Pembangunan Daerah
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 21 Mei 2025
Pendahuluan
Ketahanan pangan telah menjadi isu strategis dan multidimensi dalam pembangunan nasional, terlebih di era globalisasi dan perubahan iklim yang tidak menentu. Dalam konteks Provinsi Banten, isu ini menjadi semakin penting karena wilayah tersebut merupakan penyangga ibukota negara dan berperan sebagai pintu gerbang Jawa-Sumatera. Paper yang ditulis oleh Yeni Budiawati dan Ronnie S. Natawidjaja berjudul “Situasi dan Gambaran Ketahanan Pangan di Provinsi Banten Berdasarkan Peta FSVA dan Indikator Ketahanan Pangan” yang diterbitkan dalam Jurnal Agribisnis Terpadu Vol. 13 No. 2, 2020, memberikan potret komprehensif atas ketahanan pangan wilayah ini dengan membandingkan dua pendekatan metodologis: Peta FSVA tahun 2018 dan studi Deby Eryani Setiawan et al. (2017).
Artikel ini akan menguraikan secara analitis bagaimana indikator-indikator tersebut membentuk pemetaan kerawanan pangan, menjelaskan urgensi tiap indikator, serta menyoroti kesenjangan spasial yang terjadi antardaerah dalam Provinsi Banten.
Latar Belakang
Isu ketahanan pangan bukan sekadar soal ketersediaan beras atau kecukupan kalori, melainkan menyangkut hak fundamental setiap warga untuk memperoleh akses terhadap pangan yang bergizi, aman, dan terjangkau secara berkelanjutan. Di tengah kompleksitas tantangan global seperti perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, konversi lahan pertanian, hingga pandemi, ketahanan pangan menjadi indikator utama kesejahteraan dan stabilitas sosial suatu wilayah.
Provinsi Banten sebagai daerah strategis dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan urbanisasi yang cepat menghadapi tantangan tersendiri dalam menjaga ketahanan pangan. Wilayah ini memiliki profil geografis yang beragam—dari kawasan pesisir, pegunungan, hingga urban-industrial. Kondisi ini menciptakan ketimpangan akses dan pemanfaatan pangan antarwilayah, yang berimplikasi pada meningkatnya angka stunting, rendahnya pendidikan gizi, serta ketergantungan pada distribusi pangan dari luar daerah.
Untuk itu, penting adanya pemetaan dan analisis berbasis data spasial guna memahami situasi riil ketahanan pangan di setiap kabupaten/kota di Provinsi Banten. Paper yang ditulis oleh Yeni Budiawati dan Ronnie S. Natawidjaja ini hadir untuk menjawab kebutuhan tersebut, dengan membandingkan dua sumber utama data indikator ketahanan pangan: FSVA (Food Security and Vulnerability Atlas) tahun 2018 dan penelitian oleh Setiawan et al. (2017). Penelitian ini tidak hanya mengukur level kerawanan pangan, tetapi juga memetakan wilayah prioritas intervensi dan menyusun dasar kebijakan berbasis bukti yang lebih kontekstual.
Kerangka Analisis Ketahanan Pangan
Apa Itu Ketahanan Pangan?
Merujuk pada UU No. 18 Tahun 2012, ketahanan pangan tidak hanya berarti tersedianya pangan dalam jumlah dan mutu yang cukup, tetapi juga menekankan pada aksesibilitas individu terhadap pangan yang aman, bergizi, dan terjangkau. Berdasarkan Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) dan konsep dari World Food Programme (WFP), ketahanan pangan ditentukan oleh tiga pilar utama:
Ketersediaan pangan (food availability),
Akses pangan (food access), dan
Pemanfaatan pangan (food utilization).
FSVA memperluasnya dengan memasukkan kerentanan terhadap pangan transien, seperti bencana alam, deforestasi, hingga fluktuasi curah hujan.
Metodologi dan Pendekatan Perbandingan
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-komparatif dengan membandingkan Peta FSVA tahun 2018 yang mencakup 9 indikator dengan penelitian Deby Eryani Setiawan et al. yang menggunakan 6 indikator. Fokus utama adalah menganalisis persebaran ketahanan pangan serta indikator-indikator kritis yang memengaruhi ketahanan tersebut pada level kabupaten/kota di Banten.
Temuan Utama dan Analisis Mendalam
1. Rasio Konsumsi vs Ketersediaan Pangan
Menurut FSVA, wilayah Banten terbagi menjadi tiga zona:
Surplus tinggi (barat),
Surplus sedang (timur),
Surplus rendah (utara).
Analisis:
Meski secara keseluruhan surplus, pola ini mengindikasikan ketimpangan distribusi. Surplus tidak otomatis menjamin keamanan pangan di level rumah tangga karena keterbatasan akses dan distribusi logistik.
2. Stunting dan Gizi Buruk
Stunting mencapai 30-39% (FSVA), bahkan >40% (Setiawan et al.). Gizi buruk juga signifikan di beberapa kecamatan.
Analisis:
Ini adalah indikator paling mengkhawatirkan. Tingginya angka stunting dan gizi buruk menunjukkan permasalahan sistemik dalam pemanfaatan pangan dan akses gizi berkualitas. Wilayah seperti Kabupaten Pandeglang mencatat angka stunting sebesar 37,8%—salah satu yang tertinggi di Indonesia.
3. Akses terhadap Air Bersih dan Listrik
Sebagian besar rumah tangga di wilayah selatan tidak memiliki akses air bersih (60–70%).
Akses listrik membaik, tetapi masih ada wilayah tanpa sambungan (Level <10%).
Analisis:
Ketiadaan air bersih memperparah masalah gizi dan kesehatan. Listrik berpengaruh pada penyimpanan makanan dan akses terhadap informasi pangan.
4. Lama Sekolah Perempuan
Sebagian besar perempuan di atas usia 15 tahun hanya menempuh pendidikan 6–8,5 tahun. Hal ini tergolong rendah dan menjadi indikator penting dalam pemanfaatan pangan.
Analisis:
Edukasi perempuan sangat penting dalam pola konsumsi rumah tangga, pemilihan makanan sehat, dan pengasuhan anak. Daerah dengan tingkat pendidikan rendah lebih berisiko mengalami kerentanan pangan.
5. Proporsi Pengeluaran untuk Pangan
Sebagian besar rumah tangga menghabiskan 30–40% pendapatannya untuk makanan. Angka ini cukup tinggi dan menunjukkan keterbatasan ekonomi masyarakat.
Analisis:
Semakin besar proporsi pengeluaran untuk makanan, semakin sedikit dana untuk pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan penting lainnya. Ini memperkuat lingkaran setan kemiskinan dan rawan pangan.
6. Angka Harapan Hidup dan Rasio Tenaga Kesehatan
Angka harapan hidup 64–70 tahun.
Rasio tenaga kesehatan <5 per wilayah (baik).
Analisis:
Indikator ini tergolong positif dan mencerminkan perkembangan layanan dasar. Namun, tidak boleh mengaburkan fakta bahwa aspek lain seperti stunting masih menjadi masalah besar.
Ketimpangan Wilayah: Kota vs Kabupaten
Indeks Ketahanan Pangan (IKP) menunjukkan disparitas antarwilayah:
Kota Serang memiliki skor IKP terendah: 59,16 (kategori rawan pangan).
Kota Tangerang Selatan memiliki skor tertinggi: 83,33 (kategori sangat tahan pangan).
Analisis:
Kota besar umumnya memiliki infrastruktur dan akses pasar yang lebih baik, sedangkan daerah seperti Serang dan Pandeglang masih tertinggal secara struktural dan sosial. Hal ini membutuhkan pendekatan yang lebih kontekstual dan kebijakan yang tidak seragam (tailored policy).
Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi
Fokus pada Intervensi Gizi Anak
Prioritaskan pemberantasan stunting dan gizi buruk melalui program pangan bergizi di sekolah dan posyandu.
Pembangunan Infrastruktur Dasar
Perluasan jaringan air bersih dan listrik ke wilayah perdesaan harus menjadi prioritas.
Edukasi dan Pemberdayaan Perempuan
Program literasi dan pelatihan gizi untuk ibu rumah tangga bisa berdampak signifikan pada ketahanan pangan keluarga.
Distribusi Pangan Berkeadilan
Sistem distribusi pangan perlu ditata ulang agar surplus pangan di satu wilayah dapat menutupi kekurangan di wilayah lain secara efisien.
Pemanfaatan Data Spasial
Data FSVA dan pemetaan spasial bisa digunakan secara aktif oleh pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan berbasis bukti.
Kritik dan Perbandingan dengan Studi Lain
Dibandingkan dengan studi serupa di Sulawesi Utara (Purwantini et al., 2002), ditemukan pola serupa: surplus pangan di level regional tidak menjamin keamanan pangan di level rumah tangga. Hal ini menunjukkan pentingnya memperhatikan akses dan pemanfaatan, bukan hanya produksi.
Kesimpulan
Studi ini memberikan wawasan kritis bahwa meskipun Provinsi Banten secara umum masuk dalam kategori "tahan pangan" berdasarkan peta FSVA, namun masih terdapat disparitas signifikan antarwilayah dan indikator. Ketahanan pangan harus dilihat secara menyeluruh: dari ketersediaan, akses, hingga pemanfaatan. Fokus intervensi tidak hanya pada kuantitas produksi tetapi juga kualitas konsumsi dan distribusi yang merata.
Sumber
Yeni Budiawati dan Ronnie S. Natawidjaja. Situasi dan Gambaran Ketahanan Pangan di Provinsi Banten Berdasarkan Peta FSVA dan Indikator Ketahanan Pangan. Jurnal Agribisnis Terpadu, Vol. 13 No. 2, Desember 2020. ISSN 1979-4991.
Pembangunan Daerah
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 20 Mei 2025
Pendahuluan
Pembangunan daerah yang merata menjadi tantangan klasik dalam perencanaan ekonomi Indonesia. Provinsi Banten sebagai salah satu wilayah yang berkembang pesat ternyata menyimpan ironi: beberapa daerahnya masih tergolong tertinggal. Skripsi karya Mega Suci Rahmawati ini mencoba menjawab pertanyaan kunci—apa saja potensi ekonomi yang bisa dikembangkan dari wilayah tertinggal di Provinsi Banten selama 2015 hingga 2020?
Dengan pendekatan kuantitatif deskriptif, penulis mengombinasikan metode analisis Location Quotient (LQ), Shift Share, dan Tipologi Klassen. Ketiga metode ini digunakan untuk mengukur sektor-sektor unggulan, daya saing sektoral, serta klasifikasi perkembangan ekonomi di tiap daerah.
Metodologi
1. Location Quotient (LQ)
Metode ini digunakan untuk mengetahui sektor ekonomi mana yang menjadi basis (unggulan) dan mana yang bukan. Sektor basis ditunjukkan oleh nilai LQ > 1.
2. Shift Share
Analisis ini membandingkan pertumbuhan sektor di suatu daerah dengan rata-rata pertumbuhan sektor di wilayah yang lebih luas (dalam hal ini Provinsi Banten), untuk mengukur daya saing sektoral.
3. Tipologi Klassen
Klasifikasi pertumbuhan dan kontribusi sektoral dilakukan dalam empat kuadran: sektor maju dan berkembang pesat, sektor maju tetapi tertekan, sektor potensial, dan sektor tertinggal.
Temuan Utama
Ketimpangan PDRB yang Mencolok
Nilai Indeks Williamson rata-rata sebesar 0,93 menunjukkan ketimpangan tinggi antar wilayah di Provinsi Banten. Kota Cilegon menjadi kontributor tertinggi terhadap PDRB per kapita dengan 28%, sementara Kabupaten Pandeglang dan Lebak hanya menyumbang 4%—indikasi kuat akan disparitas ekonomi regional.
Analisis Per Sektor
A. Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan – Sektor Unggulan yang Terlupakan
Kabupaten Pandeglang dan Lebak menunjukkan nilai LQ > 5 secara konsisten sepanjang 2015–2020. Dengan kontribusi sektor ini terhadap PDRB sebesar 31,7% untuk Pandeglang dan 25,97% untuk Lebak, potensi ini seharusnya menjadi prioritas dalam perencanaan pembangunan.
B. Transportasi dan Pergudangan – Momentum Baru
Pandeglang dan Lebak mengalami peningkatan dalam sektor transportasi, terbukti dari nilai LQ yang meningkat hingga 1,368 di Lebak dan 1,312 di Pandeglang pada 2020. Hal ini membuka peluang penguatan infrastruktur dan distribusi barang yang sebelumnya terhambat.
C. Sektor Industri – Potensi Tersembunyi yang Belum Tersentuh
Sektor industri pengolahan masih menunjukkan nilai LQ < 1 di Lebak dan Pandeglang, yang artinya belum menjadi sektor basis. Namun, dengan strategi hilirisasi dan industrialisasi berbasis hasil pertanian, sektor ini bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi daerah.
Interpretasi Lanjut
Data menunjukkan adanya korelasi kuat antara rendahnya kontribusi PDRB dan tidak optimalnya pemanfaatan sektor basis. Misalnya, tingginya nilai LQ di sektor pertanian tidak dibarengi dengan kebijakan afirmatif pemerintah dalam membangun industri pengolahan hasil tani di daerah tertinggal.
Sebaliknya, sektor jasa seperti real estate dan informasi komunikasi yang berkembang di kota-kota besar tidak memberikan dampak signifikan ke daerah pedalaman. Ini menunjukkan bahwa polarisasi pembangunan antara pusat dan pinggiran di Banten masih sangat tajam.
Kritik terhadap Kebijakan Pembangunan Daerah
Meskipun otonomi daerah memberikan ruang untuk inovasi dan pengelolaan sumber daya lokal, kebijakan sektoral yang diterapkan seringkali tidak selaras dengan potensi riil di lapangan. Sebagai contoh, pembangunan infrastruktur besar-besaran di kota justru memperdalam ketimpangan dibanding menjembatani jurang pembangunan.
Saran Mega untuk revitalisasi sektor basis dan pemberdayaan sektor non-basis secara proporsional merupakan langkah rasional. Namun, tanpa koordinasi lintas sektor dan dukungan kebijakan fiskal yang progresif, usulan tersebut berisiko menjadi dokumen perencanaan tanpa realisasi.
Dampak Praktis
Bagi Pemerintah Daerah
Penelitian ini memberikan peta jalan sektor prioritas berdasarkan pendekatan ilmiah. Dengan menargetkan sektor dengan LQ tinggi, efisiensi belanja pembangunan bisa ditingkatkan.
Bagi Investor
Sektor seperti pertanian, transportasi, dan jasa lainnya menjadi pilihan investasi yang menarik di daerah tertinggal, terutama dengan insentif kebijakan dari pemerintah.
Bagi Akademisi
Penelitian ini memperkuat pentingnya kombinasi metode LQ, Shift Share, dan Tipologi Klassen dalam kajian ekonomi regional.
Studi Perbandingan
Penelitian sejenis oleh Sahiruddin (2020) di Kabupaten Bone juga menemukan bahwa sektor pertanian menjadi tulang punggung daerah tertinggal di Indonesia timur. Sementara itu, studi oleh Wati & Arifin (2019) di Pekalongan mengonfirmasi bahwa transformasi ekonomi baru dapat terjadi jika sektor basis didorong menjadi sektor industri bernilai tambah.
Dengan demikian, temuan Mega memiliki relevansi nasional dalam pengembangan daerah tertinggal berbasis potensi sektoral.
Tantangan dan Rekomendasi
Tantangan:
Infrastruktur minim di wilayah basis pertanian.
Kurangnya intervensi industrialisasi berbasis lokal.
Keterbatasan modal dan SDM di daerah tertinggal.
Rekomendasi:
Revitalisasi sektor pertanian dengan agroindustri.
Konektivitas transportasi sebagai pendorong pertumbuhan sektoral.
Program pelatihan SDM lokal untuk pengelolaan usaha kecil menengah di sektor unggulan.
Kesimpulan
Penelitian ini memberikan wawasan strategis bahwa pengembangan daerah tertinggal bukan semata soal bantuan, melainkan soal pengenalan potensi, pemetaan sektoral, dan penguatan kapasitas lokal. Mega Suci Rahmawati berhasil menunjukkan bahwa meskipun ketimpangan di Provinsi Banten cukup tajam, solusi berbasis data dan kebijakan berbasis wilayah (place-based development) dapat menjadi jalan keluar.
Sumber
Mega Suci Rahmawati. (2022). Analisis Potensi Ekonomi Daerah Tertinggal di Provinsi Banten Tahun 2015–2020. Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten.