Pendidikan Islam Kontemporer
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 19 Mei 2025
Pendahuluan
Peran pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia kerap menjadi titik tolak bagi transformasi sosial, budaya, dan keilmuan Islam di Nusantara. Dalam konteks ini, buku karya Dr. Nurul Hak dkk. berjudul “Genealogi dan Jaringan Keilmuan Pesantren Modern di Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur” memberikan kontribusi monumental dalam menggambarkan konstruksi intelektual yang membentuk karakteristik khas pesantren modern. Penelitian ini menjadi semacam "peta intelektual" para kiai yang tidak hanya berdiri di atas otoritas agama, tetapi juga sebagai penjaga sanad keilmuan yang sah.
Latar Belakang Penelitian
Buku ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk melacak dinamika transmisi ilmu-ilmu keislaman dalam konteks pesantren modern. Tiga wilayah utama — Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur — dijadikan locus penelitian karena ketiganya memiliki sejarah panjang dalam menyemai pesantren dengan karakteristik berbeda. Pesantren di Banten dikenal dengan pendekatan sufistik dan tarekat, Jawa Tengah dengan corak tradisionalis-nasionalis, sedangkan Jawa Timur terkenal dengan corak reformis dan modernis.
Dalam penelitian ini, para penulis menekankan bahwa pemahaman terhadap jaringan ulama dan genealogi keilmuan bukan hanya penting untuk sejarah, tetapi juga menentukan validitas otoritas keagamaan di masa kini.
Metodologi Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah historis-sosiologis dengan metode kualitatif, termasuk wawancara mendalam, studi pustaka, dan telaah dokumen. Peneliti memetakan jaringan keilmuan melalui sanad-sanad keilmuan (mata rantai guru-murid), kitab-kitab yang diajarkan, serta lembaga pendidikan tempat para kiai menimba ilmu.
Temuan Utama dan Analisis
1. Sanad Keilmuan sebagai Legitimasi Otoritas
Penelitian ini menunjukkan bahwa pesantren modern tetap menjaga mata rantai keilmuan tradisional. Misalnya, kiai-kiai besar di Banten seperti KH. Tubagus Ahmad Bakri memiliki hubungan keilmuan dengan jaringan ulama Haramain. Demikian pula di Jawa Tengah, KH. Sahal Mahfudh membangun sanad intelektual dari ayahandanya dan dari Mekkah. Di Jawa Timur, tokoh seperti KH. Hasyim Asy’ari memperkuat jaringan keilmuan dengan pendekatan sistematis yang menggabungkan manhaj pesantren dan semangat nasionalisme.
Nilai tambah: Ini membuktikan bahwa modernisasi pesantren bukanlah pemutusan terhadap tradisi, tetapi justru merupakan strategi reproduksi pengetahuan dengan pendekatan kontemporer.
2. Peran Kiai Sebagai "Knowledge Broker"
Penelitian ini juga menggarisbawahi peran kiai sebagai penghubung antara ilmu agama dan realitas sosial. Mereka tidak hanya mengajarkan fiqih dan tafsir, tetapi juga menjadi penggerak sosial dan politik. Di masa kolonial, mereka menjadi pionir perlawanan; di masa Orde Baru dan Reformasi, mereka tampil sebagai pendamai.
Catatan penting: Peran multifungsi kiai ini juga menjadi alasan mengapa pesantren tetap eksis dan relevan di tengah era digital sekalipun.
3. Kitab Kuning dan Kurikulum Hybrid
Dalam konteks kurikulum, pesantren modern berhasil menggabungkan kurikulum tradisional berbasis kitab kuning dengan pengetahuan modern seperti bahasa asing, matematika, dan ilmu sosial. Ini menciptakan lulusan yang memiliki kompetensi ganda: religius dan rasional.
Contohnya, Pondok Modern Darussalam Gontor mengajarkan ilmu keislaman dengan disiplin pendidikan Barat dalam satu waktu, yang menyebabkan alumninya tersebar di banyak lini kehidupan — dari akademisi hingga diplomat.
4. Transmisi Ilmu dan Mobilitas Ulama
Ditemukan pula bahwa mobilitas ulama sangat menentukan dalam penyebaran pemikiran. Santri yang belajar di luar daerah kemudian kembali dan mendirikan pesantren baru, membawa metode, manhaj, dan jaringan yang diperolehnya. Ini memperluas cakupan pengaruh pesantren modern secara geografis dan ideologis.
Contoh nyata: Jaringan ulama alumni Gontor yang mendirikan cabang di luar negeri seperti di Malaysia dan Timur Tengah.
Kekuatan Buku
Pendekatan Interdisipliner: Buku ini tidak hanya bicara sejarah, tetapi juga sosiologi, antropologi, bahkan pendidikan.
Data Primer yang Kuat: Wawancara dengan para kiai dan akses pada manuskrip serta kitab klasik memberi bobot ilmiah yang kuat.
Visualisasi Jaringan: Adanya skema silsilah dan grafik jaringan keilmuan menjadikan buku ini mudah dipahami dan sangat informatif.
Kelemahan dan Kritik
Meskipun kaya data, buku ini belum menggarap secara dalam dimensi kontestasi otoritas keilmuan di era digital. Bagaimana pesantren menyikapi tantangan ulama YouTube, dakwah TikTok, dan algoritma media sosial masih menjadi pertanyaan penting yang belum terjawab.
Rekomendasi: Akan menarik jika penelitian lanjutan membahas bagaimana pesantren membentuk “ekosistem digital” untuk mempertahankan otoritas keilmuan klasik dalam dunia daring.
Relevansi dengan Dunia Kontemporer
Kajiannya sangat relevan bagi:
Peneliti pendidikan Islam
Pengambil kebijakan di Kemenag
Santri dan akademisi muda
NGO dan lembaga Islam progresif
Dalam konteks globalisasi, genealogi keilmuan ini menjadi pembuktian bahwa pesantren Indonesia memiliki “tradisi intelektual” yang tidak kalah dengan universitas Islam di Timur Tengah. Bahkan, model integrasi keilmuan ala pesantren bisa menjadi model pendidikan Islam masa depan.
Sumber
Buku: Nurul Hak, dkk. Genealogi dan Jaringan Keilmuan Pesantren Modern di Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Diterbitkan oleh: Kementerian Agama RI, Balai Litbang Agama Jakarta.