Masalah Jalan di Indonesia
Dipublikasikan oleh Hansel pada 15 Oktober 2025
Bagi jutaan warga di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, perjalanan sehari-hari seringkali diwarnai oleh guncangan tak terduga. Getaran saat ban mobil menghantam lubang, manuver mendadak untuk menghindari retakan aspal, dan keluhan yang tak kunjung usai: "Mengapa jalan ini tak kunjung diperbaiki?" Pertanyaan ini bukan sekadar keluhan sesaat, melainkan cerminan dari sebuah masalah sistemik yang menghambat perekonomian dan menggerus kualitas hidup. Jalan yang rusak bukan hanya mengganggu kenyamanan; ia secara langsung meningkatkan biaya operasional kendaraan, memperlambat distribusi barang, dan pada akhirnya, membebani anggaran publik.1
Dilema ini terutama dirasakan oleh pemerintah daerah di negara-negara berkembang, di mana anggaran terbatas harus berhadapan dengan jaringan infrastruktur yang luas. Sebuah penelitian terobosan yang dilakukan di Peru menyoroti akar masalahnya: seringkali, persoalannya bukan murni kekurangan dana, melainkan ketiadaan sistem pemantauan yang efisien dan akurat.1 Tanpa data yang solid mengenai kondisi jalan secara real-time, keputusan perbaikan cenderung bersifat reaktif—menunggu kerusakan menjadi parah dan mahal untuk diperbaiki—alih-alih proaktif dan preventif.
Di tengah lanskap inilah, sebuah ruas jalan sepanjang 2 kilometer di Arequipa, Peru, bernama AR-780, diubah menjadi sebuah laboratorium lapangan. Para peneliti dari Universidad Católica de Santa Maria memutuskan untuk menggelar sebuah "pertarungan" langsung: metode tradisional yang lamban, padat karya, dan mahal diadu dengan teknologi cerdas yang ada di saku dan terbang di langit.1 Dua indikator kunci menjadi arena pertarungan ini: International Roughness Index (IRI), yang mengukur kenyamanan dan keamanan permukaan jalan, dan Pavement Condition Index (PCI), yang berfungsi sebagai "rapor kesehatan" aspal secara keseluruhan.
Namun, studi ini menawarkan sesuatu yang lebih fundamental daripada sekadar perbandingan teknologi. Ini adalah tentang demokratisasi alat manajemen infrastruktur. Selama ini, evaluasi jalan yang canggih bergantung pada peralatan khusus yang mahal dan tim ahli yang terlatih, sebuah kemewahan yang tidak dimiliki oleh banyak pemerintah kabupaten atau kota kecil. Penelitian ini membuktikan bahwa solusi untuk masalah kompleks ini bisa datang dari teknologi konsumen yang harganya terjangkau dan mudah diakses: sebuah aplikasi ponsel pintar dan sebuah drone komersial.1 Dengan menyajikan sebuah kerangka kerja yang dapat direplikasi, para peneliti secara efektif menurunkan hambatan teknis dan finansial, memberikan kekuatan kepada pemerintah lokal untuk membuat keputusan berbasis sains, bukan sekadar perkiraan.
Revolusi Digital di Atas Aspal: Ketika Smartphone dan Drone Menantang Tradisi Puluhan Tahun
Eksperimen di jalan AR-780 bukanlah sekadar uji coba akademis, melainkan sebuah demonstrasi nyata tentang bagaimana pergeseran paradigma teknologi dapat menghasilkan efisiensi yang dramatis. Dua skenario perbandingan mengungkapkan betapa besarnya potensi yang belum termanfaatkan.
Aplikasi di Kursi Pengemudi: Bagaimana Ponsel Pintar Mengalahkan Kecepatan Para Ahli
Pertama, para peneliti mengukur International Roughness Index (IRI), sebuah metrik yang secara sederhana dapat diartikan sebagai "skor kenyamanan berkendara." Semakin tinggi nilai IRI, semakin bergelombang dan tidak nyaman jalan tersebut, yang tidak hanya mengganggu pengemudi tetapi juga mempercepat keausan komponen kendaraan.1
Metode konvensional untuk mengukur IRI menggunakan alat bernama Merlin Roughness Meter. Bayangkan sebuah tim yang terdiri dari tiga orang—seorang operator yang mendorong alat, seorang asisten yang mencatat data, dan seorang pengawas lalu lintas—berjalan perlahan di sepanjang jalan. Setiap sekitar dua meter, mereka berhenti untuk mengambil pembacaan. Proses ini sangat teliti, namun luar biasa lambat dan padat karya.1
Di sisi lain, metode cerdas menggunakan aplikasi bernama Roadroid. Prosesnya sangat berbeda. Seorang insinyur hanya perlu memasang ponsel pintar di kaca depan kendaraan, membuka aplikasi, dan mulai berkendara dengan kecepatan normal sekitar 50 km/jam.1 Sensor akselerometer di dalam ponsel secara otomatis merekam setiap getaran dan guncangan, lalu mengolahnya menjadi data IRI yang akurat.
Hasil perbandingannya sangat mencengangkan. Untuk mengevaluasi jalan sepanjang satu kilometer, tim yang menggunakan Merlin Roughness Meter membutuhkan waktu satu jam penuh. Dengan aplikasi Roadroid, pekerjaan yang sama selesai hanya dalam satu menit.1 Ini adalah lompatan efisiensi 60 kali lipat. Secara naratif, apa yang sebelumnya memakan waktu setara dengan menonton satu episode serial TV, kini selesai bahkan sebelum secangkir kopi pagi mendingin.
Efisiensi waktu ini diikuti oleh penghematan biaya yang signifikan. Biaya evaluasi menggunakan Roadroid tercatat 681,29 soles Peru per kilometer, sementara metode Merlin memakan biaya 901,40 soles Peru per kilometer. Ini berarti penghematan sebesar 24,42%.1 Jika dianalogikan, setiap empat kilometer jalan yang dievaluasi menggunakan aplikasi ini, pemerintah daerah menghemat cukup uang untuk membiayai evaluasi kilometer kelima secara gratis.
Yang paling penting, efisiensi ini tidak mengorbankan akurasi. Hasil IRI dari Roadroid menunjukkan korelasi yang sangat tinggi dengan metode Merlin yang jauh lebih lambat, dengan variasi rata-rata hanya berkisar antara 4,0% hingga 8,7%.1 Keduanya bahkan menghasilkan klasifikasi Present Serviceability Index (PSI)—ukuran persepsi pengguna terhadap kualitas jalan—yang sama, yaitu "Baik".1 Ini adalah bukti kuat bahwa teknologi yang lebih cepat dan lebih murah dapat diandalkan untuk pengambilan keputusan.
Pandangan dari Atas: Mata Drone Mengungkap Lebih Banyak, dengan Biaya Jauh Lebih Murah
Selanjutnya, para peneliti beralih ke Pavement Condition Index (PCI), yang bisa dianggap sebagai "rapor kesehatan" jalan. Skornya berkisar dari 100 (sempurna) hingga 0 (gagal total), dan digunakan untuk menentukan jenis intervensi yang diperlukan, apakah cukup perawatan rutin atau sudah memerlukan rehabilitasi total.1
Inspeksi visual konvensional untuk PCI adalah pekerjaan yang sangat melelahkan. Sebuah tim harus berjalan kaki menyusuri setiap petak jalan (dalam studi ini, petak berukuran 30 x 7,6 meter), lalu secara manual mengidentifikasi, mengukur, dan mencatat 19 jenis kerusakan yang berbeda—mulai dari retak buaya, lubang, hingga deformasi permukaan.1 Proses ini tidak hanya lambat tetapi juga rentan terhadap subjektivitas penilai.
Sebagai tandingannya, para peneliti mengerahkan sebuah drone DJI Mavic 2 Pro. Drone ini diterbangkan secara otonom pada ketinggian 50 meter, mengambil ribuan foto resolusi tinggi dengan tumpang tindih 70%. Foto-foto ini kemudian diolah menggunakan perangkat lunak fotogrametri untuk menciptakan orthomosaic—sebuah peta foto tunggal yang sangat detail dari seluruh ruas jalan. Dari peta digital ini, para insinyur dapat mengidentifikasi dan mengukur kerusakan dengan presisi dari kenyamanan kantor mereka.1
Lagi-lagi, hasilnya menunjukkan efisiensi yang luar biasa. Pekerjaan yang membutuhkan 30 jam kerja lapangan oleh tim inspeksi visual—hampir seminggu kerja penuh—diselesaikan oleh drone hanya dalam 3 jam.1 Ini adalah percepatan 10 kali lipat.
Namun, penghematan biayalah yang menjadi sorotan utama. Evaluasi menggunakan drone hanya memakan biaya 375 soles Peru per kilometer, sementara metode tradisional menelan biaya 1.422,73 soles Peru per kilometer. Ini adalah pemangkasan anggaran sebesar 73,64%.1 Bayangkan implikasinya dalam skala besar: sebuah pemerintah daerah dengan anggaran 1,4 miliar rupiah untuk inspeksi jalan kini dapat menyelesaikan pekerjaan yang sama hanya dengan 375 juta rupiah. Sisa lebih dari 1 miliar rupiah dapat dialokasikan langsung untuk perbaikan jalan itu sendiri, bukan hanya untuk memeriksanya.
Nilai sejati dari teknologi cerdas ini sejatinya bukanlah karena mereka selalu lebih presisi. Faktanya, penelitian ini mengakui bahwa inspeksi visual di lapangan mampu memberikan detail yang lebih kaya.1 Namun, keunggulan strategisnya terletak pada kemampuannya untuk memungkinkan frekuensi pemantauan yang jauh lebih tinggi dengan biaya yang sangat rendah. Daripada melakukan inspeksi mahal sekali setiap beberapa tahun, pemerintah kini dapat memetakan kondisi seluruh jaringan jalannya setiap enam bulan atau bahkan setiap kuartal. Dengan data serial ini, mereka dapat melacak evolusi kerusakan—melihat retakan kecil sebelum menjadi lubang besar. Ini adalah pergeseran fundamental dari manajemen infrastruktur yang reaktif menjadi prediktif.
Mengapa Eksperimen di Peru Ini Bisa Mengubah Segalanya bagi Pemerintah Daerah
Kerangka kerja yang diusulkan dalam penelitian ini lebih dari sekadar inovasi teknis; ia adalah alat pemberdayaan bagi para pengambil keputusan di tingkat lokal. Dengan data IRI dan PCI yang objektif, cepat, dan terjangkau, percakapan di ruang rapat dinas pekerjaan umum dapat berubah secara drastis. Pertanyaan tidak lagi "Kira-kira, jalan mana yang paling parah kerusakannya?" melainkan "Berdasarkan peta data ini, berikut adalah 10 ruas jalan dengan skor PCI terendah yang harus menjadi prioritas utama dalam anggaran tahun ini."
Potensi optimalisasi anggaran sangat besar. Para peneliti menghitung, jika metode cerdas ini diterapkan pada seluruh 149,64 km jalan lokal di Arequipa, pemerintah akan menghemat 32.937 soles untuk evaluasi IRI dan 146.782 soles untuk evaluasi PCI.1 Dana yang dihemat ini dapat langsung dialihkan untuk membeli aspal, membayar upah pekerja, atau mendanai proyek infrastruktur lainnya yang mendesak.
Lebih jauh lagi, implementasi teknologi ini bukan hanya keputusan teknis, tetapi juga sebuah langkah politik yang kuat menuju tata kelola pemerintahan yang baik. Dalam banyak sistem, alokasi dana perbaikan jalan bisa dipengaruhi oleh lobi politik atau kepentingan elektoral. Data kuantitatif yang dihasilkan oleh Roadroid dan drone menciptakan bukti yang sulit dibantah mengenai kondisi objektif di lapangan. Seorang kepala dinas dapat menyajikan peta berkode warna yang menunjukkan tingkat kerusakan jalan kepada dewan legislatif atau publik, membenarkan alokasi anggaran berdasarkan kebutuhan teknis, bukan preferensi politis. Teknologi ini berfungsi sebagai "wasit" yang objektif, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas penggunaan uang pajak.
Pada akhirnya, manfaatnya akan dirasakan langsung oleh masyarakat dalam berbagai bentuk:
Dosis Realitas: Keterbatasan Praktis dari Solusi Teknologi Tinggi
Meskipun hasilnya sangat menjanjikan, penting untuk bersikap realistis. Para peneliti sendiri secara jujur menguraikan keterbatasan dari teknologi yang mereka uji, menegaskan bahwa ini bukanlah "peluru perak" yang bisa menyelesaikan semua masalah, melainkan alat canggih yang harus digunakan dengan pemahaman akan batasannya.1
Aplikasi Roadroid, misalnya, sangat bergantung pada kondisi eksternal. Akurasinya optimal saat kendaraan bergerak dengan kecepatan yang relatif konstan. Di jalanan yang padat lalu lintas atau memiliki banyak tikungan tajam, menjaga kecepatan ini bisa menjadi tantangan. Selain itu, sensornya dapat "tertipu" oleh elemen di luar permukaan jalan, seperti kerikil, cabang pohon, atau gundukan kecil lainnya yang mungkin ada di jalur.1
Sementara itu, drone juga memiliki keterbatasannya. Keterbatasan utamanya adalah ketidakmampuannya untuk melakukan pengukuran kedalaman (sumbu-z) dengan presisi milimetrik, yang terkadang penting untuk menganalisis jenis kerusakan tertentu seperti deformasi. Selain itu, kualitas citra udara bisa sangat terpengaruh oleh bayangan yang dihasilkan oleh pohon-pohon besar atau bangunan tinggi. Oleh karena itu, perencanaan waktu penerbangan menjadi sangat krusial untuk memastikan data yang optimal.1
Pesan kuncinya bukanlah tentang mengganti metode lama secara total, melainkan tentang menciptakan sinergi yang cerdas. Pendekatan yang paling efektif kemungkinan besar adalah model hibrida: gunakan drone dan Roadroid untuk melakukan survei skala besar yang cepat dan murah guna mengidentifikasi titik-titik masalah di seluruh jaringan jalan. Setelah area-area kritis ini terpetakan, barulah kirim tim inspeksi visual untuk melakukan analisis mendalam hanya di lokasi yang benar-benar membutuhkannya. Ini adalah tentang menggunakan alat yang tepat untuk pekerjaan yang tepat, mengoptimalkan sumber daya untuk dampak maksimal.
Jalan ke Depan: Cetak Biru untuk Infrastruktur yang Lebih Cerdas, Murah, dan Aman
Penelitian di Arequipa ini memberikan sebuah pesan yang kuat dan jelas: inovasi transformatif dalam pelayanan publik tidak selalu harus datang dari proyek-proyek raksasa yang menelan biaya triliunan. Seringkali, lompatan terbesar datang dari penerapan cerdas teknologi yang sudah ada, terjangkau, dan mudah diakses.
Cetak biru yang ditawarkan bukan hanya relevan untuk Peru, tetapi juga untuk ribuan pemerintah daerah di seluruh dunia yang menghadapi tantangan serupa. Ini adalah undangan untuk beralih dari siklus perbaikan yang reaktif dan mahal ke sebuah model manajemen aset yang proaktif, berbasis data, dan berkelanjutan.
Jika kerangka kerja yang diuji di Arequipa ini diterapkan secara nasional, pemerintah daerah di seluruh Indonesia bisa merealokasi ratusan miliar rupiah dari anggaran survei ke anggaran perbaikan aktual dalam lima tahun ke depan. Ini berarti lebih banyak jalan mulus, ekonomi lokal yang lebih dinamis, dan kepercayaan publik yang lebih kuat terhadap pemerintah—semua dimulai dari sebuah aplikasi di ponsel dan pandangan dari langit.
Sumber Artikel: