Pariwisata Berbasis Alam

Pariwisata Alam sebagai Strategi Pembangunan Berkelanjutan: Studi Kasus Kawasan Snæfellsnes, Islandia

Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 02 Agustus 2025


Pendahuluan: Menimbang Potensi Ekowisata dalam Kerangka Keberlanjutan

Paper ini menyajikan eksplorasi mendalam mengenai bagaimana pariwisata berbasis alam (nature-based tourism) dapat berfungsi sebagai sarana untuk pembangunan berkelanjutan, menggunakan Snæfellsnes Peninsula sebagai lokasi studi kasus. Kawasan ini merupakan lanskap ikonik di Islandia yang mengalami pertumbuhan pesat dalam kunjungan wisatawan, sehingga menimbulkan pertanyaan besar: dapatkah pertumbuhan ini dikendalikan dan diarahkan menuju keberlanjutan?

Penulis memadukan wawasan teoritis dengan wawancara lapangan untuk menilai apakah praktik wisata saat ini sejalan dengan nilai-nilai pelestarian lingkungan, manfaat ekonomi lokal, dan keutuhan sosial budaya. Dengan pendekatan interdisipliner, paper ini menyatukan perspektif pembangunan, ekologi, dan tata kelola dalam satu narasi analitis yang kuat.

Kerangka Teoretis: Keberlanjutan dalam Pariwisata Alam

Penulis mendasarkan argumennya pada kerangka konseptual sustainability, yang mencakup tiga pilar utama:

  1. Ekologis (Environmental): Perlindungan lanskap, keanekaragaman hayati, dan pengelolaan sumber daya alam

  2. Ekonomi (Economic): Peningkatan pendapatan lokal, penciptaan lapangan kerja, dan stabilitas finansial

  3. Sosial (Social/Cultural): Partisipasi masyarakat, pelestarian budaya lokal, dan keadilan distribusi manfaat

Qatar kerangka ini, penulis memperluas pemahaman tentang nature-based tourism bukan hanya sebagai aktivitas rekreasi, tetapi sebagai alat strategis untuk memfasilitasi pembangunan regional yang berkelanjutan.

Metodologi: Studi Kasus dan Wawancara Partisipatif

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus. Data dikumpulkan melalui:

  • Wawancara semi-terstruktur dengan 14 aktor lokal, termasuk pelaku bisnis wisata, pejabat publik, dan LSM lingkungan

  • Analisis dokumen kebijakan lokal dan nasional

  • Observasi lapangan

📌 Refleksi metode: Dengan fokus pada aktor lokal, penulis menekankan pentingnya persepsi dan pengalaman lokal sebagai kunci dalam mengevaluasi keberlanjutan pariwisata.

Hasil dan Analisis: Antara Harapan dan Realita

1. Aspek Ekologis: Kesadaran Tinggi, Tindakan Terbatas

Meskipun semua informan menyatakan pentingnya melindungi lingkungan, hanya sebagian kecil yang mengadopsi praktik nyata dalam bisnis mereka, seperti penggunaan energi terbarukan atau pembatasan jumlah turis.

📌 Refleksi teoritis: Ketidakseimbangan antara kesadaran dan tindakan mencerminkan kurangnya dukungan struktural dan mekanisme insentif dari pemerintah.

2. Aspek Ekonomi: Manfaat Ada, Tapi Tidak Merata

Pelaku usaha kecil mengakui bahwa pariwisata telah membawa pendapatan tambahan, tetapi juga menyuarakan kekhawatiran atas ketergantungan ekonomi yang tinggi dan musim wisata yang sangat pendek.

🔍 Interpretasi: Ketimpangan distribusi manfaat memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi dari pariwisata tidak otomatis berbanding lurus dengan keberlanjutan jangka panjang.

3. Aspek Sosial dan Budaya: Ambivalensi Lokal

Sebagian besar responden mengaku bangga kawasan mereka menjadi tujuan wisata, namun mereka juga merasa kehilangan kontrol atas arah perkembangan wilayah dan munculnya tekanan sosial seperti kemacetan dan gangguan lingkungan.

📌 Makna mendalam: Di sinilah konflik antara globalisasi wisata dan otonomi lokal menjadi nyata—masyarakat lokal menjadi penonton, bukan pengarah, dalam narasi pembangunan.

Narasi Argumentatif: Ketika Potensi Bertemu Tantangan Struktural

Penulis menyusun argumen utama bahwa pariwisata alam memang memiliki potensi besar, namun belum sepenuhnya dikembangkan dalam kerangka keberlanjutan yang sistematis. Permasalahan kunci yang teridentifikasi:

  • Kurangnya kebijakan terpadu antara pemerintah pusat dan lokal

  • Minimnya regulasi terhadap perilaku wisatawan

  • Ketiadaan indikator kuantitatif untuk menilai dampak sosial dan ekologis

🔍 Poin reflektif: Keberlanjutan tidak akan tercapai hanya dengan niat baik atau slogan pemasaran “green tourism”, melainkan membutuhkan koordinasi kebijakan, kapasitas kelembagaan, dan pemberdayaan masyarakat lokal.

Kritik terhadap Pendekatan dan Metodologi

Kekuatan:

  • Penekanan pada aktor lokal dan suara komunitas

  • Penjabaran tiga pilar keberlanjutan secara eksplisit

  • Penyusunan narasi reflektif yang jujur, tidak utopis

Keterbatasan:

  1. Tidak ada data kuantitatif pengunjung atau dampak lingkungan yang memperkuat klaim informan

  2. Waktu pengumpulan data hanya mencakup satu musim, sehingga belum merepresentasikan fluktuasi tahunan

  3. Generalitas kesimpulan masih terbatas pada kawasan Snæfellsnes, belum dibandingkan dengan wilayah Islandia lain

📌 Saran: Kombinasi metode kuantitatif dan longitudinal dapat memperkuat validitas analisis dan mendukung usulan kebijakan yang lebih tajam.

Daftar Poin Utama Paper

  • Nature-based tourism berpotensi mendukung pembangunan berkelanjutan jika dirancang secara partisipatif

  • Tantangan terbesar adalah koordinasi kebijakankontrol lokal, dan struktur insentif

  • Aktor lokal sering kali tidak memiliki kekuatan untuk mengarahkan jalannya industri wisata

  • Kesadaran ekologis tinggi tetapi belum terkonversi menjadi tindakan nyata secara menyeluruh

  • Potensi ekonomi pariwisata belum sepenuhnya inklusif atau stabil

Implikasi Ilmiah dan Praktis

Ilmiah:

  • Menawarkan pendekatan interdisipliner dalam menilai keberlanjutan wisata

  • Menekankan pentingnya pendekatan lokal dan partisipatif dalam pembangunan

Praktis:

  • Dapat digunakan sebagai rancangan kebijakan lokal untuk pengembangan pariwisata berkelanjutan

  • Memberikan dasar untuk pengembangan indikator keberlanjutan berbasis komunitas

Kesimpulan: Jalan Menuju Pariwisata yang Tidak Mengorbankan Masa Depan

Dalam papernya, Arna Albertsdóttir berhasil menyampaikan bahwa pariwisata berbasis alam di Islandia adalah peluang sekaligus ujian. Studi ini memperlihatkan bahwa keberlanjutan bukanlah sesuatu yang terjadi secara otomatis seiring bertumbuhnya industri, melainkan hasil dari pilihan sadar, kebijakan terkoordinasi, dan partisipasi aktif komunitas.

Keberhasilan Snæfellsnes menjadi model pembangunan wisata berkelanjutan akan sangat bergantung pada kapasitas lokal untuk tidak hanya menerima turis, tapi juga mengelola perubahan, menata ulang prioritas, dan mempertahankan integritas ekosistemnya.

Selengkapnya
Pariwisata Alam sebagai Strategi Pembangunan Berkelanjutan: Studi Kasus Kawasan Snæfellsnes, Islandia

Pariwisata Berbasis Alam

Potensi Sport Tourism di Desa Sambangan: Harmoni Alam, Budaya, dan Ekonomi Lokal

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 31 Mei 2025


Pendahuluan: Sport Tourism sebagai Tren Pariwisata Masa Kini

Sport tourism atau wisata olahraga kian berkembang sebagai salah satu tren utama dalam industri pariwisata global. Tak hanya menyasar wisatawan petualang, jenis pariwisata ini juga menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi lokal dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, Desa Sambangan di Kabupaten Buleleng, Bali, muncul sebagai salah satu destinasi yang menjanjikan untuk pengembangan sport tourism. Artikel berjudul "Leveraging Natural Resources for Sport Tourism Development: A Case Study in Sambangan Village" mengeksplorasi bagaimana desa ini mampu menyinergikan kekayaan alam, budaya lokal, dan aktivitas olahraga sebagai strategi pengembangan wisata yang berdaya saing.

Profil Desa Sambangan dan Daya Tarik Alaminya (H2)

Geografi dan Lanskap (H3)

Desa Sambangan terletak di Kabupaten Buleleng, Bali Utara, dan dikenal memiliki topografi perbukitan serta air terjun yang indah. Kawasan ini:

  • Berada di ketinggian sekitar 500 meter di atas permukaan laut.

  • Dikelilingi oleh sawah terasering dan hutan tropis.

  • Memiliki lebih dari 7 air terjun yang menjadi daya tarik utama.

Potensi Alam sebagai Arena Sport Tourism (H3)

Lokasi geografis ini sangat mendukung berbagai aktivitas seperti:

  • Trekking dan hiking melewati jalur sawah dan hutan.

  • Canyoning di air terjun Aling-Aling dan Kroya.

  • Tubing dan river trekking di Sungai Sambangan.

  • Downhill mountain biking di jalur perbukitan.

Strategi Pengembangan Sport Tourism (H2)

Kolaborasi Pemerintah dan Masyarakat Lokal (H3)

Pengembangan sport tourism di Sambangan melibatkan:

  • Dukungan dari Dinas Pariwisata Buleleng.

  • Keterlibatan langsung masyarakat dalam membentuk komunitas pemandu wisata.

  • Penerapan konsep desa wisata berbasis pemberdayaan lokal.

Inovasi Paket Wisata Terintegrasi (H3)

Desa Sambangan menawarkan paket wisata tematik yang memadukan:

  • Aktivitas olahraga alam.

  • Edukasi pertanian organik.

  • Pengalaman budaya lokal seperti gamelan, tari, dan memasak makanan tradisional.

Dampak Ekonomi dan Sosial terhadap Komunitas (H2)

Peningkatan Pendapatan dan Lapangan Kerja (H3)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa:

  • Sekitar 70% rumah tangga di Sambangan mendapat penghasilan tambahan dari aktivitas wisata.

  • Tercipta lebih dari 50 lapangan kerja baru sejak pengembangan sport tourism dimulai.

Perubahan Pola Hidup dan Kemandirian (H3)

  • Meningkatnya kesadaran konservasi lingkungan.

  • Generasi muda lebih memilih menjadi pemandu wisata daripada merantau.

Tantangan dan Solusi Pengembangan (H2)

Infrastruktur dan Konektivitas (H3)

  • Keterbatasan akses jalan dan fasilitas umum masih menjadi kendala.

  • Solusi: Penguatan infrastruktur berbasis dana desa dan CSR pariwisata.

Kompetensi SDM (H3)

  • Tantangan pelatihan bahasa asing dan pengetahuan pemanduan.

  • Solusi: Pelatihan rutin oleh dinas dan kerjasama dengan perguruan tinggi pariwisata.

Studi Banding dan Potensi Replikasi (H2)

Desa Sambangan dapat dijadikan model bagi desa-desa lain di Indonesia yang memiliki:

  • Topografi serupa.

  • Komitmen pelestarian lingkungan.

  • Budaya lokal yang kuat.

Beberapa kawasan seperti Desa Sembalun (Lombok) dan Desa Wisata Nglanggeran (Gunungkidul) berpotensi mereplikasi pendekatan Sambangan dengan adaptasi lokal.

Kesimpulan: Sambangan sebagai Model Sport Tourism Berkelanjutan (H2)

Penelitian ini menunjukkan bahwa Desa Sambangan berhasil mengelola potensi sumber daya alamnya secara optimal melalui pendekatan sport tourism. Sinergi antara masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta menghasilkan manfaat ekonomi, sosial, dan ekologis yang nyata. Dalam jangka panjang, pendekatan ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, tetapi juga memperkuat posisi Bali Utara sebagai destinasi pariwisata alternatif yang berkelanjutan.

Sumber

Saraswati, Ni Nyoman. (2022). Leveraging Natural Resources for Sport Tourism Development: A Case Study in Sambangan Village. [Jurnal Resmi Pemerintah Kabupaten Buleleng, Volume 1].

 

Selengkapnya
Potensi Sport Tourism di Desa Sambangan: Harmoni Alam, Budaya, dan Ekonomi Lokal
page 1 of 1