Linguistik Daerah
Dipublikasikan oleh pada 26 Mei 2025
Pendahuluan: Bahasa sebagai Penanda Identitas Sosial dan Geografis
Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tapi juga identitas kolektif. Di Indonesia yang kaya akan keragaman budaya, perbedaan dialek mencerminkan sejarah, migrasi, dan struktur sosial masyarakat. Dalam konteks ini, bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah terbesar, dengan jutaan penutur tersebar dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur.
Namun, di dalam bahasa Jawa sendiri terdapat banyak ragam dialek. Kajian linguistik terbaru menunjukkan bahwa meskipun dua daerah secara geografis saling berdekatan, seperti Malang dan Blitar, perbedaan dalam pilihan kata (leksikon), intonasi, hingga makna kata dapat sangat signifikan. Hal ini menjadi fokus utama dalam artikel ilmiah ini.
Sekilas tentang Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif untuk membandingkan leksikon (kosakata) bahasa Jawa dialek Malang (BJM) dan dialek Blitar (BJB). Data dikumpulkan dari percakapan langsung dengan warga lokal serta dari media sosial. Penelitian ini menyoroti tiga kategori leksikon:
Bentuk berbeda, makna sama
Bentuk mirip, makna sama
Bentuk sama, makna berbeda
Malang vs Blitar: Dari Nada hingga Kosakata
Intonasi dan Citra Sosial
Bahasa Jawa Malang sering dicirikan dengan intonasi keras dan lugas, mencerminkan karakter warganya yang terbuka dan tidak suka basa-basi. Sebaliknya, dialek Blitar terkesan lebih halus, mencerminkan budaya tutur yang sopan ala Solo-Yogya. Ini selaras dengan pengaruh sejarah: wilayah Blitar lebih terpengaruh budaya Mataram dibanding Malang.
Contohnya:
Di Malang, kata "arek" berarti "anak", terdengar lebih keras dan informal.
Di Blitar, digunakan kata "bocah", yang lebih netral dan umum digunakan dalam konteks sopan santun.
1. Leksikon Berbeda, Makna Sama: Kekayaan Sinonim dalam Bahasa Daerah
Terdapat lebih dari 25 pasang kata yang berbeda bentuknya antara BJM dan BJB, namun memiliki makna identik dalam bahasa Indonesia.
Contoh Penting:
BJMBJBArtiarekbocahanakmokongmbelingnakalkatearepakansebuldamonimeniup
Perbedaan ini tak sekadar fonologis, namun juga mencerminkan asal usul budaya bahasa itu sendiri. Kata “mokong” di Malang punya nuansa lokal yang tidak lazim di tempat lain, bahkan dianggap sebagai ciri khas dialek perkotaan.
Analisis Tambahan:
Dalam pemasaran produk lokal, seperti dalam iklan atau branding makanan khas, pemilihan kata ini bisa jadi penentu keberhasilan. Misalnya, "tahu mokong" di Malang mungkin akan sulit dipahami di Blitar tanpa penjelasan.
2. Leksikon Mirip, Makna Sama: Variasi Fonetik Minor, Identitas Tetap Terjaga
Kelompok kedua menyoroti kata-kata yang bentuknya sangat mirip antara dua dialek. Perbedaannya hanya terletak pada satu atau dua huruf fonetik.
Contoh:
BJMBJBArtikrupukkrupukkerupuksugihsugihkayaguwakbuwakbuangsetrikosetlikosetrika
Studi Kasus: Dampak Teknologi terhadap Dialek
Di era digital, kata-kata seperti “setriko” bisa digantikan dengan "nyetrika", "setrika", atau bahkan "nyetrikain" di percakapan daring. Walau masih dalam ranah bahasa Jawa, masuknya teknologi membuat fonemisasi semakin beragam. Di sinilah pentingnya dokumentasi dialektologi seperti penelitian ini.
3. Leksikon Sama, Makna Berbeda: Potensi Ambiguitas dan Kesalahpahaman
Inilah bagian paling menarik. Kata yang terdengar sama bisa berarti sangat berbeda tergantung asal penuturnya.
Contoh:
LeksikonMakna BJMMakna BJBbalonPSKbalon (mainan)mariselesaisembuhmontormobilsepeda motorote-otetelanjang dadabakwan
Bayangkan kesalahpahaman yang bisa terjadi dalam percakapan lintas daerah. Seorang warga Malang bisa menganggap kata "balon" sebagai sesuatu yang negatif, sementara warga Blitar justru mengira sedang membicarakan mainan anak-anak. Dalam konteks pendidikan atau media, hal ini bisa menimbulkan kekacauan makna.
Perspektif Tambahan: Kenapa Kajian Dialektologi Semakin Penting?
Preservasi Bahasa Daerah
Dengan 718 bahasa daerah di Indonesia, banyak yang terancam punah karena tidak terdokumentasi. Studi semacam ini membantu menjaga warisan budaya linguistik.
Kepentingan AI & NLP (Natural Language Processing)
Pengembangan teknologi AI berbasis lokal sangat memerlukan data dialektik. Bayangkan sistem voice recognition Google di masa depan yang bisa membedakan antara dialek Malang dan Blitar.
Identitas dan Kebanggaan Lokal
Di tengah arus globalisasi, dialek bisa menjadi simbol perlawanan identitas lokal terhadap homogenisasi budaya nasional.
Kritik dan Saran untuk Penelitian Lanjutan
Kelebihan:
Menyasar dua wilayah dengan perbedaan dialek yang bersebelahan secara geografis, menjadikan analisis semakin menarik.
Pendekatan data dari sosial media adalah strategi yang relevan dengan zaman digital saat ini.
Kekurangan:
Penelitian hanya mengandalkan data deskriptif tanpa dukungan kuantitatif berupa jumlah responden atau distribusi frekuensi kosakata.
Penjelasan sosiolinguistik tentang perubahan makna belum dikaitkan dengan konteks sosial secara lebih mendalam.
Rekomendasi:
Penelitian selanjutnya dapat memperluas cakupan ke wilayah seperti Kediri atau Tulungagung untuk melihat gradasi dialektal lebih luas.
Gunakan analisis frekuensi dan persepsi penutur asli terhadap kata-kata ambigu untuk hasil yang lebih aplikatif, terutama dalam konteks pendidikan bahasa daerah di sekolah.
Penutup: Bahasa, Dialek, dan Masa Depan
Bahasa adalah identitas, dan dalam setiap kata tersimpan sejarah, budaya, dan cara pandang hidup. Melalui penelitian ini, kita diajak menyadari bahwa meski Malang dan Blitar hanya dipisahkan beberapa kilometer, namun pilihan katanya mencerminkan dunia yang berbeda. Dengan memahami perbedaan ini, kita bisa lebih menghargai keberagaman serta memperkuat identitas lokal dalam bingkai kebangsaan.
Sumber:
Pradicta Nurhuda, Zainal Rafli, & Siti Ansoriyah. (2021). Perbandingan Leksikon Bahasa Jawa Dialek Malang dan Bahasa Jawa Dialek Blitar. Jurnal Bastrindo, Vol. 2 No. 2.
[Link ke jurnal jika tersedia atau tambahkan DOI jika ada.]