Pencemaran Sungai

Membedah Krisis Citarum: Resensi Kritis Program Revitalisasi Sungai Citarum melalui Pendekatan SWAA

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Mei 2025


Pendahuluan: Sungai sebagai Simbol Krisis Ekologis

Sungai Citarum, membentang sejauh 297 kilometer di Jawa Barat, menjadi nadi kehidupan bagi lebih dari 28 juta jiwa. Ironisnya, sungai ini juga menyandang predikat sebagai salah satu yang paling tercemar di dunia. Limbah industri, domestik, dan pertanian telah mencemari badan sungai, menyebabkan krisis ekologi berkepanjangan. Upaya pemulihan terus dilakukan, tetapi hasilnya masih jauh dari harapan. Dalam konteks inilah artikel "Program Revitalisasi Sungai Citarum: Sebuah Analisis Strength, Weakness, Advocates, Adversaries (SWAA)" oleh Dissa Erianti dan Sukawarsini Djelantik menjadi sangat relevan. Artikel ini tidak sekadar memotret kebijakan, tetapi membedah relasi kuasa yang membentuk keberhasilan atau kegagalan revitalisasi Citarum.

Pendekatan SWAA: Membaca Politik dalam Kebijakan Lingkungan

Model SWAA (Strength, Weakness, Advocates, Adversaries) merupakan pendekatan kebijakan publik yang memperhitungkan kekuatan, kelemahan, serta siapa pendukung dan penghambat suatu kebijakan. Berbeda dengan SWOT, SWAA menyoroti politik aktor dan distribusi kuasa, sangat cocok untuk membaca masalah kompleks seperti revitalisasi Citarum. Dalam studi ini, Erianti dan Djelantik memanfaatkan SWAA untuk mengungkap kegagalan program-program pemerintah dalam menangani masalah sungai secara berkelanjutan.

Kekuatan: Kemauan Politik dan Dana Besar

Berbagai program seperti Citarum Bestari dan Citarum Harum menunjukkan komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam mengatasi pencemaran. Program ini didukung oleh dana internasional, termasuk pinjaman sebesar USD 500 juta dari Asian Development Bank (ADB), serta partisipasi akademisi dari ITB dan UNPAR. Komitmen ini menjadi kekuatan utama yang seharusnya mampu mendorong perubahan besar.

Kelemahan: Fragmentasi, Kepemimpinan Lemah, dan Budaya Lingkungan yang Buruk

Sayangnya, kekuatan tersebut tidak diimbangi oleh efektivitas implementasi. Koordinasi antar-lembaga sangat lemah. Gubernur Jawa Barat mengakui kesulitan menjadi komando tunggal dalam upaya revitalisasi. Hanya 20% dari 3.200 pabrik di DAS Citarum yang memiliki IPAL, sisanya bebas membuang limbah ke sungai. Di tingkat masyarakat, budaya membuang sampah ke sungai masih marak karena kurangnya edukasi dan sanksi tegas.

Advokasi: Kekuatan Komunitas dan LSM

WALHI, Greenpeace, ICEL, dan jaringan masyarakat seperti Ecovillage aktif melakukan advokasi, dari edukasi hingga litigasi. Mereka menggugat izin industri pencemar hingga tingkat Mahkamah Agung. Lebih dari 120 komunitas lokal berpartisipasi dalam pengawasan dan kampanye bersih sungai, meski sering terhambat oleh keterbatasan dana dan perhatian pemerintah.

Adversaries: Korporasi Nakal dan Praktik KKN

Kendati dikepung kampanye lingkungan, banyak perusahaan tetap membuang limbah karena merasa aman dari penindakan hukum. Korupsi dan kolusi memperparah kondisi. Audit BPK mengungkap indikasi penyalahgunaan dana dalam proyek Citarum. Ini menjadi batu sandungan utama yang membuat proyek revitalisasi berjalan di tempat.

Studi Kasus: ICWRMIP dan Citarum Harum

Program ICWRMIP didanai ADB dan diklaim sebagai pendekatan komprehensif. Namun, aktivis lingkungan menilai program ini hanya memperindah laporan tanpa menyentuh akar masalah. Begitu pula Citarum Harum yang diluncurkan Presiden Jokowi: meski menggandeng militer dan banyak kementerian, implementasinya dinilai lebih simbolik daripada substansial.

Belajar dari Sungai Lain: Rhein, Thames, dan Mekong

Di Jerman dan Inggris, pemulihan sungai berhasil karena integrasi regulasi ketat, edukasi jangka panjang, dan kolaborasi lintas sektor. Sungai Rhein kini menjadi lokasi wisata dan transportasi setelah dekade restorasi serius. Sungai Thames, yang pernah dinyatakan biologis mati pada 1950-an, kini menjadi habitat berbagai spesies. Citarum masih jauh dari tahap ini, karena reformasi tata kelola belum menyentuh akar.

Refleksi Kritis: Mengapa Gagal Terus?

Banyak proyek lingkungan di Indonesia berganti nama, berganti pemimpin, tapi substansinya tidak berubah. Pendekatan top-down yang tidak partisipatif membuat solusi menjadi asing bagi warga. Koordinasi birokrasi yang buruk, politik proyek jangka pendek, dan minimnya akuntabilitas publik menjadi pola kegagalan struktural. Ini bukan masalah teknis, tapi masalah sistemik.

Rekomendasi Kebijakan

  1. Badan Otorita Citarum: Otoritas tunggal lintas sektor yang memiliki wewenang komando dan anggaran jelas.
  2. Zona Industri Terpusat: Bangun IPAL komunal di zona industri agar limbah tidak langsung ke sungai.
  3. Audit dan Transparansi Dana: Buka akses publik terhadap penggunaan dana dan capaian program.
  4. Edukasi Berbasis Kurikulum: Pendidikan lingkungan masuk ke sekolah-sekolah, bukan sekadar kampanye sesaat.
  5. Kolaborasi Lima Pilar (Pentahelix): Pemerintah, swasta, akademisi, komunitas, dan media harus punya platform bersama.

Penutup: Menuju Sungai yang Harum, Bukan Sekadar Slogan

Pendekatan SWAA mengajarkan bahwa solusi atas krisis Citarum tidak cukup dengan teknologi dan proyek fisik. Yang dibutuhkan adalah reformasi tata kelola, kepemimpinan berani, serta kolaborasi yang sejati. Sungai Citarum bisa pulih, tapi tidak dengan cara lama. Artikel ini membuka mata kita bahwa pencemaran sungai adalah cermin rusaknya ekosistem kekuasaan, bukan hanya lingkungan.

Sumber: Erianti, D., & Djelantik, S. (2019). Program Revitalisasi Sungai Citarum: Sebuah Analisis Strength, Weakness, Advocates, Adversaries (SWAA). Jurnal Ilmu Administrasi, Volume XVI(1), 81–96. Jurnal Ilmu Administrasi. ISSN 1829-8974 / e-ISSN 2614-2597.

Selengkapnya
Membedah Krisis Citarum: Resensi Kritis Program Revitalisasi Sungai Citarum melalui Pendekatan SWAA
page 1 of 1