Peradaban Purba Nusantara
Dipublikasikan oleh pada 29 Mei 2025
Pendahuluan: Ketika Batu Menyimpan Sejarah Manusia
Di balik kerasnya batu, tersimpan kisah panjang manusia purba Nusantara. Situbondo, daerah pesisir di timur laut Jawa Timur, ternyata bukan hanya kaya secara alam, tetapi juga sejarah. Penelitian arkeologi ini menyingkap berbagai situs megalitik yang tersebar di tiga lokasi utama: Plalangan, Patemon, dan Bayeman.
Karya ini bukan sekadar pendataan tinggalan arkeologis, tetapi juga penafsiran historis dan kultural terhadap sistem budaya dan sosial masyarakat megalitik di Situbondo. Inilah dokumentasi sejarah yang menjembatani masa lalu dan masa kini.
Tujuan Penelitian: Mengungkap, Memahami, dan Menafsirkan
Penelitian ini bertujuan untuk:
Mengidentifikasi dan memetakan jumlah, jenis, serta persebaran tinggalan megalitik.
Menggali sistem budaya dan kepercayaan komunitas megalitik.
Merekonstruksi sistem sosial dan ekonomi masyarakat masa itu.
Metode yang digunakan adalah pendekatan sejarah, dengan penafsiran hermeneutik yang mencakup analisis bentuk, konteks, perbandingan, serta analogi etnoarkeologi.
Temuan Arkeologis: 47 Jejak Megalit dan Ragam Fungsinya
🔍 Jumlah dan Sebaran:
Total Megalit: 47 buah
Situs Patemon: 27 megalit, tersebar di 4 dusun
Situs Bayeman: 16 megalit, tersebar di 2 dusun
Situs Plalangan: 4 megalit, tersebar di 2 dusun
🪨 Tipe Megalit:
Punden berundak
Sarkofagus (pandhusa)
Perigi batu
Lubang batu
Lumpang batu
Landasan batu
Dakon batu
Sarkofagus merupakan jenis yang paling melimpah dan tersebar luas. Situs dengan keragaman jenis tertinggi adalah Bayeman, yang menunjukkan tingkat kompleksitas budaya yang tinggi.
Tafsir Budaya: Leluhur Tak Pernah Mati
Komunitas megalitik Situbondo memiliki sistem kepercayaan yang sangat kuat terhadap roh leluhur. Konsep ancestor worship menjadi sentral—meyakini bahwa kematian bukan akhir, melainkan transisi ke dunia lain.
Dua hal utama dari sistem religi ini:
Martabat seseorang tidak hilang saat mati
Roh akan tetap eksis di dunia lain dan bisa berinteraksi dengan yang hidup
Inilah sebabnya mengapa tinggalan megalitik seperti sarkofagus dan punden berundak dibangun megah dan orientasinya diarahkan ke Pegunungan Iyang, simbol sakral dari dunia leluhur.
Sistem Sosial: Bukti Masyarakat Maju
Penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat Situbondo purba telah:
Bermukim secara permanen, bukan nomaden
Mengenal teknologi gerabah dan pengendalian lingkungan
Menguasai teknik pertambangan dan pemahatan batu
(Diduga) mengenal teknologi logam untuk alat dan peralatan
Struktur sosialnya menunjukkan adanya diferensiasi dan stratifikasi sosial, terlihat dari variasi ukuran dan bentuk sarkofagus—semakin besar, menunjukkan status sosial lebih tinggi.
Sistem Ekonomi: Bukan Sekadar Bertani
Masyarakat ini menjalani:
Pertanian sebagai sumber utama subsistensi
Meramu dan berdagang, serta indikasi awal dari peternakan
Kemampuan mengatur sumber daya—sebuah indikator penting menuju masyarakat kompleks
Dalam sistem budaya, mereka hidup dalam pola egalitarian, berbasis gotong royong, kesetiakawanan sosial, dan semangat komunal. Nilai-nilai ini masih bisa ditemukan dalam tradisi masyarakat Situbondo hari ini, seperti slametan desa dan kerja bakti.
Studi Kasus: Tiga Situs, Tiga Cerita
1. Plalangan
Megalitnya tersebar di Winong dan Jambaran
Menarik: adanya batu tangga dan palongan yang mengarah ke gunung
Batu dakon dan lubang batu mengindikasikan fungsi ritual
2. Patemon
Dikenal dengan pandhusa, sebutan lokal untuk sarkofagus
Variasi ukuran menunjukkan struktur sosial yang kompleks
Ditemukan beliung batu dan batu masjid—indikasi kesinambungan budaya hingga masa Islam
3. Bayeman
Batu lesung dan batu dakon mendominasi
Situs dengan tipe megalit paling variatif
Fungsi: ritual, agrikultur, dan sosial ekonomi
📊 Fakta menarik: Perbandingan dengan situs megalitik lain di Indonesia menunjukkan kesamaan struktur dengan situs Lembah Bada (Sulawesi Tengah) dan Gunung Padang (Jawa Barat), memperkuat teori difusi budaya megalitik di Asia Tenggara.
Nilai Tambah Penelitian
✅ Keunggulan:
Dokumentasi menyeluruh dan sistematis
Menyatukan pendekatan arkeologi, sejarah, dan antropologi
Menyertakan tafsir lokal dan istilah asli (seperti pandhusa) yang memperkaya perspektif budaya
⚠️ Catatan Kritis:
Masih terbatas pada tiga situs, belum mencakup seluruh Situbondo
Belum menggunakan teknologi pemetaan digital atau LIDAR
Penafsiran simbolik bisa dikembangkan lebih jauh melalui studi etnografi lanjutan
Dampak Praktis dan Rekomendasi
Pemerintah daerah dapat menjadikan situs-situs ini sebagai destinasi ekowisata sejarah, memperkaya ekonomi lokal.
Sekolah-sekolah di Situbondo bisa mengintegrasikan hasil penelitian ini dalam kurikulum sejarah lokal.
Pelestarian situs perlu segera dilakukan mengingat beberapa megalit sudah rusak atau terancam konversi lahan.
Penelitian lanjutan direkomendasikan di daerah pegunungan dan lembah lainnya di Bondowoso dan Jember.
Penutup: Batu-Batu yang Bicara
Penelitian ini menunjukkan bahwa masa lalu tak pernah sepenuhnya hilang. Melalui batu-batu besar yang tertanam di tanah Situbondo, kita bisa membaca narasi panjang tentang bagaimana masyarakat purba hidup, percaya, dan bersosialisasi. Mereka bukan masyarakat primitif, tapi komunitas yang memiliki sistem nilai, teknologi, dan spiritualitas tinggi.
Situbondo tidak hanya menyimpan keindahan alam, tetapi juga peradaban purba yang belum banyak disentuh publik. Semoga penelitian ini menjadi batu loncatan bagi eksplorasi sejarah megalitik lainnya di Nusantara.
Sumber:
Sumarjono, Kayan Swastika, & Mohamad Na’im. (2019). Kebudayaan Megalitik di Situbondo: Jejak-Jejak dan Tafsir Historisnya. LaksBang PRESSindo.
📚 Digital Repository Universitas Jember