Pembelajaran Digital
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 22 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Disrupsi mendadak terhadap pengajaran tatap muka yang dipicu oleh pandemi COVID-19 pada tahun 2020 tidak hanya menjadi tantangan teknis, tetapi juga sebuah krisis eksistensial bagi banyak pendidik di seluruh dunia. Tesis doktoral karya Plamen Stoynov Kushkiev yang berjudul, "A critical exploration of the evolving identity and online pedagogical realisations of an EAP teacher during the COVID-19 pandemic," menyajikan sebuah penyelidikan yang sangat personal dan mendalam terhadap fenomena ini. Latar belakang masalah yang diangkat adalah bahwa di tengah peralihan darurat ke pengajaran jarak jauh, banyak penelitian berfokus pada aspek teknis atau persepsi siswa, namun kurang mengeksplorasi secara mendalam pengalaman internal dan evolusi identitas para guru itu sendiri.
Kerangka teoretis penelitian ini secara solid berlabuh pada pedagogi kritis Freire, yang menekankan hubungan dialogis antara guru dan siswa, serta pada konsep identitas guru sebagai sebuah konstruk yang cair, dinegosiasikan, dan sering kali menjadi lokasi pertarungan internal. Dengan menggunakan lensa autoetnografi—sebuah metode yang secara sadar menempatkan pengalaman pribadi peneliti sebagai data utama—studi ini bertujuan untuk mengisi kesenjangan pengetahuan tersebut. Tujuan utamanya adalah untuk secara kritis mengeksplorasi bagaimana identitas profesional dan realisasi pedagogis penulis sebagai seorang guru English for Academic Purposes (EAP) di sebuah perguruan tinggi publik di Kanada berevolusi selama transisi yang dipaksakan ke lingkungan pengajaran daring.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metodologi autoetnografi kualitatif, sebuah pendekatan yang memungkinkan peneliti untuk secara sistematis menganalisis pengalaman pribadinya guna memahami fenomena budaya dan sosial yang lebih luas. Metode ini dipilih untuk menangkap nuansa dan kompleksitas dari pergulatan identitas yang tidak dapat diungkap oleh survei kuantitatif atau wawancara eksternal.
Pengumpulan data utama dilakukan melalui catatan jurnal guru (teacher journal entries) yang dibuat dalam dua periode waktu yang berbeda:
Tranche Pertama: Dibuat selama transisi darurat awal pada Maret 2020, menangkap kebingungan, tekanan, dan adaptasi awal.
Tranche Kedua: Dibuat satu tahun kemudian, pada Mei 2021, dalam sebuah kelas yang sejak awal dirancang untuk daring, memungkinkan refleksi yang lebih matang.
Analisis data dilakukan secara tematik dan linguistik, di mana penulis secara cermat mengkodekan entri jurnalnya dan menganalisis pola-pola yang muncul, termasuk penggunaan pronomina ("saya" vs. "kami") dan kala verba (verb tenses) untuk mengungkap pergeseran dalam persepsi diri dan praktik pedagogis.
Kebaruan dari karya ini terletak pada penggunaan autoetnografi yang berani dan reflektif dalam konteks pendidikan EAP. Dengan mengubah lensa dari "melihat keluar" menjadi "melihat ke dalam," penelitian ini memberikan sebuah kontribusi yang unik dan otentik, menyajikan potret yang hidup mengenai bagaimana krisis eksternal dapat memicu renegosiasi fundamental terhadap siapa diri seorang guru di dalam ruang kelas.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis reflektif terhadap catatan jurnal menghasilkan serangkaian temuan yang melukiskan gambaran kompleks mengenai dampak transisi daring terhadap identitas dan praktik pedagogis penulis.
Regresi menuju Pedagogi yang Didominasi Guru: Salah satu temuan yang paling menonjol adalah adanya pergeseran yang tidak diinginkan dari filosofi pengajaran yang berpusat pada siswa menuju model yang lebih didominasi oleh guru. Sebelum pandemi, penulis secara sadar berupaya untuk menjadi fasilitator kerja kelompok dan mengurangi waktu bicara guru. Namun, di bawah tekanan pengajaran daring, ia menemukan dirinya kembali ke kerangka pelajaran yang lebih tradisional dan sintetik, di mana penyampaian konten diprioritaskan di atas pendekatan instruksional dan kebutuhan pembelajar. Hal ini tercermin dalam entri jurnal seperti, "Saya tidak bisa mencakup semua materi karena saya merasa itu terlalu banyak untuk satu kelas."
Pergeseran Identitas dari Fasilitator menjadi Manajer: Perubahan pedagogis ini secara langsung berdampak pada identitas profesional penulis. Analisis linguistik terhadap penggunaan pronomina menunjukkan adanya pergeseran fokus dari "kami" (yang menyiratkan dinamika kelas yang kolaboratif) menjadi "saya" (yang memposisikan guru sebagai agen tunggal yang mengelola dan menyampaikan informasi). Penulis merasa bahwa kecenderungan yang ada dalam repertoar mengajarnya untuk mengadopsi posisi yang lebih dominan sebagai "Manajer" menjadi diperkuat oleh realitas baru pengajaran daring.
Identitas sebagai Lokasi Pertarungan Internal: Transisi ini tidak berjalan mulus, melainkan dialami sebagai sebuah lokasi pertarungan dan konflik internal antara berbagai faset identitas guru. Penulis secara konstan berjuang untuk mendamaikan siapa dirinya (identitas yang terwujud dan refleksif) dengan citra yang mungkin diproyeksikan kepada para siswanya. Pengalaman ini digambarkan sebagai sebuah proses "deskilling" atau penurunan keterampilan, khususnya dalam kemampuannya untuk menciptakan ruang pendidikan yang berpusat pada siswa di bawah keadaan yang baru.
Secara kontekstual, temuan-temuan ini menunjukkan bahwa peralihan darurat ke pengajaran daring, tanpa persiapan atau deliberasi yang memadai, dapat secara signifikan mengikis praktik pedagogis progresif dan memaksa para pendidik untuk kembali ke mode "bertahan hidup" yang lebih instruksional dan berpusat pada guru.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Sebagai sebuah studi autoetnografis, keterbatasan utama dari penelitian ini adalah sifatnya yang sangat subjektif dan tidak dapat digeneralisasi. Pengalaman, refleksi, dan interpretasi yang disajikan adalah milik satu individu dalam satu konteks spesifik.
Secara kritis, meskipun tesis ini memberikan wawasan yang sangat kaya mengenai dunia internal seorang guru, ia secara alami kurang memberikan penekanan pada perspektif atau hasil belajar siswa. Hubungan antara perubahan identitas guru dengan pengalaman belajar siswa tetap menjadi area yang sebagian besar belum dieksplorasi dalam karya ini.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat signifikan. Ia menyoroti bahwa dukungan bagi para guru selama transisi digital harus melampaui sekadar pelatihan teknis mengenai penggunaan perangkat lunak. Diperlukan juga dukungan untuk mengatasi tantangan pedagogis, emosional, dan identitas yang menyertai perubahan mendasar dalam praktik mengajar.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini secara efektif berfungsi sebagai sebuah provokasi. Sebagaimana dinyatakan oleh penulis, hasil yang disajikan dapat mendorong para guru EAP lainnya untuk mengevaluasi secara kritis persepsi mereka sendiri terhadap praktik di kelas melalui prisma identitas mereka yang terus berubah. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan metode kualitatif lain (seperti studi kasus multi-situs atau narasi) untuk mengeksplorasi apakah pola regresi pedagogis dan pertarungan identitas ini merupakan fenomena yang lebih luas di kalangan pendidik selama pandemi.
Sumber
Kushkiev, P. S. (2022). A critical exploration of the evolving identity and online pedagogical realisations of an EAP teacher during the COVID-19 pandemic: an autoethnographic study at a Canadian public college. Doctoral Thesis, The University of Sheffield.
Pembelajaran Digital
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 22 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Di tengah pergeseran global menuju pendidikan daring dan lingkungan kerja jarak jauh, penguasaan kolaborasi virtual telah bertransformasi dari sekadar keahlian tambahan menjadi kompetensi fundamental. Tinjauan sistematis yang disajikan oleh Beth Oyarzun dan Florence Martin ini hadir sebagai sebuah pemetaan komprehensif, yang secara cermat membedah lanskap penelitian selama satu dekade terakhir mengenai Kolaborasi Pembelajar Daring (Online Learner Collaboration - OLC).
Penelitian ini berakar pada pengakuan bahwa kolaborasi merupakan keterampilan esensial yang dituntut di hampir semua bidang profesional, sebuah kebutuhan yang semakin dipertegas oleh meningkatnya tren kerja jarak jauh. Lingkungan pembelajaran daring, dengan segala kemajuan teknologinya, menawarkan platform yang ideal untuk membina kompetensi ini. Sejumlah kerangka teoretis yang mapan—seperti
Computer Supported Collaborative Learning (CSCL), Community of Inquiry (CoI), dan Tiga Jenis Interaksi Moore—telah lama menjadi landasan untuk memahami berbagai aspek dari pembelajaran kolaboratif daring. Namun, tinjauan-tinjauan literatur yang ada sebelumnya cenderung berfokus pada aspek-aspek yang spesifik dan terfragmentasi.
Masalah inti yang diidentifikasi oleh Oyarzun dan Martin adalah kurangnya sebuah tinjauan holistik yang mengintegrasikan berbagai elemen krusial dari OLC ke dalam satu kerangka kerja yang utuh. Untuk mengatasi kesenjangan ini, penulis mengajukan sebuah kerangka kerja OLC yang komprehensif, yang mencakup empat pilar: teknologi kolaboratif, desain, fasilitasi, dan hasil. Dengan menggunakan kerangka ini, tujuan utama dari studi ini adalah untuk melakukan tinjauan literatur sistematis terhadap penelitian OLC yang dipublikasikan selama satu dekade (2012-2021), guna mengidentifikasi pola publikasi, tren partisipan dan konteks, serta metodologi penelitian yang dominan.
Metodologi dan Kebaruan
Untuk mencapai tujuannya, penelitian ini mengadopsi metodologi Tinjauan Literatur Sistematis (Systematic Literature Review - SLR) yang ketat, dengan berpedoman pada protokol PRISMA (Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses). Proses ini melibatkan dua putaran pencarian kata kunci yang luas di berbagai basis data untuk menangkap semua jenis kolaborasi yang terjadi dalam konteks pembelajaran daring. Setelah melalui proses penyaringan yang sistematis, sebanyak
63 artikel penelitian orisinal dari jurnal-jurnal peer-reviewed yang dipublikasikan antara tahun 2012 dan 2021 dipilih untuk dianalisis secara mendalam.
Analisis data dilakukan secara kolaboratif menggunakan spreadsheet Google, dengan menerapkan proses pengkodean deduktif (berdasarkan penelitian sebelumnya) dan induktif (mengadaptasi kode selama proses analisis). Kebaruan dari karya ini terletak pada pendekatannya yang luas dan terintegrasi. Alih-alih hanya berfokus pada satu dimensi OLC, penelitian ini secara unik mensintesis temuan-temuan dari berbagai aspek—mulai dari pilihan teknologi hingga hasil afektif—ke dalam satu kerangka kerja yang koheren, sehingga menyajikan sebuah "peta" komprehensif dari lanskap penelitian OLC selama dekade terakhir.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis terhadap 63 artikel terpilih menghasilkan serangkaian temuan yang memberikan gambaran jelas mengenai tren dalam penelitian OLC.
Konteks dan Demografi Penelitian: Ditemukan bahwa sebagian besar penelitian OLC dilakukan dalam konteks pendidikan tinggi dan dalam disiplin ilmu Pendidikan (30,2%). Secara geografis, penelitian yang dilakukan di
Amerika Serikat (39,7%) mendominasi literatur yang ditinjau. Dari segi metodologi, ketiga pendekatan utama—kuantitatif, kualitatif, dan metode campuran—digunakan dalam proporsi yang hampir seimbang.
Teknologi Kolaboratif: Teknologi yang paling umum digunakan untuk memfasilitasi OLC adalah Learning Management Systems (LMS), papan diskusi, alat tulis kolaboratif, dan alat sinkron (misalnya, konferensi video). Temuan ini menggarisbawahi peran sentral LMS sebagai tulang punggung kursus daring, yang sering kali sudah terintegrasi dengan fungsionalitas seperti papan diskusi. Penggunaan alat sinkron yang luas juga menunjukkan pentingnya interaksi real-time dalam memfasilitasi kolaborasi.
Desain Kolaborasi: Metode kolaboratif yang paling dominan adalah proyek kelompok (59,2%) dan diskusi (25,0%). Ukuran kelompok yang paling umum adalah kelompok kecil, yang biasanya terdiri dari dua hingga lima mahasiswa. Dalam hal pembentukan kelompok, strategi yang paling sering digunakan adalah penugasan acak (random assignment), diikuti oleh pembentukan berdasarkan kriteria tertentu dan pembentukan oleh mahasiswa sendiri.
Fasilitasi Kolaborasi: Peran instruktur dalam OLC sangat multifaset. Temuan menunjukkan bahwa instruktur paling sering mengambil peran sebagai perancang (designer) aktivitas kolaboratif, fasilitator proses, pendukung (supporter), dan evaluator hasil kerja. Hal ini menegaskan bahwa fasilitasi yang efektif melampaui sekadar pemberian tugas, tetapi juga melibatkan desain yang cermat dan dukungan aktif selama proses berlangsung.
Hasil Kolaborasi (Peluang dan Tantangan):
Peluang: Tiga peluang teratas yang paling sering disebut dari implementasi OLC adalah peningkatan pembelajaran, pengembangan keterampilan komunikasi dan kolaborasi, dan pembangunan hubungan antar pembelajar.
Tantangan: Tantangan yang paling sering muncul adalah waktu (misalnya, kesulitan koordinasi jadwal), masalah teknis, serta kecemasan, ketakutan, atau stres yang dialami oleh pembelajar.
Fokus Hasil: Sebagian besar penelitian yang ditinjau berfokus pada hasil kognitif dan afektif, dengan fokus yang lebih sedikit pada hasil perilaku.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Penulis secara transparan mengakui beberapa keterbatasan dalam studi mereka. Dominasi penelitian dari Amerika Serikat mungkin disebabkan oleh bias karena para peneliti berbasis di AS dan hanya menganalisis artikel berbahasa Inggris, yang membatasi generalisasi temuan ke konteks global. Selain itu, jumlah istilah pencarian yang digunakan terbatas.
Sebagai refleksi kritis, meskipun pendekatan yang luas dari tinjauan ini merupakan kekuatan utamanya, hal ini mungkin datang dengan mengorbankan kedalaman analisis pada setiap elemen. Studi ini berhasil memetakan "apa" yang diteliti dalam OLC, namun mungkin tidak sepenuhnya menangkap nuansa "mengapa" tren-tren ini muncul atau "seberapa efektif" kombinasi teknologi, desain, dan fasilitasi yang berbeda dalam mencapai hasil pembelajaran yang spesifik.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, temuan dari tinjauan ini memiliki implikasi langsung bagi para instruktur dan desainer instruksional daring, dengan menyoroti teknologi dan metode desain yang paling umum digunakan serta tantangan yang perlu diantisipasi.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini secara implisit dan eksplisit menyarankan beberapa arah. Terdapat kebutuhan yang jelas untuk lebih banyak penelitian OLC di luar konteks AS dan di luar disiplin ilmu Pendidikan untuk memperluas pemahaman. Selain itu, penulis menyoroti perlunya standardisasi terminologi terkait OLC untuk membantu para peneliti menemukan riset yang relevan dengan lebih mudah. Sebagai refleksi akhir, dengan menyediakan sebuah kerangka kerja yang holistik dan peta lanskap penelitian yang komprehensif, Oyarzun dan Martin telah meletakkan fondasi yang kuat bagi para peneliti dan praktisi untuk secara lebih sistematis mempelajari dan mengimplementasikan aktivitas kolaborasi daring yang efektif.
Sumber
Oyarzun, B., & Martin, F. (2023). A Systematic Review of Research on Online Learner Collaboration from 2012-21: Collaboration Technologies, Design, Facilitation, and Outcomes. Online Learning, 27(1), 71-106. DOI: 10.24059/olj.v27i1.3453
Pembelajaran Digital
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 21 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada sebuah masalah yang melekat dalam pendidikan tinggi: proyek tesis sarjana, yang menuntut otonomi pembelajar yang tinggi, perencanaan yang unik, dan pembelajaran mandiri, secara fundamental berbeda dari mata kuliah biasa yang terstruktur. Namun, LMS yang umum digunakan saat ini dirancang untuk memfasilitasi model pengajaran tradisional, di mana dosen menyiapkan serangkaian aktivitas pembelajaran yang telah dijadwalkan untuk seluruh kelas. Akibatnya, platform-platform ini sering kali gagal menyediakan dukungan yang memadai untuk proses tesis yang lebih individual dan dinamis, yang pada gilirannya berkontribusi pada masalah-masalah yang telah lama diketahui seperti kurangnya motivasi dan keterlibatan mahasiswa.
Dengan berlandaskan pada kerangka kerja pedagogis dari lingkungan belajar konstruktivis, penelitian ini memposisikan pembelajaran mandiri (self-regulated learning) dan scaffolding (dukungan terstruktur) sebagai dua pilar teoretis utama. Hipotesis implisit yang mendasari karya ini adalah bahwa dengan merancang sebuah LMS yang secara eksplisit mendukung siklus pembelajaran mandiri (perencanaan, pelaksanaan, dan refleksi diri) dan menyediakan mekanisme scaffolding yang fleksibel, tantangan-tantangan yang melekat dalam proyek tesis dapat dimitigasi secara efektif. Tujuan utama dari studi ini adalah untuk mengembangkan sebuah kerangka kerja yang menyediakan prinsip-prinsip desain untuk
Learning Management Systems yang secara spesifik ditujukan untuk mendukung proyek tesis sarjana (selanjutnya disebut LMSTP).
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metode penelitian desain (design research), dengan menggunakan pendekatan teori desain eksplanatori untuk menghasilkan artefak utamanya: sebuah kerangka kerja desain. Proses metodologisnya sangat terstruktur. Pertama, penulis membagi proses tesis menjadi empat fase utama untuk menyederhanakan pengembangan kerangka kerja:
Inisiasi, Perencanaan, Implementasi, dan Finalisasi. Untuk setiap fase, serangkaian "Persyaratan Meta" (Meta-Requirements - MR) yang berakar pada teori pedagogis dirumuskan. Persyaratan ini kemudian diterjemahkan lebih lanjut menjadi komponen-komponen desain yang lebih konkret.
Untuk memvalidasi kerangka kerja yang diusulkan, penulis melakukan survei untuk mengumpulkan opini dari para pemangku kepentingan (mahasiswa dan pembimbing) mengenai dampak potensial dari fitur-fitur yang diusulkan.
Kebaruan dari karya ini tidak terletak pada pengembangan teori pedagogis baru, melainkan pada sintesisnya yang pragmatis dan aplikatif. Dengan secara sistematis menerjemahkan konsep-konsep seperti pembelajaran mandiri dan contingent scaffolding ke dalam serangkaian persyaratan desain yang dapat ditindaklanjuti, penelitian ini berhasil menjembatani kesenjangan antara teori pendidikan dan rekayasa perangkat lunak, menawarkan sebuah cetak biru yang konkret untuk inovasi dalam teknologi pendidikan.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Temuan utama dari penelitian ini adalah kerangka kerja desain itu sendiri, yang terdiri dari serangkaian persyaratan dan komponen yang dirancang untuk mendukung setiap fase proyek tesis.
Fase Inisiasi: Persyaratan utamanya (MR1) adalah bahwa mahasiswa harus dapat mengumpulkan dan menciptakan ide-ide yang relevan dengan masyarakat luas serta berinteraksi dengan pembimbing. Ini diterjemahkan menjadi komponen desain yang memfasilitasi pengumpulan ide dan interaksi awal antara mahasiswa dan pembimbing.
Fase Perencanaan: Persyaratan utamanya (MR2) adalah bahwa mahasiswa harus dapat membuat rencana proyek tesis yang komprehensif. Komponen desain yang diusulkan mencakup fungsi untuk memvisualisasikan rencana proyek dan, yang terpenting, menyediakan fungsi bagi mahasiswa untuk dapat memodifikasi rencana tersebut, yang mendukung otonomi pembelajar.
Fase Implementasi: Persyaratan utamanya (MR3) adalah bahwa sistem harus mendukung pembelajaran mandiri dan menyediakan scaffolding. Ini adalah bagian paling kaya dari kerangka kerja, dengan komponen desain yang mencakup:
Fungsi untuk meningkatkan perhatian dan keterlibatan mahasiswa.
Dukungan untuk interaksi ad-hoc dan bantuan yang disesuaikan (contingent scaffolding), yang mengakui bahwa setiap mahasiswa mungkin memerlukan jenis bantuan yang berbeda pada waktu yang berbeda.
Alat untuk kolaborasi sejawat (peer collaboration), yang dihipotesiskan dapat meningkatkan efikasi diri dan motivasi mahasiswa.
Alat komunikasi daring untuk meningkatkan interaksi antara mahasiswa dan pembimbing.
Fase Finalisasi: Persyaratan utamanya adalah bahwa sistem harus mendukung proses penulisan laporan akhir dan evaluasi diri. Komponen desain yang relevan mencakup fungsi-fungsi yang mendorong strategi refleksi diri.
Temuan dari survei validasi secara kuat mendukung kerangka kerja yang diusulkan. Ditemukan bahwa lebih dari 91% partisipan setuju bahwa fitur-fitur dalam kerangka kerja tersebut akan menciptakan dampak yang positif atau sangat positif, baik sebagai solusi umum maupun sebagai solusi spesifik untuk proyek tesis di fakultas mereka.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Penulis secara transparan mengakui keterbatasan utama dari penelitian ini, yaitu bahwa studi ini tidak menginvestigasi persyaratan dari perspektif administrator tesis.
Sebagai refleksi kritis, perlu dicatat bahwa kerangka kerja yang disajikan masih berada pada level konseptual. Validasi yang dilakukan didasarkan pada persepsi dan opini para pemangku kepentingan mengenai fitur-fitur yang diusulkan, bukan pada data penggunaan dari sebuah sistem yang telah diimplementasikan secara penuh. Efektivitas nyata dari sebuah LMSTP yang dibangun berdasarkan kerangka ini dalam meningkatkan hasil belajar atau mengurangi tingkat putus studi masih merupakan sebuah hipotesis yang perlu diuji secara empiris.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat signifikan. Ia menyediakan sebuah panduan yang komprehensif dan berbasis teori bagi para pengembang perangkat lunak pendidikan, desainer instruksional, dan administrator universitas yang ingin menciptakan atau mengadaptasi platform LMS agar lebih sesuai dengan kebutuhan unik dari proses pembimbingan tesis.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini secara efektif meletakkan fondasi untuk siklus penelitian selanjutnya. Langkah berikutnya yang paling logis adalah mengimplementasikan sebuah prototipe LMSTP berdasarkan kerangka kerja ini dan kemudian melakukan studi longitudinal untuk mengevaluasi dampaknya secara kuantitatif dan kualitatif terhadap pengalaman mahasiswa, interaksi pembimbing, dan kualitas hasil tesis. Selain itu, sebagaimana disarankan oleh penulis, penelitian selanjutnya harus memperluas analisis untuk mencakup persyaratan dari para administrator guna menciptakan solusi yang benar-benar holistik.
Sumber
Peiris, C. R., Männikkö Barbutiu, S., & Hansson, H. (2022). A Framework for Designing Learning Management Systems for Thesis Projects. Journal of Research Innovation and Implications in Education, 6(3), 1-18.
Pembelajaran Digital
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 15 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada sebuah permasalahan fundamental yang dihadapi oleh sistem pendidikan tinggi di Indonesia: kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kualitas secara komprehensif, yang mencakup input, proses, dan output. Para penulis mengidentifikasi bahwa di era digital, Learning Management System (LMS) telah menjadi alat yang tak terhindarkan, berfungsi sebagai platform teknologi informasi yang dirancang untuk mengelola dan mendukung setiap fase proses pembelajaran secara efektif. Di sisi lain, dalam konteks Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin Banten, faktor non-teknologi yang berakar pada nilai-nilai Islam, yaitu sikap Istiqamah, juga diposisikan sebagai variabel krusial. Istiqamah didefinisikan sebagai sikap teguh pendirian, berpegang pada kebenaran, dan komitmen yang konsisten, baik dalam perkataan, tindakan, maupun niat.
Dengan demikian, kerangka teoretis yang diusung oleh studi ini bersifat sosio-teknis, yang secara unik berupaya untuk mengintegrasikan pengaruh dari sebuah alat digital (LMS) dengan sebuah konstruk nilai karakter (Istiqamah) untuk menjelaskan variabel hasil yang kompleks (Kualitas Pendidikan). Hipotesis yang diajukan adalah bahwa baik LMS maupun nilai sikap Istiqamah memiliki pengaruh positif terhadap kualitas pendidikan. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki dan mengukur secara kuantitatif pengaruh dari kedua variabel independen tersebut, baik secara parsial maupun simultan, terhadap kualitas pendidikan.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metode kuantitatif dengan pendekatan survei. Pengumpulan data primer dilakukan melalui penyebaran kuesioner kepada populasi target, yaitu mahasiswa aktif di seluruh fakultas di UIN SMH Banten.
Untuk menganalisis data, penulis menggunakan teknik statistik yang canggih, yaitu Partial Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM), dengan bantuan perangkat lunak SmartPLS. Pendekatan ini memungkinkan pengujian simultan terhadap model pengukuran (outer model) dan model struktural (inner model). Proses metodologisnya mencakup serangkaian uji validitas dan reliabilitas yang ketat untuk memastikan kualitas instrumen, termasuk validitas konvergen (berdasarkan nilai loading factor), reliabilitas komposit, Cronbach's Alpha, dan Average Variance Extracted (AVE).
Kebaruan dari karya ini tidak terletak pada pengembangan teori baru, melainkan pada sintesis konseptualnya yang orisinal. Dengan secara eksplisit memodelkan pengaruh gabungan dari sebuah variabel teknologi modern dengan sebuah variabel nilai keislaman tradisional, penelitian ini memberikan sebuah perspektif yang kaya konteks dan sangat relevan bagi institusi pendidikan tinggi berbasis agama yang sedang menavigasi proses transformasi digital.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis data yang komprehensif menghasilkan temuan yang kuat pada tingkat model keseluruhan, namun menyajikan gambaran yang kompleks dan mengandung inkonsistensi dalam pelaporan pada tingkat pengaruh individual.
Pengaruh Gabungan yang Kuat: Temuan utama dari model struktural adalah bahwa variabel LMS dan nilai sikap Istiqamah secara bersama-sama memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap Kualitas Pendidikan. Nilai R-Square yang diperoleh adalah 0.793, yang mengindikasikan bahwa kedua variabel independen tersebut secara kolektif mampu menjelaskan 79,3% dari varians dalam variabel Kualitas Pendidikan. Ini adalah temuan yang signifikan, yang menunjukkan bahwa kombinasi antara infrastruktur teknologi dan karakter pembelajar merupakan prediktor yang sangat kuat bagi persepsi kualitas pendidikan.
Inkonsistensi pada Pengaruh Individual: Analisis terhadap jalur pengaruh individual menyajikan hasil yang kontradiktif di berbagai bagian laporan.
Pada satu sisi (di bagian abstrak dan hasil uji hipotesis awal), dilaporkan bahwa baik LMS (dengan T-statistik 3.526 > 1.96 dan P-value 0.000 < 0.05) maupun nilai sikap Istiqamah (dengan T-statistik 5.665 > 1.96 dan P-value 0.000 < 0.05) masing-masing memiliki pengaruh yang positif dan signifikan secara statistik terhadap Kualitas Pendidikan.
Namun, pada sisi lain (di bagian analisis Path Coefficients dan kesimpulan akhir), penulis menarik kesimpulan yang berbeda secara drastis. Dilaporkan bahwa LMS tidak secara signifikan mempengaruhi Kualitas Pendidikan, dan nilai Istiqamah juga ditemukan tidak memiliki pengaruh (dengan P-value 0.931 > 0.05).
Inkonsistensi pelaporan ini menjadi temuan yang paling menonjol secara metodologis, yang mengindikasikan adanya kemungkinan kesalahan dalam interpretasi atau penyajian data akhir.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Keterbatasan yang paling fundamental dari penelitian ini adalah adanya inkonsistensi internal yang signifikan dalam pelaporan hasil statistiknya. Kontradiksi antara hasil uji hipotesis awal dengan kesimpulan akhir mengenai pengaruh parsial dari LMS dan Istiqamah membuat interpretasi temuan menjadi sangat sulit dan mengurangi keandalan kesimpulan spesifiknya.
Selain itu, beberapa keterbatasan lain dapat diidentifikasi. Pertama, penelitian ini sepenuhnya bergantung pada data persepsi dari mahasiswa untuk mengukur ketiga konstruk, termasuk "Kualitas Pendidikan" yang merupakan konsep yang sangat luas dan multi-dimensi. Kedua, detail mengenai metode sampling dan ukuran sampel akhir tidak disajikan secara rinci, yang membatasi kemampuan untuk menilai generalisasi temuan. Terakhir, sifat penelitian yang bersifat cross-sectional hanya dapat mengidentifikasi hubungan asosiatif, bukan hubungan kausalitas yang definitif.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Meskipun terdapat kelemahan dalam pelaporan, penelitian ini secara praktis memberikan implikasi yang berharga. Ia menegaskan bahwa dalam upaya peningkatan mutu, institusi pendidikan tinggi (khususnya yang berbasis agama) perlu mempertimbangkan secara seimbang antara investasi dalam infrastruktur teknologi dengan program-program pembinaan karakter. Diskusi dalam paper ini mengenai bagaimana LMS dapat digunakan untuk mendukung internalisasi nilai-nilai seperti Istiqamah (misalnya, melalui forum diskusi atau pelacakan kemajuan) menawarkan wawasan yang dapat ditindaklanjuti.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini secara jelas menggarisbawahi perlunya studi replikasi yang dilakukan dengan rigor metodologis yang lebih tinggi dan pelaporan yang konsisten untuk mengklarifikasi hubungan kausal yang sebenarnya. Selain itu, penelitian kualitatif melalui studi kasus mendalam dapat memberikan pemahaman yang lebih kaya mengenai bagaimana dan mengapa sikap Istiqamah (atau ketiadaannya) berinteraksi dengan penggunaan teknologi pembelajaran dalam membentuk pengalaman dan hasil belajar mahasiswa.
Sumber
Ansori, A., Tarihoran, N., & Nugraha, E. (2024). The Influence of Learning Management Systems (LMS) and the Value of Istiqamah Attitude on the Quality of Education. International Journal of Education, Teaching, and Social Science, 4(1).
Pembelajaran Digital
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 15 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Perdebatan mengenai efektivitas relatif antara pendidikan daring (online) dan tatap muka (face-to-face - FtF) telah menjadi diskursus sentral dalam literatur pendidikan tinggi selama beberapa dekade. Namun, pandemi COVID-19 pada tahun 2020 berfungsi sebagai katalisator yang mentransformasi perdebatan ini dari ranah teoretis menjadi sebuah eksperimen global berskala masif, memaksa institusi pendidikan di seluruh dunia untuk beralih ke mode instruksi virtual. Karya Duha Tore Altindag, Elif S. Filiz, dan Erdal Tekin yang berjudul, "Is Online Education Working?," menyajikan sebuah investigasi empiris yang mendalam dan relevan untuk menjawab pertanyaan fundamental ini. Masalah inti yang diangkat adalah ketidakpastian mengenai dampak kausal dari modalitas instruksi terhadap hasil belajar mahasiswa, sebuah isu yang diperumit oleh masalah seleksi mandiri (self-selection), di mana mahasiswa yang memilih kelas daring mungkin secara inheren berbeda dalam hal motivasi, pencapaian akademik sebelumnya, atau gaya belajar dibandingkan mereka yang memilih kelas tatap muka.
Kerangka teoretis penelitian ini dibangun di atas tinjauan literatur yang komprehensif, merangkum temuan-temuan kunci dari studi-studi sebelumnya. Para penulis merujuk pada serangkaian penelitian eksperimental (misalnya, Figlio et al., 2013) yang, meskipun berskala kecil, secara umum menunjukkan bahwa instruksi FtF cenderung menghasilkan hasil akademik yang sedikit lebih unggul, terutama bagi kelompok mahasiswa tertentu. Di sisi lain, studi kuasi-eksperimental yang menggunakan data administratif berskala besar (misalnya, Hart et al., 2018; Bettinger et al., 2017) juga secara konsisten menemukan bahwa mahasiswa cenderung berkinerja lebih buruk di kelas daring.
Namun, penelitian ini secara eksplisit memposisikan dirinya untuk melampaui studi-studi yang ada dengan beberapa cara yang krusial. Pertama, tidak seperti mayoritas riset yang berfokus pada data pra-pandemi, studi ini memanfaatkan data longitudinal yang unik yang mencakup tujuh semester sebelum pandemi dan lima semester setelahnya, memungkinkan analisis dinamika yang berubah dari waktu ke waktu. Kedua, penelitian ini memperluas cakupan analisis heterogenitasnya, tidak hanya melihat demografi mahasiswa tetapi juga dampaknya pada mahasiswa program kehormatan (honors) dan mahasiswa pascasarjana, sebuah area yang sebelumnya kurang dieksplorasi. Terakhir, studi ini menyajikan sebuah analisis inovatif mengenai peran perangkat lunak pengawasan ujian (proctoring software) dalam memoderasi hubungan antara modalitas instruksi dan kinerja akademik.
Metodologi dan Kebaruan
Untuk mengatasi tantangan bias seleksi yang melekat, penelitian ini mengadopsi metodologi kuasi-eksperimental yang canggih dengan menggunakan data administratif tingkat transkrip dari sebuah universitas riset publik berukuran sedang di Amerika Serikat. Sumber data yang kaya ini mencakup dua belas semester, dari Musim Gugur 2016 hingga Musim Semi 2022, memberikan kekuatan statistik yang luar biasa dan kemampuan untuk melacak tren dari waktu ke waktu.
Model ekonometrik yang digunakan adalah model regresi fixed effects (efek tetap) yang komprehensif. Pendekatan ini merupakan kebaruan metodologis utama dari studi ini, karena ia memungkinkan peneliti untuk mengontrol secara ketat berbagai sumber variasi yang tidak teramati yang dapat mengacaukan hasil. Secara spesifik, model ini mencakup:
Efek Tetap Mahasiswa (Student Fixed Effects): Mengontrol karakteristik mahasiswa yang tidak berubah dari waktu ke waktu (seperti kemampuan bawaan atau motivasi intrinsik) dengan membandingkan kinerja seorang mahasiswa di kelas daring dengan kinerjanya sendiri di kelas tatap muka.
Efek Tetap Mata Kuliah (Course Fixed Effects): Mengontrol perbedaan inheren dalam tingkat kesulitan antar mata kuliah dengan membandingkan kinerja mahasiswa dalam mata kuliah yang sama yang ditawarkan dalam kedua modalitas.
Efek Tetap Instruktur (Instructor Fixed Effects): Mengontrol variasi dalam gaya mengajar atau standar penilaian antar instruktur dengan membandingkan hasil dari kelas daring dan tatap muka yang diajar oleh instruktur yang sama.
Variabel hasil utama yang dianalisis mencakup empat metrik kinerja: tingkat penarikan diri dari mata kuliah (withdrawal rate), tingkat kelulusan (pass rate), kemungkinan mendapatkan nilai A, dan nilai akhir numerik (skala 0-4). Selain itu, penelitian ini juga menguji dampak jangka panjang terhadap kemungkinan mengulang mata kuliah, kelulusan tepat waktu, dan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) saat kelulusan.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis data yang rigor menghasilkan serangkaian temuan kuantitatif yang memberikan wawasan bernuansa mengenai dinamika pembelajaran daring dan tatap muka.
Pertama, analisis deskriptif awal mengonfirmasi adanya "keunggulan FtF" yang signifikan pada periode pra-pandemi. Mahasiswa di kelas tatap muka secara konsisten menunjukkan tingkat penarikan diri yang lebih rendah, serta tingkat kelulusan dan nilai akhir yang lebih tinggi dibandingkan rekan-rekan mereka di kelas daring. Namun, temuan yang menarik adalah bahwa kesenjangan ini secara signifikan menyempit pada periode pasca-pandemi, menunjukkan adanya kemungkinan peningkatan kualitas atau adaptasi terhadap pembelajaran daring.
Kedua, hasil regresi fixed effects utama menguatkan temuan deskriptif ini. Setelah mengontrol berbagai faktor perancu, ditemukan bahwa pada periode pra-pandemi, instruksi FtF secara signifikan mengurangi kemungkinan mahasiswa menarik diri (sebesar 2,3 poin persentase), meningkatkan kemungkinan lulus (sebesar 4,2 poin persentase), dan menghasilkan nilai akhir yang lebih tinggi (sebesar 0,109 poin). Namun, analisis tren dari waktu ke waktu menunjukkan bahwa keunggulan FtF ini secara bertahap menurun dan sebagian besar menghilang pada semester-semester pasca-pandemi. Bahkan, pada beberapa semester awal setelah pandemi (Musim Gugur 2020 dan Musim Semi 2021), mahasiswa di kelas daring menunjukkan kinerja yang sedikit lebih unggul dalam hal perolehan nilai A dan nilai akhir, sebelum akhirnya kedua modalitas kembali menunjukkan kinerja yang konvergen.
Ketiga, penelitian ini mengungkap dampak jangka panjang yang signifikan. Mahasiswa dengan proporsi kelas FtF yang lebih tinggi secara signifikan lebih mungkin untuk lulus tepat waktu, membutuhkan jumlah semester yang lebih sedikit untuk menyelesaikan studi, dan meraih IPK kelulusan yang lebih tinggi. Sebagai contoh, mahasiswa yang mengambil 90-100% mata kuliah mereka secara tatap muka memiliki kemungkinan 5,3 poin persentase lebih tinggi untuk lulus tepat waktu dibandingkan dengan mereka yang mengambil kurang dari 50% kelas FtF. Temuan ini mengindikasikan bahwa meskipun kinerja dalam satu mata kuliah daring mungkin sebanding, pengalaman pendidikan yang didominasi oleh mode daring dapat memiliki konsekuensi negatif kumulatif.
Terakhir, analisis mengenai penggunaan layanan pengawasan ujian (proctoring) menghasilkan temuan yang menarik. Penggunaan perangkat lunak proctoring secara umum berkorelasi dengan kinerja akademik yang lebih rendah di kedua modalitas, baik daring maupun tatap muka. Hal ini menunjukkan bahwa alih-alih hanya mencegah kecurangan, alat ini mungkin juga menimbulkan stres atau hambatan lain yang berdampak negatif pada hasil ujian.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Meskipun metodologinya kuat, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang perlu diakui. Pertama, karena data berasal dari satu universitas riset publik, generalisasi temuan ke jenis institusi lain (misalnya, community colleges atau universitas swasta) harus dilakukan dengan hati-hati. Kedua, meskipun model fixed effects sangat efektif dalam mengontrol bias seleksi yang tidak berubah dari waktu ke waktu, ia mungkin tidak sepenuhnya menangkap faktor-faktor perancu yang bervariasi seiring waktu (misalnya, perubahan dalam dukungan teknologi atau pelatihan dosen).
Secara kritis, penelitian ini, karena sifat kuantitatifnya, tidak dapat membongkar "kotak hitam" dari proses pembelajaran itu sendiri. Data log menunjukkan apa yang terjadi pada hasil akhir, tetapi tidak dapat menjelaskan mengapa perbedaan tersebut muncul. Faktor-faktor kualitatif seperti tingkat keterlibatan mahasiswa, kualitas interaksi, atau efektivitas desain pedagogis spesifik tidak dapat diukur melalui data administratif semata.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, temuan dari penelitian ini memberikan implikasi yang signifikan bagi para pembuat kebijakan di tingkat institusional. Kesimpulan bahwa kesenjangan kinerja antara pendidikan daring dan tatap muka telah menyempit menunjukkan bahwa investasi dalam teknologi dan pedagogi daring kemungkinan besar telah membuahkan hasil. Namun, temuan mengenai dampak negatif kumulatif terhadap kelulusan tepat waktu dan IPK menyiratkan bahwa model pendidikan yang sepenuhnya daring mungkin bukan merupakan pengganti yang sempurna untuk pengalaman kampus tradisional. Hasil mengenai perangkat lunak proctoring juga menyarankan perlunya evaluasi yang cermat terhadap biaya dan manfaat dari alat pengawasan tersebut.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini membuka beberapa jalan yang menjanjikan. Ada kebutuhan mendesak untuk penelitian metode campuran yang mengintegrasikan analisis data log kuantitatif dengan data kualitatif (seperti wawancara atau survei) untuk memahami mekanisme di balik temuan ini. Studi replikasi di berbagai jenis institusi dan negara akan sangat berharga untuk menguji kekokohan model ini. Terakhir, penelitian eksperimental yang dirancang untuk mengisolasi dampak dari komponen-komponen spesifik dalam pembelajaran daring (misalnya, interaksi sinkron vs. asinkron, berbagai jenis penilaian) dapat memberikan panduan yang lebih preskriptif untuk desain kursus yang efektif di masa depan.
Sumber
Altindag, D. T., Filiz, E. S., & Tekin, E. (2024). Is Online Education Working?. NBER Working Paper No. 29113. National Bureau of Economic Research. http://www.nber.org/papers/w29113
Pembelajaran Digital
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 14 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Di era pasca-pandemi, pembelajaran daring telah bertransformasi dari sebuah alternatif menjadi komponen integral dalam ekosistem pendidikan tinggi. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada pemahaman mendalam mengenai dinamika interaksi di ruang virtual. Karya Byung-Hak Leem yang berjudul, "Impact of interactivity on learning outcome in online learning settings," menyajikan sebuah investigasi kuantitatif yang cermat untuk menjawab pertanyaan fundamental: Bagaimana berbagai bentuk interaksi—antara siswa, fakultas, konten, dan sistem—secara nyata mempengaruhi pencapaian akademik?
Kerangka teoretis penelitian ini secara solid berlabuh pada dua model pedagogis yang telah mapan. Pertama, model Community of Inquiry (CoI), yang mengidentifikasi tiga elemen inti yang saling tumpang tindih—kehadiran kognitif, kehadiran sosial, dan kehadiran mengajar—sebagai fondasi untuk pembelajaran yang mendalam dan bermakna. Kedua, model interaksi yang diperluas dari Moore, yang mencakup empat jenis interaksi krusial: siswa-konten, siswa-pengajar, siswa-siswa, dan siswa-sistem (antarmuka teknologi). Dengan mengintegrasikan kedua kerangka ini, penulis merumuskan serangkaian hipotesis yang bertujuan untuk menguji secara empiris dampak positif dari interaksi siswa-konten (catatan dan video kuliah), interaksi siswa-fakultas (melalui messenger dan Zoom), dan interaksi siswa-platform LMS (tampilan halaman dan waktu tinggal) terhadap hasil belajar.
Metodologi dan Kebaruan
Untuk menguji hipotesisnya, penelitian ini mengadopsi metodologi kuantitatif yang canggih dengan menggunakan model logit ordinal. Pilihan metodologis ini sangat tepat karena variabel dependen—kinerja akademik siswa yang direpresentasikan dalam bentuk nilai (A, B, C, D, F)—bersifat kategorikal dan memiliki tingkatan yang terurut, sebuah karakteristik data yang tidak dapat dianalisis secara akurat menggunakan model regresi linear standar.
Sumber data utama berasal dari log data platform Learning Management System (LMS) CANVAS dari tiga mata kuliah daring di sebuah universitas di Korea selama semester musim semi 2022, dengan total sampel sebanyak 166 mahasiswa. Penggunaan data log web ini menjadi kebaruan utama dari penelitian ini. Alih-alih mengandalkan kuesioner atau wawancara yang bersifat subjektif, studi ini mengukur interaksi secara objektif melalui metrik digital seperti tingkat penyelesaian unduhan materi, jumlah pesan yang dipertukarkan, waktu yang dihabiskan dalam sesi Zoom, serta jumlah tampilan halaman dan total waktu tinggal di LMS. Pendekatan ini memungkinkan analisis yang lebih berbasis bukti mengenai perilaku aktual pembelajar.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis data menggunakan model logit ordinal menghasilkan serangkaian temuan yang memberikan wawasan yang jelas dan dapat ditindaklanjuti. Secara umum, ditemukan bahwa interaksi siswa-konten, siswa-fakultas (melalui messenger), dan siswa-platform secara signifikan dan positif mempengaruhi hasil belajar.
Temuan yang paling menonjol adalah peringkat pengaruh dari berbagai atribut interaktivitas, yang diukur melalui nilai odds ratio:
Interaksi Siswa-Catatan Kuliah: Atribut ini menunjukkan pengaruh yang luar biasa besar, dengan odds ratio mencapai 45.898,8. Ini mengindikasikan bahwa keterlibatan aktif dengan materi kuliah tertulis adalah prediktor terkuat dari keberhasilan akademik.
Interaksi Siswa-Video Kuliah: Menempati peringkat kedua dengan odds ratio 99,4, menegaskan pentingnya konten multimedia yang dirancang dengan baik.
Interaksi Siswa-Platform (Tampilan Halaman): Dengan odds ratio 20,5, temuan ini menyoroti bahwa navigasi aktif dan eksplorasi di dalam LMS berkorelasi positif dengan kinerja.
Interaksi Siswa-Fakultas (Messenger): Komunikasi satu-ke-satu melalui pesan instan menunjukkan pengaruh yang signifikan dengan odds ratio 5,9.
Interaksi Siswa-Platform (Waktu Tinggal): Total waktu yang dihabiskan di LMS juga menjadi faktor yang signifikan, dengan odds ratio 5,5.
Secara kontras, temuan yang juga sangat penting adalah bahwa interaksi siswa-fakultas melalui Zoom tidak ditemukan memiliki efek yang signifikan secara statistik terhadap hasil belajar. Temuan ini mengontekstualisasikan bahwa, dalam lingkungan pembelajaran daring, kualitas dan aksesibilitas konten asinkron (catatan dan video) serta kemudahan penggunaan platform LMS memiliki dampak yang jauh lebih besar terhadap kinerja siswa dibandingkan dengan interaksi sinkron melalui konferensi video.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Penulis secara transparan mengakui beberapa keterbatasan dalam penelitiannya. Pertama, studi ini dilakukan hanya pada satu departemen di satu universitas, sehingga generalisasi temuannya ke konteks yang lebih luas harus dilakukan dengan hati-hati. Kedua, penelitian ini tidak berhasil menangkap data interaksi antar-siswa, karena mereka cenderung menggunakan platform komunikasi pribadi di luar LMS. Ketiga, analisis yang hanya didasarkan pada data log tidak dapat menangkap nuansa kualitatif dari interaksi; misalnya, ia mengukur kuantitas waktu yang dihabiskan, bukan kualitas dari keterlibatan kognitif selama waktu tersebut.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, temuan ini memberikan implikasi yang sangat kuat bagi universitas dan desainer instruksional. Pesan utamanya adalah bahwa investasi sumber daya harus diprioritaskan pada pengembangan konten pembelajaran asinkron yang berkualitas tinggi dan mudah diakses (baik teks maupun video) serta pada penyediaan platform LMS yang ramah pengguna dan andal. Ini terbukti lebih berdampak daripada sekadar menambah jumlah sesi sinkron.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini membuka jalan bagi studi replikasi di berbagai institusi dan disiplin ilmu untuk menguji kekokohan temuan ini. Ada juga kebutuhan mendesak untuk mengembangkan metode guna menangkap dan menganalisis interaksi antar-siswa yang sering kali "tersembunyi". Terakhir, mengintegrasikan analisis data log kuantitatif dengan metode kualitatif (seperti wawancara atau analisis forum diskusi) dapat memberikan pemahaman yang lebih holistik mengenai bagaimana dan mengapa berbagai bentuk interaksi berkontribusi—atau gagal berkontribusi—terhadap pembelajaran yang bermakna.
Sumber
Leem, B.-H. (2023). Impact of interactivity on learning outcome in online learning settings: Ordinal logit model. International Journal of Engineering Business Management, 15, 1-10. DOI: 10.1177/18479790231203107