Manajemen Sumber Daya Manusia

Mengungkap Dampak Sertifikasi terhadap Kinerja Karyawan: Studi Kasus PT Petrokopindo Cipta Selaras

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 23 Juli 2025


Mengapa Sertifikasi Menjadi Penting di Dunia Kerja Saat Ini?

Dalam dunia bisnis yang semakin kompetitif dan dinamis, keberhasilan perusahaan tidak hanya ditentukan oleh produk dan strategi pemasaran, tetapi juga oleh kualitas sumber daya manusianya. Terutama dalam sektor teknis seperti persewaan alat berat dan logistik, karyawan dituntut untuk memiliki keterampilan teknis yang mumpuni sekaligus kemampuan beradaptasi terhadap perubahan teknologi. Penelitian yang dilakukan oleh Ela Wahyu Diyanti dan Ika Korika Swasti di PT Petrokopindo Cipta Selaras menjadi salah satu kajian penting yang menyoroti bagaimana pelatihan sertifikasi dapat menjadi kunci utama dalam meningkatkan performa karyawan, bahkan lebih signifikan dibandingkan kompetensi teknis yang dimiliki sejak awal.

Menurunnya Kinerja di Tengah Beban Kerja Teknis

Selama periode 2020 hingga 2022, PT Petrokopindo mencatat adanya penurunan dalam kualitas dan kuantitas kinerja karyawan teknisi. Dalam penilaian kinerja internal, jumlah karyawan yang memperoleh nilai sangat baik terus menurun setiap tahunnya, sementara angka karyawan dengan nilai "kurang" justru meningkat. Tak hanya itu, target kerja dalam hal perbaikan unit juga terus meleset dari tahun ke tahun. Jika pada 2020 target tercapai sebesar 83 persen, maka pada 2022 capaian tersebut anjlok menjadi hanya 59 persen.

Menurut hasil wawancara dengan pihak HRD perusahaan, hal ini disebabkan oleh minimnya pemahaman sebagian teknisi terhadap tanggung jawab dan prosedur kerja. Banyak di antara mereka yang kesulitan menyelesaikan tugas tepat waktu dan menunjukkan ketidaksiapan dalam menangani keluhan pelanggan secara profesional. Ini mengindikasikan bahwa kompetensi teknis yang dimiliki para teknisi belum cukup kuat untuk menopang produktivitas kerja secara optimal.

Investasi Strategis: Sertifikasi dan Pelatihan

Menanggapi penurunan kinerja tersebut, perusahaan mulai menggelar sejumlah pelatihan bersertifikat, terutama pada tahun 2022. Fokus utama pelatihan ini adalah pada peningkatan keahlian teknis, keselamatan kerja (K3), serta penguasaan peralatan berat. Pelatihan bersertifikasi yang paling masif diikuti adalah sertifikasi teknisi alat angkat dan transportasi yang diikuti oleh seluruh teknisi, yaitu sebanyak 46 orang. Selain itu, ada pelatihan lain seperti penanganan kecelakaan kerja, pelatihan pemadam kebakaran, hingga pelatihan sopir barang berbahaya.

Tujuan dari program ini adalah agar para karyawan tidak hanya memiliki pengalaman di lapangan, tetapi juga mendapatkan pembaruan pengetahuan yang terstandarisasi dan relevan dengan kebutuhan industri. Dengan pelatihan ini, perusahaan berharap performa individu meningkat, yang berdampak langsung pada efisiensi operasional perusahaan.

Metode Penelitian dan Hasil Analisis

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan populasi 46 teknisi yang semuanya dijadikan responden (saturated sampling). Data dikumpulkan melalui kuesioner dan dianalisis menggunakan Partial Least Square (PLS).

Peneliti menguji dua hipotesis utama, yaitu apakah kompetensi teknis dan pelatihan sertifikasi berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Hasilnya sangat menarik: kompetensi teknis ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja, sedangkan pelatihan sertifikasi memiliki pengaruh positif dan signifikan.

Hal ini dibuktikan melalui nilai p yang diperoleh dalam uji statistik. Untuk kompetensi teknis, nilai p sebesar 0.149 (lebih besar dari 0.05), menunjukkan bahwa pengaruhnya tidak signifikan. Sebaliknya, pelatihan sertifikasi menunjukkan nilai p sebesar 0.001, yang berarti berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan performa karyawan.

Mengapa Kompetensi Teknis Tidak Mempengaruhi Kinerja?

Hasil ini mungkin terdengar mengejutkan, tetapi bisa dijelaskan. Kompetensi teknis yang dimiliki oleh karyawan—baik dari segi pengalaman, pengetahuan dasar, hingga kemampuan menggunakan alat—tidak menjamin bahwa mereka bisa menyelesaikan pekerjaan secara efektif, terutama jika mereka tidak mendapatkan pelatihan yang berkelanjutan dan sesuai dengan perkembangan teknologi.

Peneliti mencatat bahwa banyak karyawan yang hanya mengandalkan pengalaman kerja, tanpa memahami prosedur kerja terkini atau standar keselamatan terbaru. Tanpa pelatihan yang terstruktur, pengalaman tersebut tidak dapat dimaksimalkan. Bahkan, beberapa teknisi dengan latar belakang pendidikan rendah mampu menunjukkan performa yang baik setelah mengikuti pelatihan, yang mengindikasikan bahwa penguasaan materi pelatihan lebih menentukan daripada latar belakang kompetensi awal.

Peran Strategis Pelatihan Sertifikasi

Pelatihan sertifikasi tidak hanya menjadi media transfer ilmu, tetapi juga meningkatkan motivasi, kepercayaan diri, dan profesionalisme karyawan. Dalam studi ini, indikator yang paling berkontribusi terhadap peningkatan kinerja adalah penguasaan materi pelatihan, diikuti oleh dukungan terhadap pekerjaan dan cara penyampaian materi yang baik.

Dengan pemahaman materi yang kuat, karyawan mampu menyelesaikan pekerjaan lebih cepat, lebih tepat, dan lebih aman. Selain itu, adanya sertifikat juga memberikan pengakuan formal terhadap kemampuan mereka, yang dapat menjadi dorongan psikologis tersendiri.

Bandingkan dengan Studi Lain

Menariknya, hasil ini berbeda dari penelitian sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Rahma Sari dan Eny Ariyanto (2016) atau Ulfaturrosida et al. (2022), yang menyatakan bahwa kompetensi teknis memiliki pengaruh besar terhadap kinerja. Perbedaan hasil ini bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor kontekstual, seperti struktur organisasi, sistem penilaian, budaya kerja, dan karakteristik industri.

Artinya, tidak ada satu solusi tunggal untuk semua organisasi. Di PT Petrokopindo, pelatihan bersertifikat terbukti lebih efektif karena menutup celah pengetahuan praktis yang selama ini tidak diisi oleh pengalaman kerja semata.

Rekomendasi Strategis

Berdasarkan hasil penelitian ini, ada beberapa saran yang dapat diterapkan oleh perusahaan sejenis:

  1. Fokus pada pelatihan terstandar: Tidak cukup hanya mengandalkan pengalaman kerja. Pelatihan berkala dan bersertifikat wajib diberikan agar karyawan terus berkembang sesuai kebutuhan industri.
  2. Evaluasi kompetensi secara komprehensif: Jangan hanya menilai dari pengalaman atau pendidikan formal, tetapi lihat dari hasil pelatihan dan keterampilan yang dapat diukur secara obyektif.
  3. Tingkatkan motivasi melalui pengakuan formal: Berikan penghargaan atau insentif bagi karyawan yang berhasil menyelesaikan pelatihan dengan baik, termasuk peluang promosi atau bonus.
  4. Kembangkan soft skill: Selain keterampilan teknis, pelatihan juga harus mencakup komunikasi, kerja sama tim, dan manajemen waktu.

Penutup: Pelatihan Adalah Kunci Sukses

Penelitian ini membuktikan bahwa dalam industri teknis, pelatihan bersertifikasi lebih berdampak signifikan terhadap peningkatan performa karyawan dibandingkan kompetensi teknis awal. Investasi pada pelatihan bukan hanya tentang biaya, tetapi merupakan strategi jangka panjang untuk memastikan kualitas SDM dan daya saing perusahaan.

Di tengah transformasi industri dan perkembangan teknologi yang cepat, perusahaan yang cerdas adalah perusahaan yang menjadikan pelatihan sebagai bagian dari budaya kerja. Tidak ada SDM hebat tanpa pembelajaran yang berkelanjutan. Karena pada akhirnya, manusia tetap menjadi aset terpenting dalam setiap keberhasilan bisnis.

Sumber:

Ela Wahyu Diyanti & Ika Korika Swasti. (2023). The Effect of Technical Competence and Certification Training on Employee Performance at PT. Petrokopindo Cipta Selaras. Indonesian Journal of Business Analytics (IJBA), Vol.3, No.5, 2023: 1803–1814.

 

Selengkapnya
Mengungkap Dampak Sertifikasi terhadap Kinerja Karyawan: Studi Kasus PT Petrokopindo Cipta Selaras

Manajemen Sumber Daya Manusia

Dampak Sertifikasi Kompetensi terhadap Pekerja: Analisis, Studi Kasus, dan Relevansi di Era SDM Kompetitif

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025


Mengapa Sertifikasi Kompetensi Semakin Penting di Dunia Kerja Modern?

Di tengah persaingan global dan transformasi industri yang kian pesat, kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi penentu utama daya saing bangsa. Indonesia, dengan bonus demografi dan jumlah angkatan kerja yang besar, menghadapi tantangan besar: bagaimana memastikan setiap pekerja benar-benar kompeten dan siap bersaing di pasar domestik maupun internasional? Sertifikasi kompetensi, yang diatur melalui berbagai regulasi nasional, kini menjadi instrumen strategis untuk menjawab tantangan tersebut.

Artikel ini mengulas secara kritis hasil penelitian Suryadi, Ari Yuliastuti, Yuniarti Tri Suwadji, dan Emi Syarif (2019) yang menganalisis dampak sertifikasi kompetensi terhadap karakteristik pekerja di Indonesia. Dengan pendekatan statistik MANOVA dan studi kasus di empat provinsi utama, paper ini memberikan gambaran empiris tentang manfaat nyata sertifikasi, sekaligus mengaitkannya dengan tren industri, tantangan implementasi, dan rekomendasi kebijakan.

Sertifikasi Kompetensi: Pilar SDM Unggul dan Daya Saing Nasional

Apa Itu Sertifikasi Kompetensi?

Sertifikasi kompetensi adalah proses penilaian dan pengakuan formal terhadap kemampuan, keterampilan, dan sikap kerja seseorang sesuai standar yang ditetapkan. Di Indonesia, proses ini diatur oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dan dilaksanakan melalui Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) di berbagai sektor.

Tiga Pilar Pengembangan SDM Berbasis Kompetensi

  1. Standar Kompetensi Kerja Nasional (SKKNI): Menjadi acuan utama kebutuhan industri.
  2. Program Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi: Menghasilkan lulusan yang siap uji.
  3. Sertifikasi Kompetensi: Menjamin lulusan benar-benar menguasai kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja.

Manfaat Sertifikasi Kompetensi

  • Bagi perusahaan: Memudahkan rekrutmen, penempatan, pengembangan karir, dan peningkatan produktivitas.
  • Bagi pekerja: Meningkatkan mobilitas, pengakuan kompetensi, prospek karir, dan kepercayaan diri.
  • Bagi pemerintah dan masyarakat: Meningkatkan efisiensi pasar kerja, daya saing nasional, dan perlindungan tenaga kerja.

Studi Kasus: Analisis Dampak Sertifikasi Kompetensi di Empat Provinsi

Desain Penelitian

  • Lokasi: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur—empat provinsi dengan jumlah LSP terbanyak.
  • Periode: April–September 2018.
  • Responden: 164 pekerja (85 bersertifikat, 79 tanpa sertifikat), dipilih secara purposive sampling.
  • Metode: Analisis MANOVA untuk menguji perbedaan karakteristik antara pekerja bersertifikat dan non-sertifikat.

Variabel yang Diukur

  • Y1: Pengetahuan meningkat setelah bekerja
  • Y2: Pengetahuan cukup untuk bekerja
  • Y3: Kemampuan menganalisis pekerjaan
  • Y4: Sertifikasi meningkatkan kepercayaan diri
  • Y5: Konsistensi penerapan pengetahuan
  • Y6: Keterampilan teknis tinggi
  • Y7: Kemampuan belajar tugas baru dengan cepat
  • Y8: Penyelesaian tugas lebih cepat dari target
  • Y9: Pencapaian target kerja di atas 100%
  • Y10: Koreksi pekerjaan sebelum diserahkan
  • Y11: Keberanian mengambil keputusan

Temuan Utama: Sertifikasi Kompetensi Meningkatkan Kepercayaan Diri dan Kinerja

Hasil Analisis Statistik

  • MANOVA menunjukkan perbedaan signifikan antara pekerja bersertifikat dan non-sertifikat pada variabel Y4, Y5, Y6, dan Y7 (nilai signifikansi < 0,05).
  • Y4 (Kepercayaan Diri): Pekerja bersertifikat merasa lebih percaya diri dalam menyelesaikan tugas.
  • Y5 (Penerapan Pengetahuan): Mereka lebih konsisten menerapkan pengetahuan dalam pekerjaan sehari-hari.
  • Y6 (Keterampilan Teknis): Pekerja bersertifikat dinilai lebih terampil secara teknis.
  • Y7 (Adaptasi Tugas Baru): Lebih cepat belajar dan menguasai tugas baru sebelum dikerjakan.

Studi Kasus Lapangan

  • Perusahaan manufaktur di Jawa Barat: Pekerja bersertifikat lebih sering dipilih untuk posisi strategis dan promosi jabatan.
  • Industri jasa di DKI Jakarta: Sertifikasi menjadi syarat utama dalam proses rekrutmen dan seleksi, terutama untuk posisi yang membutuhkan keahlian khusus.
  • Sektor konstruksi di Jawa Timur: Pekerja bersertifikat lebih dipercaya menangani proyek bernilai besar dan berisiko tinggi.

Data Penting

  • 85 pekerja bersertifikat vs 79 pekerja non-sertifikat menjadi sampel utama.
  • Empat provinsi dipilih karena memiliki ekosistem LSP dan pelatihan yang lebih matang.
  • Variabel Y4–Y7 menjadi indikator utama dampak positif sertifikasi.

Analisis Kritis: Kekuatan, Kelemahan, dan Implikasi Kebijakan

Kekuatan Penelitian

  • Pendekatan empiris: Menggunakan data primer dan analisis statistik yang kuat (MANOVA).
  • Studi lintas sektor: Melibatkan pekerja dari berbagai industri dan wilayah.
  • Fokus pada variabel perilaku dan kinerja: Tidak hanya mengukur pengetahuan, tapi juga sikap dan keterampilan kerja.

Kelemahan dan Tantangan

  • Sampel terbatas: Hanya 164 responden, sehingga generalisasi nasional masih perlu studi lanjutan.
  • Belum mengukur dampak jangka panjang: Studi ini fokus pada perbedaan karakteristik, belum pada outcome karir atau pendapatan.
  • Kesenjangan akses sertifikasi: Tidak semua pekerja di daerah atau sektor informal mudah mengakses LSP dan uji kompetensi.

Implikasi Kebijakan

  • Perluasan akses sertifikasi: Pemerintah perlu memperbanyak LSP di daerah dan sektor informal.
  • Integrasi dengan sistem pendidikan: Sertifikasi harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan vokasi dan pelatihan kerja.
  • Insentif bagi perusahaan: Berikan insentif bagi perusahaan yang memprioritaskan pekerja bersertifikat.
  • Monitoring dan evaluasi berkelanjutan: Lakukan studi longitudinal untuk mengukur dampak sertifikasi terhadap karir dan kesejahteraan pekerja.

Perbandingan dengan Penelitian Lain dan Tren Industri

Studi Lain di Indonesia

  • Penelitian Rosyid (2020): Sertifikasi di LSP P1 SMK terbukti meningkatkan kepercayaan diri dan daya saing lulusan, namun akses masih terbatas di luar kota besar.
  • Studi Priyanto dkk. (2024): Evaluasi program sertifikasi di SMK Jakarta menunjukkan bahwa pelatihan terapan dan kolaborasi industri menjadi kunci efektivitas sertifikasi.

Tren Global

  • Jerman dan Jepang: Sertifikasi kompetensi terintegrasi dengan sistem pendidikan vokasi dan industri, sehingga lulusan langsung siap kerja.
  • Singapura dan Korea Selatan: Sertifikasi digital dan database nasional memudahkan verifikasi dan mobilitas tenaga kerja.
  • ASEAN: Mutual Recognition Arrangement (MRA) mendorong pengakuan sertifikat lintas negara, memperluas peluang kerja regional.

Relevansi untuk Indonesia

  • Bonus demografi: Sertifikasi menjadi instrumen strategis untuk memastikan angkatan kerja muda benar-benar siap bersaing.
  • Transformasi digital: Sertifikasi digital dan integrasi dengan platform online akan mempercepat proses dan memperluas akses.

Studi Kasus Nyata: Transformasi Karir Berbasis Sertifikasi

Kasus 1: Pekerja Manufaktur di Bekasi

Seorang operator mesin di Bekasi yang mengikuti uji sertifikasi LSP melaporkan peningkatan kepercayaan diri dan promosi jabatan dalam waktu satu tahun. Ia dipercaya menangani mesin baru dan menjadi mentor bagi rekan kerja yang belum bersertifikat.

Kasus 2: Teknisi Jaringan di Surabaya

Teknisi jaringan yang memperoleh sertifikat kompetensi dari LSP di Surabaya lebih mudah diterima di perusahaan multinasional. Sertifikat menjadi bukti keahlian yang diakui, sehingga proses rekrutmen lebih cepat dan peluang karir lebih terbuka.

Kasus 3: Pekerja Konstruksi di Jakarta

Pekerja konstruksi bersertifikat lebih sering dipilih untuk proyek-proyek besar dan mendapat upah lebih tinggi dibanding rekan yang belum bersertifikat. Perusahaan juga lebih percaya menugaskan mereka untuk pekerjaan yang membutuhkan presisi dan tanggung jawab tinggi.

Rekomendasi Praktis untuk Pengembangan Sertifikasi Kompetensi di Indonesia

  • Perluas jaringan LSP: Bangun LSP di seluruh provinsi dan sektor strategis, termasuk sektor informal.
  • Integrasi dengan pendidikan vokasi: Jadikan sertifikasi sebagai bagian wajib dalam kurikulum SMK, politeknik, dan pelatihan kerja.
  • Digitalisasi proses sertifikasi: Kembangkan platform online untuk pendaftaran, uji, dan verifikasi sertifikat.
  • Kolaborasi dengan industri: Libatkan asosiasi industri dalam penyusunan standar dan pelaksanaan uji kompetensi.
  • Sosialisasi dan edukasi: Tingkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya sertifikasi melalui kampanye nasional.
  • Monitoring dan evaluasi: Lakukan studi dampak jangka panjang untuk mengukur efektivitas sertifikasi terhadap karir dan kesejahteraan pekerja.

Opini: Sertifikasi Kompetensi sebagai Pilar SDM Unggul dan Daya Saing Bangsa

Penelitian Suryadi dkk. menegaskan bahwa sertifikasi kompetensi bukan sekadar formalitas administratif, melainkan instrumen strategis untuk membangun SDM unggul, adaptif, dan siap bersaing di era global. Kepercayaan diri, keterampilan teknis, dan kemampuan adaptasi yang lebih baik pada pekerja bersertifikat membuktikan bahwa investasi pada sertifikasi adalah investasi masa depan bangsa.

Namun, tantangan terbesar adalah pemerataan akses dan integrasi sertifikasi dengan sistem pendidikan dan industri. Tanpa upaya kolaboratif antara pemerintah, dunia usaha, dan lembaga pendidikan, sertifikasi hanya akan menjadi hak istimewa segelintir orang. Indonesia harus belajar dari negara-negara maju yang telah membuktikan bahwa sertifikasi kompetensi adalah kunci utama transformasi SDM dan daya saing nasional.

Kesimpulan: Menuju Indonesia Kompeten dan Kompetitif

Sertifikasi kompetensi telah terbukti memberikan dampak positif pada kepercayaan diri, keterampilan teknis, dan adaptasi pekerja di berbagai sektor. Dengan memperluas akses, memperkuat kolaborasi, dan mengintegrasikan sertifikasi ke dalam sistem pendidikan dan industri, Indonesia dapat membangun ekosistem SDM yang unggul dan kompetitif di tingkat global. Sertifikasi bukan sekadar dokumen, melainkan fondasi masa depan SDM Indonesia.

Sumber asli:
Suryadi, Ari Yuliastuti, Yuniarti Tri Suwadji, dan Emi Syarif. 2019. "The Impact of Competency Certification on Workers." Proceedings of the 20th Malaysia Indonesia International Conference on Economics, Management and Accounting (MIICEMA 2019), 578-584.

Selengkapnya
Dampak Sertifikasi Kompetensi terhadap Pekerja: Analisis, Studi Kasus, dan Relevansi di Era SDM Kompetitif

Manajemen Sumber Daya Manusia

Manajemen Sertifikasi Kompetensi di SMK: Kunci Daya Saing Lulusan di Era Industri 4.0

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025


Di tengah persaingan global dan revolusi industri 4.0, kualitas lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menjadi sorotan utama dalam pembangunan SDM Indonesia. Sertifikasi kompetensi bukan sekadar formalitas, melainkan instrumen vital untuk memastikan lulusan SMK benar-benar siap kerja dan diakui industri. Namun, bagaimana praktik manajemen sertifikasi kompetensi di tingkat sekolah? Artikel ini mengulas secara kritis hasil penelitian Aris Abadi, Sutama, dan Ahmad Muhibbin (2022) tentang manajemen sertifikasi kompetensi di SMK Tengaran, Kabupaten Semarang. Dengan pendekatan fenomenologi, studi ini membedah proses perencanaan, pelaksanaan, hingga tindak lanjut sertifikasi, serta mengaitkannya dengan tren nasional, studi kasus nyata, dan rekomendasi strategis.

Tren Nasional: Revitalisasi SMK dan Tantangan Kompetensi

Latar Belakang Kebijakan

  • Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2016 menegaskan revitalisasi SMK sebagai upaya meningkatkan kualitas dan daya saing SDM Indonesia.
  • Pemerintah mendorong pembentukan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) di setiap SMK agar lulusan memperoleh pengakuan kompetensi yang diakui industri.
  • Roadmap pengembangan SMK menekankan pentingnya link and match antara kurikulum sekolah dan kebutuhan dunia kerja.

Realitas di Lapangan

  • Tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan SMK masih tertinggi dibanding jenjang lain: 11,13% (BPS, 2021), lebih tinggi dari SMA (9,09%) dan perguruan tinggi (5,98%).
  • Industri sering mengeluhkan lulusan SMK belum memenuhi standar kompetensi yang dibutuhkan, sehingga banyak yang harus dilatih ulang.

Studi Kasus: Manajemen Sertifikasi Kompetensi di SMK Tengaran

Metodologi dan Profil Penelitian

  • Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologi, dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi.
  • Informan kunci: Kepala LSP SMK Tengaran, Kepala Seksi Sertifikasi, Kepala Seksi Administrasi, asesor, kepala sekolah, kepala jurusan, dan siswa.

Perencanaan Sertifikasi: Administrasi dan Infrastruktur

Tahapan Perencanaan

  • Perencanaan dokumen: Analisis jumlah peserta, penentuan skema sertifikasi (mengacu pada KKNI level II), penjadwalan, dan persiapan dokumen APL 01 (aplikasi sertifikasi) dan APL 02 (self-assessment).
  • Perencanaan fasilitas: Verifikasi Tempat Uji Kompetensi (TUK) secara berkala, memastikan alat, bahan, dan lingkungan uji sesuai standar BNSP.

Studi Kasus Nyata

Di SMK Tengaran, setiap tahun dilakukan analisis kebutuhan peserta uji kompetensi berdasarkan jurusan. Kepala LSP berkoordinasi dengan asesor untuk menyiapkan materi uji yang telah divalidasi silang. TUK diverifikasi menggunakan checklist ketat; jika tidak memenuhi syarat, tidak boleh digunakan untuk uji kompetensi.

Proses Sertifikasi: Praktik Langsung dan Penilaian Objektif

Alur Pelaksanaan

  • Peserta mendaftar melalui Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, mengisi APL 01 dan APL 02.
  • Uji kompetensi dilakukan di TUK terverifikasi, dengan metode praktik langsung, didampingi asesor.
  • Penilaian berbasis evidence: observasi praktik, tes tertulis/lisan, dan bukti pendukung (foto, rekaman, surat referensi).
  • Hasil penilaian bersifat biner: Kompeten atau Belum Kompeten. Peserta dinyatakan kompeten jika seluruh indikator pada checklist terpenuhi.

Angka dan Fakta

  • Setiap tahun, ratusan siswa mengikuti uji kompetensi di SMK Tengaran, dengan tingkat kelulusan bervariasi tergantung jurusan dan kesiapan peserta.
  • Proses penilaian mengacu pada prinsip validitas, reliabilitas, fleksibilitas, dan keadilan.

Tantangan di Lapangan

  • Peserta sering salah mengisi data pada APL 01, menyebabkan kesalahan penulisan identitas di sertifikat.
  • Sebagian siswa menganggap sertifikasi tidak penting, sehingga kurang persiapan.
  • Regulasi BNSP yang sering berubah menyebabkan asesor harus terus menyesuaikan format materi uji.

Tindak Lanjut: Sertifikat dan Validasi Proses

Penerbitan Sertifikat

  • Hanya peserta yang dinyatakan kompeten yang mendapat sertifikat resmi dengan logo Garuda.
  • Peserta yang belum kompeten hanya mendapat “skill passport” sebagai bukti pernah mengikuti uji kompetensi.

Validasi dan Supervisi

  • Proses validasi dilakukan oleh asesor melalui FR.VA (formulir validasi assessment), baik sebelum, saat, maupun setelah uji kompetensi.
  • Validasi mencakup metode, alat, bukti, dan keputusan penilaian, memastikan proses berjalan objektif dan transparan.

Studi Kasus: Implikasi Sertifikasi

Seorang siswa jurusan Teknik Otomotif di SMK Tengaran mengaku, “Setelah dapat sertifikat kompetensi, saya lebih percaya diri melamar kerja di bengkel besar. Tapi teman saya yang belum lulus uji harus ikut pelatihan tambahan.” Sementara itu, asesor menyoroti pentingnya validasi berlapis agar tidak ada peserta yang lolos tanpa benar-benar kompeten.

Analisis Kritis: Kekuatan, Kelemahan, dan Perbandingan

Kekuatan Sistem Sertifikasi di SMK Tengaran

  • Proses terstruktur: Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga tindak lanjut, semua berjalan sistematis dan terdokumentasi.
  • Keterlibatan asesor profesional: Asesor telah mengikuti pelatihan dan memahami standar BNSP.
  • Validasi berlapis: Setiap keputusan penilaian harus melalui rapat pleno dan validasi dokumen.

Kelemahan dan Tantangan

  • Perubahan regulasi: Format materi uji sering berubah, menyulitkan asesor dan peserta.
  • Motivasi peserta: Masih ada siswa yang kurang memahami pentingnya sertifikasi, sehingga persiapan minim.
  • Keterbatasan fasilitas: Tidak semua TUK memiliki alat dan bahan yang memadai, terutama untuk jurusan baru atau langka.

Perbandingan dengan Praktik Nasional dan Internasional

  • SMK lain di Indonesia: Banyak SMK belum memiliki LSP mandiri, sehingga harus bekerja sama dengan LSP eksternal. Hal ini sering menyebabkan antrean panjang dan biaya tambahan.
  • Negara maju: Di Jerman dan Australia, sertifikasi kompetensi sudah terintegrasi dengan sistem pendidikan vokasi dan diakui industri secara luas. Proses validasi dilakukan bersama industri, sehingga lulusan langsung terserap pasar kerja.

Implikasi Industri dan Daya Saing Lulusan

Dampak pada Lulusan

  • Lulusan yang memiliki sertifikat kompetensi lebih mudah diterima di industri, terutama di sektor otomotif, teknik, dan hospitality.
  • Sertifikat menjadi nilai tambah saat melamar kerja, bahkan menjadi syarat wajib di beberapa perusahaan multinasional.

Dampak pada Industri

  • Industri lebih percaya pada lulusan yang sudah tersertifikasi, mengurangi biaya pelatihan ulang.
  • Kolaborasi antara SMK dan industri semakin erat, terutama dalam penyusunan materi uji dan penentuan standar kompetensi.

Studi Kasus: Kolaborasi SMK-Industri

SMK Tengaran bekerja sama dengan beberapa perusahaan otomotif dan manufaktur di Semarang. Perusahaan ikut terlibat dalam penyusunan materi uji dan kadang menjadi penguji eksternal. Hasilnya, lebih dari 70% lulusan terserap di dunia kerja dalam waktu enam bulan setelah lulus.

Rekomendasi Strategis: Membangun Ekosistem Sertifikasi yang Inklusif

1. Penguatan LSP Internal

  • Setiap SMK perlu membentuk LSP mandiri agar proses sertifikasi lebih efisien dan terjangkau.
  • LSP internal memudahkan penyesuaian materi uji dengan kebutuhan lokal dan tren industri.

2. Peningkatan Kompetensi Asesor

  • Asesor harus rutin mengikuti pelatihan dan update regulasi BNSP.
  • Kolaborasi dengan industri dan LSP eksternal dapat memperkaya wawasan asesor.

3. Modernisasi Fasilitas TUK

  • Pemerintah dan sekolah perlu berinvestasi pada alat dan bahan uji yang sesuai standar industri.
  • TUK harus diverifikasi secara berkala agar selalu siap digunakan.

4. Edukasi dan Motivasi Peserta

  • Sosialisasi pentingnya sertifikasi harus dilakukan sejak awal masuk SMK.
  • Testimoni alumni sukses dan kunjungan industri dapat meningkatkan motivasi siswa.

5. Adaptasi Kurikulum dan Materi Uji

  • Kurikulum SMK harus selalu di-update sesuai kebutuhan industri dan perkembangan teknologi.
  • Materi uji harus fleksibel namun tetap mengacu pada standar nasional.

Hubungan dengan Tren Industri dan Kebijakan Nasional

  • Digitalisasi dan otomasi: Sertifikasi kompetensi harus mencakup keterampilan digital dan adaptasi teknologi baru.
  • Kebijakan link and match: Kolaborasi SMK-industri harus diperkuat agar lulusan benar-benar siap kerja.
  • Persaingan global: Sertifikat kompetensi yang diakui nasional dan internasional akan meningkatkan daya saing lulusan di pasar kerja ASEAN.

Opini dan Kritik: Jalan Panjang Menuju Sertifikasi Kompetensi Ideal

Penelitian ini menegaskan bahwa manajemen sertifikasi kompetensi di SMK, khususnya di SMK Tengaran, sudah berjalan cukup baik namun masih menghadapi tantangan besar. Perubahan regulasi, keterbatasan fasilitas, dan motivasi peserta menjadi hambatan utama. Namun, dengan komitmen semua pihak—sekolah, pemerintah, industri, dan siswa—ekosistem sertifikasi yang inklusif dan adaptif sangat mungkin diwujudkan.

Dibandingkan negara maju, Indonesia masih perlu berbenah dalam hal integrasi sertifikasi dengan sistem pendidikan dan industri. Sertifikasi harus menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan, bukan sekadar formalitas menjelang kelulusan. Jika tidak, lulusan SMK akan terus tertinggal dalam persaingan global.

Studi Kasus Inovatif: Validasi Berlapis dan Dampaknya

SMK Tengaran menerapkan validasi berlapis dalam proses sertifikasi. Setiap hasil penilaian harus diverifikasi oleh tim asesor dan disahkan dalam rapat pleno. Hasilnya, tingkat kelulusan yang kompeten meningkat, dan kasus sertifikat “asal jadi” bisa ditekan. Model ini layak diadopsi SMK lain untuk menjaga kredibilitas sertifikasi.

Kesimpulan: Sertifikasi Kompetensi sebagai Pilar Daya Saing Lulusan SMK

Manajemen sertifikasi kompetensi di SMK, seperti yang diterapkan di SMK Tengaran, membuktikan bahwa proses yang terstruktur, validasi berlapis, dan kolaborasi dengan industri mampu meningkatkan kualitas lulusan. Namun, tantangan masih besar: perubahan regulasi, keterbatasan fasilitas, dan motivasi peserta. Dengan strategi penguatan LSP internal, peningkatan kompetensi asesor, modernisasi fasilitas, dan edukasi peserta, sertifikasi kompetensi dapat menjadi pilar utama daya saing lulusan SMK di era industri 4.0.

Langkah ke depan adalah membangun ekosistem sertifikasi yang inklusif, adaptif, dan terintegrasi dengan kebutuhan industri. Hanya dengan cara ini, lulusan SMK Indonesia akan benar-benar siap bersaing di pasar kerja nasional maupun global.

Sumber artikel asli:
Aris Abadi, Sutama, Ahmad Muhibbin. (2022). Management of Competency Certification Assessment by Professional Certification Body of Tengaran Vocational High School Semarang Regency. Budapest International Research and Critics Institute-Journal (BIRCI-Journal), Vol. 5, No. 3, hlm. 20572–20581.

Selengkapnya
Manajemen Sertifikasi Kompetensi di SMK: Kunci Daya Saing Lulusan di Era Industri 4.0

Manajemen Sumber Daya Manusia

Mengungkap Kunci Profesionalisme Nazhir: Peran Sertifikasi Kompetensi, Motivasi, dan Lingkungan Kerja pada Kinerja Badan Wakaf Indonesia Sumatera Selatan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juli 2025


Waqf dan Peran Strategis Nazhir di Indonesia

Wakaf merupakan salah satu instrumen filantropi Islam yang berperan penting dalam pembangunan sosial, ekonomi, dan pendidikan di Indonesia. Dalam dua dekade terakhir, praktik wakaf di Indonesia mengalami pertumbuhan pesat, baik dari sisi jumlah, ragam, maupun kontribusinya terhadap kesejahteraan masyarakat. Namun, optimalisasi manfaat wakaf sangat bergantung pada kinerja nazhir—pengelola wakaf yang bertanggung jawab mengelola dan mengembangkan aset wakaf agar sesuai tujuan syariah dan kebutuhan umat.

Penelitian Ulfia Rachmah, Maya Panorama, dan Mismiwati (2025) secara khusus menyoroti peran sertifikasi kompetensi, motivasi, dan lingkungan kerja terhadap kinerja nazhir di Badan Wakaf Indonesia (BWI) Sumatera Selatan. Dengan pendekatan kualitatif dan analisis mendalam menggunakan NVivo 12 Pro, studi ini menawarkan perspektif baru tentang faktor-faktor penentu profesionalisme dan produktivitas nazhir di era modern.

Metodologi: Pendekatan Kualitatif dan Analisis Tematik

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, dengan data utama diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan perangkat lunak NVivo 12 Pro, yang memudahkan peneliti dalam mengidentifikasi tema-tema kunci, memetakan hubungan antar faktor, serta menampilkan visualisasi data berupa word cloud dan hierarchy chart. Informan penelitian dipilih secara purposif dari kalangan nazhir BWI Sumatera Selatan, baik yang telah maupun belum bersertifikat kompetensi.

Studi Kasus: Dinamika Nazhir di BWI Sumatera Selatan

Kondisi Riil: Infrastruktur dan Identitas Lembaga

Studi ini menemukan bahwa BWI Sumatera Selatan masih berbagi kantor dengan Kementerian Agama Provinsi, sehingga identitas kelembagaan belum optimal. Bahkan, lokasi kantor di Google Maps tidak sesuai dengan alamat sebenarnya, yang menimbulkan kebingungan bagi masyarakat. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri dalam membangun profesionalisme dan kredibilitas nazhir di mata publik.

Sertifikasi Kompetensi: Pondasi Profesionalisme Nazhir

Sertifikasi kompetensi bagi nazhir diselenggarakan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) BWI, dengan 10 skema sertifikasi yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penyajian informasi, dan pelaporan. Hingga saat ini, terdapat 113 asesor kompetensi di lingkungan BWI. Sertifikasi ini menilai aspek pengetahuan (memahami hukum dan praktik wakaf), keterampilan (administrasi, manajemen aset, kepemimpinan), dan sikap (integritas, profesionalisme, karakter kenabian seperti fathonah, amanah, shidiq, tabligh).

Temuan penelitian menunjukkan bahwa seluruh informan bersertifikat memiliki pemahaman kuat tentang hukum wakaf, visi-misi pengelolaan, serta kemampuan manajerial. Indikator seperti pemahaman syariah ekonomi, pengelolaan administrasi, dan kemampuan membuka peluang usaha juga mendapat skor tinggi di antara informan. Sertifikasi kompetensi terbukti menjadi fondasi kepercayaan diri dan keahlian nazhir dalam mengelola aset wakaf yang semakin kompleks dan beragam12.

Motivasi: Penggerak Kinerja dan Komitmen Nazhir

Motivasi nazhir, baik intrinsik (dorongan internal seperti panggilan hati, tanggung jawab, kepuasan kerja) maupun ekstrinsik (insentif, penghargaan, promosi, dukungan atasan), sangat berpengaruh pada produktivitas dan loyalitas mereka. Studi ini menemukan bahwa indikator motivasi seperti pencapaian target kerja, keterlibatan dalam organisasi, tanggung jawab, insentif, serta penghargaan dari pimpinan mendapat skor tinggi dari para informan.

Motivasi yang kuat mendorong nazhir untuk lebih inovatif dalam mengelola aset, aktif mencari peluang pengembangan, dan konsisten dalam pelaporan serta distribusi manfaat wakaf. Temuan ini sejalan dengan teori Reasoned Action dan Planned Behavior, di mana perilaku dan kinerja seseorang sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang membentuk sikap dan intensi mereka12.

Lingkungan Kerja: Katalisator Produktivitas dan Kolaborasi

Lingkungan kerja, baik fisik (suhu, pencahayaan, kebisingan, kualitas udara) maupun non-fisik (atmosfer kerja, hubungan antar rekan, rasa aman), terbukti berperan besar dalam mendukung kinerja nazhir. Studi ini mencatat bahwa dimensi lingkungan kerja fisik dan non-fisik sama-sama mendapat skor tinggi dari para informan.

Kondisi kantor yang nyaman, hubungan harmonis antar pegawai, serta kepemimpinan yang suportif mendorong terciptanya suasana kerja yang kondusif. Namun, keterbatasan fasilitas akibat belum adanya kantor mandiri BWI Sumatera Selatan menjadi catatan penting yang perlu segera diatasi agar kinerja nazhir semakin optimal. Studi ini juga mengaitkan pentingnya lingkungan kerja dengan riset pada lembaga zakat nasional, yang menunjukkan korelasi positif antara lingkungan kerja dan kinerja amil zakat12.

Data dan Angka-Angka Kunci dari Penelitian

  • Jumlah skema sertifikasi kompetensi nazhir: 10 skema (4 perencanaan, 4 pelaksanaan, 1 penyajian informasi, 1 pelaporan)
  • Jumlah asesor kompetensi BWI: 113 orang
  • Agregat indikator dalam analisis NVivo:
    • Pemahaman hukum wakaf dan praktik: 9 agregat
    • Pemahaman ekonomi syariah dan kepemimpinan: 9 agregat
    • Pengelolaan administrasi dan program kerja: 8 agregat
    • Kemampuan membuka usaha dan profesionalisme: 8 agregat
    • Karakter kenabian (fathonah, amanah, shidiq, tabligh): 8 agregat
  • Indikator kinerja nazhir:
    • Pengumpulan wakaf dan pengelolaan aset: 15 agregat
    • Distribusi manfaat dan kemampuan manajemen: 15 agregat
    • Pelaporan: 8 agregat

Analisis dan Kritik: Apa yang Bisa Ditingkatkan?

Kelebihan Studi

  • Memberikan gambaran komprehensif tentang faktor-faktor penentu kinerja nazhir di tingkat provinsi.
  • Menggunakan analisis tematik berbasis perangkat lunak yang memperkuat validitas temuan.
  • Menyajikan data empiris yang relevan untuk perumusan kebijakan pengelolaan wakaf di Indonesia.

Tantangan dan Keterbatasan

  • Keterbatasan fasilitas dan identitas kelembagaan BWI Sumatera Selatan masih menjadi hambatan utama.
  • Studi belum membahas secara rinci dampak sertifikasi terhadap outcome ekonomi wakaf (misal, peningkatan nilai aset atau manfaat sosial).
  • Perlu penelitian lanjutan dengan pendekatan kuantitatif dan data longitudinal untuk mengukur dampak jangka panjang sertifikasi dan motivasi terhadap kinerja nazhir.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Penelitian ini sejalan dengan temuan Emmy Hamidiyah et al. yang menyatakan sertifikasi kompetensi berpengaruh positif terhadap kinerja nazhir. Studi pada lembaga zakat nasional juga menunjukkan lingkungan kerja yang baik meningkatkan produktivitas amil. Namun, riset ini menambah nilai dengan menyoroti pentingnya sinergi antara sertifikasi, motivasi, dan lingkungan kerja sebagai satu kesatuan yang saling memperkuat.

Implikasi Praktis dan Rekomendasi Kebijakan

  1. Percepatan Sertifikasi Kompetensi Nazhir
    Pemerintah dan BWI perlu memperluas cakupan sertifikasi dan memastikan setiap nazhir memiliki akses pelatihan serta uji kompetensi secara berkala.
  2. Penguatan Sistem Insentif dan Penghargaan
    Nazhir perlu mendapatkan insentif yang proporsional, baik dalam bentuk finansial maupun non-finansial, untuk menjaga motivasi dan loyalitas kerja.
  3. Peningkatan Fasilitas dan Identitas Kelembagaan
    BWI Sumatera Selatan perlu segera memiliki kantor mandiri dengan fasilitas memadai demi mendukung citra profesional dan kenyamanan kerja nazhir.
  4. Pengembangan Lingkungan Kerja Inklusif dan Kolaboratif
    Membangun budaya kerja yang sehat, terbuka, dan kolaboratif akan mendorong inovasi dan produktivitas seluruh tim nazhir.
  5. Monitoring dan Evaluasi Berkelanjutan
    Evaluasi rutin terhadap implementasi sertifikasi, motivasi, dan lingkungan kerja perlu dilakukan untuk memastikan dampak nyata terhadap kinerja dan manfaat sosial wakaf.

Relevansi untuk Tren Nasional dan Industri Filantropi

Di tengah tren digitalisasi dan profesionalisasi lembaga filantropi, sertifikasi kompetensi dan penguatan motivasi menjadi kebutuhan mendesak agar pengelolaan wakaf semakin transparan, akuntabel, dan berdampak luas. Studi ini menunjukkan bahwa investasi pada sumber daya manusia—melalui sertifikasi, insentif, dan lingkungan kerja—adalah fondasi utama untuk mewujudkan visi besar wakaf sebagai pilar kesejahteraan umat.

Kesimpulan

Penelitian ini menegaskan bahwa sertifikasi kompetensi, motivasi, dan lingkungan kerja merupakan tiga pilar utama dalam meningkatkan kinerja nazhir di BWI Sumatera Selatan. Ketiganya saling berinteraksi dan berkontribusi pada profesionalisme, produktivitas, dan akuntabilitas pengelolaan wakaf. Untuk memperkuat peran wakaf dalam pembangunan nasional, diperlukan kebijakan yang mendukung pengembangan kapasitas nazhir, sistem insentif yang adil, serta lingkungan kerja yang kondusif dan modern. Dengan demikian, BWI dan lembaga wakaf lainnya dapat menjadi motor penggerak filantropi Islam yang berdampak nyata bagi masyarakat.

Sumber artikel:
Ulfia Rachmah, Maya Panorama, Mismiwati. (2025). The Role of Competency Certification, Motivation and Work Environment in the Performance of the Indonesian Waqf Board, South Sumatra Province. International Journal of Multidisciplinary Research and Analysis, Vol. 8, No. 1, pp. 82–88.

Selengkapnya
Mengungkap Kunci Profesionalisme Nazhir: Peran Sertifikasi Kompetensi, Motivasi, dan Lingkungan Kerja pada Kinerja Badan Wakaf Indonesia Sumatera Selatan
page 1 of 1