Manajemen Kualitas
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 26 Mei 2025
Pendahuluan
Kualitas dalam industri konstruksi bukan sekadar slogan, melainkan penentu keberhasilan proyek dan reputasi perusahaan. Dalam dunia yang semakin kompetitif, khususnya di Indonesia, pendekatan sistematis terhadap biaya kualitas menjadi krusial. Sayangnya, banyak kontraktor masih belum menyadari pentingnya perencanaan dan pencatatan biaya kualitas yang memadai.
Makalah berjudul "Identifying Contractors' Planned Quality Costs in Indonesian Construction Projects" karya Puti F. Marzuki dan M. Wisridani (2014), memaparkan bagaimana dua perusahaan konstruksi besar—satu milik negara dan satu swasta—merancang biaya kualitas dalam tiga proyek besar di Jakarta. Penelitian ini tidak hanya mengklasifikasikan biaya kualitas, tetapi juga mengungkapkan praktik nyata dan kekurangannya dalam dunia proyek konstruksi Indonesia.
Definisi dan Kategori Biaya Kualitas
Biaya kualitas dalam konteks konstruksi mengacu pada seluruh pengeluaran yang timbul akibat:
1. Biaya Pencegahan (Prevention Cost): Langkah-langkah untuk mencegah kesalahan sebelum terjadi.
2. Biaya Penilaian (Appraisal Cost): Kegiatan untuk menilai dan menguji kualitas pekerjaan.
3. Biaya Kegagalan (Failure Cost): Biaya yang muncul karena kesalahan, baik yang ditemukan sebelum (internal) atau sesudah (eksternal) proyek diserahkan.
Menurut Lam et al. (1994), biaya kualitas bisa mencapai 8–15% dari total anggaran proyek. Namun, belum banyak kontraktor Indonesia yang menerapkan pendekatan ini secara terstruktur.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini melibatkan tiga proyek konstruksi di Jakarta:
Proyek 1 dan 2: Dikerjakan oleh kontraktor milik negara (Kontraktor A)
Proyek 3: Dikerjakan oleh perusahaan swasta (Kontraktor B)
Responden berasal dari tim quality control dan cost control. Semua kontraktor tersertifikasi ISO 9001 dan memiliki departemen khusus manajemen mutu.
Hasil Penelitian dan Analisis
1. Perencanaan Biaya Pencegahan
Proyek 1: 0,304% dari nilai kontrak
Proyek 2: 0,860%
Proyek 3: 0,948%
Fokus utama: proses kontrol mutu (63%–64%) seperti ITP dan remunerasi staf QC.
Kekurangan: Tidak ada anggaran untuk kontrak review, audit mutu internal, atau pelatihan bersertifikasi. Alokasi untuk pelatihan rata-rata <1%.
Analisis: Investasi yang minim pada pencegahan mengindikasikan lemahnya pemahaman jangka panjang. Padahal, TQM menekankan bahwa biaya pencegahan akan menurunkan biaya kegagalan.
2. Perencanaan Biaya Penilaian
Proyek 1: 0,883%
Proyek 2: 1,790%
Proyek 3: 2,324%
Elemen terbesar: inspeksi dan pengujian (±74%). Komponen ini mencakup pengujian lapangan, evaluasi material, dan kalibrasi alat.
Catatan: Beberapa kegiatan seperti inspeksi pabrik masih tidak dipertimbangkan. Namun, pendekatan ini lebih sistematis dibanding biaya pencegahan.
3. Biaya Kegagalan: Tidak Direncanakan
Biaya kegagalan hanya diketahui setelah proyek selesai:
Proyek 1: 1,35%
Proyek 2: 1,028%
Proyek 3: 0,55%
Komponen terbesar:
Proyek 1: 66,7% dari biaya kegagalan adalah scrap material
Proyek 3: 72,7% adalah biaya rework
Kritik: Tidak ada perencanaan ataupun pencatatan sistematis terhadap kegagalan internal maupun eksternal. Hal ini membuat evaluasi mutu jadi reaktif, bukan preventif.
Studi Perbandingan Proyek: BUMN vs Swasta
Proyek 3 (swasta) mengalokasikan total biaya kualitas tertinggi (3,822%), namun menunjukkan kegagalan paling rendah (0,55%).
Implikasi: Semakin tinggi investasi pada pencegahan dan penilaian, semakin rendah kegagalan yang muncul. Ini mendukung prinsip "right the first time" dari TQM.
Hambatan dan Tantangan
1. Tidak ada sistem akuntansi biaya kualitas
2. Data tidak terdokumentasi dengan baik
3. Aktivitas mutu tidak dijadikan indikator kinerja utama
4. Kegagalan eksternal seperti komplain klien tidak dianggarkan
Dampaknya: Perusahaan kesulitan mengevaluasi efektivitas sistem mutu yang sudah dijalankan.
Rekomendasi
Kembangkan sistem pencatatan biaya kualitas terintegrasi
Masukkan biaya kualitas ke dalam sistem ERP proyek
Jadikan indikator mutu sebagai KPI utama
Tingkatkan pelatihan terkait konsep biaya kualitas
Relevansi dengan Tren Industri Saat Ini
Dengan masuknya proyek-proyek berskala besar seperti IKN dan meningkatnya tuntutan keberlanjutan (green building, ESG), perusahaan konstruksi Indonesia dituntut untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas mutu. Kontraktor yang bisa membuktikan efisiensi kualitas lewat data akan lebih unggul dalam kompetisi proyek.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa perencanaan biaya kualitas di industri konstruksi Indonesia masih dalam tahap awal. Tanpa sistem yang baik, biaya mutu hanya dianggap beban, bukan investasi. Namun, ketika direncanakan dengan baik, biaya kualitas dapat menjadi alat strategis untuk efisiensi, pengendalian risiko, dan peningkatan daya saing.
Sumber:
Marzuki, P. F., & Wisridani, M. (2014). Identifying Contractors' Planned Quality Costs in Indonesian Construction Projects. Journal of Engineering and Technological Sciences, Vol. 46, No. 4. DOI: https://doi.org/10.5614/j.eng.technol.sci.2014.46.4.2
Manajemen Kualitas
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 20 Mei 2025
Pendahuluan: Krisis Perawatan Gedung Pemerintah di Indonesia
Gedung pemerintah bukan hanya simbol pelayanan publik, tapi juga representasi dari tata kelola aset negara yang efisien. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak gedung pemerintah di Indonesia mengalami degradasi fungsi dan estetika akibat buruknya sistem pemeliharaan. Latar belakang ini menjadi dasar dilakukannya penelitian oleh Khairina dan Yusuf Latief dari Universitas Indonesia, yang mengembangkan Quality Management System (QMS) berbasis risiko untuk memperbaiki proses pemeliharaan tersebut.
Mengapa Sistem Manajemen Kualitas Diperlukan?
Menurut Peraturan Presiden No. 73 Tahun 2011, gedung pemerintah merupakan aset negara yang harus dikelola secara optimal. Sayangnya, laporan dan studi lapangan menunjukkan seringnya terjadi kesalahan fungsi, kekurangan dokumentasi, hingga kerusakan fisik akibat absennya sistem perawatan terstruktur.
Peneliti menyadari bahwa:
Metodologi: Kombinasi Delphi, Kuesioner, dan Studi Kasus
Penelitian ini menggunakan pendekatan metode Delphi dan survey kuesioner terhadap 44 responden dari berbagai instansi pemerintah dan swasta. Data dianalisis secara kualitatif dan deskriptif untuk memetakan risiko dalam setiap tahapan aktivitas pemeliharaan gedung.
Langkah-langkah utama penelitian:
1. Validasi terhadap struktur organisasi dan deskripsi pekerjaan.
2. Penjabaran 41 aktivitas dalam 4 proses bisnis utama pemeliharaan.
3. Identifikasi risiko pada tiap aktivitas.
4. Peringkat risiko menggunakan matriks probabilitas-dampak.
5. Penyusunan 24 aksi pengembangan QMS berbasis risiko.
Temuan Utama: 8 Risiko Tertinggi dalam Pemeliharaan Gedung Pemerintah
Dari 77 risiko yang berhasil diidentifikasi, berikut adalah 4 risiko paling tinggi (kategori “high”) berdasarkan nilai skoring:
Risiko-risiko ini bukan hanya berpotensi mengganggu operasional gedung, tetapi juga dapat menyebabkan pemborosan anggaran dan kerugian fungsi.
Strategi Solusi: 24 Aksi Pengembangan QMS
Peneliti merumuskan 24 aksi sebagai penguatan sistem manajemen mutu berbasis risiko. Di antaranya:
Penerapan solusi ini tidak hanya meningkatkan efisiensi kerja, tetapi juga mengurangi ketergantungan pada pengawasan manual.
Studi Kasus dan Relevansi Lapangan
Sebagai contoh nyata, peneliti mengutip situasi di Gedung Rumah Negara, di mana pemeliharaan sering tidak sesuai dengan standar fungsi awal. Hal ini diperparah oleh kurangnya dokumentasi, staf yang tidak kompeten, dan rendahnya kesadaran pengguna gedung.
Tren ini mencerminkan tantangan yang dialami banyak institusi pemerintah, bahkan di negara lain. Studi oleh Ali dan Chua (2016) di Malaysia menunjukkan masalah serupa, dengan pembengkakan anggaran karena tidak adanya standar kualitas pemeliharaan yang baku.
Opini Kritis: Kelebihan dan Batasan Penelitian
Kelebihan:
Batasan:
Ke depan, pengembangan sistem digital terintegrasi seperti BIM (Building Information Modeling) untuk manajemen pemeliharaan dapat memperkuat implementasi QMS ini.
Implikasi Praktis dan Rekomendasi
Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk mengintegrasikan hasil penelitian ini dalam regulasi atau platform digital seperti SIMAK-BMN (Sistem Informasi Manajemen Akuntansi Barang Milik Negara).
Kesimpulan: Pilar Baru untuk Manajemen Aset Pemerintah
Penelitian Khairina dan Yusuf Latief menawarkan landasan kuat bagi pemerintah dalam mengelola aset gedung secara efektif, efisien, dan akuntabel. Dengan pendekatan manajemen kualitas berbasis risiko, pemerintah tidak hanya menjaga nilai ekonomis gedung, tetapi juga memperkuat kepercayaan publik terhadap tata kelola negara.
Sumber Artikel
Khairina, & Latief, Y. (2018). Development of Quality Management System in the Process Implementation Maintenance Risk-Based in Government Building. Proceedings of the International Conference on Industrial Engineering and Operations Management, Bandung, Indonesia.