Pendidikan dan Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 19 September 2025
Pendahuluan: Di Balik Kelas Digital yang Sepi
Di era digital yang bergerak begitu cepat, gagasan tentang pembelajaran jarak jauh atau e-learning telah menjadi keniscayaan. Namun, bagi banyak orang, pengalaman belajar secara daring sering kali jauh dari kata ideal. Sesi video yang pasif, materi yang monoton, dan minimnya interaksi sering kali menimbulkan rasa jenuh, bahkan membuat motivasi belajar luntur.1 Ini adalah potret universal tantangan yang dihadapi oleh jutaan pelajar di seluruh dunia, sebuah realitas yang semakin terasa urgensinya sejak pandemi global mendorong adopsi massal pendidikan jarak jauh.
Dalam situasi inilah sebuah penelitian ilmiah hadir, bukan sekadar untuk mengeluhkan masalah, melainkan untuk menawarkan sebuah solusi yang teruji. Sekelompok peneliti dari Kathmandu University dan Nepal Open University (NOU) di Nepal telah menerbitkan sebuah studi mendalam yang secara proaktif mengembangkan dan mengevaluasi cetak biru untuk kursus daring. Alih-alih hanya berteori tentang apa yang seharusnya berhasil, mereka menciptakan sebuah modul nyata dan mengujinya dengan metrik ilmiah yang ketat. Tujuan mereka jelas: mengembangkan sebuah proses yang dapat diandalkan, praktis, dan efisien untuk membuat kursus daring yang secara fundamental berbeda dari pengalaman yang membosankan.1
Studi ini secara spesifik berfokus pada tiga pilar krusial yang mendefinisikan keberhasilan sebuah sistem e-learning: validitas, kepraktisan, dan efektivitas. Pertanyaan yang mereka ajukan jauh lebih dalam daripada sekadar "apakah ini berfungsi?" Melainkan: "Apakah modul ini valid secara ilmiah?" (validitas), "Apakah mudah digunakan oleh pelajar dan pengajar?" (kepraktisan), dan yang paling penting, "Apakah modul ini benar-benar menghasilkan hasil belajar yang nyata dan meningkatkan motivasi?" (efektivitas).1 Laporan ini akan mengupas tuntas perjalanan ilmiah di balik studi tersebut, menyingkap data-data yang membuktikan mengapa cetak biru ini bisa menjadi model yang mengubah masa depan pendidikan jarak jauh, tidak hanya di Nepal tetapi juga di berbagai negara lain dengan tantangan serupa.
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Indonesia?
Dari Nepal ke Nusantara: Sebuah Model Pendidikan Masa Depan
Pada pandangan pertama, sebuah studi yang dilakukan di Nepal mungkin terasa jauh dan kurang relevan bagi konteks pendidikan di Indonesia. Namun, sebuah analisis yang lebih mendalam menunjukkan sebaliknya. Penelitian ini secara khusus relevan bagi Indonesia karena kesamaan tantangan mendasar yang dihadapi oleh kedua negara. Seperti halnya Nepal, Indonesia adalah negara yang terdiri dari ribuan pulau dengan geografi yang menantang dan infrastruktur digital yang tidak merata. Masalah konektivitas yang terbatas, akses yang tidak setara, dan kebutuhan akan model pendidikan yang fleksibel adalah isu yang akrab bagi sistem pendidikan di Indonesia, sama seperti di Nepal.1
Oleh karena itu, temuan dari studi ini memiliki potensi besar untuk menjadi model yang dapat direplikasi dan diadaptasi. Jika sebuah cetak biru e-learning dapat terbukti berhasil di lingkungan yang menantang di Nepal, di mana akses digital dan literasi teknologi masih terus berkembang, maka model ini menunjukkan ketahanan dan adaptabilitas yang tinggi. Ini adalah bukti nyata bahwa solusi inovatif tidak selalu harus lahir dari Silicon Valley atau pusat-pusat teknologi dunia. Inovasi yang paling kuat sering kali lahir dari adaptasi yang cerdas terhadap tantangan nyata di lapangan. Temuan ini menyajikan narasi yang kuat bahwa pendidikan berkualitas tinggi tidak harus terhalang oleh keterbatasan infrastruktur. Ini adalah sebuah cetak biru yang menawarkan harapan dan panduan strategis bagi pembuat kebijakan, institusi pendidikan, dan pengembang kurikulum di Indonesia untuk membangun sistem e-learning yang tidak hanya menjangkau, tetapi juga berhasil memberdayakan pelajar di seluruh pelosok negeri.
Mengungkap Rahasia di Balik Layar: Perjalanan Menciptakan Modul Hebat
Pendekatan Ilmiah yang Tidak Biasa: Kisah Model Plomp yang Iteratif
Penelitian ini membedakan dirinya dari studi akademis pada umumnya dengan mengadopsi metodologi Riset dan Pengembangan (R&D) yang bersifat proaktif dan iteratif.1 Para peneliti menggunakan model Plomp, sebuah kerangka kerja yang tidak hanya melibatkan langkah-langkah linier (analisis, desain, pengembangan, implementasi, dan evaluasi) tetapi juga siklus perbaikan berkelanjutan. Ini adalah pendekatan yang lebih mirip dengan pengembangan produk di dunia industri, di mana sebuah prototipe diciptakan, diuji coba, dan direvisi berulang kali berdasarkan umpan balik dunia nyata.
Penelitian ini tidak hanya berhenti pada prototipe pertama, melainkan melanjutkan perbaikan melalui Prototipe 1 dan Prototipe 2. Siklus ini memastikan bahwa modul pembelajaran daring tidak hanya dibangun di atas asumsi, melainkan terus disempurnakan berdasarkan data empiris dan pengalaman langsung dari pengguna. Proses yang teliti ini, yang melibatkan evaluasi formatif untuk terus memperbaiki proses dan materi pembelajaran, merupakan rahasia di balik tingginya kualitas dan penerimaan modul. Secara efektif, ini adalah sebuah cerita tentang ketelitian ilmiah yang mengubah ide konseptual menjadi produk yang matang dan teruji.
"Lolos Ujian Kredibilitas": Kisah di Balik Validasi Para Ahli
Tahap pertama dari perjalanan pengembangan modul ini adalah membuktikan kredibilitasnya secara ilmiah. Hal ini dilakukan melalui proses validasi oleh para ahli di bidangnya. Hasilnya sangat meyakinkan. Nilai validasi rata-rata untuk konten materi pembelajaran adalah 0.885, dan untuk media pembelajaran (tampilan, tata letak, dan kemudahan penggunaan) juga mencapai 0.885.1
Angka-angka ini bukan sekadar statistik; nilai 0.885 berada pada kategori "sangat valid," yang membuktikan bahwa modul ini telah melewati proses verifikasi yang sangat ketat, seolah-olah setiap detail, dari konten hingga tata letak, telah diperiksa dan disetujui oleh para ahli. Validasi yang nyaris sempurna ini merupakan fondasi kredibilitas yang membuat semua hasil lain yang ditemukan dalam studi ini menjadi sangat signifikan. Ini menegaskan bahwa cetak biru yang dikembangkan oleh para peneliti ini tidak main-main, tetapi dibangun di atas dasar ilmiah yang kokoh.
Bukti di Lapangan: Bagaimana Rasanya Menggunakan Modul Ini?
Setelah validasi ilmiah, modul ini diuji secara langsung di lapangan untuk mengukur tingkat kepraktisannya. Subjek penelitiannya unik: 42 mahasiswa dan 9 dosen MPhil dalam Studi Pendidikan dari Nepal Open University.1 Uniknya, kelompok mahasiswa ini memiliki rentang usia 35 hingga 52 tahun 1, yang berarti mereka bukanlah "digital native" yang tumbuh dengan teknologi. Meskipun demikian, hasil dari uji kepraktisan sangat positif. Berdasarkan respons dari para dosen, modul ini memiliki rating kepraktisan rata-rata 88%, yang masuk dalam kategori "sangat praktis".1 Dari sisi mahasiswa, hasilnya bahkan lebih tinggi, dengan nilai rata-rata 89.07%, juga dalam kategori "sangat praktis".1
Tingginya skor ini adalah bukti nyata bahwa desain yang cerdas dapat mengatasi kesenjangan literasi digital. Modul ini terbukti mudah digunakan, dapat dipahami oleh pengguna dari berbagai latar belakang, dan mampu mempertahankan perhatian mereka. Kepraktisan yang luar biasa ini menunjukkan bahwa cetak biru ini tidak hanya teoritis tetapi juga dapat diterapkan di dunia nyata, membuka pintu bagi pendidikan seumur hidup yang lebih inklusif.
Lompatan Kuantum: Bukti Nyata Bahwa Pembelajaran Terjadi
Pada akhirnya, sebuah sistem e-learning dinilai dari efektivitasnya—yaitu, apakah ia benar-benar membantu pelajar mencapai hasil yang diinginkan. Dalam hal ini, hasil penelitian menunjukkan lompatan kuantum yang luar biasa. Evaluasi rata-rata menunjukkan bahwa 90.34% mahasiswa berhasil menyelesaikan modul ini, dan bahkan lebih mencengangkan, 35 dari 42 mahasiswa (sekitar 83%) berhasil mendapatkan nilai B+ atau lebih tinggi.1
Tingginya nilai akhir ini bukanlah sebuah kebetulan. Studi ini secara eksplisit mencatat bahwa kursus ini "kurang teoretis dan melibatkan aktivitas berbasis proyek".1 Ini adalah hubungan kausal yang jelas: metode pedagogi yang inovatif (pembelajaran berbasis proyek) secara langsung menghasilkan hasil belajar yang sangat efektif. Ini menunjukkan bahwa cetak biru ini tidak hanya sekadar memindahkan materi buku teks ke layar, tetapi juga merombak cara pembelajaran itu sendiri. Modul ini secara efektif menggunakan teknologi sebagai alat untuk memfasilitasi pembelajaran yang aktif, bukan sekadar pasif. Selain itu, modul ini juga terbukti efektif dalam meningkatkan motivasi belajar. Dibandingkan dengan tes awal, evaluasi setelah penggunaan modul menunjukkan peningkatan motivasi sebesar 86.90%.1 Ini adalah bukti bahwa modul ini berhasil membangkitkan kembali semangat belajar yang sering kali padam dalam kursus daring konvensional.
Tantangan yang Tak Terhindarkan dan Jalan ke Depan
Kritik Realistis: Lingkup yang Terbatas, Potensi yang Tak Terbatas
Meskipun temuan-temuan dari penelitian ini sangat menjanjikan, penting untuk memahami batasan-batasannya secara realistis. Studi ini mengakui bahwa ruang lingkupnya terbatas pada satu universitas di Nepal dengan total 51 peserta.1 Kritik ini tidak mengecilkan temuan, tetapi justru menempatkannya dalam konteks yang tepat. Alih-alih menjadi kesimpulan definitif, penelitian ini dapat dilihat sebagai "uji coba pilot" atau "bukti konsep" yang sangat sukses.
Batasan ini mengindikasikan bahwa implementasi cetak biru ini pada skala nasional, misalnya di Indonesia, akan memerlukan penyesuaian dan pengujian lebih lanjut. Tantangan-tantangan seperti skalabilitas, variasi kebutuhan kurikulum di berbagai institusi, dan diversitas latar belakang pelajar harus dipertimbangkan. Namun, bukti yang telah disajikan memberikan fondasi yang sangat kuat untuk penelitian dan pengembangan di masa depan. Ini adalah titik awal yang menjanjikan, bukan titik akhir dari perjalanan.
Mengapa E-Learning Tetap Butuh Sentuhan Manusia?
Satu hal yang tidak bisa digantikan oleh cetak biru terbaik sekalipun adalah peran manusia. Paper ini secara eksplisit menyebutkan tantangan-tantangan dalam e-learning seperti "distraksi online" dan "kurangnya interaksi".1 Temuan ini menunjukkan bahwa, meskipun teknologi dapat menjadi alat yang ampuh, ia tidak dapat berfungsi secara optimal tanpa katalisator manusia—yaitu, fasilitator atau pengajar yang secara aktif membangun komunitas belajar, memberikan umpan balik, dan memastikan pelajar tetap termotivasi.
E-learning modul dalam studi ini tidak dirancang untuk sepenuhnya menggantikan interaksi tatap muka, melainkan sebagai alat yang kuat untuk mendukung dan memperkaya proses belajar. Hal ini konsisten dengan temuan bahwa pembelajaran yang paling efektif sering kali terjadi melalui kombinasi interaksi sinkron dan asinkron.1 Ini adalah pengingat bahwa masa depan pendidikan adalah tentang sinergi antara teknologi yang cerdas dan bimbingan manusia yang empatik.
Dampak Nyata: Mengubah Biaya dan Masa Depan Pendidikan
Kesimpulan dari penelitian ini jelas dan meyakinkan: proses yang dikembangkan untuk kursus ICT dan e-Research ini terbukti valid, praktis, dan efektif.1 Dengan rata-rata validasi materi dan media yang sangat tinggi (0.885), tingkat kepraktisan yang disetujui oleh hampir 90% dosen dan mahasiswa, serta hasil akhir yang menunjukkan peningkatan motivasi dan hasil belajar yang signifikan, cetak biru ini adalah sebuah terobosan.1
Jika diterapkan secara luas, temuan ini memiliki potensi untuk mengubah pendidikan jarak jauh dari sebuah "alternatif terakhir" di masa krisis menjadi sebuah "solusi strategis" yang dapat merombak masa depan pendidikan. Sebuah sistem yang efektif dan kredibel seperti ini dapat mengurangi biaya operasional dalam jangka panjang, membuka akses pendidikan berkualitas bagi populasi yang lebih luas, dan yang terpenting, meningkatkan kualitas hasil belajar secara signifikan.1
Penelitian ini memberikan landasan yang kuat bagi institusi pendidikan untuk berinvestasi dalam pengembangan kurikulum digital yang tidak hanya bersifat reaktif, tetapi proaktif. Dengan mengadopsi cetak biru ini dan metodologi yang mendasarinya, institusi dapat memastikan bahwa program e-learning yang mereka tawarkan tidak hanya menjangkau, tetapi juga berhasil memberdayakan para pelajar untuk masa depan. Pendidikan yang efektif, pada akhirnya, bukan tentang di mana ia disampaikan, melainkan seberapa baik ia dirancang, dan penelitian ini telah menunjukkan jalannya.
Sumber Artikel:
Dahal, N., Pant, B. P., Luite, B. C., Khadka, J., Shrestha, I. M., Manandhar, N. K., & Rajbanshi, R. (2023). Development and Evaluation of E-Learning Courses: Validity, Practicality, and Effectiveness. International Journal of Interactive Mobile Technologies, 17(12).
Pendidikan dan Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 19 September 2025
Ketika Studio Arsitektur Pindah ke Layar: Sebuah Kisah tentang Keterpaksaan dan Inovasi
Pada akhir tahun 2019, gelombang pandemi COVID-19 menerpa dunia, memaksa institusi pendidikan tinggi di seluruh penjuru bumi untuk memutar haluan secara mendadak. Ruang-ruang kelas yang ramai mendadak kosong, digantikan oleh ruang virtual yang penuh ketidakpastian. Di tengah kekacauan ini, sebuah pertanyaan fundamental muncul, khususnya di ranah pendidikan yang sangat bergantung pada interaksi fisik: "Apakah pengajaran daring efisien untuk menggantikan pengajaran studio desain dan desain dasar?".1
Pertanyaan ini menjadi pusat dari sebuah penelitian kasus yang mendalam di Departemen Arsitektur, Universitas Sains dan Teknologi Yordania (JUST). Selama semester kedua tahun akademik 2019/2020, universitas tersebut, seperti banyak lainnya, dipaksa untuk menghentikan semua kelas tatap muka dan beralih sepenuhnya ke pembelajaran daring.1 Pengalaman ini menjadi laboratorium tak terduga yang mengungkap lapisan-lapisan kompleks dari sebuah transisi yang dipaksakan. Meskipun pembelajaran jarak jauh dan daring telah ada sebelumnya, pemanfaatannya masih marginal dibandingkan dengan dominasi kelas tatap muka. Namun, pandemi mengubahnya menjadi pendekatan yang wajib, menandai sebuah momen bersejarah untuk mengeksplorasi tantangan dan peluang dalam mengembangkan pendidikan arsitektur dengan cara-cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.1
Studi ini bertujuan untuk memberikan wawasan yang mendalam ke dalam pendidikan arsitektur, sebuah disiplin ilmu yang dikenal karena sifat praktisnya dan pendekatannya yang berbasis studio. Para peneliti tidak hanya ingin mengevaluasi efektivitas teknis, tetapi juga menyoroti tantangan dan peluang yang muncul dari situasi yang luar biasa ini. Ini adalah kisah tentang sebuah disiplin ilmu yang, karena sifatnya yang sangat bergantung pada sentuhan, rasa, dan interaksi langsung, menghadapi ujian terbesar dalam sejarah modernnya.1
Menggali Permukaan: Metode yang Menyeluruh Mengungkap Perspektif Multidimensi
Menyadari bahwa masalah ini jauh lebih kompleks dari sekadar mengukur kepuasan, para peneliti dari JUST mengadopsi metodologi yang canggih dan berlapis. Mereka tidak langsung melompat ke data kuantitatif yang kering. Sebaliknya, mereka memulai dengan pendekatan kualitatif yang mendalam, sebuah langkah yang ternyata sangat krusial dalam mengungkap "cerita di balik data".1
Strategi penelitian ini dimulai dengan sebuah pertemuan kelompok fokus yang melibatkan sepuluh pakar. Peserta kelompok ini dipilih secara teliti, mencakup empat supervisor proyek kelulusan, empat pengajar senior mata kuliah desain, dan dua praktisi yang memiliki pengalaman sebagai juri dalam panel selama pandemi.1 Kriteria pemilihan ini memastikan bahwa wawasan yang dikumpulkan berasal dari individu-individu yang tidak hanya memiliki pengalaman mengajar yang luas—dengan minimal lima tahun mengajar desain dan membimbing proyek kelulusan—tetapi juga memiliki peran strategis di departemen, seperti dekan atau koordinator mata kuliah. Pertemuan ini difokuskan untuk mengeksplorasi aspek-aspek operasional dan teknis dari pembelajaran daring, termasuk alat yang digunakan, keterampilan yang diperlukan oleh pengajar dan mahasiswa, serta efisiensi pemberian umpan balik pada desain secara jarak jauh.1
Wawasan yang diperoleh dari diskusi kelompok fokus ini menjadi fondasi yang kuat untuk tahap kedua penelitian. Analisis dari diskusi ini memungkinkan para peneliti untuk menyusun dua kuesioner survei yang berbeda, satu untuk staf pengajar dan satu untuk mahasiswa, memastikan bahwa pertanyaan yang diajukan benar-benar relevan dan tepat sasaran.1 Survei ini kemudian didistribusikan secara daring kepada seluruh staf pengajar (total 20 orang) dan sampel acak mahasiswa dari mata kuliah Desain II dan Desain Dasar II. Jumlah mahasiswa yang dipilih secara acak adalah 28 orang dari mata kuliah desain dan 53 orang dari mata kuliah desain dasar.1
Pendekatan dua tahap ini—dari kualitatif ke kuantitatif—adalah kunci untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif. Dimulai dengan diskusi mendalam dengan para pakar, para peneliti dapat mengidentifikasi tantangan dan nuansa yang tidak terduga, yang kemudian mereka ubah menjadi pertanyaan survei yang terstruktur. Ini memungkinkan data kuantitatif yang mereka kumpulkan tidak hanya sekadar angka, tetapi cerminan langsung dari pengalaman nyata para partisipan. Hasilnya, laporan ini tidak hanya menyajikan statistik, tetapi juga narasi berlapis yang menjembatani kesenjangan antara realitas praktis di studio arsitektur dan dunia virtual yang baru.1
Potret Para Dosen: Antara Panggilan Tugas dan Beban Psikologis yang Tak Terduga
Data yang terkumpul dari staf pengajar memberikan gambaran yang kompleks dan seringkali kontradiktif. Dari 20 staf pengajar yang berpartisipasi, sebagian besar (75%) mengajar mata kuliah desain secara daring, sebuah persentase yang sangat tinggi mengingat sifat praktis dari mata kuliah tersebut. Sementara itu, 55% di antaranya mengajar mata kuliah teoretis atau membimbing proyek kelulusan, dan 35% mengajar mata kuliah desain dasar.1 Ini menunjukkan bahwa hampir seluruh kurikulum arsitektur, termasuk yang paling praktis, harus dipindahkan ke format virtual.
Namun, efektivitas pengajaran daring ternyata sangat bervariasi tergantung pada jenis mata kuliah. Terjadi perpecahan tajam dalam tingkat kepuasan. Sekitar 43% staf pengajar mata kuliah teoretis merasa pengajaran daring efektif, dengan 12.5% di antaranya menyatakan "sangat setuju".1 Ini menunjukkan bahwa untuk konten yang bersifat satu arah dan berbasis ceramah, platform daring bekerja dengan cukup baik. Sebaliknya, untuk mata kuliah desain dan proyek kelulusan, tidak ada konsensus yang dominan, dan tingkat ketidakpuasan lebih menonjol. Sebuah mayoritas signifikan, yaitu 65% staf pengajar, mengevaluasi pengajaran daring untuk mata kuliah desain sebagai "tidak efektif".1 Perbedaan ini secara jelas mengindikasikan bahwa tantangan utama bukanlah pada medium digitalnya itu sendiri, tetapi pada ketidaksesuaian medium tersebut dengan pedagogi yang berakar pada interaksi intens dan langsung, yang merupakan inti dari pengajaran arsitektur.
Lebih dari sekadar tantangan teknis, laporan ini mengungkap sebuah cerita manusia yang lebih mendalam. Staf pengajar tidak hanya berjuang dengan perangkat lunak dan koneksi internet yang tidak stabil—masalah yang dilaporkan oleh 65% dari mereka—tetapi mereka juga menghadapi krisis pribadi yang tak terduga.1 Sekitar 70% staf pengajar melaporkan masalah privasi dan manajemen waktu. Tanpa batasan fisik antara kantor dan rumah, garis-garis yang memisahkan kehidupan profesional dan pribadi menjadi kabur. Mahasiswa, yang kini memiliki akses tak terbatas melalui aplikasi pesan, dapat menghubungi staf pengajar kapan saja. Tekanan untuk merespons secara instan, siang atau malam, menciptakan beban kerja yang berkelanjutan dan tanpa henti.1
Kondisi ini memicu masalah psikologis yang serius. Seperempat dari sampel (25%) menyatakan bahwa mereka menghadapi isu psikologis terkait dengan meleburnya batas-batas antara lingkungan kerja dan rumah.1 Angka ini adalah salah satu temuan yang paling mengejutkan, menunjukkan bahwa transisi ini bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang kesejahteraan mental para pendidik. Kisah ini tidak hanya tentang pengajaran daring, tetapi juga tentang pengorbanan personal yang diminta dari para profesional untuk memastikan keberlanjutan pendidikan di masa yang paling sulit.
Selain itu, 50% staf pengajar kesulitan menetapkan alat evaluasi yang memadai, dan 45% melaporkan tantangan dalam komunikasi yang efektif dengan mahasiswa.1 Ini menunjukkan bahwa proses evaluasi yang tradisional, yang seringkali melibatkan penilaian tatap muka terhadap model fisik atau gambar, menjadi sangat rumit di ruang virtual, menimbulkan kekhawatiran tentang kejujuran dan akurasi penilaian. Singkatnya, potret yang muncul adalah gambaran para profesional yang berada di bawah tekanan besar, berjuang tidak hanya dengan tantangan logistik tetapi juga dengan tuntutan emosional dan psikologis yang tak terlihat.
Suara dari Mahasiswa: Kecemasan, Ketidakfokusan, dan Koneksi yang Tak Terduga
Sementara para dosen menghadapi perjuangan mereka, para mahasiswa juga tidak luput dari dampak yang luar biasa. Tingkat partisipasi survei mahasiswa sangat tinggi, menunjukkan betapa pentingnya isu ini bagi mereka. Dari 28 mahasiswa desain yang disurvei, 94% merespons, dan dari 53 mahasiswa desain dasar, 77% merespons, sebuah tingkat respons yang sangat kuat.1
Laporan ini menunjukkan bahwa para mahasiswa menghadapi tantangan ganda: hambatan teknis dan masalah yang terkait dengan sifat fisik dari disiplin ilmu mereka. Mayoritas mahasiswa desain (94.4%) melaporkan kesulitan teknis, seperti kecepatan internet yang rendah atau masalah pada perangkat komputer, yang secara signifikan menghambat kemampuan mereka untuk bekerja dan berpartisipasi secara efektif.1 Namun, tantangan yang lebih mendalam adalah kesulitan mendapatkan bahan gambar fisik yang diperlukan untuk proyek mereka. Hal ini dilaporkan oleh lebih dari dua pertiga mahasiswa desain dasar (68.3%).1 Temuan ini menyoroti kesenjangan besar antara harapan akan studio virtual yang serba digital dan realitas praktis dari pekerjaan mahasiswa arsitektur, yang masih membutuhkan material fisik seperti kertas, pensil, dan model.
Mungkin temuan yang paling mengejutkan dan mengganggu dari studi ini berkaitan dengan dampak pada kesehatan mental mahasiswa. Sekitar 44.4% mahasiswa desain dan 56.1% mahasiswa desain dasar melaporkan merasa cemas dan tidak dapat fokus pada pekerjaan mereka.1 Angka-angka ini tidak bisa dilihat secara terpisah. Mereka terhubung dengan kesulitan lain yang dilaporkan: 38.9% mahasiswa desain dan 31.7% mahasiswa desain dasar tidak memiliki ruang kerja yang memadai di rumah. Sejumlah 16.7% mahasiswa desain dan 46.3% mahasiswa desain dasar melaporkan merasa lelah sepanjang waktu.1 Data ini mengubah narasi dari sekadar "pembelajaran daring itu sulit" menjadi "pembelajaran daring menimbulkan krisis kesejahteraan mental bagi mahasiswa arsitektur," yang disebabkan oleh perpaduan antara tekanan akademik, masalah logistik, dan kurangnya lingkungan yang kondusif.
Namun, di tengah semua kesulitan ini, ada sebuah paradoks yang menarik. Terlepas dari tantangan yang dihadapi, mahasiswa merasa bahwa mereka memiliki akses yang lebih baik ke pengajar mereka. Sebagian besar mahasiswa (88.9% untuk mata kuliah desain dan 65.9% untuk mata kuliah dasar) setuju bahwa mereka memiliki waktu yang cukup untuk bertemu dengan instruktur.1 Bahkan lebih banyak lagi, yaitu 92.6% mahasiswa desain dan 73.3% mahasiswa desain dasar, merasa mereka dapat menghubungi instruktur mereka kapan saja.1 Kontradiksi mencolok ini, di mana apa yang menjadi beban bagi dosen (akses 24/7) adalah keuntungan besar bagi mahasiswa, menunjukkan bahwa pengajaran daring menciptakan jalur komunikasi yang sangat mudah dan tak terputus. Hal ini mengisyaratkan bahwa meskipun ada tantangan dalam pedagogi, koneksi personal antara pengajar dan mahasiswa justru diperkuat, meskipun dengan biaya yang signifikan terhadap privasi pengajar.
Kritik dan Keterbatasan: Membangun Perspektif yang Realistis dan Bernuansa
Meskipun penelitian ini memberikan wawasan yang sangat berharga dan mendalam tentang transisi ke pembelajaran daring di bidang arsitektur, penting untuk meninjau temuan-temuan ini dengan perspektif yang seimbang dan realistis. Seperti halnya studi kasus, penelitian ini memiliki keterbatasan yang signifikan, yang mana para peneliti sendiri akui di bagian kesimpulan.1
Kritik realistis pertama adalah fokus studi yang terbatas pada satu universitas tunggal: Jordan University of Science and Technology. Meskipun universitas ini merupakan salah satu yang terbesar dan tertua di Yordania, pengalamannya mungkin tidak sepenuhnya mewakili pengalaman di departemen arsitektur lain di Yordania atau di seluruh dunia.1 Setiap universitas memiliki budaya, infrastruktur, dan kesiapan yang berbeda untuk menghadapi tantangan seperti ini. Fakultas dan mahasiswa di institusi lain mungkin telah menggunakan aplikasi konferensi yang berbeda, menerima pelatihan yang lebih baik, atau memiliki respons yang berbeda terhadap situasi tersebut.1 Oleh karena itu, generalisasi temuan ini harus dilakukan dengan hati-hati.
Keterbatasan lainnya adalah sifat studi ini sebagai evaluasi langsung dan mendesak selama situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Untuk memahami dampak jangka panjang dan efektivitas model hibrida, para peneliti merekomendasikan perlunya studi longitudinal dengan ukuran sampel yang lebih besar dan dari berbagai universitas. Pendekatan ini akan memungkinkan para peneliti untuk mengevaluasi bagaimana pengalaman ini berevolusi dari waktu ke waktu dan bagaimana perbedaan individu, latar belakang budaya, dan gender dapat memengaruhi hasil pembelajaran.1
Keterbatasan ini, alih-alih menjadi kelemahan, sebenarnya berfungsi sebagai peta jalan yang eksplisit untuk penelitian di masa depan. Studi ini membuka pintu untuk pertanyaan-pertanyaan baru, seperti bagaimana perbedaan dalam strategi pengajaran dan pembelajaran memengaruhi efektivitas studio desain daring. Ini adalah panggilan untuk tidak hanya fokus pada teknologi, tetapi juga pada bagaimana manusia beradaptasi—atau berjuang untuk beradaptasi—dengan perubahan radikal.1
Merangkul Model Hibrida: Jalan Menuju Inovasi Pendidikan Arsitektur
Kesimpulan dari studi ini bukanlah untuk menolak pengajaran daring, melainkan untuk merangkulnya sebagai bagian dari masa depan yang lebih holistik. Studi ini dengan tegas menunjukkan bahwa pembelajaran daring untuk mata kuliah teoretis adalah cara yang efektif dan andal, dan merekomendasikan bahwa mata kuliah tersebut dapat terus diajarkan secara daring.1 Namun, untuk mata kuliah desain dan desain dasar yang bersifat praktis, pengalaman tatap muka di studio tetap tak tergantikan. Jalan ke depan, menurut para peneliti, adalah model "blended learning" atau pembelajaran hibrida.1 Model ini akan menggabungkan kekuatan interaksi studio tatap muka tradisional—yang sangat penting untuk kritik desain, kolaborasi, dan sentuhan fisik—dengan fleksibilitas, aksesibilitas, dan sumber daya digital yang ditawarkan oleh pembelajaran daring. Model ini dapat mengurangi tekanan pada sumber daya fisik yang tersedia di institusi, memperluas platform penerimaan bagi mahasiswa, dan memfasilitasi jaringan kolaborasi internasional yang tidak terbatas oleh batas geografis.1
Untuk mewujudkan visi ini, ada beberapa rekomendasi praktis. Pertama, institusi harus menyediakan sesi pelatihan yang memadai bagi staf pengajar dan mahasiswa tentang penggunaan berbagai aplikasi dan perangkat lunak. Peningkatan infrastruktur akan sangat penting untuk memastikan pengalaman daring yang mulus bagi semua pihak. Selain itu, pengembangan silabus yang sejak awal dirancang untuk format daring akan memungkinkan kriteria evaluasi yang lebih baik dan manajemen waktu yang lebih efisien.1 Pelatihan juga harus diberikan kepada mahasiswa tentang cara mempresentasikan proyek desain mereka dari jarak jauh, membekali mereka dengan keterampilan yang diperlukan untuk diskusi yang efektif dengan para juri.1
Singkatnya, pengalaman pandemi yang dipaksakan ini, meskipun penuh dengan kesulitan, telah memberikan wawasan yang tak ternilai. Ini telah membuka pintu bagi diskusi yang lebih luas tentang inovasi pendidikan arsitektur. Studi ini adalah bukti bahwa transisi yang tak terduga dapat menjadi katalisator untuk perubahan yang disengaja dan strategis, mendorong pendidikan untuk menjadi lebih tangguh, adaptif, dan siap untuk tantangan di masa depan.
Sumber Artikel:
Ibrahim, A. F., Attia, A. S., Asma'M, B., & Ali, H. H. (2021). Evaluation of the online teaching of architectural design and basic design courses case study: College of Architecture at JUST, Jordan. Ain Shams Engineering Journal, 12(2), 2345-2353.