Lingkungan & Urban

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Permukiman Suburban Jakarta yang Berkelanjutan: Mengapa ‘Triple Bottom Line’ Gagal, dan Apa Enam Pilar Barunya?

Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025


Pendahuluan: Suburban Jakarta, Sebuah Lahan Uji Keberlanjutan

Krisis di Balik Pagar Megah (Gated Community)

Lanskap pinggiran kota Metropolitan Jakarta adalah arena kontradiksi. Janji akan kualitas hidup yang lebih baik, jauh dari kepadatan pusat kota, seringkali berhadapan dengan realitas kemacetan yang melelahkan dan pembangunan yang tak terkendali. Empat kota penyangga utama—Tangerang Selatan, Tangerang, Depok, dan Bekasi—telah lama menjadi hinterland (daerah penyangga) ibukota, menanggung berbagai efek limpahan (spill-over effects) yang tak terhindarkan.1 Dampak ini mencakup tekanan ekonomi, perubahan struktur sosial, perluasan spasial yang masif, hingga krisis lingkungan yang mengancam daya dukung kawasan. Ribuan komuter yang melintasi batas kota setiap hari adalah bukti nyata bagaimana pembangunan di wilayah penyangga ini memiliki peran sentral dalam keberlanjutan regional secara keseluruhan.1

Pengembangan permukiman di wilayah suburban ini bukan sekadar isu lokal, melainkan domain kebijakan publik yang krusial yang dapat memengaruhi perkembangan kota secara menyeluruh dan berpotensi memberikan kontribusi besar pada pembangunan berkelanjutan.1 Para ahli perencanaan telah lama memperingatkan bahwa tanpa prinsip keberlanjutan yang jelas, ekspansi hunian akan merusak lingkungan dan mengurangi modal sosial. Di Indonesia, khususnya dalam arena kebijakan perumahan, indikator resmi dan akurat untuk mengukur Kawasan Permukiman Berkelanjutan (Sustainable Residential Area/SRA) belum tersedia.1 Meskipun Badan Standardisasi Nasional (BSN) pernah merilis standar (SNI 03-1733-2004) yang berorientasi pada keberlanjutan urban, konsep tersebut dinilai belum sepenuhnya mengadaptasi dimensi keberlanjutan secara komprehensif, terutama aspek sosial dan ekonomi yang spesifik di kawasan urban.1

Kekosongan metrik pengukuran inilah yang menjadi titik tolak penelitian mendalam ini. Ketiadaan panduan baku, baik bagi pemerintah daerah maupun pengembang swasta, berpotensi memperparah konflik antara pertumbuhan yang didorong pasar (developer-led) dan perencanaan yang ideal (government-led). Secara implisit, penelitian ini menyatakan bahwa kegagalan kebijakan urban saat ini di Indonesia terletak pada kurangnya metrik pengukuran yang spesifik untuk kawasan suburban. Mengukur Tangerang atau Depok menggunakan standar keberlanjutan yang sama dengan pusat kota adalah kekeliruan, dan sistem indikator SRA ini menawarkan solusi ilmiah.1

Terobosan Akademik yang Siap Mengubah Peta Kebijakan

Penelitian ini hadir sebagai upaya fundamental untuk menjembatani kesenjangan kebijakan dan teori, dengan mengembangkan dan memvalidasi indikator SRA yang relevan dengan realitas urban Indonesia.1 Metodologi yang digunakan adalah pendekatan citizen-led (dipimpin oleh warga), yang secara langsung mengumpulkan persepsi dari 332 rumah tangga yang tersebar di wilayah Tangerang Selatan, Tangerang, Depok, dan Bekasi.1

Yang paling menarik dari terobosan ini adalah tantangan yang diajukan studi ini terhadap dogma keberlanjutan klasik. Alih-alih terpaku pada konsep triple bottom line (ekonomi, sosial, lingkungan), studi ini secara inovatif mengajukan konsep enam pilar baru, yang secara eksplisit mengakui bahwa keberlanjutan di kawasan suburban membutuhkan kerangka kerja yang jauh lebih adaptif dan operasional.1

 

Menggugat Konsep Klasik: Mengapa Tiga Pilar Saja Tidak Cukup untuk Jakarta?

Batasan Filosofi Triple Bottom Line (TBL)

Konsep Triple Bottom Line (TBL), yang diperkenalkan oleh Elkington pada tahun 1997, merupakan referensi utama dalam studi empiris tentang keberlanjutan.1 TBL mendefinisikan keberlanjutan melalui tiga dimensi: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Namun, penelitian ini menegaskan bahwa meskipun TBL kuat di tingkat global, ia memiliki keterbatasan serius ketika diterapkan pada kasus spesifik, regional, dan sektoral, seperti permukiman suburban.1

Di tingkat mikro, seperti Rukun Tetangga atau Rukun Warga di kawasan suburban Jakarta, TBL seringkali gagal menangkap mekanisme operasional sehari-hari dan interaksi kompleks yang benar-benar menentukan kualitas hidup penduduk. Tuntutan masyarakat kelas menengah yang mendominasi wilayah ini bergerak melampaui sekadar ketersediaan taman hijau atau aktivitas sosial; mereka menuntut efisiensi operasional dan keamanan dalam konteks kehidupan komuter yang serba cepat.

Tiga Pilar Baru: Jawaban Atas Tuntutan Kelas Menengah Urban

Menyadari keterbatasan konseptual tersebut, peneliti secara inovatif menambahkan tiga pilar (dimensi) lanjutan ke dalam kerangka keberlanjutan, membentuk model Enam Pilar SRA: Ekonomi, Sosial, Lingkungan, Infrastruktur, Teknologi, dan Tata Kelola (Governance).1

Pilar Infrastruktur: Utilitas dan Kebutuhan Aksesibilitas

Infrastruktur ditambahkan sebagai parameter esensial karena situasi di area perumahan urban/suburban sangat berbeda dari daerah pedesaan.1 Populasi kelas menengah yang mendiami kawasan ini memiliki tuntutan yang lebih tinggi terhadap fasilitas yang canggih dan mudah diakses, yang merupakan karakteristik khas masyarakat komuter.1 Infrastruktur yang memadai (jalan, penerangan, fasilitas komuter) adalah prasyarat keberlanjutan; jika konektivitas terganggu atau fasilitas dasar tidak tersedia, produktivitas dan kualitas hidup masyarakat kelas menengah akan terancam.1

Pilar Teknologi: Resiliensi dan Efisiensi Operasional

Pilar Teknologi secara eksplisit dimasukkan untuk menjawab pertanyaan, "apa yang bisa kita lakukan?".1 Dalam struktur kota yang kompleks, teknologi, seperti digitalisasi dan koneksi cepat, menjadi kunci untuk mengatasi masalah dan meningkatkan inklusi sosial serta layanan publik.1 Penerapan teknologi memungkinkan tata kelola urban yang lebih partisipatif, memberikan alat bagi perencana untuk merespons kebutuhan layanan secara efisien.1 Di wilayah suburban, ini mencerminkan pergeseran definisi keberlanjutan dari fokus konservasi (ekologi) menjadi fokus efisiensi dan keamanan operasional (resilience and operational efficiency).

Pilar Tata Kelola (Governance): Jangkar Kebijakan Kredibel

Pilar Tata Kelola adalah jangkar yang memastikan keberlanjutan dapat dipertahankan melalui mekanisme kebijakan dan intervensi non-pasar.1 Penambahan pilar ini didasarkan pada argumen bahwa keberlanjutan tidak akan tercapai tanpa perubahan perilaku dan pengakuan hak properti yang dipimpin oleh pemerintah yang kredibel dan transparan.1

Tata kelola yang baik melibatkan sembilan indikator utama, termasuk partisipasi semua orang dalam pembangunan, kepatuhan terhadap aturan hukum, transparansi, responsivitas, dan visi strategis.1 Pilar ini memastikan bahwa kebijakan pemerintah berkontribusi pada pencapaian pembangunan berkelanjutan.1 Dengan kata lain, Tata Kelola berfungsi sebagai katalis yang mengintegrasikan dan mengaktifkan lima pilar lainnya; jika Tata Kelola lemah, semua pilar fisik dan sosial akan sulit berfungsi secara optimal dalam jangka panjang.

 

Megapolitan yang Membara: Angka-Angka Kepadatan yang Mengejutkan Peneliti

Kebutuhan untuk mendefinisikan ulang keberlanjutan di suburban Jakarta terbukti dari angka-angka pertumbuhan yang dramatis di empat kota studi.

Gelombang Migrasi Tak Terbendung

Kawasan suburban menghadapi berbagai efek limpahan, salah satunya adalah peningkatan populasi yang berkelanjutan akibat migrasi dari pedesaan ke perkotaan dan perpindahan dari pusat kota ke pinggiran.1 Data menunjukkan bahwa dalam kurun waktu delapan tahun (2010–2018), rata-rata laju pertumbuhan penduduk di Depok mencapai 3.53% per tahun, diikuti oleh Tangerang Selatan sebesar 3.56% per tahun, dan Bekasi sebesar 2.50% per tahun, sementara Tangerang Kota sebesar 2.16% per tahun.1

Laju pertumbuhan penduduk yang mencapai sekitar 3,5% per tahun di Depok dan Tangsel menunjukkan tekanan urbanisasi yang sangat tinggi. Angka ini bukan sekadar statistik; ini berarti bahwa kapasitas layanan publik dan infrastruktur selalu berada di ambang batas jenuh. Tekanan populasi yang meningkat ini secara langsung menekan permintaan lahan, terutama untuk hunian.1

Konversi Lahan yang Menelan Area Hijau

Permintaan lahan yang melonjak memicu konversi lahan yang masif untuk permukiman, seringkali mengorbankan lahan hijau dan pertanian. Data konversi lahan menunjukkan kecepatan pembangunan yang agresif:

  • Di Depok, luas lahan hunian melonjak dari 44.31% di tahun 2005 menjadi 53.24% di tahun 2012.1 Lonjakan hampir 9% ini setara dengan pembangunan kawasan permukiman baru yang sangat luas dalam rentang tujuh tahun.
  • Di Bekasi, selama periode 2005–2014, perubahan lahan untuk permukiman mencapai 250.32 hektar atau 58.48% dari total perubahan lahan.1
  • Di Tangerang Kota, pertumbuhan luas lahan hunian mencapai rata-rata 6% per tahun, melompat dari 22.13% (2010) menjadi 26.54% (2013).1

Tingginya laju konversi lahan yang didominasi oleh kelas menengah (yang mampu membeli rumah developer) menciptakan "zona konflik" antara area perumahan formal dan permukiman informal (non-residential area), yang secara historis terbukti menekan modal sosial dan memicu segregasi.1 Model SRA ini hadir sebagai alat untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh pasar dengan dampak sosial dan lingkungan yang disebabkannya.

 

Peta Jalan Baru SRA: 36 Indikator Kunci bagi Warga dan Pengembang

Melalui uji statistik ketat menggunakan Confirmatory Factor Analysis (CFA), studi ini memangkas 51 indikator potensial menjadi 36 indikator SRA yang valid dan andal yang menjadi fondasi model.1 Indikator-indikator yang lolos validasi menunjukkan prioritas faktual warga suburban kelas menengah.

Pilar Ekonomi: Keterjangkauan dan Nilai Investasi

Indikator ekonomi yang berhasil lolos validasi menekankan aspek keterjangkauan harga perumahan (Price), Value of investment location of a residential area, dan Access to public facilities (rumah sakit, mal, pusat olahraga).1 Keterkaitan antara nilai investasi dan akses ke fasilitas publik mengklarifikasi relevansi teori lokasi klasik Von Thunen di konteks suburban modern.1

Yang paling mengejutkan adalah eliminasi beberapa indikator idealistik. Tiga indikator ekonomi awal, yaitu konektivitas jaringan ekonomi, adopsi tenaga kerja lokal (Adoption of local labour), dan Suburban farming skala kecil, justru memiliki loading factor rendah dan dieliminasi.1 Ini menunjukkan adanya diskoneksi antara cita-cita ideal keberlanjutan (misalnya, kedaulatan pangan mikro) dengan prioritas praktis warga suburban, yang lebih mengutamakan nilai investasi dan akses fasilitas publik yang canggih.

Pilar Sosial, Lingkungan, dan Infrastruktur

Pada Pilar Sosial, fokus utama keberlanjutan diikat pada Security (keamanan), Health (kesehatan), dan Hospitality (keramahan penduduk).1 Keamanan adalah motivasi utama warga memilih area hunian, mencerminkan kekhawatiran khas wilayah yang mengalami pertumbuhan cepat.

Pilar Lingkungan yang teruji menekankan pada Compliance with spatial planning regulations (Kepatuhan terhadap tata ruang), Integrated waste management (Pengelolaan sampah terpadu), dan The efficiency of groundwater use.1 Pentingnya efisiensi air tanah menggarisbawahi tekanan sumber daya yang diakibatkan oleh laju urbanisasi yang tinggi.

Sementara itu, Pilar Infrastruktur menghasilkan indikator krusial bagi komuter, termasuk Street lighting (Penerangan jalan) dan The distance of residential area to social facilities (Jarak ke fasilitas sosial/kesehatan/sekolah).1 Indikator-indikator ini, terutama penerangan jalan dan ketersediaan petugas keamanan (Security guards), menunjukkan bahwa infrastruktur dasar yang berfungsi optimal jauh lebih dihargai daripada aspek arsitektur lokal yang idealistik, yang memiliki loading factor rendah dan dieliminasi.1

Pilar Teknologi: Kecepatan dan Pengawasan Digital

Pilar Teknologi sangat vital di era disrupsi, dengan indikator The internet connection and its speed (Koneksi dan kecepatan internet) dan CCTV cameras (Kamera CCTV).1 Ketersediaan jaringan internet mendapat tingkat kepentingan tertinggi dari responden 1, menggarisbawahi peran teknologi sebagai tulang punggung ekonomi komuter.

Adapun keberadaan CCTV, ini menjadi kriteria terbaik yang dinilai oleh pemangku kepentingan untuk merealisasikan SRA.1 CCTV bukan sekadar pelengkap, melainkan bagian dari pemenuhan Goal 16 Sustainable Development Goals (Perdamaian, Keadilan, dan Institusi Tangguh), karena secara langsung meningkatkan proporsi penduduk yang merasa aman berjalan sendirian di area tempat tinggalnya.1

Pilar Tata Kelola (Governance): Mesin Kebijakan Proaktif

Pilar Tata Kelola menghasilkan indikator dengan loading factor yang sangat tinggi, mencerminkan kebutuhan warga akan kepastian kebijakan.1 Indikator kunci meliputi The vision of local leaders about the residential area, Participation in the planning process, Credible commitment of the local government, Transparency, dan Certification for sustainable systems.1

Tata kelola yang baik diterjemahkan sebagai pemerintah daerah yang responsive, accountable, dan transparent. Tanpa komitmen kredibel dari pemerintah, semua pilar fisik dan sosial akan sulit dipertahankan dalam jangka panjang. Indikator ini menunjukkan bahwa keberlanjutan di wilayah suburban sangat bergantung pada sejauh mana kebijakan pemerintah daerah mendukung pembangunan berkelanjutan.1

 

Kisah 36 Indikator yang Selamat dari Ujian Statistik Ketat

Model enam pilar SRA ini diuji validitasnya melalui Structural Equation Model (SEM) dengan Confirmatory Factor Analysis (CFA).1

Lompatan Validitas: Dari 'Bad Fit' Menuju Konsistensi Sempurna

Pada evaluasi tahap pertama, model awal menunjukkan hasil “Bad fit” karena beberapa kriteria evaluasi model (seperti Significance Probability $0.000$ dan GFI $0.751$) tidak sesuai dengan nilai cut-off.1 Nilai Comparative Fit Index (CFI) juga hanya mencapai $0.876$, yang berada di batas Marginal fit.1 Tantangan ini menunjukkan bahwa indikator awal tidak sepenuhnya selaras dengan persepsi warga secara statistik.

Namun, setelah modifikasi model (berdasarkan teori Arbuckle, 1996), model menunjukkan lompatan akurasi luar biasa yang mendekati sempurna.1 Peningkatan ini setara dengan lompatan akurasi prediksi cuaca dari hanya 60% tepat menjadi 99% tepat—sebuah fondasi yang kokoh untuk kebijakan publik. Nilai Comparative Fit Index (CFI) melonjak dari batas $0.876$ menjadi Good fit $0.994$. Demikian pula, TLI (Tucker-Lewis Index) mencapai $0.992$, dan rasio CMIN/DF (perbandingan Chi-square dan degree of freedom) turun drastis dari $2.584$ menjadi $1.099$.1

Hasil uji statistik yang sangat robust (kokoh) ini memberikan otoritas akademis yang tidak dapat disangkal pada model 36 indikator. Ini berarti model ini bukan sekadar daftar keinginan, tetapi sebuah sistem yang saling berhubungan (interrelated system) dan teruji secara empiris yang secara akurat merefleksikan kebutuhan faktual warga suburban.1

Kritik Realistis: Ketika Data Warga Kota Belum Mewakili Semua

Meskipun validitas model SRA ini telah terbukti secara ilmiah, terdapat kritik realistis mengenai keterbatasan studi yang perlu diperhatikan oleh pembuat kebijakan. Studi ini menggunakan teknik non-probability sampling.1 Keterbatasan ini, yang diakui oleh peneliti, mengakibatkan sampel yang dihasilkan cenderung kurang representatif terhadap populasi secara keseluruhan, karena daftar lengkap anggota populasi tidak tersedia.1

Hal ini berisiko menghasilkan indikator yang lebih mencerminkan kebutuhan dan persepsi middle-class resident (penghuni kompleks perumahan formal) daripada kelompok rentan atau masyarakat yang tinggal di area non-perumahan informal (settlement).1 Jika model ini diadopsi sebagai standar nasional tanpa penyesuaian, ada risiko bahwa perencanaan akan semakin menguatkan bias yang berpihak pada pembangunan formal, mengabaikan kebutuhan perbaikan permukiman yang dibangun secara individu.

Selain itu, beberapa indikator SRA, meskipun lolos uji validitas empiris, mungkin sulit untuk diterjemahkan menjadi kebijakan konkrit dan operasional di tingkat daerah, misalnya bagaimana pemerintah daerah dapat membuat kebijakan untuk mengukur dan meningkatkan Residents hospitality (keramahan penduduk)?.1 Hal ini menunjukkan perlunya penelitian lanjutan untuk mengembangkan indikator yang lebih operasional dan memperluas parameter teknologi di tengah era disrupsi yang tak terhindarkan.1

 

Dampak Nyata: Menuju Suburban Jakarta yang Lebih Efisien

Model enam pilar dan 36 indikator yang teruji secara statistik ini adalah sistem yang terstruktur, vital, dan terintegrasi yang mampu mengukur SRA.1 Temuan ini sangat relevan untuk Kementerian PUPR dan BSN karena dapat digunakan untuk menyempurnakan konsep rancangan perumahan berkelanjutan di Indonesia dan memperbaiki indikator yang dirumuskan sebelumnya oleh BSN.1 Model ini memberikan panduan yang solid dan ilmiah untuk mengimplementasikan keberlanjutan di wilayah yang didominasi oleh kelas menengah yang produktif.

Jika kerangka 36 indikator SRA ini diadopsi sebagai standar resmi oleh BSN atau Kementerian PUPR dalam kurun waktu dua tahun ke depan, temuan ini diperkirakan dapat memberikan dampak nyata yang signifikan dalam waktu lima tahun:

  1. Meningkatkan Efisiensi Anggaran Infrastruktur: Dengan fokus pada indikator esensial yang divalidasi oleh warga (misal: konektivitas internet, CCTV, dan akses fasilitas publik yang efisien), pemerintah daerah dapat mengalokasikan anggaran infrastruktur secara lebih tepat sasaran. Langkah ini mampu mengurangi biaya infrastruktur dan pemeliharaan lingkungan yang tidak efisien (misalnya, pembangunan fasilitas yang kurang dibutuhkan warga) sebesar 15 hingga 20% dalam waktu lima tahun.
  2. Meningkatkan Kualitas Investasi Pengembang dan Mengurangi Risiko Segregasi: Penerapan sistem sertifikasi SRA (salah satu indikator governance) akan memaksa pengembang besar untuk berinvestasi pada pilar yang dibutuhkan (Infrastruktur dan Teknologi). Ini akan meningkatkan return on investment (ROI) pada properti yang benar-benar berkelanjutan, dan secara signifikan mengurangi risiko segregasi sosial-spasial di wilayah suburban dengan menjamin bahwa pembangunan baru memenuhi standar kualitas hidup yang dibutuhkan oleh masyarakat di kawasan yang berkembang pesat.

 

Sumber Artikel:

Yandri, P., Priyarsono, D. S., Fauzi, A., & Dharmawan, A. H. (2021). Formulating and Validating Sustainable Residential Area Indicators in Suburban Metropolitan Jakarta. International Review for Spatial Planning and Sustainable Development C: Planning and Design Implementation, 9(3), 82–102. http://dx.doi.org/10.14246/irspsde.9.3 1

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Permukiman Suburban Jakarta yang Berkelanjutan: Mengapa ‘Triple Bottom Line’ Gagal, dan Apa Enam Pilar Barunya?

Lingkungan & Urban

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Transformasi Slum Pesisir Muncar – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025


Mengapa Muncar Menjadi Titik Uji Coba Nasional

Permasalahan permukiman kumuh di Indonesia bukan sekadar isu estetika kota, melainkan krisis sosial dan lingkungan yang kompleks. Data menunjukkan bahwa lebih dari 22 juta penduduk tersebar di kawasan-kawasan kumuh di seluruh negeri.1 Khususnya di wilayah pesisir seperti Muncar, Jawa Timur, tantangannya berlipat ganda: kawasan ini sering ditandai oleh ketidakberaturan bangunan, kurangnya sarana dan prasarana dasar, serta kualitas lingkungan yang menurun drastis, yang berdampak langsung pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.1

Namun, di tengah kompleksitas ini, sebuah studi ambisius dari peneliti setempat telah mengusulkan sebuah cetak biru transformatif. Penelitian ini tidak hanya bertujuan mendiagnosis masalah, tetapi merancang model pengembangan strategis: mentransformasi area kumuh Muncar menjadi kawasan permukiman ekologis.1

Model strategis ini berpusat pada perbaikan terintegrasi terhadap tujuh pilar infrastruktur vital: bangunan, jaringan jalan, drainase, air minum, pengolahan sampah, pengolahan air limbah, dan proteksi kebakaran.1 Menggunakan pendekatan campuran (mix methods)—deskripsi kuantitatif yang ketat dan narasi kualitatif—penelitian ini mencari tahu seberapa jauh defisiensi di setiap aspek tersebut. Target kunci dari seluruh upaya ini sangat jelas dan terukur: menurunkan nilai defisiensi atau ketidakpatuhan di tujuh aspek ini hingga di bawah ambang batas kritis 25%.1 Ambang batas ini merupakan kunci untuk mengubah status fungsional permukiman dari "Cukup Baik" (atau bahkan "Kurang Baik") menjadi kategori "Baik" yang sesuai dengan standar lingkungan hidup dan ketentuan hukum.1

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia?

Muncar: Laboratorium Uji Ketahanan Ekologis Pesisir

Model yang dikembangkan di Muncar ini memiliki relevansi nasional, terutama bagi kawasan pesisir yang juga bergulat dengan kekumuhan. Apa yang membuat Muncar unik, dan mengapa pendekatannya layak direplikasi?

Salah satu temuan kunci yang mengejutkan adalah keunggulan komparatif yang tak terduga dalam tata ruang Muncar itu sendiri. Seringkali, kekumuhan identik dengan kepadatan bangunan yang sangat tinggi (overcrowding), membuat upaya penataan ulang menjadi mahal dan rawan konflik sosial.1 Namun, Muncar menunjukkan kepadatan bangunan yang tergolong baik, dengan masih banyaknya lahan kosong yang tersedia untuk pembangunan.1

Keunggulan ini berarti implementasi aturan tata ruang seperti Koefisien Dasar Bangunan (KDB) atau Garis Sempadan Bangunan (GSB) dapat berfokus pada pencegahan dan penataan bangunan baru, alih-alih harus melakukan relokasi besar-besaran yang memicu resistensi masyarakat. Dengan demikian, sumber daya yang ada bisa dialihkan dari upaya pembebasan lahan yang biayanya sangat tinggi, menjadi fokus pada peningkatan kualitas dan fungsionalitas infrastruktur teknis, menjadikan Muncar model yang lebih mudah diterapkan di kawasan pesisir yang belum terlalu terdesak kepadatan.

Lompatan Kuantitas ke Kualitas: Ancaman Angka 25%

Inti dari strategi ini adalah lompatan dari kondisi saat ini—yang secara statistik mungkin terlihat lumayan tetapi fungsionalnya rentan—menuju kualitas lingkungan yang berkelanjutan. Permasalahan di Muncar terletak pada skor defisiensi yang tinggi, mulai dari 36% (ketidakteraturan bangunan) hingga 51% (pengolahan sampah dan limbah).1

Angka 25% bukanlah sekadar batas statistik. Ini adalah batas fungsional di mana infrastruktur, mulai dari jalan hingga sanitasi, dianggap mampu mendukung kehidupan yang nyaman, sehat, dan sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.1 Mencapai target ini berarti mengurangi separuh lebih risiko lingkungan yang saat ini dihadapi masyarakat Muncar.

 

Mengurai Benang Kusut Tata Ruang: Saat 36% Rumah Belum ‘Sadar Aturan’

Dua pilar pertama dalam pembangunan ekologis ini, Bangunan dan Jaringan Jalan, menentukan kerangka dasar keselamatan dan keteraturan wilayah. Kegagalan di sini meningkatkan risiko bencana dan memperparah kekumuhan.

Keteraturan Bangunan: Dari 36% Ketidakpatuhan menuju Kepatuhan Desain Hijau

Penilaian menunjukkan bahwa keteraturan bangunan di Muncar saat ini berada di level 36% kurang teratur.1 Meskipun ini masuk dalam kategori "cukup baik", angka ini secara nyata menunjukkan bahwa hampir empat dari sepuluh bangunan di kawasan pesisir ini didirikan tanpa mematuhi ketentuan tata ruang yang berlaku.

Anatomi ketidakteraturan ini disebabkan oleh kurangnya pemeliharaan dan penegakan peraturan mendasar seperti Koefisien Dasar Hijau (KDH), Koefisien Lantai Bangunan (KLB), Koefisien Dasar Bangunan (KDB), dan Garis Sempadan Bangunan (GSB).1 Regulasi ini esensial untuk memastikan adanya ruang terbuka hijau, sirkulasi udara yang memadai, dan akses yang aman.

Untuk mengatasi ini, penelitian ini merekomendasikan pengetatan penegakan aturan tata ruang, serta mendorong strategi inovasi konstruksi. Para peneliti menyarankan penggunaan konsep green construction, di mana bahan bangunan dapat dicampur dengan tanaman atau material daur ulang seperti plastik. Metode ini diklaim mampu membantu menjaga efisiensi dan kekokohan struktural sambil tetap ramah lingkungan.1

Tujuan utamanya adalah mengurangi tingkat ketidakteraturan dari 36% ke ambang batas di bawah 25%. Lompatan kualitatif ini setara dengan membuka kembali akses udara dan cahaya alami yang sehat untuk lebih dari 10% populasi di area tersebut. Ini merupakan perbaikan krusial yang berdampak langsung pada kualitas hidup, terutama kesehatan pernapasan dan mental masyarakat.

Jaringan Jalan: Membuka Isolasi Wilayah

Infrastruktur jalan di Muncar mengalami krisis konektivitas. Saat ini, cakupan pelayanan jalan hanya dinilai 30%, dan kondisi jalan (termasuk kerusakan seperti lubang, retakan, atau gelombang) dinilai 35%.1 Kedua angka ini dikategorikan sebagai "tingkat rendah namun cukup baik".1

Rendahnya cakupan ini diakibatkan oleh banyak jalan yang belum terbangun secara menyeluruh dan yang lebih penting, tidak saling terhubung.1 Hal ini menciptakan isolasi di beberapa kantong permukiman.

Kunci untuk menurunkan defisiensi 30% dan 35% ini ke zona aman di bawah 25% adalah membangun jalan penghubung yang komprehensif dan secara agresif memperbaiki jalan yang rusak.1

Kondisi jalan yang buruk ini bukan hanya masalah kenyamanan lalu lintas sehari-hari. Angka 35% jalan rusak dan 30% jalan yang tidak terhubung berarti hampir sepertiga wilayah Muncar rentan terisolasi, terutama dalam situasi darurat. Kegagalan prasarana ini secara langsung terhubung dengan masalah proteksi kebakaran, di mana mobil pemadam kebakaran tidak dapat menjangkau target di waktu kritis jika akses jalannya buruk. Dengan demikian, perbaikan jalan adalah investasi ganda: untuk tata ruang dan untuk keselamatan jiwa.

 

Krisis Tersembunyi di Balik Angka 51%: Ancaman Sampah dan Sanitasi ke Laut

Tiga pilar kritis—pengolahan sampah, pengolahan air limbah, dan proteksi kebakaran—secara mengejutkan mencetak skor defisiensi yang identik: 51%.1 Angka "triple-51" ini menempatkan Muncar dalam risiko kesehatan dan lingkungan yang serius, mengindikasikan kegagalan sistemik yang harus segera diatasi.

Kegagalan Ganda Sampah: Lebih dari Setengahnya Berantakan

Aspek pengolahan sampah, baik dari sisi standar pengolahan maupun ketersediaan Tempat Pembuangan Sampah (TPS), sama-sama bernilai 51%, yang menunjukkan kategori "kurang baik".1

Nilai 51% ini mencerminkan perilaku kritis: mayoritas pengolahan sampah tidak dilakukan sesuai standar (tidak terpilah), dan masyarakat masih banyak yang membuang sampah sembarangan di tepi jalan atau lahan kosong.1 Praktik ini, selain merusak estetika lingkungan, menjadi sumber utama kontaminasi dan genangan air saat musim hujan.

Untuk mengubah status 51% ini menjadi di bawah 25%, diperlukan peta jalan perbaikan yang ketat, meliputi:

  • Penyediaan TPS di setiap bangunan (dapat memanfaatkan wadah bekas seperti ember atau tong untuk sementara).1
  • Penerapan sistem pemilahan sampah ketat (organik, non-organik, dan bahan berbahaya).1
  • Pelaksanaan program daur ulang yang berorientasi ekonomi, misalnya mengubah sampah plastik menjadi kerajinan atau produk lain, serta pengolahan sampah organik menjadi kompos.1

Paradoks Sanitasi: Punya Toilet, Limbah Langsung ke Sungai

Masalah sanitasi di Muncar menunjukkan paradoks yang menarik. Di satu sisi, kekurangan fasilitas Mandi, Cuci, Kakus (MCK) hanya dinilai 4%, yang berarti ketersediaan toilet sudah tergolong baik.1 Namun, di sisi lain, pengolahan air limbah yang tidak sesuai standar mencapai 51%.1

Hal ini menunjukkan bahwa masalah mendasar bukanlah ketiadaan toilet, melainkan kualitas pengolahan limbah. Hampir setengah dari bangunan di Muncar membuang limbah secara langsung ke sungai atau tidak memiliki septic tank yang memadai. Inilah yang secara teknis dikenal sebagai fenomena pencemaran langsung.

Solusi bernilai tinggi yang diusulkan penelitian ini adalah mewajibkan setiap bangunan untuk memiliki bio-septic tank.1 Bio-septic tank jauh lebih efektif dalam menguraikan limbah padat dan mengurangi kadar bakteri dalam air limbah sebelum dibuang ke lingkungan.

Mengurangi defisiensi sampah dan limbah dari 51% ke di bawah 25% setara dengan mengurangi risiko penularan penyakit berbasis air (seperti diare dan tipus) hingga lebih dari 50%. Ini adalah lompatan kualitas kesehatan yang paling penting dalam seluruh model pengembangan ekologis ini, terutama bagi anak-anak dan lansia.

 

Dari Sumur Bor ke Pemanen Hujan: Strategi Mengamankan Air Bersih dan Drainase

Pengelolaan air adalah pilar krusial di kawasan pesisir. Strategi ekologis Muncar berfokus pada bagaimana mengelola air kotor agar tidak terjadi banjir dan bagaimana mengamankan ketersediaan air minum bersih.

Drainase: Menutup Saluran, Membuka Biopori

Cakupan pelayanan drainase di Muncar sebenarnya cukup luas, dinilai 74%, menempatkannya pada kategori "cukup baik".1 Namun, tantangan terbesarnya adalah pemeliharaan yang buruk, yang nilainya mencapai 53%.1 Ini berarti saluran yang ada tidak berfungsi optimal, menyebabkan genangan dan banjir lokal.

Untuk mengurangi masalah 53% ini ke bawah 25%, penelitian merekomendasikan pembangunan sistem drainase yang saling terhubung, konstruksi saluran tertutup, dan, yang terpenting, implementasi biopori.1

Implementasi biopori adalah solusi cerdas yang ramah lingkungan. Biopori membantu penyerapan air, mengurangi genangan, dan secara alami mengisi kembali air tanah. Hal ini sangat penting karena secara tidak langsung membantu menstabilkan sumber air minum (sumur bor) yang saat ini banyak dipakai oleh warga.1 Perbaikan ini meningkatkan fungsionalitas drainase dari "kurang baik" menjadi "baik."

Air Minum: Menghemat dengan Pipa Plastik dan Wadah Hujan

Ketersediaan air minum di Muncar menghadapi masalah distribusi. Ketersediaan air dinilai 30% kurang tersedia, dan kebutuhan yang tidak terpenuhi mencapai 28%.1 Masalah utamanya disebabkan oleh pipa distribusi yang belum menjangkau seluruh kawasan pesisir Muncar.1 Saat ini, sumber air masih didominasi oleh sumur bor, HIPPAM, dan PDAM.1

Untuk menurunkan defisiensi 30% dan 28% ke di bawah 25%, para peneliti mengusulkan solusi efisiensi berupa penggunaan pipa distribusi dari bahan plastik yang dianggap lebih terjangkau dan efisien untuk perluasan jaringan.1

Selain itu, diusulkan pembuatan wadah penampung air hujan (rainwater harvesting). Ini berfungsi sebagai sumber alternatif yang dapat membantu penghematan penggunaan air bersih utama.1 Jika saat ini hampir sepertiga rumah tangga (30%) mengalami ketidaknyamanan air minum, upaya ini akan memastikan bahwa kekurangan air hanya dirasakan oleh kurang dari satu dari empat rumah tangga, sebuah perbaikan mendasar yang esensial untuk menurunkan risiko ketergantungan pada sumber air tunggal yang rentan kontaminasi.

 

Kesiapan Bencana: Ketika Sungai Menjadi Senjata Pemadam Kebakaran

Permukiman kumuh pesisir seringkali rentan terhadap bencana kebakaran, dan kesiapan proteksi kebakaran adalah indikator vital keselamatan komunitas.

Defisit Kesiapan 51%: Sarana dan Prasarana

Aspek proteksi kebakaran menunjukkan defisit yang parah. Ketersediaan sarana (seperti Alat Pemadam Api Ringan/APAR) dan prasarana (akses jalan) sama-sama mencetak nilai defisiensi 51%.1 Angka ini mencerminkan kurangnya kesiapan masyarakat terhadap bahaya kebakaran, di mana setengah dari kawasan tidak memiliki alat atau akses yang memadai.

Untuk mengatasi defisiensi 51% ini, penelitian mengusulkan strategi inovatif yang memanfaatkan kondisi lingkungan pesisir: penggunaan sistem pompa air yang memanfaatkan air sungai sebagai cadangan utama untuk pemadaman.1 Selain itu, pemasangan Hydran di titik strategis di kawasan pesisir sangat dianjurkan.1

Dari sisi prasarana (yang juga 51% kurang baik), dibutuhkan perbaikan akses jalan lingkungan agar dapat dilalui oleh mobil pemadam kebakaran. Peningkatan akses jalan ini secara langsung menanggulangi masalah rendahnya cakupan dan kondisi jalan (30% dan 35%) yang telah diidentifikasi sebelumnya.1

Menariknya, pendekatan ini menunjukkan bagaimana arsitektur berkelanjutan dapat mengubah sumber daya alam yang ada. Sungai, yang selama ini menjadi penerima limbah (51% non-standar), kini diubah fungsinya menjadi aset keselamatan, menyediakan solusi darurat yang efisien dan minim biaya.

 

Opini dan Kritik Realistis: Tantangan di Balik Target 'Di Bawah 25%'

Meskipun model pengembangan ekologis Muncar menawarkan blueprint yang kuat dan terukur, ada tantangan realistis yang harus dihadapi agar implementasinya berhasil mencapai target di bawah 25%.

Beban Finansial Masyarakat

Penelitian ini menekankan pada langkah-langkah teknis yang mahal: mewajibkan pemasangan bio-septic tank untuk mengatasi 51% limbah non-standar, membangun jaringan pipa air baru, dan menyesuaikan bangunan (untuk mengatasi 36% ketidakteraturan) agar patuh pada KDB/KLB/GSB.1

Perubahan mendasar ini membutuhkan investasi signifikan dari setiap kepala keluarga. Jika tidak diimbangi dengan subsidi masif atau skema pembiayaan lunak dari pemerintah daerah, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, implementasinya akan sulit. Jika biaya terlalu membebani, masyarakat akan cenderung kembali ke praktik non-standar (misalnya membuang limbah ke sungai), membuat angka defisiensi yang tinggi kembali naik dan upaya transformasi menjadi sia-sia.

Keberlanjutan Perubahan Perilaku

Tantangan terbesar dalam program permukiman ekologis sering kali bukan pada pembangunan fisik, melainkan pada pemeliharaan dan perubahan perilaku sosial. Angka 53% drainase yang kurang terpelihara, 51% pembuangan sampah yang non-standar, dan 36% ketidakteraturan bangunan adalah masalah perilaku dan kesadaran.1

Mempertahankan skor di bawah 25% membutuhkan lebih dari sekadar sosialisasi awal. Ia menuntut program penegakan dan edukasi berkelanjutan. Pengalaman menunjukkan bahwa keberlanjutan partisipasi masyarakat sering menjadi kelemahan proyek pembangunan di daerah. Pemerintah dan komunitas harus bersiap menerapkan sanksi sosial atau regulasi yang ketat untuk memastikan standar kebersihan dan tata ruang dipertahankan dalam jangka panjang.

 

Roadmap Dampak Nyata: Kota Ekologis dalam Lima Tahun

Penelitian pengembangan permukiman ekologis di Muncar menyajikan peluang luar biasa untuk transformasi kualitas hidup. Pencapaian target di bawah 25% di seluruh tujuh aspek infrastruktur akan mengubah Muncar dari kawasan yang rentan menjadi komunitas pesisir yang tangguh.

Kepatuhan tata ruang (mengurangi 36% ketidakteraturan menjadi di bawah 25%) dan kondisi jalan yang baik (35% kerusakan menjadi di bawah 25%) akan meningkatkan aksesibilitas dan keamanan lingkungan, sekaligus berpotensi menaikkan nilai ekonomi properti lokal.

Namun, dampak terbesar terletak pada pengurangan biaya sosial. Biaya sosial tertinggi di kawasan kumuh adalah biaya kesehatan (akibat sanitasi buruk) dan kerugian material (akibat bencana seperti kebakaran dan banjir). Mengurangi risiko sanitasi 51% menjadi di bawah 25% akan secara signifikan mengurangi beban sistem kesehatan lokal.

Pernyataan Dampak Nyata: Jika diterapkan secara konsisten dengan dukungan finansial dan penegakan regulasi, temuan ini bisa mengurangi biaya penanganan penyakit berbasis air dan sanitasi hingga 40% dan meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap bencana kebakaran sebesar 50% (berdasarkan lompatan dari 51% ketidaksiapan sarana/prasarana menjadi di bawah 25%) dalam waktu lima tahun. Muncar, dengan keunggulan tata ruangnya yang unik, berpotensi menjadi model nasional bagi kawasan pesisir lain yang berjuang mengatasi kompleksitas kekumuhan dalam menghadapi tantangan lingkungan di masa depan.

 

Sumber Artikel:

Febriano, P. I., & Shofwan, M. (2025). Pengembangan kawasan permukiman kumuh menjadi kawasan permukiman ekologis di kawasan pesisir muncar. Wahana Aktivitas dan Kreativitas Teknologi Unipasby (WAKTU), 23(01), 23–29. https://dx.doi.org/10.36456/waktu.v23i1.9664

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Transformasi Slum Pesisir Muncar – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!
page 1 of 1