Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 22 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada sebuah tantangan fundamental dalam manajemen konstruksi: bagaimana mengelola proyek yang merupakan entitas yang kompleks, berjaringan, dan dinamis secara efektif. Secara tradisional, perencanaan dan kontrol produksi (PP&C) didekati dari sudut pandang "Platonian", yang memandang produksi sebagai sebuah sistem yang dapat direncanakan dan dikendalikan secara terpusat dari atas ke bawah. Namun, semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa realitas di lapangan lebih mencerminkan pandangan "Aristotelian", di mana keputusan dan tindakan sebagian besar berkembang melalui interdependensi, keahlian, dan tindakan yang terorganisir sendiri oleh para kru.
Menjawab realitas ini, PP&C yang terdesentralisasi—di mana otonomi dan pengambilan keputusan didistribusikan ke tingkat yang lebih rendah—muncul sebagai sebuah jalur perbaikan yang potensial dan telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam meningkatkan kinerja produksi. Kerangka teoretis studi ini dibangun di atas tiga pendorong utama yang diidentifikasi dari literatur sebelumnya agar desentralisasi berhasil:
resiliensi (kemampuan beradaptasi), transparansi/kepercayaan, dan otonomi (pemberdayaan kru untuk membuat keputusan). Dengan demikian, tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi secara mendalam efek dari desentralisasi (dan sebagai kontras, sentralisasi) dalam PP&C konstruksi, dengan mengajukan pertanyaan penelitian spesifik mengenai bagaimana partisipan proyek berkomunikasi, bagaimana mereka terlibat dalam pengambilan keputusan, dan bagaimana mereka mempersepsikan pendorong-pendorong desentralisasi tersebut.
Metodologi dan Kebaruan
Untuk menjawab pertanyaan penelitian yang kompleks ini, penulis mengadopsi metodologi studi multi-kasus komparatif yang kuat, yang membandingkan sebuah proyek dengan pendekatan PP&C terdesentralisasi (Kasus 1: renovasi kantor komersial) dengan proyek yang menggunakan pendekatan terpusat (Kasus 2).
Pendekatan pengumpulan data yang digunakan bersifat multi-metode, yang secara inovatif menggabungkan dua teknik yang saling melengkapi:
Analisis Jaringan Sosial (Social Network Analysis - SNA): Sebuah survei digunakan untuk memetakan secara kuantitatif dua jenis jaringan interaksi: jaringan aliran informasi (untuk komunikasi umum) dan jaringan pengambilan keputusan (untuk memetakan struktur kekuasaan).
Wawancara Semi-Terstruktur: Sebanyak 13 wawancara mendalam dilakukan dengan para manajer dan anggota kru untuk menangkap persepsi, pengalaman, dan nuansa kualitatif yang tidak dapat diungkap oleh data jaringan semata.
Analisis data dilakukan secara deduktif, di mana temuan dari SNA dan wawancara dianalisis secara sistematis berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan. Kebaruan dari karya ini terletak pada penggunaan pendekatan multi-metode yang canggih ini untuk membedah dinamika sosio-teknis dari PP&C. Dengan memadukan analisis struktural dari SNA dengan wawasan kualitatif dari wawancara, penelitian ini berhasil melampaui deskripsi sederhana dan menyajikan sebuah gambaran yang kaya dan berlapis mengenai bagaimana perencanaan dan kontrol benar-benar terjadi di lapangan.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis data yang komprehensif dari kedua kasus menghasilkan serangkaian temuan yang memberikan wawasan bernuansa mengenai kelebihan dan tantangan dari kedua pendekatan PP&C.
Struktur Komunikasi dan Pengambilan Keputusan: Ditemukan bahwa pada kasus terdesentralisasi (Kasus 1), terdapat komunikasi yang lebih langsung antara kru dan manajer, yang mengurangi kebutuhan akan perantara dan mempercepat aliran informasi. Namun, terlepas dari pendekatan yang digunakan (terpusat atau terdesentralisasi), manajer lapangan dari kontraktor utama secara konsisten berfungsi sebagai pusat informasi utama (primary information hub). Temuan ini didukung baik oleh data SNA maupun oleh wawancara dengan para manajer.
Peran Kru dan Pemimpin Kru: Penelitian ini secara empiris mengonfirmasi apa yang sering kali menjadi pengetahuan tak terucapkan di lapangan: pemimpin kru (crew leaders) memiliki pemahaman keseluruhan terbaik mengenai status produksi aktual. Temuan ini, yang didukung baik oleh analisis jaringan maupun oleh persepsi anggota kru, menyoroti pentingnya peran pemimpin kru sebagai simpul pengetahuan yang krusial. Bahkan dalam sistem yang terpusat, ditemukan adanya tingkat otonomi pengambilan keputusan harian di tingkat operator individu, yang menunjukkan bahwa desentralisasi informal sering kali terjadi secara alami.
Persepsi terhadap Desentralisasi: Para responden wawancara dari kedua kasus secara umum memandang pendorong desentralisasi (resiliensi, transparansi, otonomi) sebagai hal yang bermanfaat bagi PP&C. Kehadiran pendorong-pendorong ini terbukti meningkatkan kinerja. Namun, temuan yang paling signifikan adalah adanya
kesenjangan persepsi yang jelas antara manajer dan kru. Manfaat dari pendekatan terdesentralisasi ditemukan terutama hanya dirasakan dan diterapkan pada level manajerial dan pemimpin kru, dan tidak sepenuhnya meresap ke seluruh anggota kru. Selain itu, terdapat konsensus yang kuat dari para praktisi bahwa beberapa aspek PP&C—seperti perencanaan strategis skala besar, koordinasi antar proyek, dan pesanan material dalam jumlah besar—sebaiknya tetap dikelola secara terpusat.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Meskipun menyajikan analisis yang kuat, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Sebagai sebuah studi kasus yang berfokus pada dua proyek di Finlandia, generalisasi temuannya ke konteks budaya atau jenis proyek lain harus dilakukan dengan hati-hati. Selain itu, sifat penelitian yang kualitatif dan interpretif berarti bahwa temuan ini kaya akan konteks tetapi tidak dapat menghasilkan klaim statistik yang luas.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat jelas dan dapat ditindaklanjuti. Ia memberikan argumen berbasis bukti bahwa manajemen yang efektif, terlepas dari apakah pendekatannya terpusat atau terdesentralisasi, harus mengakui dan memberdayakan keahlian yang ada di tingkat kru. Untuk mengurangi kesenjangan persepsi dan meningkatkan kapabilitas PP&C secara keseluruhan, para manajer perlu secara aktif melibatkan kru dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang relevan dengan pekerjaan mereka.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini secara efektif meletakkan fondasi yang kokoh. Penulis secara tepat merekomendasikan perlunya studi intervensi untuk menguji secara langsung bagaimana implementasi tindakan-tindakan perbaikan yang diusulkan—seperti peningkatan otonomi kru dan pengakuan terhadap keahlian mereka—dapat secara nyata memajukan praktik PP&C di lapangan.
Sumber
Lehtovaara, J., Seppänen, O., & Peltokorpi, A. (2022). Improving construction management with decentralised production planning and control: exploring the production crew and manager perspectives through a multi-method approach. Construction Management and Economics, 40(4), 254-277. https://doi.org/10.1080/01446193.2022.2045053
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 19 September 2025
Pengantar Analitis: Konteks dan Urgensi Riset
Industri konstruksi adalah pilar vital bagi ekonomi global, memberikan kontribusi signifikan yang membentuk lanskap pembangunan di seluruh dunia. Pada tahun 2017, sektor ini diperkirakan menyumbang lebih dari USD 10 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) global, dengan kontribusi sebesar kurang lebih USD 892 miliar di Amerika Serikat (AS) saja. Sektor ini juga merupakan penyedia lapangan kerja yang masif, mempekerjakan lebih dari 7 juta orang di AS dengan proyeksi peningkatan tenaga kerja yang stabil, yang diantisipasi akan menarik hampir 400.000 karyawan baru.1 Namun, di balik angka-angka ekonomi yang mengesankan ini, industri konstruksi dikenal sebagai salah satu sektor paling berbahaya. Situasi ini diperburuk oleh tingginya angka cedera fatal dan non-fatal. Menurut data yang disoroti oleh studi, satu dari setiap lima kematian pekerja di AS terjadi dalam industri konstruksi, menjadikan pekerja konstruksi 5.5 kali lebih mungkin meninggal di tempat kerja dibandingkan pekerja di sektor lain.1 Puncak dari krisis ini terlihat pada tahun 2019, di mana Biro Statistik Tenaga Kerja mencatat 1.061 kematian pekerja konstruksi, total terbesar sejak 2007.1
Angka-angka yang mengejutkan ini bukan sekadar statistik belaka; angka ini berfungsi sebagai justifikasi moral dan praktis yang kuat untuk seluruh argumen dalam studi ini. Mereka menunjukkan tren yang mengkhawatirkan dan memperkuat urgensi penelitian yang secara fundamental menargetkan akar masalah keselamatan: kurangnya personel yang berkualitas. Sebagaimana yang diyakini oleh para profesional dan peneliti industri, tingginya angka cedera tidak selalu disebabkan oleh kesalahan pekerja garis depan. Seringkali, kecelakaan berakar pada perencanaan dan kontrol keselamatan yang buruk oleh manajemen menengah dan atas.1 Penelitian sebelumnya mendukung asumsi ini, menunjukkan bahwa probabilitas peningkatan kinerja keselamatan secara keseluruhan melonjak sebesar 2.29 kali lipat, yang setara dengan peningkatan 229%, dengan keberadaan personel keselamatan purnawaktu.1
Meskipun peran personel keselamatan sangat krusial, paper ini menggarisbawahi kekosongan pengetahuan yang signifikan: tidak ada panduan atau konsensus yang jelas di antara para pemangku kepentingan di AS mengenai kualifikasi yang diinginkan untuk personel keselamatan konstruksi.1 Kekosongan ini secara kausal terhubung dengan perbedaan yang substansial dalam kualifikasi personel yang ada. Berbagai panduan yang ada, seperti yang disediakan oleh American Society of Safety Professionals (ASSP), bersifat terlalu umum dan tidak spesifik untuk sektor konstruksi, bahkan merekomendasikan sertifikasi yang jarang atau tidak pernah digunakan dalam industri ini.1 Oleh karena itu, penelitian ini dirancang untuk mendefinisikan secara sistematis kriteria "siapa" yang harus menempati posisi krusial tersebut, dengan harapan dapat mengarahkan industri menuju perbaikan kinerja keselamatan yang substansial dan berkelanjutan.
Analisis Metodologi dan Alur Temuan
Untuk mencapai tujuannya dalam mengidentifikasi kualifikasi yang diinginkan, studi ini mengadopsi metode Delphi. Metodologi ini dipilih secara strategis karena kemampuannya untuk mencapai konsensus dari sekelompok ahli melalui survei multi-putaran yang terstruktur dan anonim.1 Penulis secara transparan mengakui kekuatan utama metode ini, seperti kemampuannya untuk mengumpulkan input ahli tanpa bias yang disebabkan oleh kepribadian dominan atau tekanan kelompok, serta kelemahannya, seperti proses yang memakan waktu dan potensi bias dalam pemilihan ahli.1
Aspek yang sangat penting dari rigor metodologis studi ini terletak pada proses seleksi panel ahli. Untuk memastikan bahwa panelis benar-benar merupakan ahli subjek yang mumpuni, peneliti menerapkan sistem poin yang diadaptasi dari penelitian sebelumnya. Dari 18 kandidat yang bersedia berpartisipasi, tiga diantaranya dieliminasi karena tidak memenuhi kriteria ketat yang telah ditetapkan, yaitu skor minimum 15 poin dalam sistem kualifikasi, pengalaman profesional minimal 10 tahun, dan gelar pendidikan tinggi.1 Proses eliminasi yang ketat ini bukan hanya sekadar prosedur; ini adalah validasi internal yang secara langsung mengatasi batasan yang diakui oleh studi itu sendiri tentang "bias seleksi ahli." Pendekatan ini menunjukkan bagaimana sebuah studi Delphi dapat secara proaktif memitigasi kelemahan inherennya, meningkatkan keandalan dan validitas temuan secara keseluruhan.
Perjalanan studi menuju konsensus adalah demonstrasi yang menarik tentang dinamika antara teori dan praktik. Pada Putaran 1, panelis diminta untuk menentukan kualifikasi minimum yang "diwajibkan" (required) untuk tiga posisi keselamatan. Temuan awal ini kemudian disajikan kembali pada Putaran 2. Namun, tingkat konsensus yang tercapai untuk posisi profesional keselamatan dan manajer keselamatan hanya sebesar 53.85%, yang relatif rendah untuk studi Delphi.1 Komentar dari panelis yang tidak setuju mengungkapkan alasan yang mendalam: mereka merasa istilah "diwajibkan" terlalu kaku dan tidak realistis untuk diterapkan di industri yang sangat beragam. Salah satu panelis bahkan menyatakan bahwa "tiga atau empat huruf setelah nama Anda tidak berarti banyak di lapangan" tanpa pengalaman yang relevan, menyoroti ketegangan antara kredensial formal dan kompetensi praktis.1
Menanggapi umpan balik yang kritis ini, peneliti melakukan perubahan metodologis yang signifikan. Dalam Putaran 3, istilah "diwajibkan" diubah menjadi "direkomendasikan" (recommended). Pergeseran terminologi yang tampaknya sederhana ini menghasilkan lonjakan konsensus yang dramatis, dengan tingkat persetujuan naik menjadi 84.62% untuk posisi profesional dan 92.31% untuk manajer.1 Kenaikan yang signifikan ini menunjukkan hubungan kuat antara kebutuhan panduan kualifikasi spesifik dan metodologi Delphi yang cermat, dengan koefisien lonjakan konsensus dari 53.85% menjadi 92.31%—menunjukkan potensi kuat untuk merumuskan pedoman praktis yang dapat diterima secara luas oleh industri.
Perubahan terminologi ini juga mengungkapkan sebuah pemahaman mendalam tentang nilai sesungguhnya dari studi ini. Nilai inti dari temuan ini bukan pada penetapan standar yang kaku dan tidak fleksibel, tetapi pada penyediaan kerangka kerja yang dapat beradaptasi dan dapat diterima oleh para pemangku kepentingan. Studi ini secara efektif mengidentifikasi bahwa kunci untuk adopsi pedoman di lapangan adalah dengan mendefinisikan kualifikasi yang "diinginkan" (desired) daripada "wajib." Temuan akhir dari proses Delphi dan validasi yang dilakukan mengidentifikasi kualifikasi spesifik untuk setiap posisi.
Untuk posisi keselamatan level awal, studi ini merekomendasikan kualifikasi dasar berupa ijazah sekolah menengah, dengan pengalaman 1 hingga 3 tahun. Sertifikasi tidak dianggap sebagai persyaratan wajib untuk posisi ini. Bagi seorang profesional keselamatan, kualifikasi yang diinginkan adalah memiliki gelar sarjana atau setara gelar 4-tahun, dengan pengalaman 3 hingga 5 tahun. Studi ini juga menunjukkan bahwa sertifikasi seperti Construction Health and Safety Technician (CHST) atau Graduate Safety Practitioner (GSP) sangat direkomendasikan. Sementara itu, untuk posisi manajer keselamatan, kualifikasi yang diinginkan adalah gelar sarjana atau setara gelar 4-tahun dengan pengalaman minimal 5 tahun atau lebih. Selain itu, sertifikasi CHST atau Certified Safety Professional (CSP) dianggap sebagai kualifikasi yang diinginkan.1
Studi ini juga menemukan bahwa mayoritas panelis setuju bahwa pendidikan bisa berasal dari bidang yang terkait dengan konstruksi secara luas (93.34%) dan pengalaman bisa didapat dari industri konstruksi secara umum (86.67%).1 Fleksibilitas ini memperkuat keselarasan antara temuan studi dan realitas lapangan.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Paper ini memberikan beberapa kontribusi signifikan yang berdampak baik pada ranah teoretis maupun praktis dalam bidang keselamatan konstruksi. Pertama, studi ini berhasil mengisi kekosongan pengetahuan yang sangat kritis dalam literatur.1 Berbeda dengan panduan umum yang sudah ada, seperti yang disediakan oleh ASSP, yang tidak spesifik untuk industri konstruksi dan bahkan merekomendasikan sertifikasi yang jarang atau tidak relevan, penelitian ini menyajikan pedoman yang secara langsung dapat diterapkan dalam konteks industri konstruksi AS.
Kedua, studi ini menghadirkan landasan pengetahuan teoretis dan praktis yang baru. Selain hanya mengidentifikasi kualifikasi, studi ini menyediakan metodologi yang dapat direplikasi untuk mencapai konsensus ahli, menambahkan "kontribusi teoretis pada badan pengetahuan tentang keselamatan konstruksi".1 Proses seleksi ahli yang cermat dan adaptasi terhadap umpan balik panelis menunjukkan pendekatan penelitian yang inovatif dan terstruktur, yang dapat berfungsi sebagai model untuk studi Delphi di masa depan.
Ketiga, dan yang paling penting, studi ini memberikan pedoman praktis yang realistis dan dapat diimplementasikan. Dengan beralih dari terminologi "wajib" menjadi "direkomendasikan" dan mengakui relevansi pengalaman di bidang konstruksi secara umum, studi ini menciptakan kerangka kerja yang tidak hanya didasarkan pada konsensus ahli, tetapi juga disesuaikan dengan realitas pasar kerja.1 Pedoman yang dihasilkan dapat secara langsung diadopsi oleh pemangku kepentingan industri, seperti kontraktor umum, untuk meningkatkan proses perekrutan mereka, yang pada gilirannya diharapkan dapat berdampak positif pada kinerja keselamatan dan proyek secara keseluruhan.1
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Studi ini secara transparan mengakui beberapa keterbatasan penting yang harus dipertimbangkan. Pertama, sebagai studi Delphi, temuan-temuan yang dihasilkan sangat bergantung pada persepsi panel ahli, yang secara inheren dapat memperkenalkan bias dan subjektivitas.1 Meskipun penulis telah melakukan mitigasi melalui proses seleksi yang ketat, keterbatasan ini tetap ada. Kedua, penulis juga mengakui bahwa temuan dari studi Delphi mungkin tidak dapat digeneralisasi secara luas di luar konteks penelitian spesifik, meskipun studi validasi singkat telah dilakukan untuk mengurangi keterbatasan ini.1
Selain keterbatasan yang diakui, studi ini juga memunculkan beberapa pertanyaan terbuka yang signifikan, yang berfungsi sebagai titik awal untuk penelitian di masa depan. Pertanyaan pertama adalah tentang hubungan kausal. Meskipun studi ini mengasumsikan bahwa kualifikasi yang diinginkan akan meningkatkan kinerja keselamatan, asumsi ini tidak diuji secara empiris. Hubungan kausal ini tetap menjadi hipotesis yang kuat tetapi belum terverifikasi secara definitif.1
Kedua, ada ketegangan yang jelas antara nilai sertifikasi dan keterampilan praktis. Komentar dari panelis yang skeptis tentang nilai sertifikasi tanpa pengalaman yang relevan menunjukkan bahwa ada kebutuhan untuk memahami bobot relatif dari setiap kualifikasi. Studi ini menetapkan sertifikasi sebagai kualifikasi yang "diinginkan," tetapi gagal mengeksplorasi secara mendalam bagaimana kredensial formal ini diterjemahkan menjadi efektivitas di lapangan, sebuah area yang matang untuk penelitian lebih lanjut.
Ketiga, studi ini secara eksklusif berfokus pada kualifikasi teknis dan formal, mengabaikan pentingnya "soft skills" atau kualifikasi non-teknis. Tinjauan literatur dalam paper ini menyinggung bahwa "kreativitas dan inovasi" serta "sosiabilitas" membentuk kompetensi seorang koordinator keselamatan 1, namun studi Delphi tidak mengukur atau mengeksplorasi aspek-aspek ini. Hal ini meninggalkan kesenjangan pengetahuan yang signifikan mengenai bagaimana atribut interpersonal dan keterampilan manajemen berkontribusi pada kesuksesan seorang profesional keselamatan, yang membutuhkan eksplorasi yang lebih mendalam.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Berdasarkan analisis mendalam terhadap temuan dan keterbatasan studi oleh Karakhan dan Al-Bayati, berikut adalah lima rekomendasi riset yang dapat membentuk agenda penelitian di masa depan untuk komunitas akademik dan para penerima hibah. Setiap rekomendasi berakar kuat pada temuan dalam paper ini dan bertujuan untuk memperluas validitas serta kedalaman pemahaman kita.
Kesimpulan dan Ajakan Kolaborasi
Paper oleh Karakhan & Al-Bayati (2023) merupakan kontribusi fundamental yang menjawab kekosongan kritis dalam literatur dan praktik industri konstruksi. Dengan secara sistematis mengidentifikasi kualifikasi yang diinginkan (pendidikan, pengalaman, dan sertifikasi), studi ini menyediakan kerangka kerja yang tidak hanya terperinci tetapi juga realistis dan dapat diimplementasikan. Pergeseran strategis dari pedoman "wajib" menjadi "direkomendasikan" menunjukkan pemahaman yang mendalam tentang dinamika industri, memberikan nilai praktis yang lebih besar dan kemungkinan adopsi yang lebih tinggi.
Meskipun memiliki keterbatasan yang diakui, studi ini secara efektif meletakkan dasar bagi agenda riset masa depan yang lebih ambisius. Kelima rekomendasi yang diuraikan di atas menawarkan jalur eksplorasi yang jelas, mulai dari validasi empiris hingga antisipasi terhadap lanskap teknologi yang terus berubah. Untuk mewujudkan potensi penuh dari rekomendasi ini dan memastikan keberlanjutan serta validitas hasil, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi multidisiplin antara komunitas akademik, lembaga sertifikasi profesional (seperti ASSP, CHST, dan GSP), serta asosiasi industri yang relevan (ASCE, AGC). Kolaborasi semacam itu akan menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik, menghasilkan pedoman yang lebih komprehensif dan dapat diterapkan untuk meningkatkan keselamatan kerja di seluruh industri.
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 16 September 2025
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian berjudul "Benefits of implementing occupational health and safety management systems for the sustainable construction industry: a systematic literature review" karya Kineber et al. (2023) memberikan gambaran komprehensif tentang kondisi terkini riset mengenai sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) di sektor konstruksi. Dengan menganalisis 104 artikel yang diterbitkan antara tahun 1999 dan 2023 dari database terkemuka seperti Scopus dan Web of Science, penelitian ini berhasil mengidentifikasi dan mengategorikan fokus utama dari studi-studi sebelumnya.
Temuan utama menunjukkan bahwa sebagian besar penelitian (25.96%) berfokus pada manajemen SMK3, sementara topik implementasi juga cukup banyak diteliti (12.50%). Ini menunjukkan bahwa komunitas akademis telah berinvestasi besar dalam memahami bagaimana sistem-sistem ini diterapkan dan dikelola. Selain itu, penelitian ini mengungkapkan hubungan kuat antara penerapan SMK3 dengan penurunan tingkat kecelakaan kerja, seperti yang diamati di Korea Selatan, di mana terjadi penurunan tingkat kecelakaan sebesar 67% setelah penerapan SMK3, dan tingkat kecelakaan fatal menurun 10,3% dari 2006 hingga 2011.
Studi ini juga secara eksplisit menyoroti data kuantitatif yang memperkuat argumennya. Misalnya, analisis 104 artikel yang ditinjau menunjukkan alokasi persentase topik yang jelas:
Distribusi ini secara deskriptif menggambarkan hubungan kuat antara fokus penelitian yang ada (manajemen, implementasi, model) dan area yang kurang terwakili (manfaat, kesadaran, indikator keselamatan). Selain itu, data geografis menunjukkan disparitas yang signifikan, dengan 61.54% studi dilakukan di negara berkembang dan hanya 38.46% di negara maju. Temuan ini secara tegas menunjukkan hubungan antara tingginya aktivitas konstruksi di negara berkembang dan tingginya perhatian penelitian di sana, namun juga menggarisbawahi perlunya transfer pengetahuan dan standardisasi praktik K3.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun kontribusinya signifikan, penelitian ini juga secara jujur mengakui keterbatasan dan kesenjangan yang ada dalam literatur yang ditinjau. Keterbatasan paling kritis adalah kurangnya data lapangan, survei, dan data klinis yang memadai mengenai insiden yang terjadi di industri konstruksi, sehingga sulit untuk mengautentikasi manfaat penerapan SMK3 secara komprehensif. Ini menimbulkan pertanyaan terbuka tentang bagaimana cara terbaik untuk mengukur dan mengkuantifikasi manfaat tersebut di luar metrik yang umum seperti penurunan tingkat kecelakaan.
Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa topik manfaat/signifikansi dari SMK3 hanya diwakili oleh 3.85% dari total studi. Persentase yang sangat rendah ini menandakan bahwa meskipun banyak penelitian berfokus pada bagaimana mengelola dan mengimplementasikan sistem ini, ada sedikit eksplorasi tentang mengapa sistem ini bermanfaat secara finansial dan operasional dalam jangka panjang, terutama dari perspektif keberlanjutan. Studi-studi yang ada cenderung melihat SMK3 sebagai masalah kepatuhan terhadap legislasi daripada sebagai metode yang efektif untuk meningkatkan kinerja perusahaan itu sendiri.
Kesenjangan lain yang diidentifikasi adalah kurangnya penelitian yang memadai pada:
Pertanyaan-pertanyaan ini menantang komunitas akademis untuk beralih dari deskripsi dan analisis ke studi yang berorientasi pada solusi dan kuantifikasi.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Berdasarkan temuan dan keterbatasan yang diidentifikasi, berikut adalah lima rekomendasi riset strategis untuk memperdalam pemahaman tentang SMK3 di industri konstruksi:
Penelitian ini harus melibatkan kolaborasi multidisipliner dan multi-institusi. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi dari negara berkembang dan maju untuk memastikan relevansi dan validitas global dari hasil yang ditemukan. Peneliti dari institusi di Indonesia, Malaysia, dan negara-negara lain dengan industri konstruksi yang berkembang pesat harus berkolaborasi dengan universitas terkemuka seperti Queen's University Belfast dan Prince Sattam bin Abdulaziz University yang telah memimpin penelitian ini, untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, serta untuk mentransfer pengetahuan yang sangat dibutuhkan.
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 15 September 2025
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian Ade Asmi, Aurino Djamaris, dan Ahmad Dasuqi Bin Dahlan (2023) berfokus pada evaluasi penerapan praktik keselamatan kerja di lokasi konstruksi dengan membandingkan empat kelas kontraktor (A, B, C, dan D). Latar belakang riset ini berpijak pada data statistik yang menunjukkan bahwa industri konstruksi di Malaysia memiliki tingkat kecelakaan fatal tertinggi dibanding sektor lain. Kondisi ini menegaskan urgensi penguatan implementasi budaya keselamatan.
Studi dilakukan dengan dua pendekatan utama: tinjauan literatur dan survei kuesioner. Dari literatur, 13 praktik inti keselamatan teridentifikasi, antara lain: penyediaan sumber daya keselamatan, pemeliharaan peralatan, program pelatihan pekerja, sistem keamanan lokasi, instruksi kerja, inspeksi rutin, penerapan standar keselamatan tinggi, strategi pencegahan risiko, kedisiplinan pekerja, kesiapsiagaan darurat, manajemen dan penegakan keselamatan, keterlibatan kontraktor profesional, serta penyediaan fasilitas keselamatan. Praktik-praktik ini kemudian digunakan sebagai indikator dalam kuesioner yang ditujukan kepada kontraktor dari kelas A hingga D.
Hasil survei yang diolah dengan SPSS menunjukkan tingkat reliabilitas instrumen yang sangat tinggi (Cronbach’s Alpha = 0,968), menandakan konsistensi kuat dari kuesioner. Temuan utama memperlihatkan adanya perbedaan signifikan dalam penerapan praktik keselamatan antar kelas kontraktor.
Secara kuantitatif:
Kontraktor Kelas A menempati peringkat terbaik dengan rata-rata skor 1,21 (lebih rendah = lebih baik, karena 1 = “Ya” untuk penerapan). Mereka menunjukkan kepatuhan tinggi dalam aspek inspeksi (1,15), kedisiplinan (1,00), dan kesiapsiagaan darurat (1,04).
Kontraktor Kelas B berada di tingkat menengah dengan rata-rata skor 1,56. Walaupun memiliki komitmen pada beberapa aspek, terdapat kelemahan pada perencanaan kerja (1,61) dan pelaksanaan program keselamatan standar (1,82).
Kontraktor Kelas C mencatat performa paling rendah dengan rata-rata skor 1,69. Mereka menunjukkan kelemahan serius pada aspek pelatihan pekerja (skor 2,00), manajemen keselamatan (2,00), serta keterlibatan kontraktor profesional (2,00).
Kontraktor Kelas D memiliki skor rata-rata 1,68, dengan kelemahan menonjol dalam pemeliharaan peralatan (1,89) dan inspeksi (1,89).
Analisis ini memperjelas bahwa perbedaan kelas kontraktor berdampak langsung pada kualitas praktik keselamatan. Kontraktor kelas atas (A) umumnya memiliki sumber daya dan sistem manajemen yang lebih baik, sementara kontraktor kelas bawah (C dan D) cenderung menghadapi kendala finansial, keterbatasan pengetahuan, dan lemahnya pengawasan.
Makalah ini berkontribusi penting dengan:
Menyediakan gambaran komprehensif tentang perbedaan penerapan praktik keselamatan di berbagai kelas kontraktor.
Menyusun 13 indikator keselamatan praktis yang dapat dijadikan tolok ukur standar di lapangan.
Menyajikan bukti empiris berbasis data kuantitatif bahwa kontraktor kelas bawah membutuhkan dukungan tambahan untuk memperbaiki budaya keselamatan.
Secara konseptual, penelitian ini menegaskan bahwa regulasi dan slogan keselamatan belum cukup tanpa implementasi nyata yang merata di seluruh tingkatan kontraktor.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun riset ini memberikan kontribusi signifikan, terdapat sejumlah keterbatasan yang perlu dicatat:
Lingkup geografis terbatas – Survei dilakukan di wilayah Kuala Terengganu sehingga hasil mungkin tidak sepenuhnya mewakili kondisi nasional atau regional lainnya. Variasi regulasi lokal maupun kondisi proyek dapat memengaruhi praktik keselamatan.
Metode survei bersifat deskriptif – Instrumen yang digunakan berbasis checklist biner (Ya/Tidak). Meskipun sederhana, metode ini kurang mampu menangkap intensitas, kualitas, atau konsistensi pelaksanaan praktik keselamatan. Misalnya, kontraktor yang menjawab “Ya” bisa saja hanya menerapkan sebagian dari standar.
Fokus pada kontraktor, bukan pekerja lapangan – Persepsi pekerja, yang merupakan pihak paling terdampak, tidak digali secara langsung. Padahal, sikap pekerja terhadap disiplin, APD, atau pelatihan sangat memengaruhi efektivitas program keselamatan.
Ketiadaan analisis hubungan kausalitas – Studi ini hanya memotret tingkat penerapan praktik, namun tidak meneliti kaitannya dengan angka kecelakaan nyata di proyek. Pertanyaan terbuka: apakah skor tinggi dalam pelatihan benar-benar berhubungan dengan penurunan insiden?
Variasi antar fase proyek tidak diperhitungkan – Pentingnya tiap praktik keselamatan bisa berubah seiring fase proyek (misalnya, keamanan lokasi paling relevan saat tahap awal, sementara kesiapsiagaan darurat lebih kritis saat konstruksi berjalan). Riset ini belum menangkap dimensi temporal tersebut.
Pertanyaan-pertanyaan terbuka yang tersisa antara lain:
Bagaimana hubungan antara skor praktik keselamatan dengan outcome keselamatan aktual (jumlah insiden, tingkat keparahan)?
Apakah intervensi regulasi yang lebih ketat dapat menutup kesenjangan antara kelas kontraktor?
Bagaimana peran subkontraktor dan pekerja informal yang sering kali tidak terikat langsung dengan regulasi?
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Analisis Kausalitas antara Praktik Keselamatan dan Tingkat Kecelakaan
Studi lanjutan perlu menghubungkan data penerapan praktik keselamatan (misalnya skor rata-rata 1,21 untuk kelas A vs 1,69 untuk kelas C) dengan angka kecelakaan nyata di lapangan. Metode regression analysis atau structural equation modeling (SEM) dapat digunakan untuk menguji apakah variabel seperti pelatihan atau inspeksi rutin berkontribusi signifikan dalam menurunkan kecelakaan. Ini akan menjawab pertanyaan apakah praktik dengan skor rendah benar-benar berimplikasi pada outcome keselamatan.
Pengembangan Instrumen Penilaian Multilevel (Manajemen dan Pekerja)
Riset mendatang perlu menggabungkan persepsi manajer dengan pekerja lapangan. Misalnya, instrumen survei dapat dilengkapi skala Likert (1–5) untuk menilai kualitas pelaksanaan, serta focus group discussion dengan pekerja untuk memahami kendala kepatuhan. Hal ini akan memperlihatkan kesenjangan antara kebijakan manajemen dan realitas di lapangan.
Studi Longitudinal Berdasarkan Fase Proyek
Penelitian ke depan sebaiknya dilakukan secara longitudinal, mengikuti proyek dari tahap awal hingga akhir. Dengan begitu, dapat dipetakan perubahan relevansi setiap praktik. Contoh hipotesis: perencanaan kerja (skor kelas A = 1,00) paling krusial di awal, sementara kesiapsiagaan darurat (kelas A = 1,04) paling vital saat eksekusi proyek. Variabel temporal ini akan memperkaya pemahaman tentang dinamika praktik keselamatan.
Perbandingan Lintas Wilayah dan Lintas Negara
Karena konteks studi ini terbatas di Kuala Terengganu, riset lebih luas perlu dilakukan lintas negara berkembang, seperti Indonesia, Thailand, atau Vietnam. Perbandingan ini dapat mengidentifikasi faktor kontekstual (regulasi, budaya keselamatan, kapasitas finansial) yang memengaruhi implementasi. Dengan memasukkan variabel moderasi seperti tingkat penegakan hukum, peneliti dapat menilai apakah kelemahan kelas kontraktor C/D bersifat lokal atau global.
Integrasi KPI Keselamatan dengan Indikator Kinerja Proyek
Studi selanjutnya dapat mengembangkan model integratif yang menghubungkan praktik keselamatan dengan kinerja proyek lain (biaya, waktu, mutu). Pendekatan multi-criteria decision making (MCDM) dapat digunakan untuk menimbang trade-off. Misalnya, apakah investasi pada pelatihan rutin (skor rendah di kelas C dan D) berdampak pada efisiensi biaya jangka panjang karena mengurangi insiden keterlambatan akibat kecelakaan. Hal ini akan memperkuat argumen bahwa keselamatan bukan sekadar beban, tetapi investasi strategis.
Penelitian Ade Asmi et al. (2023) berhasil mengidentifikasi perbedaan nyata dalam penerapan praktik keselamatan berdasarkan kelas kontraktor, dengan data kuantitatif yang menunjukkan bahwa kontraktor kelas A lebih konsisten dalam budaya keselamatan dibanding kelas C dan D. Namun, keterbatasan metodologis dan lingkup riset membuka peluang besar untuk studi lanjutan yang lebih komprehensif, lintas konteks, dan berbasis kausalitas.
Untuk memperkuat dampak, penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi seperti Universitas Bakrie (Indonesia), Universiti Tun Hussein Onn Malaysia (UTHM), serta lembaga pengawas keselamatan kerja nasional. Kolaborasi lintas institusi ini akan memastikan keberlanjutan, validitas, dan relevansi hasil penelitian demi terciptanya lingkungan konstruksi yang lebih aman.
Baca Penelitian Lengkapnya disini : A STUDY ON ASSESSING CONSTRUCTION SITE SAFETY PRACTICES AMONG CLASS OF CONTRACTORS. (2023). Jurnal Infrastruktur , 9(2), 107-118. https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/infrastruktur/article/view/5604
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 15 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Dalam diskursus pedagogi teknik, penanaman kemampuan berpikir tingkat tinggi sering kali menjadi tujuan yang lebih fundamental daripada sekadar transfer pengetahuan teknis. Karya konseptual Susan Analika yang berjudul, "Activity on Arrow dalam Pembelajaran Mahasiswa Program Studi Pendidikan TΕΚΝΙΚ ΒΑNGUNAN," secara spesifik membahas peran sebuah alat manajemen proyek klasik—metode Activity on Arrow (AOA)—sebagai instrumen untuk mencapai tujuan pedagogis yang lebih tinggi tersebut. Latar belakang masalah yang diangkat adalah pentingnya mencapai hasil belajar yang optimal, yang didefinisikan sebagai perubahan perilaku yang relatif permanen dalam hal kecakapan, keterampilan, dan sikap.
Kerangka teoretis penelitian ini berpusat pada mata kuliah Manajemen Konstruksi (MK) di Program Studi Pendidikan Teknik Bangunan, Universitas Negeri Jakarta. Penulis memposisikan pembelajaran AOA bukan hanya sebagai salah satu topik dalam silabus, melainkan sebagai sebuah latihan fundamental yang dirancang untuk membentuk karakter mahasiswa agar mahir dalam manajemen industri konstruksi. Hipotesis implisit yang mendasari argumen ini adalah bahwa penguasaan metode AOA secara langsung berkontribusi pada pengembangan kemampuan berpikir sistematis, logis, kritis, rasional, dan kreatif. Dengan demikian, tujuan dari tulisan ini adalah untuk menegaskan kembali peranan penting AOA dalam kurikulum, tidak hanya sebagai teknik penjadwalan tetapi juga sebagai fondasi untuk metode yang lebih kompleks dan sebagai alat untuk mencapai prinsip belajar tuntas maju berkelanjutan.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metode studi literatur atau tinjauan konseptual. Pendekatan ini tidak bertujuan untuk mengumpulkan data empiris baru, melainkan untuk membangun sebuah argumen pedagogis yang koheren melalui sintesis definisi-definisi dan konsep-konsep yang telah mapan. Penulis secara sistematis menguraikan konsep-konsep dasar seperti "belajar", "pembelajaran", dan "hasil belajar" dengan merujuk pada berbagai sumber literatur untuk membangun landasan teoretisnya.
Analisis yang dilakukan bersifat kualitatif-argumentatif, di mana konsep-konsep tersebut kemudian dihubungkan secara logis dengan peran dan fungsi metode AOA dalam konteks mata kuliah Manajemen Konstruksi. Kebaruan dari karya ini tidak terletak pada penemuan metode baru, melainkan pada artikulasi ulang nilai pedagogis dari sebuah metode yang sudah dikenal. Alih-alih hanya membahas AOA dari perspektif teknis (bagaimana cara menggunakannya), penelitian ini memberikan kontribusi dengan membingkainya sebagai alat pengembangan kognitif, sebuah perspektif yang sering kali terabaikan dalam literatur teknis.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Sebagai sebuah studi konseptual, temuan utama dari penelitian ini adalah serangkaian argumen yang menegaskan kembali signifikansi AOA dalam pendidikan teknik.
AOA sebagai Sarana Pengembangan Keterampilan Berpikir: Temuan sentral dari argumen penulis adalah bahwa proses pembelajaran AOA secara inheren melatih mahasiswa untuk berpikir secara sistematis, logis, kritis, rasional, dan kreatif. Proses memetakan ketergantungan antar aktivitas, mengidentifikasi jalur kritis, dan menghitung float memaksa pembelajar untuk melihat proyek sebagai sebuah sistem yang saling terhubung, bukan sebagai serangkaian tugas yang terisolasi.
AOA sebagai Fondasi untuk Pembelajaran Berkelanjutan: Ditemukan bahwa AOA memiliki peran strategis sebagai pemahaman awal sebelum mahasiswa mempelajari metode jaringan kerja yang lebih lanjut, seperti Precedence Diagram Method (PDM). Dengan menguasai logika dasar AOA terlebih dahulu, mahasiswa dipersiapkan dengan lebih baik untuk memahami konsep-konsep yang lebih kompleks, sejalan dengan prinsip belajar tuntas maju berkelanjutan.
AOA sebagai Jembatan menuju Praktik Industri: Kontekstualisasi temuan ini sangat jelas: tujuan akhir dari pembelajaran AOA dalam mata kuliah MK adalah untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya manajemen proyek dan membekali mahasiswa dengan pola pikir yang dibutuhkan untuk menghadapi permasalahan nyata di industri jasa konstruksi.
Secara interpretatif, penelitian ini menyimpulkan bahwa AOA memiliki peranan yang jauh melampaui fungsinya sebagai alat penjadwalan; ia adalah sebuah latihan pedagogis fundamental yang membentuk cara berpikir seorang calon profesional konstruksi.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Keterbatasan utama dari penelitian ini adalah sifatnya yang sepenuhnya konseptual dan tidak didukung oleh data empiris. Klaim bahwa pembelajaran AOA secara langsung meningkatkan kemampuan berpikir kritis, logis, dan kreatif merupakan sebuah hipotesis yang kuat, namun tetap menjadi sebuah asersi teoretis yang belum divalidasi. Studi ini tidak menyajikan data dari hasil tes, survei, atau studi kasus yang dapat membuktikan secara kuantitatif atau kualitatif adanya hubungan sebab-akibat antara penguasaan AOA dengan peningkatan keterampilan kognitif tersebut. Hubungan kausal yang diasumsikan kemungkinan besar lebih kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor lain seperti metode pengajaran dosen dan motivasi mahasiswa.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, tulisan ini memberikan justifikasi pedagogis yang kuat bagi para pendidik di bidang teknik sipil untuk mempertahankan dan bahkan memperkuat pengajaran metode-metode fundamental seperti AOA dalam kurikulum mereka, dengan penekanan pada pengembangan proses berpikir di balik teknik tersebut.
Untuk penelitian di masa depan, karya ini secara efektif merumuskan serangkaian hipotesis yang matang untuk diuji secara empiris. Studi selanjutnya dapat merancang penelitian quasi-eksperimental dengan desain pra-tes dan pasca-tes untuk mengukur peningkatan keterampilan berpikir kritis pada kelompok mahasiswa yang mempelajari AOA dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, penelitian kualitatif melalui wawancara mendalam dengan para profesional industri dapat mengeksplorasi apakah mereka mempersepsikan adanya korelasi antara pemahaman yang kuat tentang prinsip-prinsip jaringan kerja dengan kemampuan pemecahan masalah di lapangan.
Sumber
Analika, S. (2020). Activity on Arrow dalam Pembelajaran Mahasiswa Program Studi Pendidikan TΕΚΝΙΚ ΒΑNGUNAN. Prosiding Seminar Pendidikan Kejuruan dan Teknik Sipil (SPKTS) 2020, 10-17.
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Artikel ini berdasar pada teori pendidikan teknik sipil yang menekankan pentingnya keterampilan pemecahan masalah (problem-solving) dalam keberhasilan proyek dan karir profesional. Banyak studi terdahulu menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning/PBL) dan simulasi berbantuan peran (role-playing) dapat meningkatkan kemampuan analitis dan kritis mahasiswa (parafrase). Peneliti menggarisbawahi bahwa dalam pendidikan teknik sipil dan manajemen konstruksi, kursus capstone BIM (Building Information Modeling) dapat mengintegrasikan teknologi dan praktik industri sehingga mahasiswa mendapatkan pengalaman memecahkan masalah nyata (Forsythe et al. 2013; Sacks dan Barak, 2010). Namun, literatur menunjukkan masih kurangnya pedoman sistematis untuk melatih keterampilan ini dalam lingkungan pembelajaran kaya teknologi (information-rich environments). Oleh karena itu penulis merumuskan hipotesis bahwa penerapan panduan Perencanaan Eksekusi Proyek (Project Execution Planning – PEP) dengan metode role-playing terstruktur dalam kursus BIM capstone akan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa. Framework teoretis artikel ini menggabungkan konsep PBL, peran-permainan tim, dan pedoman PEP-BIM sebagai landasan pedagogi baru yang terstruktur.
Metodologi dan Kebaruan
Metode penelitian adalah teaching–learning experiment dalam konteks kursus capstone BIM selama sembilan minggu di Chang’an University, China. Sebanyak 82 mahasiswa program teknik sipil/manajemen konstruksi tingkat akhir dibagi ke dalam 21 tim proyek. Masing-masing tim menjalankan proyek bangunan nyata (gedung paud) sambil berperan sebagai insinyur BIM, koordinator, supervisor, dan teknisi sesuai panduan BIM PEPG (Building Information Modeling Project Execution Planning Guide). Instruktur berperan sebagai manajer proyek yang memfasilitasi kegiatan mingguan dan merancang langkah-langkah pembelajaran. Hal baru (novelty) dalam penelitian ini adalah integrasi peran-permainan terstruktur dan prosedur BIM PEP ke dalam kurikulum, sehingga setiap mahasiswa memilih peran spesifik dan bertanggung jawab dalam perencanaan proyek.
Pengumpulan data menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Tiga instrumen utama digunakan: (1) kuesioner self-report berisi pertanyaan skala Likert untuk menilai persepsi mahasiswa tentang keterampilan pemecahan masalah dan pengetahuan role-playing/PEP (Tabel II); (2) evaluasi sejawat (peer evaluation) formatif untuk menilai keterlibatan tiap anggota tim (Tabel III); dan (3) penilaian manual oleh instruktur dan pakar industri atas deliverable proyek serta presentasi (Tabel IV dan V). Selain itu, terapan analisis data meliputi pemodelan persamaan struktural (SEM) untuk mengevaluasi hubungan antar variabel laten (keterampilan RP dan PEP) dengan skor kompetensi pemecahan masalah (ITRE search score). Aspek kualitatif diperoleh dari komentar siswa anonim dan observasi pengajar. Pendekatan metodologis ini dirancang untuk menstimulasi komunikasi dalam tim, perencanaan proyek, dan pembelajaran aktif berbasis proyek nyata. Dengan demikian, studi ini menyuguhkan panduan operasional detail bagi pendidik untuk menerapkan PEP-BIM dalam pembelajaran, menjawab kebutuhan penelitian yang menginginkan struktur role-playing dalam lingkungan kaya teknologi.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan signifikan pada keterampilan pemecahan masalah mahasiswa. Secara kualitatif, komentar anonim mahasiswa menegaskan bahwa pengalaman role-playing dan penggunaan BIM PEP membuat mereka lebih memahami lingkup pekerjaan dan tanggung jawab masing-masing, sehingga kemampuan menyelesaikan masalah meningkat dibandingkan awal semester. Misalnya, siswa melaporkan kemajuan dalam keterampilan metakognitif (RP1) dan kepemimpinan (RP4) sebagai hasil kegiatan peran. Demikian pula, umpan balik instruktur mencatat sikap belajar positif mahasiswa dan kemampuan mereka menerapkan panduan perencanaan untuk memecahkan isu teknis.
Secara kuantitatif, analisis korelasi dari data SEM mendukung temuan tersebut. Tabel hasil analisis (Bagian 4.3) mengindikasikan korelasi positif yang signifikan antara skor pengetahuan dan keterampilan role-playing (RP) dengan skor pemecahan masalah (ITRE search). Misalnya, total skor ITRE search berkorelasi sebesar 0,61 dengan kemampuan role-playing dan 0,40 dengan kemampuan perencanaan proyek (p<0,05), menunjukkan hubungan erat antara peran yang dimainkan dan efektivitas pemecahan masalah. Demikian pula, skor spesifik keterampilan RP dan PEP berkorelasi 0,52 dan 0,33 dengan skor pemecahan masalah. Selain itu, analisis korelasi lebih rinci (Tabel VIII) memperlihatkan bahwa setiap aspek observabel RP (metakognitif, profesional, kognitif, kepemimpinan) berkaitan signifikan (p<0,05) dengan skor jawaban soal uraian pemecahan masalah, sedangkan aspek PEP menunjukkan korelasi lebih rendah (~0,21). Pola ini mengindikasikan bahwa siswa yang aktif dalam peran tim memperoleh performa lebih baik dalam tugas problem-solving.
Temuan ini selaras dengan penelitian sebelumnya yang menekankan efektivitas pembelajaran berbasis proyek dan role-play dalam pendidikan teknik sipil. Dengan menyediakan struktur perencanaan eksekusi proyek dan pengalaman dunia nyata, studi ini memperkuat pemahaman teoretis bahwa konteks pembelajaran praktikal mendorong penguasaan konsep. Secara praktis, pedoman BIM PEP terbukti meningkatkan kesadaran mahasiswa tentang pentingnya perencanaan, komunikasi, dan kerja sama tim untuk pemecahan masalah. Penelitian ini mengonfirmasi bahwa integrasi BIM dan proses perencanaan dalam kurikulum dapat menutup kesenjangan antara teori dan praktik industri konstruksi modern.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Walaupun menjanjikan, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan metodologis. Pertama, sampel penelitian terbatas pada mahasiswa tingkat akhir dari satu universitas di China, sehingga generalisasi hasil ke konteks lain masih terbatas. Tidak ada kelompok kontrol untuk membandingkan pengaruh intervensi, sehingga efek kausal dari penggunaan BIM PEP sulit dibuktikan secara mutlak. Kedua, sebagian besar data bersumber dari laporan diri siswa dan pengamatan subjektif, yang rentan bias motivasi atau “halo effect” instruktor. Meskipun digunakan instrumen semacam kuesioner dan skala evaluasi, tidak terdapat pengukuran pra-dan-pasca (pre-test/post-test) yang eksplisit untuk mengkuantifikasi peningkatan kinerja.
Dari sisi analisis statistik, penulis menekankan korelasi signifikan namun tidak melaporkan ukuran efek atau uji statistik lain untuk memvalidasi temuan peningkatan. Hasil SEM dan koefisien korelasi memang signifikan (p<0,05) namun kurang jelas implikasi praktisnya. Karena desain eksperimental tidak menyeimbangkan faktor lain (misalnya motivasi individu atau tingkat dasar BIM), sulit memastikan bahwa perbedaan kinerja semata-mata disebabkan oleh metode yang diujikan. Selain itu, interval waktu sembilan minggu relatif pendek; dampak jangka panjang pada penguasaan kompetensi belum diuji. Secara keseluruhan, meski inovatif secara pedagogi, penelitian ini memerlukan pengukuran yang lebih objektif dan desain yang lebih kuat (misalnya eksperimen random dengan kelompok kontrol) untuk menegaskan validitas kesimpulannya.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Studi ini menyiratkan sejumlah implikasi penting bagi penelitian dan praktik pendidikan teknik sipil berikutnya. Pertama, model pedagogis yang mengintegrasikan BIM PEP dan role-playing dapat diuji ulang pada populasi yang lebih luas atau berbeda, misalnya mahasiswa dengan latar belakang motivasi/tingkat kemampuan yang berbeda, atau dalam mata kuliah lain (seperti desain struktur atau manajemen proyek lanjutan). Kedua, metodologi campuran perlu dikembangkan dengan fokus pada pengukuran kinerja objektif, misalnya tugas pemecahan masalah terstandardisasi atau penilaian kinerja proyek sebelum dan sesudah intervensi.
Secara ilmiah, hasil ini mendorong penelitian lebih lanjut terhadap mekanisme spesifik yang membuat role-playing efektif—apakah karena peningkatan komunikasi, tanggung jawab bersama, atau aspek motivasionalnya. Penerapan SEM dalam konteks serupa juga bisa diperluas untuk mengeksplorasi variabel-variabel mediasi lain, seperti keterampilan kolaborasi atau motivasi intrinsik mahasiswa. Dalam ranah praktis, penelitian ini relevan dengan tren global dalam pendidikan CECM yang semakin berfokus pada building information modeling dan pembelajaran berbasis proyek. Di masa depan, integrasi inovasi seperti ini dapat membantu mencetak insinyur sipil/manajer konstruksi yang lebih siap menghadapi tuntutan industri yang kompleks dan terhubung teknologi.
Secara keseluruhan, meskipun terobosan pendidikan ini masih memerlukan evaluasi lebih lanjut, studi Zhang, Xie, dan Li (2019) menunjukkan bahwa perencanaan eksekusi proyek berbasis BIM dalam setting kelas memang berpotensi tinggi untuk memperkuat keterampilan pemecahan masalah mahasiswa, dan oleh karena itu sesuai dengan kebutuhan pendidikan teknik sipil modern.