Layanan Publik

Sistem IMB Sempurna yang Gagal di Dunia Nyata: Belajar dari Studi Kasus Banjarmasin

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 Oktober 2025


Di Atas Kertas, Semuanya Sempurna

Bayangkan kamu adalah seorang pejabat tata kota yang idealis di Banjarmasin. Kotamu sedang berkembang pesat. Orang-orang dari luar daerah datang untuk bekerja dan belajar, membangun rumah, ruko, dan tempat ibadah. Tanpa aturan, kota bisa tumbuh semrawut. Solusinya? Izin Mendirikan Bangunan, atau IMB. Ini adalah alat kendali agar setiap bangunan aman, sesuai peruntukan, dan selaras dengan Rencana Tata Ruang Kota (RTRK).  

Untuk memodernisasi proses ini, pemerintah kota melakukan langkah cerdas: mereka menciptakan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Satu pintu untuk semua urusan. Keren, kan?

Tidak berhenti di situ, mereka membangun sebuah “sistem terstruktur online”. Semua informasi tentang prosedur, persyaratan, bahkan formulir aplikasi, bisa diakses dan diunduh dari situs web resmi DPMPTSP. Tujuannya jelas: membuat proses perizinan menjadi transparan, cepat, dan efisien. Di atas kertas, ini adalah impian birokrasi modern.  

Sistem ini membagi perizinan menjadi tiga jenis, masing-masing dengan daftar persyaratan yang sangat detail:

  1. IMB Baru: Untuk bangunan yang benar-benar baru. Kamu butuh sekitar 12 dokumen, mulai dari fotokopi KTP, sertifikat tanah, gambar denah lengkap (tampak samping, depan, pondasi), bukti lunas PBB, hingga izin prinsip dan analisis dampak lingkungan (AMDAL).  

  2. IMB Pemutihan (Bleaching): Untuk bangunan yang sudah ada tapi mengalami perubahan luas atau fungsi. Persyaratannya? Hampir sama persis dengan IMB Baru, butuh 11 jenis dokumen.  

  3. IMB Perubahan (Amendment): Untuk renovasi seperti menambah kamar atau memperluas bangunan. Lagi-lagi, kamu harus menyiapkan segudang berkas, mirip dengan membuat IMB dari nol.  

Melihat daftar ini, saya langsung berpikir: sistem ini dirancang dengan asumsi bahwa setiap pemohon adalah orang yang super teliti, punya banyak waktu luang, dan tidak akan pernah membuat kesalahan. Sebuah sistem yang sempurna secara teknis, tapi mungkin sedikit lupa bahwa yang akan menggunakannya adalah manusia biasa.

Realitas di Lapangan: Enam Retakan di Fondasi Sistem

Di sinilah studi ini mulai menjadi sangat menarik. Para peneliti tidak hanya membaca peraturan, mereka turun ke lapangan. Mereka melakukan wawancara dengan petugas dan masyarakat yang mengurus IMB. Apa yang mereka temukan adalah sebuah jurang menganga antara desain sistem yang rapi dan pengalaman nyata yang berantakan.

Mereka membedahnya menjadi enam dimensi pelayanan publik, dan hasilnya, terus terang, membuat saya mengelus dada.

1. Transparansi yang Ternyata Semu

Situs web memang ada, informasi memang tersedia. Tapi apakah itu berarti transparan? Belum tentu. Seorang responden, yang usianya sudah tidak muda lagi, berkata jujur:

“Sudah cukup bagus, dan di website sudah ada semua informasinya. Formulirnya juga ada di internet, bisa diunduh di sana. Tapi, sebagai orang tua, saya kesulitan mengakses website dan mendapatkan formulir.”  

Responden lain memberikan usulan yang sangat masuk akal:

“Prosedur dan persyaratan pengajuan IMB seharusnya disosialisasikan, misalnya di balai desa atau langsung ke orang yang membutuhkan, karena tidak semua orang bisa mendapatkan informasi ini dari internet saja.”  

Ini adalah tamparan keras bagi siapa pun yang berpikir bahwa “digitalisasi” adalah jawaban untuk segalanya. Teknologi hanya alat. Jika tidak diiringi dengan edukasi dan pendekatan yang manusiawi, ia hanya akan menciptakan tembok baru yang tak terlihat.

2. Akuntabilitas yang Sering Absen

Sistem boleh canggih, tapi yang menjalankannya adalah manusia. Dan di sinilah masalah kedua muncul. Studi ini menemukan bahwa pelayanan belum maksimal, dan beberapa petugas dianggap “tidak baik dan ramah”. Keluhan seorang warga benar-benar menusuk:  

“Customer service harusnya ramah ke semua pemohon, jangan pilih-pilih, dan sabar membantu kesulitan pemohon.”  

Ini bukan sekadar masalah “senyum, sapa, salam”. Ini adalah soal akuntabilitas. Ketika petugas tidak merasa bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan terbaik, seluruh sistem yang mahal itu menjadi sia-sia.

3. Proses yang Seperti Labirin Tak Berujung

Inilah bagian yang paling membuat saya syok. Proses pengajuan IMB di Banjarmasin, menurut alur resmi yang dipaparkan dalam studi ini, terdiri dari 14 langkah!.  

Bayangkan: berkasmu diterima front office, lalu diperiksa, diinput ke komputer, diserahkan ke tim teknis, diverifikasi lagi, lalu tim teknis membuat surat tugas untuk tinjauan lapangan, mereka turun ke lapangan, membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP), menghitung retribusi, diajukan ke kepala bidang, disetujui kepala dinas, lalu kamu dihubungi untuk bayar, kamu bayar ke bank, bukti bayar kamu serahkan lagi, draf IMB dibuat, dikoreksi lagi oleh kepala divisi, diparaf, baru ditandatangani kepala dinas, dan akhirnya kamu bisa ambil. Fiuh.

Tidak heran jika responden mengeluh:

“Proses pengajuannya lama, jadi proses penyerahannya butuh waktu lama.” “Permohonan tidak bisa langsung disetujui meskipun berkas kita sudah lengkap.”  

Bahkan ada yang mengeluhkan hal-hal mendasar seperti ketepatan waktu petugas setelah jam istirahat, yang memaksa pemohon untuk menunggu lebih lama lagi. Ini bukan lagi soal prosedur, ini sudah terasa seperti ujian kesabaran.  

4. Partisipasi yang Hanya Formalitas

Pemerintah menyediakan banyak saluran untuk kritik dan saran: kotak saran, telepon, email, bahkan survei kepuasan di situs web. Ini bagus, secara teori. Tapi jika keluhan tentang layanan yang lambat, tidak ramah, dan tidak adil terus muncul, kita patut bertanya: apakah ada yang benar-benar mendengarkan? Sistem partisipasi tanpa feedback loop yang nyata hanya akan menjadi etalase kosong. 

5. Kesetaraan yang Jadi Barang Langka

Ini mungkin temuan yang paling menyakitkan. Studi ini mengungkapkan bahwa pelayanan tidak diberikan secara adil dan merata. Faktor-faktor seperti “hubungan kekerabatan, pertemanan, dan ikatan keluarga” memainkan peran dalam perbedaan layanan.  

Pengakuan seorang responden ini benar-benar menggambarkan betapa dalamnya masalah ini:

“Seperti waktu saya mengajukan, pemohon sebelum saya diperlakukan dengan ramah, sedangkan waktu saya yang mengajukan, pelayanan yang diberikan biasa saja bahkan galak.”  

Ketika aturan bisa dinegosiasikan oleh koneksi, kepercayaan publik terhadap sistem akan runtuh. Birokrasi yang seharusnya menjadi wasit yang adil, justru menjadi permainan orang dalam.

6. Keseimbangan Hak dan Kewajiban yang Timpang

Pada akhirnya, semua masalah ini bermuara pada satu hal: ketidakseimbangan. Warga negara dibebani segudang kewajiban—menyiapkan belasan dokumen, mengikuti 14 langkah prosedur, menunggu tanpa kepastian—sementara hak mereka untuk mendapatkan pelayanan yang cepat, ramah, dan adil tidak terpenuhi.  

Akar Masalahnya: Empat Hambatan Utama

Mengapa sistem yang dirancang dengan baik ini bisa gagal begitu parah dalam praktiknya? Para peneliti mengidentifikasi empat masalah mendasar yang menjadi akarnya.

  1. Kurangnya Kesadaran Publik: Banyak warga yang tidak tahu menahu soal pentingnya IMB. Mereka membangun dulu, baru mengurus izin kemudian (jika ingat). Ini bukan karena mereka jahat, tapi sering kali karena ketidaktahuan.  

  2. Kegagalan Sosialisasi: Pemerintah daerah gagal mengedukasi warganya secara efektif. Mereka terlalu bergantung pada internet, padahal tidak semua orang punya akses atau kemampuan yang sama.  

  3. Salah Paham Aturan: Sebagian besar masyarakat berpikir IMB diurus setelah bangunan jadi, bukan sebelum. Ini mengubah fungsi IMB dari alat perencanaan menjadi sekadar alat legalisasi.  

  4. Krisis Kapasitas Internal: Nah, ini dia. Ternyata, dinas terkait sendiri kewalahan. Mereka kekurangan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni dan tidak menguasai teknologi informasi dengan baik. Data masih banyak diinput secara manual!.  

Keempat masalah ini menciptakan sebuah lingkaran setan. Dinas kekurangan SDM untuk melakukan sosialisasi, akibatnya kesadaran publik rendah, yang menyebabkan banyak pengajuan IMB yang salah atau terlambat, yang pada akhirnya membuat dinas yang sudah kekurangan SDM itu semakin kewalahan. Terjebak.

Pelajaran yang Bisa Saya Petik Hari Ini

Membaca paper ini seperti melihat cermin besar bagi sistem pelayanan publik di banyak tempat. Ada beberapa hal yang benar-benar menempel di benak saya:

  • 🚀 Hasilnya mengejutkan: Sistem digital yang canggih tidak ada artinya tanpa fondasi SDM yang kuat dan edukasi publik yang merata. Teknologi bukanlah tongkat sihir.

  • 🧠 Inovasinya di mana?: Inovasi sejati bukan hanya membangun aplikasi atau situs web. Inovasi sejati adalah mengubah pola pikir—dari melayani berdasarkan koneksi menjadi melayani berdasarkan aturan, dari mempersulit menjadi mempermudah.

  • 💡 Pelajaran penting: Jangan pernah merancang sistem di ruang hampa. Libatkan pengguna sejak awal. Pahami keterbatasan mereka, dengarkan keluhan mereka, dan bangun sistem yang melayani manusia, bukan sebaliknya.

Meskipun temuan studi ini luar biasa, saya merasa ada satu kritik halus yang perlu disampaikan. Analisisnya sangat tajam dalam memaparkan apa yang salah, tapi kurang mendalam dalam menggali mengapa budaya seperti favoritisme dan ketidakramahan itu bisa begitu mengakar di sebuah institusi publik. Mungkin itu bisa menjadi topik untuk penelitian selanjutnya.

Pada akhirnya, masalah ini berakar pada kompetensi sumber daya manusia. Sebuah institusi hanya akan sebaik orang-orang di dalamnya. Inilah mengapa investasi pada pelatihan dan pengembangan aparatur sipil negara, seperti yang ditawarkan oleh platform seperti(https://diklatkerja.com), menjadi sangat krusial. Sistem yang baik membutuhkan operator yang baik pula.

Sebuah Awal, Bukan Akhir

Studi ini ditutup dengan beberapa rekomendasi yang logis: lakukan sosialisasi rutin, bekerja sama dengan aparat wilayah seperti kecamatan, dan tingkatkan kompetensi SDM. Sederhana, tapi tidak mudah untuk dilakukan.  

Bagi saya, paper ini adalah pengingat yang kuat bahwa memperbaiki birokrasi adalah pekerjaan yang lambat, sulit, dan sangat manusiawi. Ini bukan hanya tentang merombak alur kerja atau membeli software baru. Ini tentang membangun kembali kepercayaan, menanamkan budaya melayani, dan memastikan bahwa setiap warga negara, tidak peduli siapa mereka atau siapa yang mereka kenal, diperlakukan dengan adil dan hormat.

Kalau kamu tertarik untuk melihat data dan analisis lengkapnya, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya. Ini adalah salah satu bacaan paling mencerahkan yang saya temui tahun ini.

(https://doi.org/10.18196/jphk.v3i1.13411)

Selengkapnya
Sistem IMB Sempurna yang Gagal di Dunia Nyata: Belajar dari Studi Kasus Banjarmasin
page 1 of 1