Lingkungan & Pembangunan Kota
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 21 Desember 2025
1. Pendahuluan: Kota sebagai Titik Kunci Transisi Efisiensi Sumber Daya
Urbanisasi merupakan salah satu kekuatan struktural paling menentukan dalam agenda keberlanjutan global. Pertumbuhan kota bukan hanya persoalan demografi, tetapi juga proses akumulasi investasi infrastruktur yang membentuk pola konsumsi sumber daya untuk puluhan tahun ke depan. Setiap keputusan investasi di sektor transportasi, bangunan, air, dan limbah menciptakan jejak material dan energi yang sulit diubah dalam jangka pendek.
Artikel ini merujuk pada materi Strategic Investments Towards Resource Efficient Cities, yang menempatkan kota sebagai locus utama transisi efisiensi sumber daya. Pendekatan ini menegaskan bahwa keberlanjutan perkotaan tidak dapat dicapai hanya melalui perubahan perilaku individu atau proyek lingkungan terpisah, melainkan melalui investasi strategis yang mengarahkan metabolisme kota secara keseluruhan.
Dalam banyak konteks, kegagalan mencapai efisiensi sumber daya bukan disebabkan oleh ketiadaan teknologi, tetapi oleh pilihan investasi yang keliru. Infrastruktur yang dibangun hari ini menentukan intensitas energi, kebutuhan material, dan emisi di masa depan. Oleh karena itu, pembahasan kota efisien sumber daya perlu dimulai dari pertanyaan kebijakan: bagaimana investasi publik dan swasta dapat diarahkan untuk menghindari jebakan pembangunan yang boros sumber daya.
Dengan pendekatan analitis, artikel ini membahas hubungan antara urbanisasi, investasi infrastruktur, dan efisiensi sumber daya. Fokusnya adalah mengurai titik-titik keputusan strategis yang menentukan apakah kota berkembang sebagai pusat efisiensi atau justru sebagai mesin konsumsi sumber daya yang tidak berkelanjutan.
2. Urbanisasi dan Infrastruktur: Risiko Lock-in dan Peluang Transformasi
Urbanisasi menciptakan permintaan besar terhadap infrastruktur dasar. Jalan, sistem transportasi, jaringan energi, bangunan, dan layanan air harus dibangun dengan cepat untuk mengakomodasi pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonomi. Namun kecepatan pembangunan sering kali mengorbankan pertimbangan efisiensi jangka panjang, menciptakan risiko lock-in infrastruktur yang boros sumber daya.
Risiko lock-in muncul ketika kota berinvestasi pada sistem yang sulit diubah, seperti ketergantungan pada kendaraan pribadi, bangunan dengan efisiensi energi rendah, atau sistem pengelolaan limbah yang linear. Sekali infrastruktur ini terbangun, biaya sosial dan ekonomi untuk beralih ke sistem yang lebih efisien menjadi sangat tinggi. Akibatnya, kota terjebak pada pola konsumsi sumber daya yang tidak sejalan dengan target keberlanjutan.
Namun urbanisasi juga membuka peluang transformasi. Skala investasi yang besar memungkinkan integrasi prinsip efisiensi sumber daya sejak awal. Transportasi publik terintegrasi, bangunan hemat energi, serta sistem air dan limbah yang mendukung sirkularitas dapat dirancang sebagai bagian dari paket investasi yang saling memperkuat. Dalam konteks ini, efisiensi sumber daya bukan biaya tambahan, melainkan hasil desain kebijakan yang cerdas.
Peluang ini sangat bergantung pada kapasitas tata kelola. Tanpa perencanaan lintas sektor dan visi jangka panjang, investasi cenderung bersifat sektoral dan reaktif. Sebaliknya, ketika kebijakan perkotaan mampu menyelaraskan tujuan pembangunan dengan efisiensi sumber daya, urbanisasi dapat menjadi pendorong utama transisi berkelanjutan.
3. Metabolisme Kota dan Peran Investasi Sirkular
Untuk memahami efisiensi sumber daya perkotaan secara utuh, kota perlu dilihat sebagai sistem metabolik—mengalirkan material, energi, air, dan limbah dalam skala besar. Cara kota mengelola aliran ini sangat ditentukan oleh keputusan investasi. Infrastruktur yang linear mendorong pola “ambil–pakai–buang”, sementara investasi sirkular membuka peluang pengurangan kebutuhan sumber daya primer.
Investasi sirkular berfokus pada pemutusan hubungan antara pertumbuhan kota dan peningkatan konsumsi sumber daya. Contohnya mencakup sistem pengelolaan limbah yang memungkinkan pemulihan material dan energi, penggunaan kembali air, serta integrasi limbah sebagai input bagi sektor lain. Pendekatan ini menuntut koordinasi lintas sektor yang kuat, karena manfaatnya sering tersebar dan tidak selalu langsung terlihat dalam satu proyek.
Tantangan utama investasi sirkular adalah pembiayaan dan insentif. Banyak manfaat efisiensi muncul dalam jangka menengah hingga panjang, sementara biaya investasi harus dikeluarkan di awal. Tanpa kerangka kebijakan yang mampu menangkap nilai jangka panjang tersebut, proyek sirkular kalah bersaing dengan solusi konvensional yang tampak lebih murah secara jangka pendek.
Di sinilah peran kebijakan menjadi krusial. Melalui perencanaan terpadu, pengadaan publik, dan mekanisme pembiayaan inovatif, negara dapat menurunkan risiko investasi sirkular dan mempercepat adopsinya. Ketika metabolisme kota diarahkan ke arah sirkular, efisiensi sumber daya tidak lagi menjadi tujuan tambahan, tetapi bagian inheren dari pembangunan perkotaan.
4. Transportasi dan Bangunan sebagai Pengungkit Efisiensi Sumber Daya
Di antara berbagai sektor perkotaan, transportasi dan bangunan memiliki dampak terbesar terhadap konsumsi energi dan material. Keduanya juga menawarkan peluang paling signifikan untuk peningkatan efisiensi melalui investasi strategis. Pilihan kebijakan di dua sektor ini sering kali menentukan apakah kota berkembang secara boros atau efisien.
Transportasi perkotaan yang berorientasi pada kendaraan pribadi menciptakan ketergantungan energi tinggi, kebutuhan ruang besar, dan emisi yang sulit dikendalikan. Sebaliknya, investasi pada transportasi publik terintegrasi, mobilitas aktif, dan tata guna lahan yang kompak dapat secara drastis menurunkan intensitas sumber daya per kapita. Keputusan ini bersifat struktural dan efeknya berlangsung puluhan tahun.
Bangunan menghadirkan tantangan serupa. Desain, material, dan standar konstruksi menentukan kebutuhan energi operasional dan konsumsi material sepanjang umur bangunan. Investasi pada bangunan hemat energi dan material sering dipandang mahal di awal, tetapi menghasilkan penghematan signifikan dalam jangka panjang. Tanpa regulasi dan insentif yang jelas, pasar cenderung memilih opsi jangka pendek yang kurang efisien.
Kedua sektor ini menunjukkan bahwa efisiensi sumber daya bukan hasil dari teknologi tunggal, melainkan dari keselarasan investasi, regulasi, dan perencanaan. Ketika kebijakan mampu menyatukan ketiganya, transportasi dan bangunan dapat menjadi pengungkit utama transisi menuju kota efisien sumber daya.
5. Tata Kelola Perkotaan dan Pembiayaan Investasi Efisiensi Sumber Daya
Keberhasilan investasi strategis menuju kota efisien sumber daya sangat bergantung pada tata kelola perkotaan. Efisiensi tidak tercapai hanya melalui proyek individual, tetapi melalui koordinasi lintas sektor dan lintas level pemerintahan. Tanpa tata kelola yang terintegrasi, investasi berisiko terfragmentasi dan gagal menghasilkan dampak sistemik.
Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan kapasitas perencanaan jangka panjang. Pemerintah kota sering dihadapkan pada tekanan kebutuhan jangka pendek, sementara manfaat efisiensi sumber daya baru terasa dalam jangka menengah dan panjang. Ketegangan ini membuat investasi strategis sulit diprioritaskan, meskipun secara ekonomi dan lingkungan lebih menguntungkan.
Pembiayaan menjadi aspek krusial lainnya. Banyak proyek efisiensi sumber daya membutuhkan modal awal yang besar, sementara pengembalian bersifat bertahap dan tersebar. Tanpa mekanisme pembiayaan yang inovatif, seperti skema pembiayaan berbasis kinerja atau kemitraan lintas sektor, proyek-proyek ini sulit direalisasikan. Dalam konteks ini, peran pemerintah tidak hanya sebagai penyedia dana, tetapi juga sebagai pengurang risiko investasi.
Selain itu, tata kelola yang baik menuntut transparansi dan akuntabilitas. Investasi besar dalam infrastruktur perkotaan membawa risiko pemborosan dan ketidakefisienan jika tidak diawasi dengan baik. Dengan sistem perencanaan dan penganggaran yang transparan, kepercayaan publik terhadap agenda efisiensi sumber daya dapat diperkuat.
Dengan demikian, tata kelola dan pembiayaan bukan isu pendukung, melainkan penentu utama keberhasilan investasi efisiensi sumber daya di perkotaan.
6. Kesimpulan Analitis: Kota sebagai Arena Utama Transisi Berkelanjutan
Pembahasan ini menegaskan bahwa kota merupakan arena utama dalam transisi menuju efisiensi sumber daya. Urbanisasi dan investasi infrastruktur membentuk pola konsumsi material dan energi dalam skala yang sulit diubah. Oleh karena itu, keputusan investasi perkotaan hari ini akan menentukan lintasan keberlanjutan selama beberapa dekade ke depan.
Artikel ini menunjukkan bahwa efisiensi sumber daya di perkotaan tidak tercapai melalui pendekatan sektoral atau proyek terisolasi. Ia membutuhkan investasi strategis yang menyelaraskan transportasi, bangunan, sistem air, dan pengelolaan limbah dalam satu visi metabolisme kota yang efisien dan sirkular. Dalam kerangka ini, kebijakan publik berperan sebagai pengarah utama.
Tantangan utama bukan pada ketersediaan solusi teknis, melainkan pada desain kebijakan, tata kelola, dan pembiayaan. Tanpa kapasitas institusional yang memadai, peluang urbanisasi untuk mendorong efisiensi sumber daya justru berubah menjadi risiko lock-in pembangunan yang boros.
Menjelang percepatan urbanisasi global, kota efisien sumber daya bukan lagi pilihan normatif, tetapi kebutuhan strategis. Dengan mengarahkan investasi secara cermat, kota dapat menjadi motor transisi berkelanjutan. Sebaliknya, kegagalan mengintegrasikan efisiensi sumber daya dalam pembangunan perkotaan akan memperbesar tantangan ekonomi dan lingkungan di masa depan.
Daftar Pustaka
United Nations Environment Programme. (2011). Towards Resource Efficient Cities: Policies and Instruments. UNEP.
United Nations Environment Programme. (2013). City-Level Decoupling: Urban Resource Flows and the Governance of Infrastructure Transitions. UNEP.
United Nations Environment Programme. (2016). Resource Efficiency: Potential and Economic Implications. UNEP.
Lingkungan & Pembangunan Kota
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 01 Desember 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian mengenai Bemina Park berlandaskan pemahaman bahwa ruang hijau perkotaan bukan sekadar fasilitas rekreasi, tetapi komponen penting dalam kesehatan ekologi, identitas sosial, dan ketahanan urban. Di bawah inisiatif Clean Srinagar Green Srinagar, Smart City Mission mengusung gagasan bahwa kota yang berkelanjutan harus memperluas cakupan ruang terbuka dan menghubungkannya melalui koridor hijau yang bersifat kontinuitas fisik maupun ekologis.
Secara teoretis, proyek ini berangkat dari dua premis besar:
1. Green Corridor sebagai Infrastruktur Perkotaan
Ruang terbuka yang terhubung sepanjang jaringan arteri kota bertindak sebagai:
penyerap polusi udara dan kebisingan,
penyedia habitat hayati,
penopang non-motorized mobility,
dan ruang interaksi sosial lintas-demografi.
Konsep ini menempatkan taman bukan sebagai entitas terisolasi, tetapi sebagai unit dalam jaringan ekologis yang lebih besar.
2. Ruang Publik sebagai Penyeimbang Ketimpangan Akses
Daerah Bemina selama beberapa dekade tumbuh sebagai kawasan relokasi warga dari pusat kota. Akibatnya, banyak permukiman di sekitarnya tidak memiliki ruang hijau privat atau fasilitas rekreasi. Penelitian ini mengasumsikan bahwa ruang publik yang dirancang baik mampu:
mengurangi ketimpangan akses rekreasi,
meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat melalui aktivitas fisik,
serta memperkuat kohesi sosial dalam komunitas urban.
Dengan demikian, dasar teoritis proyek Bemina Park melampaui estetika dan mencakup fungsi ekologis, kesehatan masyarakat, dan perbaikan struktur sosial kota.
Metodologi dan Kebaruan
Metodologi studi ini bersifat kualitatif-deskriptif dengan penekanan pada observasi lapangan, dokumentasi visual, wawancara infomal dengan warga sekitar, serta peninjauan peta dan kronologi perkembangan kawasan.
Kebaruan Studi
Beberapa elemen pembeda penelitian ini antara lain:
Pendekatan makro–mikro secara simultan
Tim peneliti tidak hanya mengkaji taman sebagai proyek mandiri, tetapi sebagai bagian awal dari green belt sepanjang ±8 km di koridor National Highway. Pendekatan multi-skala ini jarang digunakan dalam studi ruang publik di wilayah perkotaan Kashmir.
Analisis transformasi ekologis lahan gambut yang terdegradasi
Sebelum intervensi, lahan Bemina merupakan area marshland sisa dari proses urbanisasi cepat dan penjualan tanah pada 1990-an. Studi ini memetakan transisi ekologis dari rawa, menjadi area parkir liar dan tempat pembuangan sampah, lalu menjadi taman publik terpadu.
Penekanan pada penerimaan sosial dan rasa kepemilikan warga
Survei informal menunjukkan bahwa warga di sekitar taman mengembangkan rasa memiliki yang kuat, bahkan melakukan penjagaan sukarela untuk mengurangi vandalisme. Aspek ini menjadi temuan sosial yang penting dan jarang dibahas dalam studi serupa.
Evaluasi risiko tata kelola dan keberlanjutan pasca pembangunan
Tidak banyak proyek Smart City yang secara eksplisit menganalisis risiko kegagalan perawatan seperti yang dilakukan studi ini—terutama potensi eskalasi masalah menjadi isu keamanan di area strategis seperti National Highway.
Dengan demikian, kebaruan penelitian ini terletak pada integrasi analisis ekologi, sosial, dan tata kelola dalam konteks ruang publik perkotaan yang sedang mengalami regenerasi.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
1. Transformasi Lahan dan Signifikansi Ekologis
Analisis dokumen dan observasi lapangan menunjukkan bahwa Bemina Park muncul dari kebutuhan untuk memulihkan lahan gambut yang semakin menyusut akibat pembangunan tidak terencana. Maraknya pembuangan sampah, parkir liar, dan limpasan air membuat area ini kehilangan fungsi ekologisnya.
Intervensi Smart City mengubah kondisi ini secara drastis melalui:
pembentukan lawn hijau luas,
jalur pedestrian internal,
zona rekreasi aktif (seperti open gym),
instalasi permainan anak,
dan elemen peneduh.
Secara ekologis, taman ini berfungsi sebagai buffer yang memisahkan permukiman dari polusi visual, kebisingan, dan beban kendaraan berkecepatan tinggi di National Highway.
2. Fungsi Sosial dan Respons Komunitas
Penelitian menunjukkan bahwa taman ini kini menjadi:
titik istirahat bagi pengunjung dari luar kota,
ruang bermain anak-anak,
area olahraga bagi perempuan, yang jumlah penggunanya dilaporkan meningkat signifikan,
ruang berkumpul informal bagi berbagai kelompok usia.
Salah satu temuan menarik adalah munculnya sense of ownership di kalangan warga. Mereka menganggap ruang ini sebagai aset bersama yang harus dijaga karena dibangun dengan uang publik. Kesadaran ini terbukti ketika warga secara sukarela mencegah tindakan pengrusakan fasilitas taman.
3. Tantangan Pengelolaan dan Perawatan
Meski pembangunan fasilitas berjalan baik, masalah terbesar justru terletak pada pasca konstruksi, terutama:
Tidak adanya respons cepat dari kontraktor pemeliharaan.
Risiko cepatnya degradasi fasilitas akibat cuaca, penggunaan intensif, dan lokasi yang sangat terbuka.
Kekhawatiran warga sekitar untuk memanfaatkan taman pada jam tertentu karena potensi kerumunan yang tidak terkendali.
Risiko meningkatnya persoalan keamanan di koridor strategis apabila taman tidak dirawat.
Temuan ini menjadi catatan penting: keberhasilan fisik tidak menjamin keberlanjutan sosial dan operasional.
4. Integrasi dengan Green Belt Kota
Studi menegaskan bahwa Bemina Park bukan tujuan akhir, tetapi awal dari serangkaian ruang hijau sepanjang ±8 km di National Highway. Integrasi ini—jika terealisasi—akan menciptakan jaringan ruang publik yang:
menambah ruang terbuka kota yang saat ini terbatas,
meningkatkan kualitas udara daerah padat,
dan memungkinkan pergerakan pejalan kaki secara lebih aman dan berkelanjutan.
Konsep ini memiliki potensi untuk menjadi model regenerasi koridor jalan nasional di kota-kota India lainnya.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Meskipun studi ini cukup komprehensif, terdapat beberapa keterbatasan metodologis dan asumtif yang perlu dikritisi:
1. Tidak Dilakukannya Survei Kuantitatif Terukur
Temuan mengenai preferensi pengguna, frekuensi kunjungan, dan persepsi keamanan bersifat naratif. Tanpa data kuantitatif, sulit memastikan signifikansi statistik atau pola penggunaan yang lebih presisi.
2. Ketergantungan pada Narasi Pemerintah
Sebagian besar data berasal dari dokumen Smart City Mission. Tanpa triangulasi independen, potensi bias institusional tetap terbuka—misalnya terkait pencapaian ekologis atau estimasi keberlanjutan jangka panjang.
3. Minimnya Pembahasan tentang Dampak Ekologi Makro
Studi menyebutkan bahwa taman berfungsi sebagai penyangga ekologis, namun tidak memaparkan:
perubahan tingkat infiltrasi tanah,
peningkatan biodiversitas,
atau pengaruh nyata pada microclimate.
Padahal, klaim ekologis membutuhkan pembuktian empiris.
4. Tidak Ada Analisis Keuangan Jangka Panjang
Biaya pembangunan disebutkan (3.6 crore), namun tidak ada perhitungan mengenai:
biaya pemeliharaan tahunan,
model pendanaan keberlanjutan,
atau skenario kegagalan pemeliharaan.
Aspek ini krusial untuk ruang publik di wilayah dengan cuaca ekstrem dan kepadatan tinggi.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Studi ini menghadirkan sejumlah implikasi bagi penelitian dan perencanaan kota:
1. Ruang Publik sebagai Mekanisme Regenerasi Koridor Transportasi
Model Bemina menunjukkan bahwa ruang hijau dapat menjadi instrumen strategis dalam memperbaiki citra koridor jalan nasional yang sebelumnya didominasi fungsi transportasi semata. Studi lanjutan dapat mengembangkan model efektivitas—baik sosial, ekologis, maupun ekonomi—dari strategi ini.
2. Perlunya Model Tata Kelola Kolaboratif
Kesuksesan fisik proyek terbentur persoalan pemeliharaan. Pendekatan baru kemungkinan mencakup:
community stewardship,
kemitraan publik–privat,
atau co-management agreements antara pemerintah dan warga.
3. Basis Data Ekologi dan Sosial Pasca Intervensi
Penelitian masa depan perlu menggunakan:
pengukuran kualitas udara,
studi temperatur permukaan,
survei statistik pengguna,
untuk menguji efektivitas taman dalam konteks perubahan iklim dan urbanisasi cepat.
4. Replicability dan Adaptasi
Temuan bahwa taman dapat berfungsi sebagai penyangga polusi dan ruang sosial membuatnya relevan untuk kota-kota India lainnya yang menghadapi tekanan serupa. Namun, adaptasi harus mempertimbangkan karakteristik lahan, pola mobilitas, dan struktur sosial yang berbeda.
Refleksi Penutup
Studi Bemina Park menawarkan gambaran meyakinkan tentang bagaimana intervensi ruang publik yang dirancang dengan kesadaran ekologis dan sosial dapat memperbaiki kualitas hidup kota yang menghadapi tekanan urbanisasi. Namun, penelitian ini juga menegaskan bahwa pembangunan fisik hanyalah langkah pertama: keberhasilan jangka panjang baru dapat dicapai melalui tata kelola perawatan yang efektif, partisipasi komunitas, dan integrasi dalam visi jangka panjang kota.
Dalam konteks perkembangan terbaru urbanisme berkelanjutan—di mana kota berusaha menyeimbangkan kebutuhan mobilitas, ruang hijau, dan ketahanan iklim—Bemina Park dapat menjadi model penting, sekaligus peringatan bahwa keberlanjutan tidak hanya ditentukan oleh desain, tetapi oleh kemampuan sistem kota memelihara keindahan dan fungsi ruang publik yang telah diciptakan.
Sumber
Studi Kasus C19: Public Space at Bemina Park, Srinagar. (2023). Dalam SAAR: Smart Cities and Academia towards Action and Research (Part C: Urban Infrastructure) (hlm. 118–119). National Institute of Urban Affairs (NIUA).
Lingkungan & Pembangunan Kota
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 19 November 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada krisis kesehatan global di mana Penyakit Tidak Menular (PTM) menjadi penyebab kematian utama. WHO merekomendasikan aktivitas fisik rutin untuk mencegahnya, namun biaya keanggotaan gimnasium konvensional sering kali menjadi hambatan bagi masyarakat umum.
Inisiatif "Swastha Kanpur" (Kanpur Sehat) bertujuan mendemokratisasi akses kebugaran dengan memasang gimnasium terbuka (Open-Air Gymnasiums) di taman-taman publik. Tujuannya adalah menyediakan fasilitas olahraga gratis yang inklusif, memanfaatkan lingkungan alam untuk meningkatkan kesehatan fisik dan interaksi sosial warga.
Metodologi dan Kebaruan
Studi SAAR ini mengadopsi metodologi kualitatif dan observasional. Tim peneliti dari IIT Roorkee melakukan survei lapangan di enam lokasi taman (termasuk Kargil Park, Nana Rao Park, dan Water Park) untuk menilai kondisi fisik peralatan. Data primer dikumpulkan melalui wawancara persepsi pengguna untuk memahami pola penggunaan, kepuasan, dan demografi penerima manfaat.
Kebaruan dari proyek ini terletak pada pergeseran paradigma dari infrastruktur "keras" (jalan/jembatan) ke infrastruktur "kesehatan preventif" yang berbasis komunitas dan gratis.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis studi kasus mengungkap keberhasilan dalam perubahan perilaku, namun kegagalan signifikan dalam manajemen aset:
Sukses Mengubah Perilaku: Temuan paling positif adalah bahwa 40% pengguna adalah "pengguna pertama kali" (first-time users), yang berarti fasilitas ini berhasil mendorong orang yang sebelumnya tidak aktif untuk mulai berolahraga. Retensi pengguna juga tinggi, dengan 50% berlatih setiap hari.
Kesenjangan Gender: Data demografis menunjukkan disparitas yang jelas: 70% pengguna adalah laki-laki dan hanya 30% perempuan, mengindikasikan bahwa faktor keamanan atau norma sosial mungkin masih membatasi akses perempuan di ruang publik ini.
Krisis Pemeliharaan (Temuan Kritis): Studi ini mengidentifikasi kegagalan total dalam pemeliharaan. Meskipun kontraktor memiliki kewajiban Operasi & Pemeliharaan (O&M) selama 5 tahun, ditemukan bahwa peralatan rusak di 4 dari 5 gimnasium yang dikunjungi. Di taman populer seperti Nana Rao Park, kerusakan alat menyebabkan waktu tunggu yang lama dan frustrasi warga.
Masalah Desain Aksesibilitas: Evaluasi teknis menemukan bahwa di beberapa lokasi (Water Park, Mahapalika Park), area gym dibangun di atas platform tinggi tanpa ramp, memutus konektivitas dengan jalur jogging dan menyulitkan akses bagi lansia atau penyandang disabilitas.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Keterbatasan utama proyek ini adalah kurangnya mekanisme pengawasan terhadap kontraktor. Studi mencatat bahwa keluhan warga sering diabaikan oleh otoritas. Namun, sebuah fenomena menarik muncul: di Water Park, warga secara sukarela mengumpulkan uang untuk memperbaiki alat sendiri, menunjukkan rasa kepemilikan (sense of ownership) yang kuat meskipun sistem formal gagal.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, studi ini menyimpulkan bahwa penyediaan aset fisik saja tidak cukup. Rekomendasi utamanya adalah perlunya penegakan kontrak O&M yang ketat dan pertimbangan model pembiayaan partisipatif (karena 65% pengguna bersedia membayar biaya kecil untuk jaminan pemeliharaan). Perluasan jaringan gym ke lebih banyak lokasi juga disarankan untuk mengurangi jarak tempuh rata-rata pengguna yang saat ini mencapai 1,2 km.
Sumber
Studi Kasus C9: Open-Air Gymnasium: An initiative for Swastha Kanpur. (2023). Dalam SAAR: Smart cities and Academia towards Action and Research (Part C: Urban Infrastructure) (hlm. 84-90). National Institute of Urban Affairs (NIUA).
Lingkungan & Pembangunan Kota
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 November 2025
Pendahuluan: Saat Pantai Bertukar Rupa Menjadi Tempat Pembuangan Akhir
Kecamatan Tumpaan, yang merupakan bagian dari Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, seharusnya dikenal sebagai kawasan pesisir yang indah, tempat masyarakat nelayan menggantungkan hidupnya pada kekayaan laut. Namun, studi mendalam yang dilakukan oleh tim peneliti dari Universitas Sam Ratulangi mengungkap realitas yang jauh berbeda: Tumpaan berada di garis depan krisis sanitasi dan lingkungan yang akut, sebuah ancaman ganda yang membahayakan kesehatan masyarakat sekaligus ekosistem laut.1
Krisis ini berpusat pada kantong-kantong kekumuhan. Penelitian ini menyoroti bahwa kawasan permukiman kumuh di Tumpaan mencakup luasan signifikan, berkisar antara $\pm12.05$ hingga $\pm13.41$ Hektar, tersebar di tiga kelurahan utama: Matani 1, Tumpaan 1, dan Tumpaan.1 Kawasan kumuh didefinisikan sebagai permukiman yang tidak layak huni karena tidak memenuhi persyaratan teknis maupun non-teknis, dan di Tumpaan, kekumuhan ini terkait erat dengan kemiskinan dan tata letak rumah yang semrawut.1
Ancaman Ganda di Pesisir
Permasalahan yang dihadapi Tumpaan melampaui masalah estetika. Kondisi ini diperburuk oleh lokasi geografisnya yang berada di pesisir pantai Kota Amurang, tempat mayoritas masyarakat berprofesi sebagai nelayan dan petani.1 Di wilayah ini, praktik infrastruktur yang buruk memiliki efek langsung dan mematikan pada lingkungan laut, yang notabene adalah tulang punggung mata pencaharian utama warga setempat. Kekumuhan di sini juga secara logis pasti disertai dengan prasarana dan sarana penunjang permukiman yang buruk pula, dengan fokus utama pada sistem persampahan dan sanitasi.1
Sebuah temuan yang menarik dan penting dalam konteks perencanaan wilayah disoroti. Walaupun Kecamatan Tumpaan secara keseluruhan memiliki kepadatan penduduk yang sangat rendah, tercatat hanya $0,73$ jiwa/Ha, namun di kantong kekumuhan tertentu seperti Kelurahan Matani 1, kepadatan penduduknya melonjak tajam hingga mencapai $253,82$ jiwa/Ha.1 Disparitas angka yang ekstrem ini menunjukkan bahwa masalah di Tumpaan bukanlah isu sebaran penduduk, melainkan isu konsentrasi penduduk yang tinggi di wilayah-wilayah kecil yang gagal diintegrasikan oleh perencanaan infrastruktur mikro yang memadai. Kepadatan ekstrem di kantong-kantong kumuh inilah yang memperparah krisis lingkungan dan menjustifikasi perlunya solusi sanitasi yang bersifat kolektif atau komunal, bukan lagi individual.
Studi yang dilakukan oleh Johanis K. Silangen, Fela Warouw, dan Faizah Mastutie ini tidak hanya mengidentifikasi kegagalan infrastruktur eksisting, tetapi juga menawarkan cetak biru yang kritis. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis arahan pengembangan sanitasi berkelanjutan yang tepat, melalui adopsi konsep Sanitasi Masyarakat (Sanimas) yang berbasis ekologi.1 Konsep ini menuntut perubahan paradigma dari praktik pembuangan sembarangan menuju pemanfaatan sumber daya, sebuah langkah revolusioner yang harus segera dipertimbangkan oleh Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan.
Ketika Laut Menjadi Septic Tank Raksasa: Data di Balik Krisis
Kondisi sanitasi eksisting di Kecamatan Tumpaan, berdasarkan hasil observasi dan pembagian kuesioner, secara tegas dinyatakan "belum memadai".1 Ketidakmemadaian ini terlihat jelas dalam perbandingan antara sistem pengelolaan sampah dan pengaliran limbah cair yang ada dengan pedoman baku yang seharusnya diterapkan.1
Siklus Polusi Pesisir yang Mematikan
Di daerah penelitian, pengelolaan persampahan sama sekali tidak memiliki tata kelola yang baik.1 Kondisi ini diperparah oleh kebiasaan masyarakat setempat yang sudah terbiasa menimbun sampah mereka ke dalam pasir di bibir pantai.1 Efeknya sangat destruktif: apabila terjadi musim hujan dan air laut pasang, sampah yang tertimbun akan muncul kembali, mengotori bibir pantai secara masif dan berulang, sekaligus mengancam kesehatan publik.1
Skema pengelolaan sampah yang ada saat ini ditandai oleh tidak adanya proses pemilahan dan pengolahan yang dilakukan oleh masyarakat.1 Yang lebih mencemaskan adalah frekuensi responden yang memilih metode pembuangan yang merusak lingkungan, menunjukkan kegagalan total sistem pengumpulan formal. Data kuesioner menunjukkan bagaimana metode pemusnahan sampah yang paling dominan dilakukan melalui pembakaran. Frekuensi responden yang menjawab membakar sampah di halaman rumah adalah 28, dan 24 responden membakar di drainase.1 Sementara itu, hanya 18 responden yang melaporkan menggunakan fasilitas formal seperti bak sampah atau gerobak sampah.1
Secara total, 52 responden masih memilih metode pembakaran yang menghasilkan polusi udara dan mencemari saluran air, sebuah praktik yang lebih dari tiga kali lipat dipilih dibandingkan penggunaan fasilitas pengumpulan formal. Praktik lain yang dilaporkan adalah menimbun di tepi pantai (10 responden), menimbun di kebun (3 responden).1 Keseluruhan praktik ini menunjukkan bahwa sistem pengelolaan sampah eksisting di Tumpaan berada jauh di bawah standar keberlanjutan yang seharusnya.
Limbah Cair: Garis Pemisah yang Gagal
Sanitasi limbah domestik di Tumpaan menghadirkan gambaran yang sama suramnya. Meskipun sebagian besar rumah warga sudah memiliki WC dan septik tank masing-masing, saluran air limbah dari dapur dan kamar mandi (grey water) belum dialirkan dengan baik, menyebabkan timbulnya aroma yang tidak sedap.1
Temuan paling kritis dari penelitian ini adalah skema pengaliran limbah yang berlaku: air limbah kotor dari dapur dan kamar mandi, yang mengandung deterjen, minyak, dan materi organik, secara sistematis langsung diarahkan ke drainase, yang pada akhirnya "langsung menuju ke pantai sebagai tujuan terakhir".1 Artinya, garis pantai Tumpaan secara efektif berfungsi sebagai septic tank raksasa yang menampung polusi dari ratusan rumah tangga.
Data naratif dari survei semakin menguatkan fakta ini:
Praktik ini menunjukkan bahwa lebih dari 80% limbah cair rumah tangga diarahkan langsung ke lingkungan publik, laut, dan saluran air yang tidak terkelola. Kondisi ini tidak hanya mencemari air dan memicu penyakit, tetapi juga secara sosial berdampak pada "menurunnya produktivitas warga penghuni, timbulnya kerawanan dan persoalan-persoalan sosial".1 Karena masyarakat Tumpaan adalah nelayan, membuang limbah secara langsung ke laut sama artinya dengan merusak sumber daya perikanan mereka sendiri. Ini adalah isu keberlanjutan ekonomi fundamental yang secara langsung mengancam mata pencaharian komunitas.
Paradoks Partisipasi: Mengapa Warga Tumpaan Menolak Daur Ulang?
Untuk membalikkan krisis ekologis yang mendalam ini, penelitian ini merekomendasikan transisi menuju Sanitasi Berkelanjutan. Filosofi ini berfokus pada aspek ekologis, didasarkan pada prinsip pencegahan polusi, dan bahkan melihat limbah buangan manusia—urin dan tinja—sebagai "sumber daya dalam rantai makanan," yang dapat dimanfaatkan kembali sebagai pupuk dan berpotensi menaikkan kondisi ekonomi bagi masyarakat.1
Dua Pilar Solusi: Sanimas dan TPS3R
Arahan pengembangan yang diusulkan adalah konsep Sanimas (Sanitasi Masyarakat), yang berorientasi pada keterlibatan penuh masyarakat, dari perencanaan hingga pengelolaan.1 Konsep ini didasarkan pada dua pilar infrastruktur utama yang harus dibangun di tiap kelurahan:
Tantangan Perubahan Perilaku
Meskipun secara teknis konsep 3R sangat efektif untuk meminimalkan volume sampah yang dibuang ke TPA, implementasinya di Tumpaan menghadapi rintangan psikologis yang besar. Studi ini mengakui bahwa keberhasilan Sanimas sangat bergantung pada partisipasi berkelanjutan masyarakat.
Peneliti melakukan uji coba penerapan konsep 3R sederhana, yaitu pemilahan sampah organik dan non-organik, untuk mengukur tingkat resistensi sosial. Hasilnya sangat menggetarkan dan memunculkan kritik realistis terhadap kebijakan sosialisasi yang selama ini berjalan di daerah tersebut.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa hampir separuh responden—tepatnya 23 dari 50 responden (46%)—menganggap penerapan 3R sebagai hal yang "Sulit".1 Sembilan responden menjawab "Cukup Sulit," dan hanya 5 responden yang menjawab "Tidak Sulit".1
Alasan dominan yang sering dikemukakan oleh para responden adalah sentimen "Tidak Terbiasa karena terlalu rumit, sulit dilakukan dan tidak terlalu mengerti".1 Hal ini mencerminkan sebuah kegagalan dalam model sosialisasi top-down yang konvensional selama ini. Jika hampir separuh masyarakat masih menganggap pemilahan dasar 3R sebagai hal yang rumit dan sulit, ini menunjukkan bahwa edukasi saja tidak cukup. Program pendampingan yang intensif dan bersifat bottom-up yang mampu mengubah kebiasaan menjadi keharusan, bukanlah detail opsional, melainkan prasyarat mutlak yang harus dibiayai dan dikelola secara berkelanjutan.
Menghitung Kebutuhan Riil: Desain Ulang Kota Berbasis Komunitas
Solusi yang diusulkan oleh studi ini secara fundamental mengubah peran pemerintah dan masyarakat, mengakui bahwa masalah sanitasi permukiman kumuh harus diatasi dengan intervensi komunal, bukan lagi individual. Rencana pengembangan ini berpegangan teguh pada Pedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menghitung kebutuhan riil di tiga kelurahan yang menjadi fokus penelitian.1
Skala Infrastruktur Persampahan Komunal (TPS3R)
Konsep TPS3R akan mengubah sampah rumah tangga yang sebelumnya tercampur dan dibuang sembarangan, menjadi sistem yang terstruktur, di mana sampah dipilah, diolah menjadi kompos, dan residunya (yang diharapkan sangat sedikit) baru dibuang ke TPA.1
Kebutuhan fisik TPS3R dihitung berdasarkan pedoman teknis yang menyatakan bahwa satu bangunan TPS3R idealnya melayani 400 Kepala Keluarga (KK) dan memerlukan lahan minimal $200 m^{2}$.1
Analisis Kuantitatif TPS3R: Kebutuhan Lima Kali Lipat
Dengan mengacu pada data jumlah KK di kawasan kumuh, Kelurahan Matani 1 (525 KK) dan Kelurahan Tumpaan 1 (561 KK) masing-masing melampaui ambang batas 400 KK, sehingga secara teknis setiap kelurahan membutuhkan 2 unit TPS3R.1 Kelurahan Tumpaan (416 KK) juga membutuhkan 2 unit TPS3R untuk memastikan pelayanan yang memadai.
Secara total, tiga kelurahan di Kecamatan Tumpaan membutuhkan 6 unit TPS3R baru. Jika setiap unit memerlukan $200 m^{2}$ lahan, maka dibutuhkan minimal $1.200 m^{2}$ lahan yang legalitasnya terjamin. Peneliti telah memastikan ketersediaan lahan milik pemerintah di tiap kelurahan, termasuk di Kelurahan Matani 1 yang bersedia menyediakan lahan di depan kantor desa dan di Kelurahan Tumpaan 1 di bekas pasar lama, yang memitigasi risiko hukum yang sering menyertai proyek infrastruktur.1
Skala Infrastruktur Limbah Cair Komunal (Tangki Septik Bersekat)
Untuk mengatasi masalah limbah cair yang langsung mengalir ke laut, peneliti merekomendasikan pembangunan Tangki Septik Bersekat (Baffled Reactor). Teknologi ini didesain untuk memproses air limbah secara bertahap, menjamin bahwa air buangan akhir yang dialirkan ke lingkungan sudah terproses dengan baik.1
Standar pelayanan teknis yang digunakan adalah: satu unit Tangki Septik Bersekat melayani 200 KK dan membutuhkan lahan seluas $60 m^{2}$.1 Selain itu, lokasi harus bebas banjir, dan kemiringan tanah dinilai lebih baik jika mempunyai kemiringan 2%.1
Analisis Kuantitatif Tangki Septik: Lompatan Efisiensi
Perhitungan kebutuhan Tangki Septik komunal juga didasarkan pada jumlah KK 1:
Hasilnya, kawasan permukiman kumuh Tumpaan membutuhkan total 6 unit Tangki Septik Komunal yang terintegrasi. Pembangunan 6 unit ini mewakili lompatan efisiensi pengolahan limbah yang dramatis—seperti menaikkan kapasitas pengolahan limbah kotor dari sistem yang rusak total ke sistem terpadu yang mampu memproses limbah domestik secara bertahap, menjamin air buangan akhir tidak lagi mencemari laut. Bentuk pengaliran yang diusulkan, yang menggunakan pipa primer dan kolektor, adalah bentuk pengaliran yang sangat efektif dibandingkan sistem pengaliran eksisting.1
Rambu-Rambu Implementasi dan Proyeksi Dampak Nyata Jangka Panjang
Rencana pengembangan sanitasi berkelanjutan ini sangat komprehensif, mencakup pembangunan fasilitas fisik dan kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM). Keberhasilan Sanimas di Tumpaan bergantung pada komitmen untuk mengatasi resistensi sosial yang terbukti kuat terhadap perubahan perilaku.
Model Pendampingan Intensif dan Tantangan Pendanaan
Untuk mendukung TPS3R dan mengatasi fakta bahwa hampir separuh warga menganggap konsep 3R "sulit," peneliti merencanakan adanya program pendampingan yang intensif. Model pendampingan yang diusulkan sangat terperinci: menyediakan 2 tenaga pendamping/mentor pada masing-masing lingkungan.1
Kebutuhan SDM diproyeksikan sangat besar: Di tiga kelurahan ini, terdapat total 22 lingkungan/jaga (Matani 1: 9 lingkungan; Tumpaan 1: 7 lingkungan; Tumpaan: 6 lingkungan).1 Ini menunjukkan bahwa dibutuhkan sedikitnya 44 mentor untuk memastikan perubahan kebiasaan yang langgeng, didukung oleh 1 motor sampah untuk tiap lingkungan.1
Kunci kritik realistis terletak di sini: ketersediaan lahan (fisik) dan legalitasnya mungkin sudah terjamin, tetapi pendanaan berkelanjutan untuk puluhan mentor inilah yang menjadi tantangan kebijakan paling besar bagi Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan. Sebuah proyek infrastruktur bisa dibangun dalam setahun, tetapi menumbuhkan budaya 3R dan pengelolaan sanitasi komunal membutuhkan komitmen pendanaan SDM selama bertahun-tahun, yang seringkali terabaikan dalam perencanaan anggaran daerah.
Dampak Lingkungan dan Ekonomi Maksimal
Jika skema pengelolaan 3R dapat berjalan efektif, sampah yang dibuang dari rumah tangga akan dimanfaatkan sepenuhnya—sampah pengomposan dijual atau digunakan sendiri, dan sampah daur ulang dijual ke pengepul.1 Hasil akhirnya adalah jumlah residu (sampah B3 lanjutan dan non-organik yang tidak dapat didaur ulang) yang dibuang ke TPA akan sangat kecil.1 Pengurangan volume sampah ini akan menghasilkan penghematan biaya operasional pengangkutan pemerintah daerah.
Pada sektor sanitasi, air limbah dan tinja yang terolah di Tangki Septik Bersekat dan limbah yang tidak lagi dibuang ke laut akan secara signifikan mengurangi pencemaran lingkungan. Dampak internal buruk, seperti tingginya insiden penyakit berbasis lingkungan dan menurunnya produktivitas warga, akan tereduksi seiring dengan perbaikan kualitas lingkungan.1
Pernyataan Dampak Nyata Jangka Panjang
Investasi dalam sistem Sanimas yang komprehensif ini—pembangunan 6 unit TPS3R, 6 unit Tangki Septik Bersekat, serta pendanaan berkelanjutan untuk 44 mentor pendamping—harus dilihat sebagai intervensi multi-sektoral yang mengintegrasikan pembangunan fisik dan sosial.
Jika Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan dan komunitas Tumpaan dapat bekerja sama mengimplementasikan pembangunan infrastruktur ini dan memastikan keberlanjutan program pendampingan sosial dalam waktu lima hingga tujuh tahun, kawasan permukiman kumuh Tumpaan tidak hanya akan berhasil keluar dari status kekumuhan. Lebih dari itu, keberhasilan ini diproyeksikan akan mengurangi insiden penyakit berbasis air dan lingkungan hingga 50%, membersihkan garis pantai Tumpaan dari polusi sampah yang muncul saat pasang, dan menciptakan manfaat ekonomi sirkular melalui pengelolaan sampah yang bernilai jual, sehingga menghemat biaya pembersihan pantai dan pemulihan ekosistem pesisir Minahasa Selatan secara substansial.
Sumber Artikel:
Silangen, J. K., Warouw, F., & Mastutie, F. (2017). Pengembangan sanitasi berkelanjutan di kawasan permukiman kumuh studi kasus (Kecamatan Tumpaan). SPASIAL, 4(3), 276–286. https://doi.org/10.35793/sp.v4i3.18297