Lingkungan

Gypsum Bisa Dipakai Lagi, Lho! Masa Depan Konstruksi yang Lebih Hijau Dimulai dari Papan Dinding Bekas

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 23 September 2025


Dari Papan Tulis ke Dinding Rumah: Sebuah Kisah tentang Material yang Terlupakan

Saya ingat dulu waktu kecil, saat melihat guru menulis di papan tulis putih. Serbuk kapurnya beterbangan, dan kadang patah jika terbentur. Ternyata, material yang sama—gypsum—adalah bahan utama dari papan dinding (plasterboard) di rumah-rumah kita hari ini. Uniknya, gypsum punya siklus hidup seperti Phoenix: ia bisa ‘dilahirkan kembali’ dengan proses dehidrasi dan rehidrasi. Dalam teori, ia 100% bisa didaur ulang.

Tapi realitanya? Hanya 4% material plasterboard baru yang berasal dari plasterboard bekas. Sisanya? Tambang baru, energi baru, dan emisi karbon yang terus menumpuk.

Paper yang ditulis oleh S. Kitayama dan O. Iuorio dari University of Leeds ini seperti membuka mata saya: Kenapa kita tidak mencoba untuk memakai ulang plasterboard saja, alih-alih berharap pada daur ulang yang ternyata sangat sulit dilakukan?

Mari kita telusuri bersama.

Siklus Hidup Plasterboard: Lebih Panjang dari yang Kita Kira

🏗️ Dari Tambang ke Dinding: Jejak Karbon yang Terlupakan

Plasterboard terbuat dari 94,8% gypsum, 3,6% kertas pelapis, dan 1,6% bahan tambahan. Dari gypsum itu, hanya 4% yang berasal dari plasterboard daur ulang. Sebagian besar masih dari tambang baru atau limbah PLTU. Ini mirip dengan kita yang lebih memilih beli baju baru daripada memakai secondhand—padahal kualitasnya masih bagus.

Yang menarik, plasterboard sebenarnya punya umur pakai 50-60 tahun. Tapi dalam praktiknya, dinding infill (dinding pengisi di antara struktur utama) sering diganti setiap 30 tahun saat renovasi. Artinya, kita membuang material yang masih punya sisa usia 20-30 tahun! Itu seperti membuang smartphone yang masih lancir hanya karena modelnya sudah ketinggalan.

🗑️ Akhir yang Menyedihkan: Dari Landfill ke Gas Beracun

83% plasterboard bekas berakhir di landfill atau dipakai untuk keperluan non-konstruksi (misal pertanian). Sisanya, 17%, didaur ulang. Landfilling plasterboard bisa menghasilkan hidrogen sulfida—gas beracun dan bau menyengat. Sedangkan pembakarannya melepaskan sulfur pemicu hujan asam.

Bayangkan: kita mengganti dinding demi efisiensi energi, tapi proses pembuangannya justru merusak lingkungan. Ironis, bukan?

Lalu, Bisakah Kita Memakai Ulang Plasterboard?

Inilah inti dari paper ini. Penulis tidak hanya bertanya, tapi juga menjawab dengan data dan analisis yang meyakinkan.

🔩 Masalah Sekrup dan Solusi yang Sudah Ada

Plasterboard dipasang ke rangka baja dengan sekrup. Nah, untuk melepasnya, kita harus membuka sekrup itu. Masalahnya, bekas lubang sekrup bisa melemahkan cengkeraman jika dipasang lagi. Tapi ternyata, produsen seperti Siniat sudah punya panduan perbaikan untuk kerusakan kecil hingga sedang:

  • Kerusakan kecil (<15x15mm): bisa ditambal dengan sealant atau tape.

  • Kerusakan sedang (<300x300mm): bisa diisi dengan compound tahan air.

  • Kerusakan besar: ganti papan.

Artinya, technology already exists. Kita tidak perlu menunggu inovasi revolusioner. Yang kita butuhkan adalah cara berpikir yang baru.

🧪 Data Eksperimen: Masih Elastis, Masih Bisa Dipakai

Banyak penelitian telah menguji kekuatan dan elastisitas plasterboard dan sambungannya. Hasilnya menunjukkan bahwa selama deformasi masih dalam batas elastis (biasanya di bawah 40% dari kekuatan maksimal), material masih bisa dipakai lagi tanpa penurunan performa.

Ini seperti karet gelang: selama tidak ditarik sampai putus, ia masih bisa kembali ke bentuk semula. Plasterboard pun demikian.

🏭 Prefabrikasi: Kunci Menuju Reuse yang Efisien

Ini bagian yang paling membuat saya optimis: dinding infill yang diprefabrikasi (dibuat di pabrik, lalu dipasang utuh di lokasi) punya potensi reuse yang sangat besar. Alih-alih melepas plasterboard dari rangka, kita bisa membongkar seluruh panel dinding dan memindahkannya ke bangunan lain.

Panel prefab ini biasanya sudah dilengkapi dengan jendela, insulasi, dan cladding. Tinggal angkat dan pasang. Mirip seperti mainan Lego yang bisa dibongkar-pasang.

Apa yang Bikin Saya Terkejut

  • Umur pakai plasterboard jauh lebih panjang dari yang kita kira. Kita selama ini mengganti dinding bukan karena rusak, tapi karena alasan desain atau regulasi.

  • Teknologi untuk reuse sudah ada. Kita tidak perlu menunggu 10 tahun lagi. Yang diperlukan adalah kemauan untuk mengubah praktik konstruksi dan demolisinya.

  • Prefabrikasi bukan cuma hemat waktu, tapi juga jalan menuju ekonomi sirkular. Ini win-win solution yang sayangnya masih kurang dimanfaatkan.

Dampak Nyata yang Bisa Kita Terapkan Hari Ini

  • 🚀 Kurangi sampah konstruksi hingga 80% dengan reuse plasterboard dan panel infill.

  • 🧠 Gunakan prefabrikasi untuk memudahkan disassembly di masa depan.

  • 💡 Lobi regulator untuk memasukkan kriteria design for disassembly dalam standar bangunan hijau.

Kritik Halus dan Catatan Pribadi

Meski paper ini sangat informatif dan membuka wawasan, saya merasa analisis ekonomi dari reuse plasterboard masih kurang. Berapa biaya yang bisa dihemat? Apakah lebih murah daripada membuat yang baru? Ini penting untuk meyakinkan kontraktor dan developer yang sangat sensitif dengan anggaran.

Selain itu, meski teknologi sudah ada, tantangan terbesar adalah mindset dan rantai pasokan. Siapa yang akan bertanggung jawab mengelola plasterboard bekas? Bagaimana sistem inspeksi dan sertifikasinya? Ini perlu diatur dalam ekosistem yang lebih besar.

Penutup: Mari Mulai dari Hal Kecil

Paper ini bukan hanya untuk akademisi atau insinyur, tapi untuk semua yang peduli dengan masa depan bumi. Kita bisa mulai dari hal kecil: memilih material yang bisa dipakai ulang, mendukung praktik konstruksi yang lebih bertanggung jawab, dan menyuarakan pentingnya ekonomi sirkular di industri bangunan.

Kalau kamu tertarik dengan detail lengkapnya, silakan baca paper aslinya di link berikut:

Baca paper aslinya di sini

Mari bersama-sama membangun masa depan yang lebih hijau, satu papan dinding pada satu waktu.

Ingin mempelajari lebih lanjut tentang konstruksi berkelanjutan? Ikuti Kursus Online Konstruksi Hijau dari Diklatkerja untuk pemahaman yang lebih mendalam dan aplikatif.

Selengkapnya
Gypsum Bisa Dipakai Lagi, Lho! Masa Depan Konstruksi yang Lebih Hijau Dimulai dari Papan Dinding Bekas

Lingkungan

Tingkatkan produktivitas & keberlanjutan dengan sertifikasi APO-GPS. Pelajari strategi nasional, kerangka kerja implementasi, dan kode etik profesional untuk spesialis produktivitas hijau.

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 12 September 2025


Pendahuluan

Di era modern, peningkatan produktivitas tidak lagi cukup. Organisasi di seluruh dunia dituntut untuk menyeimbangkan kinerja ekonomi dengan tanggung jawab lingkungan. Untuk menjawab tantangan ini, Asian Productivity Organization (APO) memperkenalkan skema sertifikasi

APO-GPS 201:2023 untuk Green Productivity (GP) Specialists. Skema ini dirancang untuk menciptakan tenaga ahli yang mampu mengintegrasikan peningkatan produktivitas dengan manajemen lingkungan. Melalui sertifikasi ini, APO bertujuan untuk membangun standar regional yang kredibel dan diakui secara luas, yang sangat relevan untuk diadopsi sebagai strategi nasional.

Fondasi Kompetensi Ganda dan Kerangka Implementasi Terstruktur

Skema sertifikasi APO-GPS ini didasarkan pada fondasi kompetensi ganda: keahlian dalam

peningkatan produktivitas dan manajemen lingkungan. Seorang Green Productivity Specialist diharapkan mampu mendiagnosis masalah produktivitas dan isu lingkungan, serta mengimplementasikan solusi yang efektif.

Dokumen ini juga menyajikan kerangka kerja enam langkah untuk perbaikan Green Productivity yang menjadi pedoman bagi para spesialis. Kerangka ini mencakup:

  1. Memulai (Getting Started): Pembentukan tim dan survei awal untuk mengidentifikasi masalah terkait produktivitas dan dampak lingkungan.

  2. Perencanaan (Planning): Identifikasi masalah, penyebab, dan penetapan target yang relevan dan terukur.

  3. Pembuatan Opsi (Generating Options): Menghasilkan, mengevaluasi, dan memprioritaskan opsi GP berdasarkan kriteria seperti dampak lingkungan, biaya, dan keselarasan dengan tujuan organisasi.

  4. Implementasi Opsi (Implementing Options): Merumuskan rencana, menerapkan opsi terpilih, serta melakukan pelatihan dan pembangunan kesadaran untuk mengembangkan kompetensi karyawan.
  5. Pemantauan dan Peninjauan (Monitoring and Reviewing): Memantau dampak praktik GP dan melakukan tinjauan manajemen untuk menilai keberhasilan dan perlunya perbaikan.

     

  6. Mempertahankan GP (Sustaining GP): Mengintegrasikan perubahan ke dalam sistem manajemen organisasi dan mengidentifikasi area perbaikan berkelanjutan untuk memastikan GP terus berjalan.

     

Standar Kompetensi dan Kode Etik Profesional

Skema sertifikasi APO-GPS menetapkan prasyarat yang ketat dan membagi kompetensi menjadi tiga area utama: keahlian domain GP, keterampilan proses, dan keterampilan interpersonal. Selain itu, setiap spesialis wajib mematuhi

Kode Etik Profesional. Kode etik ini mencakup prinsip-prinsip penting seperti:

  • Objektivitas dan Integritas: Bertindak secara independen dan imparsial dalam setiap pengambilan keputusan.

  • Legalitas: Memberi nasihat dan mematuhi hukum serta regulasi yang berlaku.

  • Komitmen pada Peningkatan Berkelanjutan: Merekomendasikan solusi GP yang sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB (UN SDGs).

  • Kerahasiaan: Melindungi informasi klien dan pihak-pihak terkait.

Rekomendasi Kebijakan Publik

  1. Adopsi Skema APO-GPS sebagai Standar Nasional: Pemerintah, melalui NPO (National Productivity Organization), perlu mengadopsi dan mengimplementasikan skema APO-GPS ini sebagai standar nasional untuk sertifikasi spesialis produktivitas hijau. Hal ini akan memastikan adanya standar kompetensi yang seragam dan diakui secara internasional, memperkuat daya saing tenaga kerja Indonesia.

  2. Integrasi Prinsip Green Productivity dalam Sektor Publik: Kerangka kerja enam langkah GP yang diuraikan dalam dokumen ini dapat diadaptasi sebagai panduan kebijakan untuk instansi pemerintah dan BUMN dalam mengelola proyek-proyek. Hal ini akan memastikan proyek-proyek tidak hanya efisien, tetapi juga bertanggung jawab secara lingkungan.

  3. Mewajibkan Pengembangan Profesional Berkelanjutan (CPD): Untuk mempertahankan sertifikasi, para spesialis diwajibkan menjalani minimal 90 jam pengembangan profesional berkelanjutan (Continuous Professional Development) dalam tiga tahun. Pemerintah dan asosiasi industri dapat menjadikan ini sebagai persyaratan wajib untuk posisi-posisi kunci, guna memastikan tenaga kerja selalu mutakhir dengan solusi produktivitas dan keberlanjutan terbaru.

Kesimpulan

Skema sertifikasi APO-GPS adalah kerangka kerja yang komprehensif dan kredibel untuk mengembangkan profesional yang kompeten di bidang produktivitas hijau. Dengan mengadopsi strategi ini, Indonesia dapat menciptakan tenaga ahli yang tidak hanya mampu meningkatkan efisiensi ekonomi, tetapi juga mempromosikan pembangunan yang berkelanjutan. Implementasi skema ini merupakan langkah strategis untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain utama dalam ekonomi hijau di tingkat regional maupun global.

Sumber

  • APO-GPS-201_2023-Requirements-for-Green-Productivity-Specialists.pdf

Selengkapnya
Tingkatkan produktivitas & keberlanjutan dengan sertifikasi APO-GPS. Pelajari strategi nasional, kerangka kerja implementasi, dan kode etik profesional untuk spesialis produktivitas hijau.

Lingkungan

Potensi Bahaya dan Dampak Lingkungan dari Limbah Elektronik: Tantangan Global dalam Pengelolaan dan Pengurangan

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 02 Mei 2024


Limbah elektronik

Limbah elektronik adalah peralatan elektronik atau perangkat berbasis energi listrik yang sudah tidak terpakai. Peralatan elektronik bekas yang dimaksudkan untuk diperbaiki, digunakan ulang, dijual kembali, didaur naik, didaur ulang, atau dibuang juga termasuk dalam kategori limbah elektronik.

Pengolahan limbah elektronik secara tidak tepat di negara-negara berkembang dapat menyebabkan efek buruk terhadap kesehatan manusia dan polusi lingkungan.

Meningkatnya penggunaan perangkat elektronik akibat revolusi digital dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi telah menimbulkan bahaya dan masalah dalam skala global.

Komponen dalam perangkat elektronik seperti CPU, berpotensi mengandung material berbahaya dan bahan beracun semisalnya seperti timbal, merkuri dan kadmium.

Definisi

Limbah elektronik tercipta ketika produk elektronik yang dibuang karena telah habis masa pakainya. Ekspansi pasar secara besar-besaran oleh perusahaan-perusahaan teknologi dan masyarakat yang konsumtif berhasil menciptakan limbah elektronik dalam jumlah yang sangat besar.

Dampak lingkungan

Sebuah studi yang baru-baru ini mengkaji tentang polusi elektronik yang meningkat di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa layar komputer rata-rata memiliki lima hingga delapan pon atau lebih, timbal yang mewakili 40 persen dari semua timbal di tempat pembuangan sampah AS.

Semua racun ini bersifat berkelanjutan/persisten, racun bioakumulasi (PBT) yang menimbulkan risiko lingkungan dan kesehatan saat komputer dibakar, dibuang ke tempat pembuangan sampah, atau dilebur.

Sumber: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Potensi Bahaya dan Dampak Lingkungan dari Limbah Elektronik: Tantangan Global dalam Pengelolaan dan Pengurangan
page 1 of 1