.

  1. Sinergi "Top-Down" dan "Bottom-Up": Temuan yang paling konsisten di berbagai studi kasus adalah bahwa proses pelembagaan yang paling sukses dan langgeng terjadi ketika ada sinergi antara inisiatif "bottom-up" (energi dan komitmen dari fakultas dan mahasiswa yang terlibat) dengan "top-down" (dukungan, kebijakan, dan sumber daya dari otoritas universitas). Dukungan dari pimpinan puncak, seperti Rektor, terbukti krusial dalam memberikan keberlanjutan, visibilitas , dan mengalokasikan sumber daya yang diperlukan.   

  2. Risiko dan Hambatan Pelembagaan: Proses ini tidak bersifat linier dan menghadapi risiko yang signifikan. Hambatan yang paling umum adalah resistensi dari fakultas atau administrator yang menganut paradigma "menara gading," yang khawatir bahwa keterlibatan komunitas akan "menurunkan tingkat akademik." Tantangan lainnya adalah apa yang disebut "imunitas terhadap perubahan" (immunity to change), yaitu dinamika institusional mendarah daging yang lebih fokus pada "persaingan antar individu... daripada... kapasitas untuk bekerja sama."   

  3. Beragam Jalur, Tujuan yang Sama: Studi kasus menunjukkan tidak ada satu cara yang benar untuk melembagakan SL. Pontifical Catholic University of Chile, misalnya, menunjukkan proses konsolidasi selama 15 tahun yang didasarkan pada model yang sangat sistematis dan pengembangan panduan internal. Sebaliknya, De La Salle University di Filipina menggambarkan "Pendekatan Bibingka" yang sangat kontekstual , dan University of Deusto di Spanyol mengintegrasikannya dengan tradisi Ignatian mereka.   

  4. Pentingnya Penilaian Mandiri: Penggunaan Rubrik Penilaian Mandiri (seperti yang dijelaskan oleh Furco) terbukti penting bukan hanya untuk mendapatkan "skor," tetapi untuk memfasilitasi perencanaan strategis dan "langkah-langkah tindakan strategis" guna memajukan SL lebih lanjut.   

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Volume ini, melalui bab oleh Furco, secara transparan mengakui keterbatasan dari alat penilaian utamanya. Rubrik Penilaian Mandiri awalnya dikembangkan di Amerika Serikat dan secara alami "bergantung pada perspektif Utara dan Barat." Tantangan signifikan muncul dalam penerjemahan—tidak hanya bahasa (misalnya, "faculty" vs "facultad") tetapi juga konsep—ke dalam konteks budaya dan sistem pendidikan tinggi yang berbeda di seluruh dunia.   

Selain itu, rubrik ini sebagian besar berfokus pada faktor internal institusi dan tidak sepenuhnya memperhitungkan kekuatan eksternal (seperti kebijakan pemerintah atau pengaturan budaya) yang juga mempengaruhi pelembagaan SL.   

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Secara praktis, buku ini berfungsi sebagai sumber daya yang komprehensif, menawarkan cetak biru, studi kasus, dan alat diagnostik (termasuk berbagai rubrik di Apendiks ) bagi institusi pendidikan tinggi mana pun yang ingin memulai atau memperkuat perjalanan pelembagaan SL mereka.   

Untuk penelitian di masa depan, karya ini menyerukan perlunya investigasi lebih lanjut mengenai aspek-aspek pelembagaan SL yang unik dalam konteks spesifik, seperti di dalam Institusi Pendidikan Tinggi Katolik  dan di luar konteks Barat. Tujuannya adalah untuk terus mengadaptasi dan menyempurnakan alat diagnostik agar lebih relevan secara kontekstual di seluruh dunia.   

Sumber

Jouannet, C., Arocha, L., Tapia, M. N., Peregalli, A., Furco, A., dkk. (2023). Institutionalization of Service-Learning in Higher Education. (Uniservitate Collection, 4). CLAYSS.   

Selengkapnya
Melembagakan Service-Learning: Tinjauan Multi-Kasus terhadap Proses, Alat, dan Keberlanjutan di Pendidikan Tinggi

Perguruan Tinggi

Peluang dan Tantangan Lulusan Perguruan Tinggi Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025


Globalisasi telah mengubah lanskap ekonomi dunia, terutama setelah berakhirnya Perang Dingin. Fokus utama kini bergeser dari politik ke ekonomi, di mana negara-negara berupaya memperkuat diri melalui integrasi ekonomi regional. Salah satu bentuk integrasi tersebut adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mulai diberlakukan pada tahun 2016. Paper "Peluang dan Tantangan Lulusan Perguruan Tinggi Indonesia dalam MEA" oleh Ir. Ongku P. Hasibuan, MM. menyoroti bagaimana lulusan perguruan tinggi Indonesia harus mempersiapkan diri untuk bersaing di era pasar bebas ASEAN.

Studi Kasus dan Temuan Utama

1. Kekuatan dan Posisi Ekonomi ASEAN

ASEAN memiliki 654 juta penduduk dan PDB nominal sebesar 3,1 triliun USD, menjadikannya kawasan ekonomi terbesar ke-7 di dunia dan ke-3 di Asia setelah China dan India. Beberapa data penting yang dikutip dalam paper ini antara lain:

  • Perdagangan barang dan jasa ASEAN pada 2017 mencapai 3,3 triliun USD, dengan 22,9% terjadi antarnegara ASEAN.
  • Investasi asing langsung (FDI) ke ASEAN pada 2017 sebesar 137 miliar USD, di mana 19,4% berasal dari sesama negara ASEAN.
  • Jumlah wisatawan di ASEAN meningkat dari 62 juta (2007) menjadi 126 juta (2017), dengan 39,1% berasal dari dalam ASEAN.
  • Pengguna internet meningkat 4 kali lipat dalam 10 tahun, dari 11,8% (2007) menjadi 48,3% (2017), sedangkan populasi telepon seluler mencapai 143,7 per 100 penduduk.

2. Kesiapan Tenaga Kerja Indonesia dalam MEA

Kualitas tenaga kerja Indonesia masih tertinggal dibandingkan beberapa negara ASEAN, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Berdasarkan data BPS (2018):

  • 41,8% tenaga kerja Indonesia hanya lulusan SD atau tidak bersekolah.
  • 18,0% lulusan SMP, 28,2% lulusan SMA (termasuk 11,4% lulusan kejuruan).
  • Hanya 11,9% lulusan perguruan tinggi.

Dibandingkan Malaysia (24,4% lulusan perguruan tinggi) dan Singapura (29,4%), Indonesia masih tertinggal dalam hal tenaga kerja terdidik.

3. Kekurangan Sarjana Teknik dan Kebutuhan Pasar Kerja

Dalam industri teknik dan keinsinyuran, Indonesia mengalami defisit tenaga profesional:

  • Hanya 2.671 insinyur per satu juta penduduk, lebih rendah dibandingkan:
    • Malaysia (3.333)
    • Thailand (4.121)
    • Vietnam (9.037)
    • China (5.730)
    • Korea Selatan (25.309)
  • Indonesia membutuhkan 190.000 sarjana teknik per tahun, tetapi hanya meluluskan 25.900 insinyur per tahun.
  • Hanya 9.500 insinyur Indonesia (1,35%) yang memiliki sertifikat ASEAN Chartered Professional Engineer (ACPE), jauh tertinggal dari Thailand (23.000), Filipina (14.250), dan Malaysia (11.170).

Dengan dibukanya pasar tenaga kerja ASEAN melalui Mutual Recognition Arrangement (MRA), tenaga profesional dari negara lain dapat bekerja di Indonesia dan sebaliknya. Jika tidak meningkatkan kualitas, lulusan Indonesia bisa kalah bersaing dengan tenaga kerja asing.

4. Peran Infrastruktur dan Investasi Asing

Indonesia merupakan negara dengan sumber daya alam terbesar di ASEAN, namun tidak selalu menjadi tujuan utama investasi:

  • Singapura menerima 46% dari seluruh FDI ASEAN, meskipun tidak memiliki sumber daya alam.
  • Indonesia hanya menerima 17% dari FDI ASEAN, di bawah Thailand dan Malaysia.
  • Faktor utama rendahnya FDI Indonesia:
    • Infrastruktur belum memadai.
    • Iklim investasi yang masih kurang kondusif.
    • Kurangnya tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan industri.

Jika Indonesia tidak segera memperbaiki ekosistem investasinya, negara lain akan lebih diuntungkan dalam menarik investasi dan membuka lebih banyak lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja mereka.

Analisis dan Kritik

1. Kesenjangan Antara Pendidikan dan Kebutuhan Pasar Kerja

Sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia masih berorientasi pada kuantitas lulusan dibandingkan kualitas dan relevansi dengan pasar kerja. Akibatnya:

  • Banyak lulusan perguruan tinggi menganggur atau bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan studinya.
  • Jurusan yang berfokus pada ilmu sosial lebih banyak dibandingkan jurusan teknik dan sains, padahal sektor industri membutuhkan lebih banyak tenaga teknik dan keinsinyuran.
  • Hanya 3 perguruan tinggi Indonesia (UI, UGM, ITB) yang masuk dalam 500 besar dunia, kalah dari Malaysia yang memiliki 5 universitas di peringkat yang lebih tinggi.

Untuk memperbaiki kondisi ini, kurikulum pendidikan tinggi harus lebih selaras dengan kebutuhan industri, termasuk peningkatan program vokasi dan kerja sama dengan dunia usaha.

2. Tantangan dan Ancaman dari Tenaga Kerja Asing

MEA membuka peluang bagi tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di negara ASEAN lain, tetapi juga membuka pintu bagi tenaga kerja asing ke Indonesia. Tantangan utama:

  • Industri konstruksi dan manufaktur di Indonesia mulai dipenuhi tenaga kerja asing, terutama dari China dan Vietnam.
  • Tenaga kerja asing lebih siap bersaing karena memiliki keterampilan dan sertifikasi internasional.
  • Jika lulusan Indonesia tidak meningkatkan kompetensinya, mereka hanya akan menjadi tenaga kerja kelas dua di negaranya sendiri.

Strategi yang dapat dilakukan untuk menghadapi tantangan ini:

  • Mempercepat sertifikasi tenaga profesional Indonesia agar bisa bersaing di pasar ASEAN.
  • Meningkatkan pendidikan berbasis keterampilan (skill-based education).
  • Mendorong lebih banyak lulusan untuk mengambil profesi teknik dan sains.

Paper ini menyoroti bagaimana MEA membawa peluang sekaligus tantangan bagi lulusan perguruan tinggi Indonesia. Temuan utama yang dapat disimpulkan adalah:

  • Indonesia memiliki potensi besar di ASEAN, tetapi masih tertinggal dalam kesiapan tenaga kerja.
  • Kurangnya lulusan perguruan tinggi di bidang teknik dan sains menjadi hambatan utama dalam menarik investasi.
  • Kualitas lulusan Indonesia masih di bawah standar global dan ASEAN, sehingga berisiko kalah bersaing dengan tenaga kerja asing.

Beberapa rekomendasi yang dapat diambil untuk meningkatkan daya saing lulusan Indonesia dalam MEA:

  1. Menyesuaikan kurikulum pendidikan tinggi dengan kebutuhan industri agar lulusan lebih siap kerja.
  2. Mendorong pendidikan vokasi dan sertifikasi internasional agar lulusan lebih kompetitif di pasar global.
  3. Meningkatkan infrastruktur dan iklim investasi untuk menarik lebih banyak perusahaan asing dan membuka lapangan pekerjaan.
  4. Meningkatkan kerja sama antara perguruan tinggi, industri, dan pemerintah dalam menyiapkan tenaga kerja yang lebih berkualitas.
  5. Mempermudah regulasi bagi lulusan untuk mendapatkan sertifikasi profesional ASEAN agar bisa bersaing dengan tenaga kerja asing.

Dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat memanfaatkan peluang MEA untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja dan memperkuat posisinya dalam ekonomi regional.

Sumber Artikel:Ongku P. Hasibuan. "Peluang dan Tantangan Lulusan Perguruan Tinggi Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)." Orasi Ilmiah Wisuda STIKOM & STIE Indonesia Mandiri, Bandung, 31 Oktober 2019.

Selengkapnya
Peluang dan Tantangan Lulusan Perguruan Tinggi Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
page 1 of 1