Krisis Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Hansel pada 20 Oktober 2025
Dilema di Persimpangan Jalan: Krisis Infrastruktur Kebumen
Bagi sebagian besar warga Kabupaten Kebumen, jalan rusak bukan lagi berita, melainkan kenyataan pahit sehari-hari. Namun, skala sebenarnya dari masalah ini mungkin lebih besar dari yang dibayangkan. Sebuah tesis magister dari Universitas Islam Indonesia yang dipublikasikan pada tahun 2023 memetakan krisis ini dengan data yang gamblang. Dari total 960,36 km jalan yang menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten, hanya 30,42% atau sekitar 292,18 km yang berada dalam kondisi "Baik".1
Sisanya, hampir 70% atau lebih dari 668 km, berada dalam kondisi yang kurang optimal. Data dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kabupaten Kebumen pada tahun 2022 menunjukkan gambaran yang mengkhawatirkan: 416,84 km (43,40%) jalan dalam kondisi "Sedang", 162,03 km (16,87%) mengalami "Rusak Ringan", dan 89,31 km (9,30%) dalam kondisi "Rusak Berat".1 Angka-angka ini bukan sekadar statistik; ini adalah representasi dari roda ekonomi yang melambat, akses warga ke layanan publik yang terhambat, dan biaya transportasi yang membengkak.
Namun, penelitian ini mengungkap bahwa masalah utamanya bukanlah semata-mata kerusakan fisik infrastruktur. Akar persoalannya jauh lebih dalam: sebuah dilema manajerial yang kompleks akibat keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).1 Dengan sumber daya yang sangat terbatas, setiap keputusan untuk memperbaiki satu ruas jalan secara otomatis berarti menunda perbaikan di ruas jalan lain. Situasi ini menciptakan sebuah medan pertarungan kepentingan, di mana keputusan di masa lalu sering kali diambil "tanpa didasari oleh penilaian objektif" dan "tidak berdasarkan kriteria yang tepat".1 Krisis ini, pada intinya, bukanlah krisis aspal dan beton, melainkan krisis ketiadaan sebuah sistem yang adil, transparan, dan logis untuk mengalokasikan dana yang sangat terbatas. Penelitian ini hadir untuk mengisi kekosongan sistem tersebut.
Mengurai Benang Kusut: Siapa dan Bagaimana Prioritas Perbaikan Jalan Ditetapkan?
Untuk membongkar "kotak hitam" pengambilan keputusan ini, peneliti tidak menyebar kuesioner secara acak kepada masyarakat umum. Sebaliknya, penelitian ini menggunakan pendekatan yang sangat spesifik dan strategis yang disebut expert purposive sampling. Artinya, peneliti secara sengaja memilih individu-individu yang berada di jantung proses pengambilan kebijakan infrastruktur di Kebumen.1
Lima pemangku kepentingan kunci dipilih untuk mewakili pilar-pilar pemerintahan dan keahlian yang berbeda, memastikan bahwa hasil analisis mencerminkan realitas birokrasi yang sesungguhnya. Mereka adalah:
Dengan panel ahli ini, penelitian menerapkan metodologi ganda yang canggih untuk mengubah perdebatan subjektif menjadi sebuah kerangka kerja objektif. Pertama, metode Case-Based Reasoning (CBR) digunakan untuk menyaring berbagai kemungkinan kriteria dari studi literatur dan pengalaman para ahli, hingga mengerucut pada lima faktor yang paling relevan untuk konteks Kebumen.1
Setelah lima kriteria utama ditetapkan, metode inti yaitu Analytical Hierarchy Process (AHP) mulai bekerja. AHP adalah sebuah alat pendukung keputusan yang memaksa para ahli untuk tidak hanya memilih, tetapi juga mengukur tingkat kepentingan satu faktor dibandingkan faktor lainnya. Mereka dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan sulit seperti, "Apakah efisiensi biaya lebih penting daripada tingkat kerusakan jalan? Jika ya, seberapa jauh lebih penting?" Proses perbandingan berpasangan ini mengubah penilaian kualitatif yang rentan terhadap bias menjadi bobot kuantitatif yang dapat diukur dan diperingkatkan secara matematis.1
Langkah ini lebih dari sekadar analisis akademis; ini adalah sebuah intervensi untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas. Di masa lalu, alokasi dana perbaikan jalan bisa sangat dipengaruhi oleh lobi politik atau kepentingan sesaat. Dengan AHP, pemerintah kini memiliki sebuah sistem yang dapat dipertanggungjawabkan secara logis. Jika seorang warga bertanya mengapa jalan di desanya belum diperbaiki, pemerintah dapat memberikan jawaban berbasis data: "Karena berdasarkan kerangka prioritas yang disepakati bersama oleh berbagai pemangku kepentingan, sumber daya kami yang terbatas dialokasikan ke ruas jalan yang memenuhi kriteria dengan skor gabungan yang lebih tinggi." Ini mengubah percakapan dari tuduhan "pilih kasih" menjadi diskusi tentang "efisiensi alokasi sumber daya publik".
Temuan Utama yang Mengejutkan: Uang Berbicara Lebih Keras Daripada Lubang di Jalan
Hasil dari proses analisis yang ketat ini menghasilkan sebuah temuan yang mungkin mengejutkan bagi banyak orang. Secara intuitif, kita mungkin berasumsi bahwa jalan yang paling rusak parah seharusnya menjadi prioritas utama untuk diperbaiki. Namun, data dari penelitian ini berbicara sebaliknya. Logika yang menopang pengambilan keputusan di Kebumen ternyata didasarkan pada pragmatisme finansial yang keras.
Penelitian ini menghasilkan sebuah peringkat prioritas yang sangat jelas. Dari lima kriteria utama yang dianalisis, Biaya Penanganan muncul sebagai faktor yang paling dominan. Kriteria ini mendapatkan bobot prioritas sebesar 0,3234, menempatkannya di puncak daftar pertimbangan.1
Bobot ini secara signifikan mengungguli kriteria Kondisi Jalan (tingkat kerusakan fisik), yang berada di peringkat kedua dengan bobot 0,1992. Peringkat selanjutnya secara berurutan ditempati oleh Aksesibilitas (kemudahan dan nilai strategis jalan) dengan bobot 0,1869, diikuti oleh Pengembangan Wilayah (dukungan terhadap sektor ekonomi) dengan bobot 0,1640, dan yang terakhir adalah Kebijakan (aspirasi pemerintah dan masyarakat) dengan bobot 0,1265.1
Temuan ini menandakan sebuah pergeseran paradigma fundamental dalam manajemen infrastruktur. Ini menunjukkan bahwa pertanyaan pertama yang diajukan oleh para pengambil kebijakan di Kebumen bukanlah, "Jalan mana yang paling parah kerusakannya?" melainkan, "Apa tindakan paling efektif yang bisa kita lakukan dengan anggaran yang kita miliki saat ini?". Ini adalah cerminan dari realitas pahit yang dihadapi banyak pemerintah daerah dengan APBD terbatas. Mereka tidak dapat beroperasi berdasarkan kondisi ideal (memperbaiki semua yang rusak parah), tetapi harus beroperasi berdasarkan kendala nyata (anggaran yang ada). Ini adalah sebuah pengakuan bahwa strategi infrastruktur yang berkelanjutan harus dibangun di atas fondasi manajemen fiskal yang cermat, bukan hanya berdasarkan kebutuhan teknis di lapangan.
Paradoks Perbaikan Jalan: Mengapa Merawat yang ‘Setengah Rusak’ Lebih Cerdas?
Jika temuan utama sudah cukup mengejutkan, analisis lebih dalam pada sub-kriteria mengungkapkan sebuah paradoks yang lebih kontra-intuitif lagi. Ketika para ahli diminta untuk memprioritaskan jenis kerusakan jalan yang harus ditangani, hasilnya benar-benar membalikkan logika umum.
Di dalam kriteria "Kondisi Jalan", prioritas tertinggi tidak diberikan kepada jalan yang hancur lebur. Sebaliknya, prioritas utama jatuh pada jalan dengan kondisi "Sedang", yang memperoleh bobot prioritas dominan sebesar 0,5410. Jalan dengan kondisi "Rusak Ringan" menyusul di peringkat kedua dengan bobot 0,2355. Yang paling mengejutkan, jalan dengan kondisi "Rusak Berat"—yang secara kasat mata paling membutuhkan perbaikan—justru menempati prioritas paling buncit dengan bobot hanya 0,2235.1
Peneliti sendiri mengakui anomali ini. Secara teori, jalan rusak berat seharusnya menjadi prioritas utama untuk mencegah bahaya bagi pengguna jalan dan menghindari terputusnya akses.1 Namun, data menunjukkan bahwa empat dari lima pengambil keputusan kunci di Kebumen berpikir sebaliknya. Mengapa demikian?
Jawabannya terletak pada filosofi "mencegah lebih baik (dan lebih murah) daripada mengobati". Ini bukanlah sebuah kelalaian, melainkan sebuah strategi pemeliharaan preventif yang canggih dan didasarkan pada realisme anggaran. Pemerintah secara sadar memilih untuk mengalokasikan dana terbatasnya untuk menjaga agar jalan yang masih "cukup baik" tidak jatuh ke jurang "rusak parah". Logikanya sederhana: biaya untuk memperbaiki jalan dari kondisi "sedang" (yang umumnya hanya memerlukan pemeliharaan rutin) secara eksponensial jauh lebih murah daripada membangunnya kembali dari kondisi "rusak berat" (yang memerlukan rehabilitasi atau rekonstruksi total).
Ini ibarat merawat gigi. Jauh lebih bijaksana dan hemat biaya untuk menambal lubang kecil sedini mungkin daripada menunggu sampai gigi tersebut harus dicabut dan diganti dengan implan yang mahal. Pemerintah Kebumen, dengan sumber daya yang terbatas, memilih untuk "menambal" sebanyak mungkin lubang kecil di seluruh kabupaten. Ini adalah strategi untuk memaksimalkan jumlah kilometer jalan yang tetap berfungsi dalam jangka panjang, meskipun itu berarti beberapa jalan yang sudah terlanjur hancur harus menunggu lebih lama untuk mendapatkan "perawatan implan" yang mahal.
Peta Jalan Ekonomi Kebumen: Pariwisata Sebagai Anak Emas
Analisis ini juga menegaskan bahwa keputusan pemeliharaan jalan di Kebumen bukanlah sekadar urusan teknis perbaikan infrastruktur. Lebih dari itu, ini adalah instrumen aktif yang digunakan untuk membentuk dan mengarahkan masa depan ekonomi daerah. Alokasi anggaran yang terbatas tidak disebar secara merata, melainkan difokuskan untuk mendukung sektor-sektor yang dianggap paling strategis.
Ketika para ahli mengevaluasi kriteria "Pengembangan Wilayah", hasilnya menunjukkan visi ekonomi yang jelas. Prioritas tertinggi diberikan kepada jalan-jalan yang mendukung sektor Pariwisata, dengan bobot mencapai 0,4308. Sektor Perdagangan menempati urutan kedua dengan bobot 0,3298, sementara Industri berada di urutan terakhir dengan bobot 0,2394.1
Keputusan ini selaras dengan rencana strategis yang lebih besar. Tesis ini mencatat bahwa Kabupaten Kebumen merupakan bagian dari wilayah pengembangan koridor Pantai Selatan Jawa (PANSELA) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang secara eksplisit mengarahkan pengembangan pada pariwisata, perdagangan, dan industri.1 Dengan memprioritaskan akses ke destinasi wisata, pemerintah secara efektif menggunakan anggaran pemeliharaan sebagai kebijakan ekonomi. Ini adalah sinyal kuat bagi para investor dan pelaku usaha bahwa pariwisata adalah sektor andalan yang akan didukung penuh oleh infrastruktur pemerintah.
Hal ini diperkuat oleh temuan pada kriteria "Aksesibilitas". Di sini, Nilai Strategis Jalan—yaitu jalan yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan penting seperti kawasan wisata, pasar, atau pusat pemerintahan—dinilai lebih penting daripada sekadar Kemudahan Akses secara umum.1 Ini menunjukkan kematangan perencanaan: kebijakan infrastruktur tidak berdiri sendiri, melainkan terintegrasi erat dengan visi pembangunan ekonomi jangka panjang, di mana setiap rupiah yang dibelanjakan untuk aspal diharapkan dapat memberikan imbal hasil ekonomi yang maksimal.
Cetak Biru dengan Catatan Kaki: Sebuah Kritik Realistis
Meskipun model yang dihasilkan oleh penelitian ini menawarkan sebuah cetak biru yang logis dan transparan, penting untuk memahaminya dengan beberapa catatan kritis. Menariknya, kritik paling tajam justru datang dari peneliti sendiri, yang secara jujur menguraikan keterbatasan studinya di bagian akhir.
Keterbatasan utama terletak pada jumlah sampel responden. Meskipun kelima responden adalah para stakeholder kunci, jumlah mereka yang hanya lima orang membuat pandangan mereka, meskipun sangat berpengaruh, belum tentu mewakili seluruh spektrum kepentingan di Kebumen.1 Peneliti menyarankan agar penelitian di masa depan dapat menambah jumlah responden untuk mendapatkan data yang lebih heterogen.1
Selain itu, ada potensi konflik kepentingan dari sektor lain yang belum sepenuhnya terekam dalam model ini. Peneliti secara spesifik menyarankan untuk melibatkan instansi lain seperti Dinas Pariwisata, Dinas Perhubungan, dan Dinas Perdagangan dalam studi lanjutan.1 Keterlibatan mereka bisa jadi akan mengubah bobot prioritas, misalnya, semakin memperkuat urgensi kriteria Pengembangan Wilayah.
Namun, keterbatasan ini tidak mengurangi nilai dari penelitian. Justru, ini membantu kita memahami apa yang sebenarnya diukur oleh studi ini: sebuah potret yang sangat akurat dari mindset kolektif para elite pengambil keputusan saat ini. Hasil ini adalah cerminan dari cara berpikir para pimpinan di DPUPR, BAPPEDA, BPKPD, dan DPRD. Model ini memberikan cetak biru yang sangat berharga tentang bagaimana prioritas ditetapkan dari perspektif pemerintah pusat dan legislatif. Namun, untuk menjadi lebih holistik, kerangka kerja ini di masa depan perlu diperluas untuk menangkap aspirasi dari sektor-sektor dan kelompok masyarakat yang saat ini mungkin kurang terwakili.
Dampak Nyata: Apa Artinya Temuan Ini Bagi Warga Kebumen?
Pada akhirnya, apa arti semua analisis kompleks ini bagi kehidupan sehari-hari warga Kebumen? Dampaknya bisa sangat signifikan dan positif dalam jangka panjang. Penelitian ini bukan sekadar tumpukan data, melainkan sebuah resep untuk manajemen pemerintahan yang lebih baik.
Pertama, ia menawarkan sebuah sistem yang transparan dan berbasis data untuk mengelola sumber daya publik yang langka. Ini adalah langkah maju dari pengambilan keputusan yang mungkin bersifat subjektif atau politis. Kedua, ia menggeser fokus dari perbaikan yang bersifat reaktif dan sangat mahal (rekonstruksi jalan yang sudah hancur) ke pemeliharaan yang proaktif dan jauh lebih hemat biaya (merawat jalan yang masih dalam kondisi sedang). Ketiga, ia secara cerdas menyelaraskan investasi infrastruktur yang terbatas dengan visi ekonomi jangka panjang yang berfokus pada sektor pariwisata.
Jika diterapkan secara konsisten, kerangka kerja prioritas ini memiliki potensi untuk memaksimalkan nilai dari setiap rupiah yang dianggarkan untuk pemeliharaan jalan. Dalam jangka waktu lima tahun, pendekatan ini dapat secara signifikan meningkatkan persentase jalan dalam kondisi "mantap" (baik dan sedang), bukan dengan menghabiskan lebih banyak uang, tetapi dengan membelanjakannya secara lebih cerdas. Pada akhirnya, ini bisa mengurangi biaya pemeliharaan jangka panjang secara drastis, membebaskan anggaran yang dapat dialokasikan untuk layanan publik vital lainnya seperti pendidikan dan kesehatan, serta membangun fondasi infrastruktur yang lebih kuat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan seluruh warga Kabupaten Kebumen.
Sumber Artikel:
Analisis Penentuan Prioritas Kriteria Pemeliharaan Jalan, https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/4504