Limbah Kontruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 31 Mei 2025
Limbah Konstruksi: Ancaman Besar di Balik Ledakan Infrastruktur
Indonesia tengah berada dalam periode emas pembangunan infrastruktur. Namun, di balik pertumbuhan pesat tersebut, tersembunyi persoalan serius: limbah konstruksi. Artikel ilmiah karya Heni Fitriani, Saheed Ajayi, dan Sunkuk Kim (2023), yang diterbitkan di jurnal Sustainability, menyajikan analisis komprehensif tentang penyebab mendasar dari limbah di sektor konstruksi Indonesia. Temuan ini menjadi kunci penting dalam upaya mendorong praktik konstruksi berkelanjutan di negara berkembang seperti Indonesia.
Mengapa Penelitian Ini Penting?
Banyak studi terdahulu fokus pada minimisasi limbah di negara maju, namun sedikit yang menggali akar permasalahan di negara berkembang. Mengingat bahwa Indonesia diprediksi menjadi salah satu pasar konstruksi terbesar dunia pada 2030, kegagalan dalam mengelola limbah konstruksi bisa menimbulkan krisis lingkungan berskala nasional.
Metodologi dan Sampel: Suara dari 468 Profesional Konstruksi Indonesia
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan penyebaran kuesioner daring kepada 468 responden dari berbagai peran di industri konstruksi: arsitek, manajer proyek, insinyur sipil, dosen, hingga pemasok material. Data dianalisis menggunakan analisis faktor eksploratori dan reliabilitas statistik (α = 0.893), yang menunjukkan konsistensi tinggi.
Delapan Akar Utama Limbah Konstruksi di Indonesia
1. Manajemen Lapangan dan SDM yang Buruk (14,2%)
Faktor dominan ini mencakup: distribusi tenaga kerja tidak merata, absensi tinggi, komunikasi terbatas, hingga pekerja pindah tugas sebelum menyelesaikan pekerjaan. Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan disiplin di proyek konstruksi. Jika dibiarkan, bisa menyebabkan rework, pemborosan waktu, dan kenaikan biaya proyek.
2. Kurangnya Kolaborasi Antar Pemangku Kepentingan (13,2%)
Minimnya koordinasi antara kontraktor, konsultan, dan klien memicu pengambilan keputusan yang keliru, lambannya pembayaran, dan jadwal yang tidak sinkron. Padahal, proyek konstruksi adalah kerja tim lintas entitas.
3. Pengelolaan Peralatan yang Tidak Efektif (9,9%)
Kesalahan dalam pemilihan dan pengoperasian alat, kelebihan alokasi alat berat, serta peralatan rusak, menjadi penyumbang besar limbah. Solusi seperti prefabrikasi dan modularisasi dapat mengurangi limbah hingga 84%.
4. Kelemahan dalam Manajemen Logistik Material (9%)
Penanganan material yang buruk, penggunaan bahan yang salah, dan pembelian yang tidak sesuai kebutuhan menciptakan penumpukan dan pemborosan. Kolaborasi yang kuat dengan pemasok dibutuhkan untuk menyesuaikan pengiriman dengan jadwal proyek.
5. Lingkungan Kerja yang Tidak Kondusif (7%)
Kondisi cuaca ekstrem, vandalisme, dan layout site yang semrawut memperbesar potensi kerusakan material dan penundaan pekerjaan. Perlu desain lapangan yang ergonomis dan aman.
6. Komunikasi yang Buruk di Lapangan (6,8%)
Kurangnya instruksi jelas dari mandor, kekurangan supervisor, dan lemahnya skill komunikasi memicu kesalahpahaman yang berujung pada kesalahan teknis.
7. Perilaku Boros dan Kurangnya Kompetensi (6,7%)
Sikap ceroboh, motivasi rendah, serta kurangnya kesadaran lingkungan menjadi indikator penting. Ini menunjukkan bahwa persoalan budaya kerja dan etika turut berkontribusi terhadap limbah.
8. Kurangnya Pelatihan dan Pengalaman (4,9%)
Minimnya pelatihan formal dalam manajemen limbah membuat tenaga kerja tidak paham prosedur efisien. Hal ini menyulitkan implementasi program waste reduction.
Analisis Tambahan dan Perbandingan Global
Temuan ini sejalan dengan studi di Malaysia, Tiongkok, dan Inggris. Namun, yang membedakan Indonesia adalah dominasi faktor perilaku dan manajerial ketimbang teknis. Negara-negara maju telah menerapkan kebijakan seperti site waste management plans (SWMP) yang mewajibkan tiap proyek memiliki rencana penanganan limbah sejak awal.
Studi Kasus Nyata: Proyek Modular di Hong Kong
Salah satu contoh keberhasilan adalah penggunaan komponen modular di Hong Kong yang mampu menurunkan volume limbah hingga 52%. Jika Indonesia mengadopsi prefabrikasi lebih luas, maka pengurangan limbah bisa terjadi signifikan—bahkan di proyek hunian sederhana.
Rekomendasi Strategis bagi Industri Konstruksi Indonesia
Perlu regulasi nasional yang mewajibkan setiap proyek untuk memiliki SWMP.
Baik tentang pengelolaan material, safety, maupun budaya kerja bersih.
BIM bisa digunakan untuk meminimalisasi limbah sejak tahap desain.
Kontraktor yang berhasil menekan limbah diberi bonus. Yang lalai, dikenai penalti.
Pemasok dapat berperan dalam take-back scheme atau pengemasan ulang efisien.
Kritik terhadap Studi
Studi ini sangat kuat dalam metodologi, namun masih memiliki keterbatasan:
Dampak Praktis: Menyasar Zero Waste Construction di 2045?
Jika Indonesia ingin menyambut era bonus demografi dengan lingkungan yang lestari, maka reformasi pengelolaan limbah konstruksi menjadi keharusan. Temuan Fitriani dkk. bisa menjadi dasar kebijakan nasional menuju konstruksi berkelanjutan. Target zero waste mungkin ambisius, tapi bukan tidak mungkin jika dimulai hari ini.
Sumber:
Fitriani, H., Ajayi, S., & Kim, S. (2023). Analysis of the Underlying Causes of Waste Generation in Indonesia’s Construction Industry. Sustainability, 15(1), 409. DOI:10.3390/su15010409