Pariwisata & Perhotelan
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 25 November 2025
Pariwisata Indonesia berada pada fase penting: permintaan wisata kembali pulih pascapandemi, tetapi tekanan terhadap destinasi populer—terutama Bali—makin terlihat jelas. Laporan sektor pariwisata terbaru menunjukkan bahwa Indonesia menikmati peningkatan lama tinggal wisatawan dan percepatan belanja harian, namun di saat yang sama menghadapi realitas konsentrasi kunjungan yang memicu krisis lingkungan, sosial, dan infrastruktur.
Tren global seperti bleisure, digital nomad, dan preferensi wisatawan terhadap pengalaman autentik turut mendorong perubahan pola perjalanan. Grafik durasi tinggal wisatawan mancanegara menunjukkan kenaikan konsisten sejak 2012 hingga mencapai puncak mendekati 10 hari pada 2022. Tren ini beriringan dengan meningkatnya belanja harian wisatawan sebagaimana terlihat dalam ilustrasi data pengeluaran yang terus menanjak setelah pembukaan kembali perbatasan. Temuan ini memperlihatkan peluang besar bagi ekonomi lokal, tetapi juga tantangan keberlanjutan jika tidak dikelola hati-hati.
Bali: Motor Pariwisata yang Mulai Kehabisan Ruang
Bali tetap menjadi pintu masuk utama wisatawan internasional ke Indonesia dengan hampir separuh dari seluruh kedatangan mancanegara. Reputasinya sebagai pusat budaya, alam, dan kreativitas menjadikannya destinasi unggulan. Tetapi keberhasilan ini datang dengan konsekuensi berat.
Data yang diulas dalam laporan memperlihatkan sejumlah tekanan signifikan:
Krisis air bersih diproyeksikan terjadi seiring permintaan air yang jauh melampaui kapasitas sumber daya pulau.
Masalah sampah, terutama plastik, meningkat seiring aktivitas wisata dan belum tertanggulangi secara optimal.
Kondisi terumbu karang memburuk, dengan proporsi besar hanya berada pada tingkat sedang hingga buruk.
Kemacetan dan tekanan terhadap infrastruktur terus meningkat akibat pertumbuhan transportasi wisata.
Isu-isu tersebut membuat pemerintah mempertimbangkan moratorium pembangunan hotel dan vila baru di Bali. Kebijakan ini ditujukan menahan konversi lahan dan memberi ruang evaluasi bagi tata kelola pembangunan yang lebih selaras dengan kapasitas ekologis.
Laporan juga menyoroti bagaimana tekanan turistik menyebabkan pergeseran sosial, seperti perubahan pola perkampungan, migrasi lokal akibat kepadatan, hingga modifikasi tradisi agar sesuai ekspektasi turis. Semua ini menjadi pengingat bahwa keberhasilan pariwisata tidak boleh mengorbankan identitas dan kualitas hidup masyarakat.
Strategi Pemerintah: “New Bali” dan Diversifikasi Destinasi
Untuk mendistribusikan manfaat pariwisata secara lebih merata, pemerintah mengembangkan lima Destinasi Super Prioritas: Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan Likupang.
Langkah ini bertujuan mengurangi beban Bali sekaligus membangun pusat-pusat pertumbuhan baru. Dalam laporan ditunjukkan bagaimana strategi pengembangan difokuskan pada:
pembangunan akses transportasi, bandara, pelabuhan, dan jalan;
perbaikan jaringan telekomunikasi;
penguatan ekosistem ekonomi kreatif lokal;
peningkatan kompetensi masyarakat melalui pelatihan;
penyusunan rencana jangka panjang lintas dekade untuk destinasi utama seperti Borobudur dan Danau Toba.
Meski demikian, tantangan tetap besar. Infrastruktur dasar seperti air, listrik, sanitasi, dan akses jalan di beberapa destinasi belum memadai. Sengketa lahan, birokrasi, serta keterbatasan koordinasi antarinstansi juga menghambat percepatan. Di sejumlah lokasi, investor menahan diri karena belum ada kejelasan tata ruang dan fasilitas pendukung di daerah inti pariwisata.
Desa Wisata: Upaya Mendistribusikan Wisata dan Memberdayakan Lokal
Selain membangun destinasi prioritas baru, pemerintah terus memperkuat program desa wisata yang kini berjumlah lebih dari enam ribu. Desa wisata menjadi jembatan antara pertumbuhan pariwisata dan kesejahteraan lokal, sekaligus alat untuk mengurangi kepadatan di kota-kota tujuan utama.
Dalam laporan, wawancara dengan pejabat menunjukkan tiga isu mendasar dalam pengembangan desa wisata:
masih lemahnya kapasitas SDM dan lembaga desa, termasuk BUMDes dan kelompok pemuda;
banyak desa belum mampu mengidentifikasi keunikan asli sehingga cenderung meniru model lain;
sebagian pelaku wisata lokal masih kurang memahami prinsip pariwisata, termasuk keselamatan dan layanan profesional.
Walau begitu, dampak positif terlihat jelas: desa wisata meningkatkan pendapatan lokal, memperkuat identitas budaya, serta membuka peluang bagi generasi muda untuk berwirausaha. Contoh yang disajikan dalam laporan—melalui kisah pelaku homestay yang berkembang setelah ikut pelatihan digital—menunjukkan bagaimana wisata berbasis komunitas dapat tumbuh cepat ketika mendapat bimbingan yang tepat.
Kebijakan Keberlanjutan: Dari Regulasi hingga Standar Nasional
Kerangka hukum seperti Rencana Pembangunan Nasional 2005–2025 dan UU Kepariwisataan telah memasukkan unsur keberlanjutan sebagai bagian dari arah pembangunan nasional. Penguatan lebih lanjut muncul melalui:
panduan destinasi berkelanjutan dari regulasi Kemenparekraf;
gerakan kampanye lingkungan “Kita Mulai Sekarang”;
program sertifikasi pariwisata berkelanjutan;
kolaborasi dengan Bank Indonesia untuk tata kelola destinasi;
inisiatif promosi wisata beretika dan ramah lingkungan.
Indonesia juga telah mengembangkan standar destinasi wisata berkelanjutan yang diakui oleh Global Sustainable Tourism Council (GSTC), menunjukkan keselarasan dengan standar global.
Pembelajaran Internasional: Mengelola Overtourism dan Menyebarkan Wisata
Contoh negara lain memberi gambaran strategi yang bisa diterapkan di Indonesia:
Jepang mengembangkan kebijakan untuk mencegah overtourism dengan pengalihan rute kunjungan, promosi wilayah alternatif, dan pendidikan wisatawan.
Selandia Baru memadukan pemerintah, swasta, dan komunitas melalui Tiaki Promise, yang memberi panduan etika bagi wisatawan.
Airbnb di berbagai negara memanfaatkan fitur teknologi seperti pencarian fleksibel untuk mendorong wisata ke lokasi-lokasi baru.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa kolaborasi lintas pemangku kepentingan dan pemanfaatan teknologi memiliki peran penting dalam menciptakan pariwisata yang lebih merata dan bertanggung jawab.
Menuju Pariwisata Indonesia yang Lebih Seimbang dan Tangguh
Agar pariwisata Indonesia tumbuh secara inklusif dan berkelanjutan, beberapa langkah strategis perlu diprioritaskan:
membangun infrastruktur dasar dan akses transportasi yang merata;
meningkatkan kapasitas masyarakat melalui pelatihan dan pendidikan pariwisata;
memperkuat promosi budaya dan konservasi lingkungan;
memperluas kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, komunitas, dan platform digital;
memanfaatkan teknologi untuk mendistribusikan wisata ke wilayah yang kurang dikenal;
memperbaiki tata kelola agar investasi di destinasi prioritas lebih menarik dan efisien.
Dengan pendekatan holistik, Indonesia dapat mengurangi ketimpangan antara destinasi populer dan daerah berkembang, sekaligus menjaga daya tarik wisata untuk generasi mendatang.
Daftar Pustaka
ABC Sector Overview Report – Travel and Tourism Sector (pp. 151–172).
Pariwisata & Perhotelan
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 02 Mei 2025
Pendahuluan
Dalam industri pariwisata yang semakin kompetitif, kualitas pelayanan menjadi faktor penentu keberhasilan suatu usaha penginapan, terutama di sektor homestay yang kini semakin digemari wisatawan lokal maupun mancanegara. Lebih dari sekadar tempat menginap, homestay adalah pintu gerbang pertama bagi tamu untuk merasakan keramahan khas suatu daerah. Dan dalam konteks ini, departemen Front Office (FO) memegang peranan strategis yang sering kali menjadi penentu persepsi awal pelanggan terhadap layanan dan citra tempat menginap.
Skripsi karya Lisa Isnaini Rahmatin dari STIE Pariwisata API Yogyakarta mengangkat bagaimana peran FO Department di Nextdoor Homestay Yogyakarta menjadi ujung tombak dalam membentuk kesan positif yang berkelanjutan. Penelitian ini bukan hanya menarik secara teoritis, tetapi juga aplikatif di tengah tren wisata urban yang menuntut kecepatan, keramahan, dan fleksibilitas dalam pelayanan.
Latar Belakang: Mengapa Front Office Jadi Ujung Tombak?
Front Office adalah unit pertama yang berinteraksi dengan tamu. Baik dalam proses check-in, pertanyaan informasi, hingga keluhan, semuanya dikelola oleh staf FO. Maka tak heran, pengalaman pelanggan sering kali ditentukan dari bagaimana FO menyambut, merespons, dan menyelesaikan kebutuhan pelanggan.
Nextdoor Homestay sebagai akomodasi alternatif di tengah Kota Yogyakarta—dekat dengan pusat keramaian dan kawasan backpacker seperti Prawirotaman—memiliki tantangan tersendiri untuk membedakan diri dari pesaingnya. Dalam konteks ini, peran FO bukan hanya administratif, tetapi juga komunikatif dan strategis.
Tujuan dan Metodologi Penelitian
Tujuan:
Menganalisis sejauh mana peran FO dalam membentuk citra positif.
Mengidentifikasi strategi pelayanan yang digunakan FO di Nextdoor Homestay.
Menilai respons dan persepsi tamu terhadap pelayanan yang diberikan.
Metode:
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, dengan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Informan utama adalah manajer homestay dan staf FO, serta sebagian tamu yang memberikan feedback.
Hasil Temuan: Strategi FO dalam Praktik Nyata
1. Pelayanan Ramah dan Personal
Nextdoor Homestay menerapkan pendekatan friendly communication dalam seluruh aspek layanan FO. Tidak ada pembatas formal antara staf dan tamu, bahkan banyak tamu yang merasa seperti “tinggal di rumah teman” alih-alih di hotel.
Salah satu tamu menyebut bahwa staf FO selalu menyapa dengan nama dan memberikan saran kuliner atau wisata secara personal. Ini menciptakan pengalaman yang lebih intim dan membekas.
2. Kecepatan dan Ketepatan Prosedur
Proses check-in dan check-out berjalan cepat, hanya memakan waktu kurang dari 5 menit.
FO juga tanggap dalam menangani keluhan atau permintaan tambahan seperti penyewaan sepeda, laundry, atau pemesanan transportasi.
3. Pemanfaatan Teknologi
Meski berskala kecil, Nextdoor Homestay telah menggunakan sistem reservasi digital dan Google Review sebagai alat kontrol kualitas. FO bertugas mengecek ulasan secara berkala dan menindaklanjuti masukan yang diberikan secara online.
4. Peran Sebagai “Local Guide”
Staf FO tidak hanya menjalankan tugas administratif, tetapi juga bertindak sebagai konsultan lokal, memberikan tips lokasi kuliner murah, tempat nongkrong yang tidak mainstream, hingga festival budaya yang sedang berlangsung.
Analisis dan Nilai Tambah: Mengapa Ini Penting?
A. Korelasi Langsung antara FO dan Reputasi Online
Dalam era digital, ulasan Google, TripAdvisor, dan Booking.com sangat memengaruhi keputusan calon tamu. Citra positif yang diciptakan oleh FO berujung pada review bintang lima, yang pada akhirnya menjadi alat promosi gratis.
B. Keunggulan Kompetitif Non-Fisik
Meski secara fasilitas fisik Nextdoor Homestay tergolong sederhana, pelayanan FO yang hangat dan efisien menciptakan nilai diferensiasi dibanding homestay lain. Ini memperkuat teori bahwa dalam industri hospitality, human touch lebih penting dari kemewahan.
C. Citra Positif sebagai Investasi Jangka Panjang
Citra positif yang dibentuk FO tidak hanya memberi keuntungan jangka pendek berupa kepuasan pelanggan, tetapi juga menciptakan loyalitas dan promosi mulut ke mulut, dua hal yang sulit dibeli dengan iklan.
Studi Banding: FO di Hotel Bintang vs Homestay
Dibandingkan dengan hotel berbintang yang memiliki struktur hierarki pelayanan yang lebih kompleks, homestay seperti Nextdoor justru memiliki keunggulan dalam menciptakan kesan personal. Tidak adanya batas kaku antara tamu dan staf memungkinkan FO untuk menjalin hubungan yang lebih emosional.
Namun, tantangannya juga besar:
Staf FO harus multitasking, dari reservasi hingga menjadi pemandu lokal.
Butuh pelatihan soft skill, bukan hanya keterampilan teknis.
Tantangan yang Dihadapi FO di Nextdoor Homestay
1. Keterbatasan SDM
FO sering kali merangkap tugas lain karena jumlah staf yang terbatas. Ini bisa berdampak pada konsistensi pelayanan saat volume tamu tinggi.
2. Minimnya Pelatihan Formal
Sebagian besar staf belajar secara otodidak atau melalui pelatihan internal. Tidak semua memiliki latar belakang pendidikan perhotelan.
3. Ekspektasi Wisatawan Internasional
Sebagai homestay yang populer di kalangan wisatawan asing, staf FO harus bisa berbahasa Inggris aktif, memahami budaya tamu, dan tetap ramah meski menghadapi perbedaan sikap.
Rekomendasi Penulis
Penelitian menyarankan agar:
FO mendapatkan pelatihan bahasa asing dan komunikasi lintas budaya secara berkala.
Manajemen mempertimbangkan sistem insentif berbasis review positif.
Sistem digital diperluas, seperti live chat untuk reservasi atau chatbot layanan mandiri.
Relevansi di Era Tren Digital dan Wisata Ramah Lingkungan
Nextdoor Homestay juga menyelaraskan pelayanan FO dengan konsep eco-tourism dan sustainable travel, misalnya dengan memberikan informasi tentang transportasi ramah lingkungan, dan rekomendasi destinasi lokal yang mendukung ekonomi mikro.
Ini menjadi daya tarik bagi wisatawan generasi milenial dan Gen Z yang mulai mengutamakan aspek keberlanjutan dalam memilih akomodasi.
Simpulan
Skripsi ini berhasil menggambarkan bagaimana Front Office tidak hanya sebagai pelayan administratif, tetapi sebagai arsitek citra sebuah homestay. Di tangan staf FO yang terlatih dan berorientasi pelanggan, Nextdoor Homestay berhasil membangun reputasi yang melampaui sekadar fasilitas fisik.
Bagi pelaku industri pariwisata dan manajemen perhotelan, studi ini menjadi pengingat bahwa pengalaman pelanggan dimulai dari front desk, dan bahwa senyum tulus serta informasi yang akurat bisa lebih berharga dibandingkan bantal empuk atau minibar mewah.
Sumber
Rahmatin, Lisa Isnaini. Peranan Front Office Department dalam Meningkatkan Citra Positif Nextdoor Homestay Yogyakarta. STIE Pariwisata API Yogyakarta. Skripsi.