Organisasi Olahraga Indonesia
Dipublikasikan oleh Siti Nur Rahmawati pada 22 Agustus 2022
Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (Bahasa Inggris : Football Association of Indonesia) atau disingkat PSSI, adalah organisasi yang bertanggung jawab mengelola sepak bola asosiasi di Indonesia. PSSI berdiri pada tanggal 19 April 1930 dengan nama awal Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia. Ketua umum pertamanya adalah Ir. Soeratin Sosrosoegondo.
Dalam perjalanan keorganisasiannya, PSSI bergabung dengan badan sepak bola dunia, FIFA, pada tahun 1952, kemudian dengan badan sepak bola Asia, AFC, pada tahun 1954. PSSI menggelar beragam kompetisi dan turnamen, seperti Liga Indonesia atau Liga 1, lalu ada Liga 2, Liga 3, Liga 1 Putri, Piala Indonesia, Elite Pro Academy, Piala Soeratin, Piala Presiden, Piala bola pantai, Piala Pertiwi, dan epiala indonesia
Kursi kepemimpinan PSSI diisi oleh Mochammad Iriawan yang menang mutlak pada Kongres Luar Biasa PSSI tahun 2019 dengan memperoleh suara 82 di Hotel Shangri-La Jakarta. Mochammad Iriawan yang memiliki nama panggilan Iwan Bule akan menjabat sebagai Ketua Umum PSSI hingga 2023.
Sejarah
Perkumpulan Sepak bola di Indonesia
Artikel utama: Sepak bola di Hindia Belanda
Di 1920, pertandingan voetbal atau sepak bola digelar untuk meramaikan pasar malam. Pertandingan dilaksanakan sore hari. Selain sepak bola, bangsa Eropa termasuk Belanda juga memperkenalkan olahraga lain, seperti kasti, bola tangan, renang, tenis, dan hoki. Hanya, semua jenis olahraga itu hanya terbatas untuk kalangan Eropa, Belanda, dan Indo. Sepak bola tidak memerlukan tempat khusus dan pribumi boleh memainkannya.
Lapangan Singa (Lapangan Banteng) menjadi saksi di mana orang Belanda menggelar pertandingan panca lomba (vijfkam) dan tienkam (dasa lomba). Khusus untuk sepak bola, serdadu di tangsi-tangsi militer paling sering bertanding. Mereka kemudian membentuk bond sepak bola atau perkumpulan sepak bola. Dari bond-bond itulah kemudian terbentuk satu klub. Tak hanya serdadu militer, tetapi juga warga Belanda, Eropa, dan Indonesia membuat bond-bond serupa.
Dari bond-bond itu kemudian terbentuklah Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) yang pada tahun 1927 berubah menjadi Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU). Sampai tahun 1929, NIVU mengadakan pertandingan termasuk dalam rangka memeriahkan pasar malam dan tak ketinggalan sebagai ajang judi. Bond China menggunakan nama antara lain Tiong un Tong, Donar, dan UMS. Adapun bond pribumi mungkin mengambil nama wilayahnya, seperti Cahaya Kwitang, Sinar Kernolong, atau Si Sawo Mateng.
Pada 1928 dibentuk Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ) sebagai akibat dari diskriminasi yang dilakukan NIVB. Sebelumnya bahkan sudah dibentuk Persatuan Sepak Bola Djakarta (Persidja) pada 1925. Pada 19 April 1930, Persidja ikut membentuk Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) di gedung Soceiteit Hande Projo, Yogyakarta. Pada saat itu Persidja menggunakan lapangan di Jalan Biak, Roxy, Jakpus.
Pada tahun 1930-an, di Indonesia berdiri tiga organisasi sepak bola berdasarkan suku bangsa, yaitu Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) yang berganti nama menjadi Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU) pada tahun 1936 yang merupakan milik bangsa Belanda, Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB) milik bangsa Tionghoa, dan Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI) milik orang Indonesia. Pamor bintang lapangan Bond NIVB, G Rehatta dan de Wolf, mulai menemui senja berganti bintang lapangan bond China dan pribumi, seperti Maladi, Sumadi, dan Ernst Mangindaan. Pada 1933, VIJ keluar sebagai juara pada kejuaraan PSSI ke-3.
Pada 1938 Indonesia lolos ke Piala Dunia. Pengiriman kesebelasan Indonesia (Hindia Belanda) sempat mengalami hambatan. NIVU (Nederlandsche Indische Voetbal Unie) atau organisasi sepak bola Belanda di Jakarta bersitegang dengan PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) yang telah berdiri pada bulan April 1930. PSSI yang diketuai Soeratin Sosrosoegondo, insinyur lulusan Jerman yang tinggal di Eropa, ingin pemain PSSI yang dikirimkan. Namun, akhirnya kesebelasan dikirimkan tanpa mengikutsertakan pemain PSSI dan menggunakan bendera NIVU yang diakui FIFA.
Pada masa Jepang, semua bond sepak bola dipaksa masuk Tai Iku Koi bentukan pemerintahan militer Jepang. Pada masa ini, Taiso, sejenis senam, menggantikan olahraga permainan. Baru setelah kemerdekaan, olahraga permainan kembali semarak.
Tahun 1948, pesta olahraga bernama PON (Pekan Olahraga Nasional) diadakan pertama kali di Solo. Di kala itu saja, sudah 12 cabang olahraga yang dipertandingkan.
Hingga 1950 masih terdapat pemain indo di beberapa klub Jakarta. Sebut saja Vander Vin di klub UMS; Van den Berg, Hercules, Niezen, dan Pesch dari klub BBSA. Pemain indo mulai luntur pada tahun 1960-an.
PSSI
Monumen PSSI atau Gedung Bola PSIM di Yogyakarta
PSSI dibentuk pada tanggal 19 April 1930 di Yogyakarta dengan nama Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia. Sebagai organisasi olahraga yang lahir pada masa penjajahan Belanda, kelahiran PSSI ada kaitannya dengan upaya politik untuk menentang penjajahan. Apabila mau meneliti dan menganalisis lebih lanjut saat-saat sebelum, selama, dan sesudah kelahirannya hingga 5 tahun pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, PSSI mungkin lahir dibidani oleh muatan politis, baik secara langsung maupun tidak, untuk menentang penjajahan dengan strategi menyemai benih-benih nasionalisme di dada pemuda-pemuda Indonesia yang ikut bergabung.
PSSI didirikan oleh seorang insinyur sipil bernama Soeratin Sosrosoegondo. Ia menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Teknik Tinggi di Heckelenburg, Jerman, pada tahun 1927 dan kembali ke tanah air pada tahun 1928. Ketika kembali, Soeratin bekerja pada sebuah perusahaan bangunan Belanda, Sizten en Lausada, yang berkantor pusat di Yogyakarta. Di sana dia merupakan satu-satunya orang Indonesia yang duduk sejajar dengan komisaris perusahaan konstruksi itu. Akan tetapi, "didorong oleh semangat nasionalisme yang tinggi", dia kemudian memutuskan untuk mundur dari perusahaan tersebut.
Setelah berhenti dari Sizten en Lausada, Soeratin lebih banyak aktif di bidang pergerakan. Sebagai seorang yang gemar bermain sepak bola, dia menyadari kepentingan pelaksanaan butir-butir keputusan yang telah disepakati bersama dalam pertemuan para pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 (Sumpah Pemuda). Soeratin melihat sepak bola sebagai wadah terbaik untuk menyemai nasionalisme di kalangan pemuda sebagai sarana untuk menentang Belanda.
Untuk mewujudkan cita-citanya itu, Soeratin mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh sepak bola di Solo, Yogyakarta, dan Bandung. Pertemuan dilakukan dengan kontak pribadi secara diam-diam untuk menghindari sergapan Polisi Belanda (PID). Kemudian, ketika mengadakan pertemuan di hotel Binnenhof di Jalan Kramat 17, Jakarta, Soeri, ketua VIJ (Voetbalbond Indonesische Jakarta), dan juga pengurus lainnya, dimatangkanlah gagasan perlunya dibentuk sebuah organisasi sepak bola nasional. Selanjutnya, pematangan gagasan tersebut dilakukan kembali di Bandung, Yogyakarta, dan Solo yang dilakukan dengan beberapa tokoh pergerakan nasional, seperti Daslam Hadiwasito, Amir Notopratomo, A. Hamid, dan Soekarno (bukan Bung Karno). Sementara itu, untuk kota-kota lainnya, pematangan dilakukan dengan cara kontak pribadi atau melalui kurir, seperti dengan Soediro yang menjadi Ketua Asosiasi Muda Magelang.
Kemudian pada tanggal 19 April 1930, berkumpullah wakil dari VIJ (Sjamsoedin, mahasiswa RHS), BIVB - Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (Gatot), PSM - Persatuan sepak bola Mataram Yogyakarta (Daslam Hadiwasito, A. Hamid, dan M. Amir Notopratomo), VVB - Vortenlandsche Voetbal Bond Solo (Soekarno), MVB - Madioensche Voetbal Bond Madiun (Kartodarmoedjo), IVBM - Indonesische Voetbal Bond Magelang (E.A. Mangindaan), dan SIVB - Soerabajasche Indonesische Voetbal BondSurabaya(Pamoedji). Dari pertemuan tersebut, diambillah keputusan untuk mendirikan PSSI, singkatan dari Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia. Nama PSSI lalu diubah dalam kongres PSSI di Solo pada tahun 1930 menjadi Persatuan sepak bola Seluruh Indonesia sekaligus menetapkan Ir. Soeratin sebagai ketua umumnya.
Kontroversi
PSSI pada masa kepemimpinan Nurdin Halid memiliki beberapa hal yang dianggap kontroversi, antara lain mudahnya Nurdin Halid memberikan ampunan atas pelanggaran, kukuhnya Nurdin Halid sebagai Ketua Umum meski dia dipenjara, isu tidak sedap yang beredar pada masa pemilihan Ketua Umum tahun 2010, dan reaksi penolakan atas diselenggarakannya Liga Primer Indonesia.
Kasus Hukum Nurdin Halid
Pada 13 Agustus 2007, Ketua Umum Nurdin Halid divonis 2 tahun penjara akibat kasus pengadaan minyak goreng. Berdasarkan standar statuta FIFA, seorang pelaku kriminal tidak boleh menjabat sebagai ketua umum sebuah asosiasi sepak bola nasional. Karena alasan tersebut, Nurdin didesak untuk mundur dari berbagai pihak; Jusuf Kalla (Wakil Presiden RI saat itu), Ketua KONI, dan FIFA menekan Nurdin untuk mundur. FIFA mengancam untuk menjatuhkan sanksi kepada PSSI jika tidak diselenggarakan pemilihan ulang ketua umum. Akan tetapi Nurdin bersikeras untuk tidak mundur dari jabatannya sebagai ketua PSSI, dan tetap menjalankan kepemimpinan PSSI dari balik jeruji penjara. Agar tidak melanggar statuta PSSI, statuta mengenai ketua umum yang sebelumnya berbunyi "harus tidak pernah terlibat dalam kasus kriminal" (bahasa Inggris: “They..., must not have been previously found guilty of a criminal offense....") diubah dengan menghapuskan kata "pernah" (bahasa Inggris: "have been previously") sehingga artinya menjadi "harus tidak sedang dinyatakan bersalah atas suatu tindakan kriminal" (bahasa Inggris: "... must not found guilty of a criminal offense..."). Setelah masa tahanannya selesai, Nurdin kembali menjabat sebagai ketua PSSI.
Reaksi atas Liga Primer Indonesia
Artikel utama: Liga Primer Indonesia
Pada Oktober 2010, Liga Primer Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas sepak bola Indonesia dideklarasikan di Semarang oleh Konsorsium dan 17 perwakilan klub. Kompetisi ini tidak direstui oleh PSSI dan dianggap ilegal. Meski PSSI memaparkan secara panjang lebar alasan mengapa LPI melawan hukum, organisasi ini tidak pernah menjelaskan alasan mengapa mereka tidak merestui LPI, kecuali menyebut LPI sebagai "kompetisi ecek-ecek","tarkam", dan "banci". LPI akhirnya mendapatkan izin dari pemerintah melalui Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng.
Klub anggota yang keluar dari kompetisi PSSI dan mengikuti Liga Primer Indonesia dikenakan sanksi degradasi dan tidak diundang dalam Munas PSSI. Padahal klub-klub tersebut hanya mengundurkan diri dari Liga Super Indonesia dan bukan dari keanggotaan PSSI, sehingga masih memiliki hak suara dalam kongres. Selain itu, menurut Statuta PSSI, penghapusan keanggotaan klub dari PSSI tidak dapat ditentukan hanya oleh petinggi PSSI, harus melalui kongres dan disetujui minimal 3/4 anggota yang hadir.
Kisruh dan pembentukan komite normalisasi
Kisruh di PSSI semakin menjadi-jadi semenjak munculnya LPI. Ketua Umum Nurdin Halid melarang segala aktivitas yang dilakukan oleh LPI. Pada Kongres PSSI tanggal 26 Maret 2011 di Pekanbaru, Riau, masalah kekisruhan di tubuh PSSI seperti disengaja disembunyikan dari publik dengan cara mengadakan kongres secara tertutup. Kongres tersebut pada akhirnya tidak berhasil diselenggarakan karena terjadi kekisruhan mengenai hak suara.
Pada 1 April 2011, Komite Darurat FIFA memutuskan untuk membentuk Komite Normalisasi yang akan mengambil alih kepemimpinan PSSI dari komite eksekutif di bawah pimpinan Nurdin Halid. Komite Darurat FIFA menganggap bahwa kepemimpinan PSSI saat ini tidak dapat mengendalikan sepak bola di Indonesia, terbukti dengan kegagalannya mengendalikan LPI dan menyelenggarakan kongres. FIFA juga menyatakan bahwa 4 orang calon Ketua Umum PSSI yaitu Nurdin Halid, Nirwan Bakrie, Arifin Panigoro, dan George Toisutta tidak dapat mencalonkan diri sebagai ketua umum sesuai dengan keputusan Komite Banding PSSI tanggal 28 Februari 2011. Selanjutnya, FIFA mengangkat Agum Gumelar sebagai Ketua Komite Normalisasi PSSI.
Setelah melalui serangkaian kegagalan, termasuk kembali gagalnya penyelengaraan Kongres tanggal 20 Mei 2011 di Jakarta, akhirnya dalam Kongres Luar Biasa tanggal 9 Juli 2011 di Kota Surakarta, Djohar Arifin Husin terpilih sebagai Ketua Umum PSSI periode 2011-2015.
Pemecatan Alfred Riedl
Pemecatan dan penunggakan gaji Alfred Riedl menimbulkan hal yang kontroversial karena pihak PSSI mengaku bahwa Alfred Riedl dikontrak oleh Mantan Wakil Ketua Umum PSSI Nirwan Bakrie secara pribadi dan bukan oleh PSSI akan tetapi Alfred Riedl membantah hal tersebut dan membawa persoalan ini ke FIFA.
Kisruh Indonesian Premier League
Setelah berganti kepengurusan Ketua umum PSSI dari Nurdin Halid ke Djohar Arifin Husin dimulai era kompetisi baru. Dalam pembentukan IPL, beberapa masalah yang terjadi karena aturan-aturan yang ditetapkan oleh PSSI. Pembentukan IPL mendapat tekanan dari 12 klub sepak bola atau kelompok 14 karena kompetisi berjumlah 24 klub dan 6 klub di antaranya langsung menjadi klub IPL. Namun, PSSI meyakinkan bahwa untuk memenuhi standar kompetisi profesional AFC, klasemen musim sebelumnya (musim 2010/2011) dihapuskan. Sebagai gantinya, yang dilihat adalah poin tertinggi dalam verifikasi tentang profesionalisme klub Indonesia. Akan tetapi, dengan adanya IPL, Indonesia terhindar dari sanksi AFC.
Konflik PSSI dengan Pemerintah, Pembekuan PSSI dan Sanksi FIFA
Berawal dari ikut sertanya Arema Indonesia dan Persebaya Surabaya dalam ajang QNB League yang telah dilarang ikut serta oleh Badan Olahraga Profesional Indonesia, Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia memberikan surat peringatan kepada PSSI. Surat peringatan I diberikan pada 8 April 2015 yang menyatakan bahwa PSSI telah mengabaikan rekomendasi BOPI atas larangan ikut sertanya Arema dan Persebaya. Selain itu, Kemenpora meminta kedua klub untuk mengikuti rekomendasi BOPI. Selang seminggu kemudian, Kemenpora kembali mengeluarkan surat peringatan II karena PSSI serta Arema dan Persebaya tidak juga mematuhi perintah BOPI sebelumnya. Ketua Umum PSSI Djohar Arifin Husin menilai ini hanya kesalahpahaman antara PSSI dengan Kemenpora dan BOPI. Ia pun yakin masalah ini dapat selesai jika PSSI serta Kemenpora dan BOPI duduk bersama. Sebelumnya pada 10 April, FIFA mengirim surat kepada Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi agar pemerintah tidak mengintervensi PSSI. Apabila intervensi berlanjut, maka FIFA akan memberikan sanksi kepada PSSI. Pada 16 April, Kemenpora kembali mengirimkan surat peringatan III kepada PSSI. Kemenpora menilai PSSI mengabaikan surat peringatan I dan II sebelumnya. PSSI juga kembali diminta patuh kepada rekomendasi BOPI sebelumnya. Akhirnya, pada 17 April 2015, Menpora Imam Nahrawi membekukan PSSI. Menpora juga tidak mengakui penyelenggaraan Kongres Luar Biasa PSSI yang tengah berlangsung di Kota Surabaya, yang berakhir dengan terpilihnya La Nyalla Mahmud Mattalitti sebagai ketua umum periode 2015-2019. Dalam keputusan menteri tersebut, Menpora menerangkan pemerintah akan membentuk Tim Transisi yang mengambil alih hak dan kewenangan PSSI sampai dengan terbentuknya kepengurusaan PSSI yang kompeten sesuai dengan mekanisme organisasi dan statuta FIFA. Sedangkan soal Timnas Indonesia untuk SEA Games dan penyelenggaraan QNB League akan diambil alih oleh KONI dan KOI. Tim Transisi tersebut adalah FX Hadi Rudyatmo, Lodewijk Freidrich Paulus, Ridwan Kamil, Eddy Rumpoko, Ricky Yakobi, Bibit Samad Riyanto, Darmin Nasution, Cheppy T. Wartono, Tommy Kurniawan, Iwan Lukminto, Francis Wanandi, Saut H. Sirait, Andrew Darwis, Fahri Husaini, Zuhairi Misrawi, Diaz Faisal Malik Hendropriyono, Velix F. Wanggai. Dari 17 nama tersebut, Velix F. Wanggai, Darmin Nasution, Farid Husain dan Ridwan Kamil mengundurkan diri sebelum Tim bekerja.
Pada 25 Mei 2015, Pemerintah melalui Wakil Presiden Jusuf Kalla, menganjurkan untuk mencabut pembekuan PSSI pimpinan La Nyalla Mattalitti. Hal ini dilakukan setelah adanya pertemuan tertutup dengan Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi, Wakil Ketua Umum PSSI Hinca Panjaitan, Ketua Komite Olimpiade Indonesia Rita Subowo dan mantan Ketua Umum PSSI Agum Gumelar di Istana Wapres. Alasan pencabutan ini dilakukan agar Indonesia terhindar dari sanksi FIFA. Walaupun demikian, Presiden Joko Widodo menginginkan adanya pembenahan total terhadap persepak bolaan Indonesia sebagai jalan untuk memperbaiki prestasi sepak bola Indonesia dan tetap mendukung dan menyerahkan pembenahan tersebut kepada Kementrian Pemuda dan Olahraga.
Pada 30 Mei 2015, FIFA resmi menjatuhkan sanksi kepada PSSI dan berlaku hingga PSSI mampu memenuhi kewajiban pada pasal 13 dan 17 statuta FIFA. Akibat sanksi ini, timnas Indonesia dan semua klub di Indonesia dilarang berpartisipasi di pentas Internasional di bawah FIFA atau AFC, kecuali SEA Games di Singapura hingga turnamen berakhir. Sanksi berupa pembekuan keanggotaan (suspensi) tersebut akhirnya dicabut hampir setahun kemudian, 13 Mei 2016, dalam Kongres FIFA ke-66 di Kota Meksiko.
Wikisource memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Keputusan Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia Nomor 01307 Tahun 2015
Kasus Match Fixing Yang Melibatkan Anggota Komite Eksekutif PSSI
Kasus pengaturan skor di sepak bola Indonesia pernah menjerat sejumlah pengurus PSSI. Mereka diciduk Satgas Anti Mafia Bola karena terlibat praktik match fixing.
Pengurus PSSI yang terciduk Satgas Anti Mafia Bola ini juga telah ditetapkan sebagai tersangka setelah diperiksa oleh pihak kepolisian.
Nama-nama pengurus PSSI ini terungkap sekitar medio 2018 di program Mata Najwa yang membahas soal praktik pengaturan skor di kompetisi sepak bola Indonesia.
Dari daftar yang ada, beberapa pengurus PSSI ini memang menduduki jabatan strategis dalam upaya mengatur sebuah pertandingan terdiri dari:
1. Johar Lin Eng
Johar Lin Eng, mantan anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI juga pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus pengaturan skor pada 2018.
Saat itu, Johar juga berstatus sebagai Ketua Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI Jawa Tengah. Namanya pertama kali muncul dalam acara Mata Najwa pada 19 Desember 2018. Saat itu, Johar Lin Eng disebut-sebut terlibat skandal pengaturan skor alias match-fixing pada pertandingan kompetisi Liga 3. Keterlibatannya diungkap oleh kesaksian Bupati Banjarnegara, Budhi Sarwono, serta manajer Persibara Banjarnegara, Lasmi Indrayanti, yang juga berstatus sebagai anak Budhi.
2. Dwi Irianto
Dwi Irianto atau yang akrab disapa Mbah Putih juga menjadi salah satu pengurus PSSI yang pernah ditangkap oleh Satgas Anti Mafia Bola. Mbah Putih merupakan anggota Asosiasi Provinsi (PSSI) DiY yang juga menjadi anggota Komisi Disiplin (Komdis) PSSI. Kasus pengaturan skor yang melibatkan Mbah Putih berawal ketika Lasmi Indaryani, manajer Persibara Banjarnegara, dalam program acara Mata Najwa pada 19 Desember 2018. Mbah Putih disebut terlibat dalam upaya memudahkan langkah Persibara di kompetisi Liga 3 2018. Saat itu, ia menerima sejumlah uang dari Lasmi Indaryani. Saat itu, Satgas Anti mafia Bola menemukan keterlibatan Mbah Putih sebagai penerima dana suap untuk mengatur skor pertandingan di Liga 2 dan Liga 3 musim 2018.
3. Priyanto
Selain itu, mantan anggota Komisi Wasit (Komwas) PSSI, Priyanto, juga pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus pengaturan skor.
Priyanto menjadi satu di antara enam tersangka dugaan pengaturan skor pada perjalanan Persibara Banjarnegara di Liga 3 2018.
Saat itu, Priyanto berperan sebagai makelar wasit dan klub, serta menjadi penghubung kepada Ketua Asprov PSSI Jawa Tengah, Johar Lin Eng.
Dalam sebuah persidangan, Priyanto sempat mengungkapkan fakta mengenai jumlah uang yang diberikan kepada wasit.
Dia menyebut, untuk Liga 3 Jawa Tengah, uang yang disetor kepada wasit sebesar Rp 10 juta, Rp 30 juta, hingga Rp 50 juta per pertandingan. Biasanya, besaran uang ini tergantung dari bobot pertandingan.
4. Joko Driyono
Salah satu pucuk pimpinan PSSI, Joko Driyono, juga pernah diciduk Satgas Antimafia Bola terkait kasus pengaturan skor.
Saat itu, Joko Driyono berstatus sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum PSSI. Dia menduduki posisi itu setelah Ketua Umum sebelumnya, Edy Rahmayadi, mundur dari jabatannya.
Jokdri, sapaan akrabnya, ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana pencurian dengan pemberatan dan/atau memasuki dengan cara membongkar, merusak, atau menghancurkan barang bukti.
Lelaki asal Ngawi itu dituduh menjadi dalang perusakan sejumlah dokumen yang berkaitan dengan pengaturan skor sepak bola nasional.
5. ML
Pengurus PSSI lainnya yang juga pernah terjerat kasus pengaturan skor ialah ML (nama inisial), staf Direktur Penugasan Wasit PSSI.
ML diketahui bertugas menjadwalkan siapa wasit yang akan memimpin pertandingan, baik di Liga 1, Liga 2, ataupun Liga 3.
Dari keterangan pihak kepolisian, ML diduga mengatur pemilihan wasit yang bisa diajak bekerja sama untuk memenangkan tim tertentu.
Miskomunikasi Sewa Lapangan Latihan
Pada 26 Mei 2022, pelatih kepala timnas Indonesia, Shin Tae-yong, menyatakan bahwa mereka batal melakukan latihan di Stadion Madya Gelora Bung Karno karena tempat tersebut belum dipesan. “Sedikit memalukan saya rasa alasannya. Kami memang mau melakukan latihan di lapangan setelah latihan beban, tapi tadi ada info kalau lapangan sedang dipakai, belum ter-booking. Jadi kami memutuskan untuk mengganti latihan dengan jogging,” ungkap Shin Tae-yong. Sebagai gantinya, Shin Tae-yong mengganti jadwal latihan dengan jogging di sekitar GBK. Seorang komite eksekutif (Executive Committee atau disingkat Exco) PSSI yang saat itu dipimpin oleh Mochamad Iriawan, Yunus Nusi, menampik pemberitaan itu dengan merilis statement bahwa telah terjadi miskomunikasi penjadwalan sewa lapangan, bahwa sebenarnya lapangan telah disewa namun berbeda waktu seperti yang dipahami Shin Tae-yong. Keesokan harinya, tim nasional melanjutkan latihan di Bandung untuk berlatih di Stadion Sidolig. Tim nasional Indonesia dijadwalkan menggelar latihan untuk persiapan menghadapi Bangladesh pada FIFA Matchday tanggal 1 Juni 2022 di Stadion Si Jalak Harupat, Bandung.
Sumber Artikel: id.wikipedia.org