Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 07 Mei 2025
Pendahuluan: Menjawab Tantangan Konstruksi Ramah Lingkungan
Dalam era pembangunan yang semakin menuntut keberlanjutan, sektor konstruksi menghadapi tantangan besar: bagaimana menghasilkan material bangunan yang kuat, tahan lama, dan sekaligus ramah lingkungan. Beton, sebagai bahan konstruksi paling banyak digunakan di dunia, menjadi fokus utama transformasi ini.
Sebuah studi inovatif oleh Rr. M. I. Retno Susilorini dkk. dari Universitas Katolik Soegijapranata dan universitas lain di Indonesia, membuka pintu baru bagi pemanfaatan bahan alami — khususnya rumput laut — dalam menciptakan mortar modifikasi polimer alami (natural polymer modified mortar). Studi ini bukan hanya sekadar eksperimen laboratorium, tetapi mencerminkan upaya konkret untuk menghadirkan "beton hijau" yang benar-benar berkelanjutan.
Mengapa Rumput Laut?
Dua jenis rumput laut digunakan dalam penelitian ini:
- Eucheuma Cottonii (gel) yang mengandung kappa-carrageenan, dikenal sebagai pengemulsi dan pengental alami.
- Gracilaria sp. (serbuk) yang kaya akan agarose dan agaropektin, berperan sebagai agen pengikat yang kuat.
Keduanya merupakan polimer alami berbasis karbohidrat yang terbukti memiliki sifat reologi seperti pengentalan dan pembentukan gel, mirip dengan resin epoksi yang biasa digunakan dalam mortar modifikasi sintetis. Dengan pendekatan ini, penelitian menargetkan peningkatan kekuatan tekan dan kekuatan tarik belah mortar secara signifikan, sekaligus menurunkan jejak karbon.
Metodologi: Dua Tahap Eksperimen yang Terstruktur
Penelitian dilakukan dalam dua fase:
1. Pre-eksperimen
- Tujuan: Menilai kekuatan tekan awal dari mortar dengan berbagai kadar gel dan serbuk rumput laut.
- Hasil: Menariknya, pada umur 7 hari, komposisi gel 0,5% (KM-07-0.5) mencapai kekuatan tekan tertinggi: 32,7 MPa. Namun pada hari ke-14, serbuk Gracilaria menunjukkan hasil lebih stabil dan unggul (KM-14-1 powder: 29,17 MPa vs KM-14-1 gel: 23,03 MPa).
2. Main Eksperimen
- Fokus pada Gracilaria sp. (serbuk) dengan komposisi berbeda: 0,1%–5%.
- Pengujian: Kekuatan tekan (7, 14, dan 28 hari) & kekuatan tarik belah (28 hari).
- Standar: ASTM C-39 untuk kekuatan tekan dan ASTM C-496 untuk tarik belah.
Hasil Utama: Komposisi KM-0.5 Unggul Signifikan
Kekuatan Tekan:
- KM-0.5 menunjukkan performa optimal:
- 7 hari: 29,28 MPa
- 14 hari: 29,64 MPa
- 28 hari: 30,36 MPa
- Sampel kontrol hanya mencapai 25,33 MPa di hari ke-28.
- Komposisi dengan dosis lebih tinggi (KM-1, KM-2, KM-5) justru mengalami penurunan kekuatan akibat overdosis, atau disebut “killing-set”.
Kekuatan Tarik Belah:
- KM-0.5 kembali unggul dengan kekuatan tarik belah 6,27 MPa (setara 21,35% dari kekuatan tekannya).
- Kontrol: hanya 3,26 MPa (12,87% dari kekuatan tekannya).
- KM-1 meski tidak optimal dalam kekuatan tekan, juga menunjukkan kekuatan tarik yang cukup tinggi (5,63 MPa).
Analisis Tambahan: Apa yang Membuat Gracilaria Unggul?
- Struktur Gel Lebih Padat: Kandungan agarose dan agaropektin menciptakan jaringan ikat yang lebih kuat dibanding kappa-carrageenan pada Eucheuma.
- Daya Duktalitas Tinggi: Gracilaria memiliki susut rendah dan ketahanan lentur lebih baik, yang mengarah pada daya rekat tinggi terhadap agregat.
- Pengolahan Lebih Optimal: Eucheuma harus direbus dua kali — proses ini mungkin mereduksi efektivitas polimernya.
Kritik & Komparasi: Di Mana Letak Batasannya?
Meski hasilnya menjanjikan, penelitian ini masih memiliki keterbatasan:
- Skala Laboratorium: Belum diuji dalam kondisi lapangan nyata.
- Studi Ekonomi: Belum ada perhitungan biaya produksi massal.
- Ketahanan Kimia: Perlu uji lebih lanjut terhadap reaksi kimiawi jangka panjang.
Namun, dibandingkan bahan aditif sintetis, keunggulan Gracilaria adalah keberlanjutan, ketersediaan lokal, dan jejak karbon rendah.
Potensi Aplikasi Nyata & Dampak Industri
Bayangkan sebuah proyek bangunan publik di pesisir Indonesia yang menggunakan mortar berbahan dasar Gracilaria. Proyek tersebut akan:
- Meningkatkan daya tahan struktur terhadap retak mikro.
- Menekan biaya perbaikan.
- Memberdayakan industri rumput laut lokal.
Hasil penelitian ini bisa menjadi acuan dalam menciptakan produk-produk ramah lingkungan dengan daya saing tinggi.
Kesimpulan: Menuju Beton Masa Depan yang Lebih Hijau
Hasil penelitian ini menegaskan bahwa rumput laut bukan hanya bernilai gizi tinggi, tetapi juga dapat menyumbang besar dalam dunia konstruksi berkelanjutan. Komposisi optimum KM-0.5 dengan serbuk Gracilaria menunjukkan bahwa polimer alami dapat menggantikan bahan sintetis tanpa mengorbankan performa teknis.
Inovasi seperti ini adalah langkah penting menuju masa depan yang lebih hijau, kuat, dan berkelanjutan.
Referensi
Susilorini, Rr. M. I., Hardjasaputra, H., Tudjono, S., Hapsari, G., Wahyu S, R., Hadikusumo, G., & Sucipto, J. (2014). The advantage of natural polymer modified mortar with seaweed: green construction material innovation for sustainable concrete. Procedia Engineering, 95, 419–425. DOI: https://doi.org/10.1016/j.proeng.2014.12.201
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 07 Mei 2025
Pendahuluan
Industri konstruksi merupakan kontributor utama dalam konsumsi sumber daya dan pencemaran lingkungan global. Dengan penggunaan hampir 60 miliar ton material per tahun—separuhnya untuk konstruksi—dunia sedang bergerak menuju titik jenuh ekologis. Ironisnya, di tengah urgensi perubahan, riset material konstruksi masih terjebak pada paradigma lama: fokus pada kekuatan mekanik dan efisiensi biaya, dengan mengabaikan prinsip keberlanjutan.
F. Pacheco-Torgal dan J.A. Labrincha (2013) dalam makalah berjudul The Future of Construction Materials Research and the Seventh UN Millennium Development Goal: A Few Insights mengkritisi pendekatan tersebut. Mereka menyoroti bagaimana riset saat ini gagal merespons Tujuan Pembangunan Milenium ke-7 (MDG 7) tentang keberlanjutan lingkungan. Artikel ini menyajikan resensi kritis terhadap paper tersebut, diperkaya dengan data, studi kasus, serta opini analitis untuk membangun pemahaman yang lebih aplikatif dan manusiawi.
Mengungkap kegagalan riset material konstruksi dalam mendukung keberlanjutan dan bagaimana teknologi hijau dapat menjadi solusi masa depan industri ini.
Riset Material Konstruksi: Masih Buta akan Krisis Keberlanjutan
Penulis mencatat bahwa dari ribuan artikel ilmiah tentang material konstruksi sejak tahun 2000, hanya segelintir yang menyebut Tujuan Pembangunan Milenium ke-7 (MDG 7). Bahkan, kata “sustainability” hanya muncul di sekitar 10% artikel dalam jurnal ternama seperti Construction and Building Materials. Angka ini menunjukkan betapa rendahnya perhatian dunia riset terhadap aspek keberlanjutan.
Padahal, berdasarkan data EU, limbah konstruksi dan pembongkaran (C&DW) mencapai 25–30% dari total limbah padat di Eropa. Uni Eropa menargetkan 70% daur ulang C&DW pada 2020, namun hingga kini rata-rata baru 47%.
Studi Kasus:
Eropa telah mengalokasikan €4,865 miliar untuk riset nanoteknologi dalam program FP7, tetapi hanya sedikit diarahkan pada aplikasi konstruksi hijau.
Kolontár, Hongaria (2010): 1 juta m³ lumpur merah beracun tumpah akibat kegagalan bendungan tambang. Tragedi ini mencerminkan bahaya sistemik dari penggunaan material tak berkelanjutan.
Teknologi Nano: Harapan Hijau yang Tersisihkan
Nanoteknologi dinilai sebagai area potensial tinggi bagi pengembangan material konstruksi yang ramah lingkungan. Namun kenyataannya, sektor ini nyaris luput dari perhatian riset nano.
Infrastruktur Terlupakan
Beton, material paling banyak digunakan (10 km³/tahun), menyumbang 6–7% dari emisi CO₂ global. Permintaan semen diproyeksi naik 200% pada 2050.
Riset nano pada beton dapat meningkatkan durabilitas, mengurangi korosi, dan memperpanjang usia pakai hingga 500 tahun—yang berarti potensi pengurangan jejak lingkungan hingga 10x lipat.
Self-sensing concrete, yang menggunakan nanopartikel untuk mendeteksi retakan internal, memungkinkan pemeliharaan prediktif yang lebih efisien.
Efisiensi Energi: Kejar Profit, Bukan Planet
Bangunan mengonsumsi lebih dari 40% energi di Eropa.
Nanogel silika dan isolator vakum dikembangkan bukan karena kesadaran lingkungan, melainkan pasar efisiensi energi yang diprediksi melampaui $100 miliar pada 2017.
Tren ini mencerminkan bagaimana logika pasar tetap mendikte arah riset.
Bioteknologi: Solusi Hijau Sejati
Berbeda dengan nanoteknologi yang masih dipimpin oleh logika keuntungan jangka pendek, bioteknologi menawarkan pendekatan inspiratif dari alam (biomimikri).
Inovasi dari Alam
Cangkang abalon: Komposit kalsium karbonat + protein dengan kekuatan 3.000x lebih tinggi dibanding komponennya secara terpisah.
Jaring laba-laba: Kekuatan spesifik melebihi baja dan keuletan melampaui Kevlar.
Lem alami dari kerang & teritip: Tahan air dan tidak toksik, solusi pengganti resin sintetis beracun.
Aplikasi di Konstruksi
Bioteknologi memungkinkan biomineralisasi untuk memperbaiki retak beton.
Ini membuka jalan bagi bioconcrete, beton yang memperbaiki diri, mengurangi kebutuhan rekonstruksi mahal dan intensif sumber daya.
Kesenjangan Riset dan Pasar: Masalah Standar dan Budaya
Salah satu kritik utama penulis adalah lemahnya transisi dari laboratorium ke pasar.
Tantangan Utama:
Waktu komersialisasi riset material bisa mencapai 10–20 tahun.
Standar teknis yang usang, misalnya pembatasan pemakaian agregat daur ulang hanya sampai 30%, padahal studi mendukung angka lebih tinggi.
Industri konstruksi konservatif, cenderung menghindari risiko dan mengutamakan biaya rendah.
Studi Kasus:
High-Performance Concrete (HPC): Meski diperkenalkan sejak 1980-an, kontribusinya masih 11% dari total produksi beton siap pakai.
Geopolimer: Alternatif ramah lingkungan untuk semen Portland yang masih terkendala regulasi dan adopsi industri.
Analisis dan Opini: Mengubah Paradigma
Kritik Penulis
Riset terlalu "teknokratik", mengabaikan etika dan dampak sosial.
Kurikulum teknik belum menginternalisasi prinsip pembangunan berkelanjutan.
Ilmuwan mengejar publikasi “berdaya jual tinggi” daripada riset dengan dampak nyata.
Saran Tambahan
Interdisipliner adalah kunci: Kolaborasi antara ilmuwan material, ekonom, pakar kebijakan, dan ahli lingkungan.
Dorong riset berbasis tujuan sosial: Penelitian seharusnya berpijak pada kebutuhan masyarakat dan tantangan global seperti MDG 7.
Transformasi kurikulum teknik: Pendidikan teknik harus menggabungkan humaniora dan ilmu sosial agar tidak melahirkan teknokrat “fachidiot”.
Penutup: Menuju Material Konstruksi yang Berkeadilan
Paper ini mengingatkan kita bahwa masa depan industri konstruksi tidak hanya ditentukan oleh inovasi teknis, tetapi oleh arah nilai-nilai yang kita anut. Di tengah krisis lingkungan global, riset material konstruksi harus menjadi bagian dari solusi, bukan justru memperparah masalah.
Ke depan, nanoteknologi dan bioteknologi perlu diarahkan untuk memenuhi kebutuhan sosial dan ekologis, bukan semata-mata keuntungan ekonomi. Gap antara laboratorium dan lapangan harus dijembatani melalui regulasi progresif dan edukasi lintas disiplin. Dengan begitu, riset material bisa benar-benar menjadi alat pencapaian pembangunan berkelanjutan.
Sumber:
Pacheco-Torgal, F., & Labrincha, J.A. (2013). The future of construction materials research and the seventh UN Millennium Development Goal: A few insights. Construction and Building Materials, 40, 729–737. https://doi.org/10.1016/j.conbuildmat.2012.11.007
EU Directive 2008/98/EC on waste.
Pike Research (2011). Energy Efficient Buildings: Global Outlook.
Allwood, J. M., et al. (2011). Material efficiency: a white paper. Resources, Conservation and Recycling, 55(3), 362–381.
Stern, N. (2006). The Economics of Climate Change: The Stern Review. Cambridge University Press.
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 05 Mei 2025
Pendahuluan: Mengapa Inovasi di Proyek Jalan Masih Tertahan?
Indonesia telah melangkah cepat dalam pembangunan infrastruktur, namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa inovasi teknologi belum sepenuhnya teradopsi secara optimal dalam sektor ini. Salah satu inisiatif penting untuk mempercepat transfer teknologi adalah penerapan pilot project—proyek percontohan berskala terbatas yang dimaksudkan sebagai uji coba dan validasi teknologi baru sebelum diadopsi secara luas.
Namun, pelaksanaan pilot project tidak selalu berjalan mulus. Penelitian Kiki Mohammad Iqbal (2020) mengangkat fenomena ini secara komprehensif, dengan membedah faktor-faktor kendala yang saling terkait dan mempengaruhi keberhasilan alih teknologi melalui penyedia jasa. Melalui pendekatan Interpretive Structural Modeling (ISM), tesis ini menawarkan peta struktural keterkaitan antar kendala, sebagai dasar pengambilan keputusan strategis di sektor jalan.
Konteks Riset: Dari Strategi Alih Teknologi ke Realita Pelaksanaan
Pusat Litbang Jalan dan Jembatan (Pusjatan) sebagai garda depan inovasi jalan nasional mencatat bahwa dalam periode 2016–2019, anggaran pilot project menyumbang hingga 80% dari total alokasi belanja litbang yang dieksekusi secara kontraktual. Namun demikian, hanya 9 dari 11 target teknologi yang berhasil diterapkan pada 2017. Kegagalan ini tidak semata karena faktor teknis, tapi karena dinamika kompleks antara para pemangku kepentingan, utamanya penyedia jasa yang belum siap menerima teknologi baru.
Metode Penelitian: Interpretive Structural Modeling (ISM)
Penelitian ini mengadopsi metode Interpretive Structural Modeling (ISM) yang bertujuan menyusun hierarki antar kendala. ISM menekankan pada driver power (faktor yang paling memengaruhi) dan dependence (faktor yang paling dipengaruhi). Dengan menggunakan wawancara semi-terstruktur dan kuesioner terhadap praktisi, model struktural ini menghasilkan peta keterkaitan untuk mengidentifikasi prioritas penyelesaian masalah.
Hasil Kunci: Faktor-Faktor Kendala yang Saling Mengikat
1. Kendala Paling Memengaruhi (High Driver Power)
Kemampuan Keuangan Kontraktor: Banyak penyedia jasa yang tidak memiliki cukup modal untuk menjalankan proyek teknologi baru yang memerlukan alat atau metode kerja khusus.
Sistem Lelang Berdasarkan Harga Terendah: Kebijakan ini seringkali menyebabkan pemenang proyek tidak memiliki kapasitas teknologi yang memadai.
Analisis tambahan: Dua faktor ini menunjukkan adanya celah besar antara kebijakan pengadaan dan kesiapan teknis di lapangan. Sistem lelang berbiaya rendah memang efisien secara anggaran, namun bisa menjadi jebakan bagi inovasi.
2. Kendala Paling Dipengaruhi (High Dependence)
Kualitas Penjadwalan Proyek: Ini menjadi indikator yang sangat bergantung pada faktor-faktor lain, seperti kapabilitas manajemen kontraktor dan koordinasi dengan pemilik proyek.
3. Keterkaitan Hierarki Faktor
Dengan ISM, faktor-faktor ini tidak berdiri sendiri, tetapi saling terhubung. Misalnya, kurangnya pelatihan terhadap teknologi baru memengaruhi kesalahan metode kerja, yang kemudian menyebabkan mutu hasil konstruksi tidak sesuai spesifikasi.
Studi Kasus & Data: Kinerja Pilot Project Pusjatan (2016–2019)
Tahun 2018 menjadi titik nadir dengan nihilnya realisasi melalui penyedia jasa, memperlihatkan bahwa penyedia swakelola (biasanya instansi pemerintah) lebih siap mengadopsi inovasi daripada sektor kontraktor swasta.
Kritik terhadap Penelitian Sebelumnya
Penelitian terdahulu (Hendrawan, 2018) menggunakan metode pemeringkatan bobot faktor untuk mengidentifikasi kendala utama. Namun, pendekatan tersebut gagal mengungkap keterkaitan antar faktor. Artinya, faktor dengan bobot tinggi belum tentu menjadi pemicu utama kegagalan implementasi jika tidak dipertimbangkan dalam konteks sistemik.
Tesis Kiki memberikan lompatan signifikan dengan menawarkan pemodelan hierarki kendala yang lebih realistis, berbasis pada interaksi dinamis antar elemen dalam sistem proyek.
Usulan Solusi dan Rekomendasi Praktis
Penelitian ini memberikan insight bagi pembuat kebijakan dan pelaksana proyek, di antaranya:
Implikasi Strategis dan Opini Penulis
Tesis ini sangat relevan di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur nasional. Ketika target akselerasi jalan tol, jembatan, dan jalan nasional terus dikejar, inovasi teknologi justru sering dikorbankan karena terbentur pada realitas lapangan.
Penulis menilai bahwa pilot project semestinya bukan hanya uji coba teknologi, tetapi juga menjadi laboratorium kebijakan di mana kelemahan dalam rantai pengadaan, manajemen proyek, hingga kapasitas SDM dapat diuji dan diperbaiki. Penelitian ini membuka peluang untuk mengubah pendekatan inovasi menjadi lebih sistemik dan berjangka panjang.
Keterbatasan dan Saran Penelitian Lanjutan
Meski cukup komprehensif, tesis ini memiliki keterbatasan:
Penelitian lanjutan bisa memperluas lingkup dengan pendekatan kuantitatif dan keterlibatan lebih luas dari pelaku proyek jalan di sektor swasta, LSM, hingga pengguna jalan.
Kesimpulan: Menyusun Ulang Strategi Inovasi Jalan Nasional
Tesis ini menyajikan pemetaan faktor kendala penerapan teknologi terbatas secara struktural dan sistemik. Temuannya bukan hanya penting bagi Pusjatan, tetapi juga relevan untuk seluruh aktor dalam proyek infrastruktur nasional. Dengan mengidentifikasi faktor kunci penghambat dan pola keterkaitan antar kendala, pembuat kebijakan dan pelaksana proyek kini memiliki alat bantu analitis yang lebih tepat sasaran dalam mengelola risiko dan memfasilitasi alih teknologi.
Sumber
Kiki Mohammad Iqbal. (2020). Pemodelan Keterkaitan Antar Faktor Kendala Penerapan Teknologi Terbatas (Pilot Project) Bidang Jalan Melalui Penyedia Jasa. Universitas Katolik Parahyangan.
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 05 Mei 2025
Pendahuluan: Inovasi Tak Berdiri Sendiri, Budaya Menentukan
Di tengah dorongan global menuju digitalisasi dan efisiensi, sektor konstruksi perlahan tapi pasti mengadopsi teknologi baru seperti Building Information Modeling (BIM), Internet of Things (IoT), hingga Virtual Reality (VR). Namun, adopsi teknologi ini tidak terjadi dalam ruang hampa—faktor budaya memainkan peran penting yang kerap diabaikan.
Amir Bashir, melalui tesisnya di Anadolu University, menawarkan analisis komparatif lintas budaya tentang bagaimana insinyur konstruksi di dua negara berkembang—India dan Turki—menanggapi dan mengadopsi teknologi canggih. Penelitian ini menggabungkan Technology Acceptance Model (TAM) dengan dimensi budaya Hofstede, menghasilkan pemetaan perilaku adopsi teknologi yang dipengaruhi oleh karakteristik individu dan norma sosial.
Latar Belakang: Industri 4.0 dan Tantangan Adopsi Teknologi di Negara Berkembang
Revolusi Industri 4.0 mendorong transformasi digital di berbagai sektor, termasuk konstruksi. Namun, di banyak negara berkembang, proses ini dihambat oleh keterbatasan sumber daya manusia, infrastruktur, dan terutama—budaya kerja. Teknologi hanya efektif bila diterima dan digunakan secara aktif oleh penggunanya.
India dan Turki dipilih sebagai objek penelitian karena perbedaan signifikan dalam empat dimensi budaya menurut Hofstede:
Perbedaan ini diprediksi memengaruhi cara insinyur merespons teknologi baru di lingkungan kerja mereka.
Metodologi: Gabungan TAM, SEM, dan Hofstede
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif berbasis Structural Equation Modeling (SEM) dan menyebarkan 600 kuesioner kepada insinyur di India dan Turki. Dari 462 responden yang valid (214 India, 248 Turki), analisis dilakukan untuk menguji:
Selain itu, dimensi budaya Hofstede dijadikan variabel moderasi untuk menguji sejauh mana budaya individu mempengaruhi niat dan perilaku penggunaan teknologi.
Hasil Kunci: Perbedaan Lintas Budaya yang Signifikan
Temuan Utama:
Studi Kasus Nyata:
Di India, sejumlah perusahaan konstruksi mengadopsi BIM berbasis cloud untuk efisiensi desain, namun sering kali hanya digunakan oleh segelintir staf teknis.
Di Turki, adopsi VR dalam pelatihan keselamatan meningkat berkat dukungan pemerintah lokal dan lembaga pelatihan vokasi.
Analisis Tambahan: Dimensi Budaya sebagai Katalis atau Penghambat?
1. Power Distance:
Tingginya power distance di kedua negara menciptakan hirarki ketat, yang bisa menghambat inovasi. Di Turki, insinyur cenderung menunggu perintah dari atasan sebelum mencoba teknologi baru.
2. Uncertainty Avoidance:
Turki memiliki tingkat ketidakpastian yang tinggi (85), yang mendorong resistensi terhadap teknologi baru yang dianggap "belum terbukti". Hal ini menjelaskan perlunya pelatihan intensif dan proof of concept yang kuat.
3. Individualism:
India cenderung lebih individualistis, memungkinkan insinyur mengambil keputusan secara mandiri. Namun, ini juga menciptakan tantangan dalam kolaborasi tim lintas departemen.
Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya
Berbeda dengan riset teknologi sebelumnya yang lebih fokus pada aspek teknis atau organisasi, tesis ini menyoroti aspek psikososial dan budaya. Pendekatan ini mirip dengan studi Srite dan Karahanna (2006) yang juga mengadaptasi TAM dengan dimensi budaya pada tingkat individu. Namun, Amir Bashir melangkah lebih jauh dengan menggabungkan model TAM, TAM 2, dan UTAUT secara sistematis.
Implikasi Praktis
Untuk Industri Konstruksi:
Untuk Pemerintah dan Regulator:
Kritik dan Keterbatasan
Kelebihan:
Kelemahan:
Saran:
Penelitian lanjutan dapat memperluas cakupan ke wilayah Asia Tenggara atau Afrika untuk menguji generalisasi model. Selain itu, perlu eksplorasi faktor gender dan usia yang lebih mendalam dalam konteks sosial patriarkal.
Kesimpulan: Merancang Teknologi dengan Lensa Budaya
Tesis ini membuktikan bahwa adopsi teknologi bukan hanya soal efisiensi dan efektivitas, tetapi juga dipengaruhi oleh struktur sosial dan nilai budaya. Di era globalisasi, pemahaman lintas budaya menjadi prasyarat dalam mendesain sistem teknologi yang inklusif dan adaptif.
Model integratif yang ditawarkan dapat menjadi acuan bagi praktisi dan pembuat kebijakan untuk merancang strategi implementasi teknologi yang responsif terhadap keragaman budaya.
Sumber
Bashir, Amir. (2019). Cross-Cultural Comparison in the Adoption of Emerging Technologies in Construction Industry. Anadolu University.
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 05 Mei 2025
Pengantar: Menyambut Tantangan Abadi Konstruksi Digital
Industri konstruksi Indonesia telah menjadi pilar pembangunan nasional, tetapi peran aspek rekayasa dan teknologi masih terpinggirkan di tengah dominasi manajemen dan regulasi. Dalam orasi ilmiahnya, Prof. Biemo W. Soemardi menggarisbawahi urgensi reposisi aspek teknologi sebagai inti penggerak industri konstruksi ke depan.
Sebagai negara berkembang dengan infrastruktur yang terus tumbuh, Indonesia dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana bertransformasi dari pengguna teknologi menjadi pencipta dan pengembang teknologi konstruksi. Dalam paparan ini, Prof. Biemo tidak hanya menawarkan tinjauan historis, tetapi juga memetakan langkah strategis menuju lanskap konstruksi masa depan.
Kontribusi Strategis Industri Konstruksi terhadap Ekonomi Nasional
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa kontribusi sektor konstruksi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia meningkat dari 7% pada awal 2000-an menjadi 10,12% pada 2019. Ini menunjukkan bahwa konstruksi bukan hanya pelengkap, tapi juga penggerak utama ekonomi.
Namun, ironisnya, adopsi teknologi konstruksi modern masih lamban. Banyak proyek besar tetap bergantung pada teknologi asing, seperti tunnel boring machine, launching gantry, dan teknologi struktur baja. Kondisi ini menciptakan ketergantungan yang berisiko secara strategis dan ekonomi.
Refleksi Historis: Dari Borobudur hingga Proyek Kereta Cepat
Prof. Biemo menelusuri jejak teknologi konstruksi di Indonesia dari era Candi Borobudur, masa penjajahan Belanda, hingga masa modern. Setiap periode memperlihatkan bagaimana inovasi lokal dan adopsi luar negeri memainkan peran penting:
Tantangan Kunci: Ketimpangan Antara Regulasi dan Teknologi
Meskipun regulasi dan manajemen konstruksi berkembang pesat—ditandai dengan munculnya UU Jasa Konstruksi dan pembentukan LPJK—penguatan sisi teknologinya justru stagnan. Banyak perguruan tinggi lebih fokus pada manajemen proyek daripada inovasi rekayasa.
Catatan kritis: LPJK, yang diharapkan menjadi katalisator inovasi industri, justru lebih sibuk pada isu administratif seperti sertifikasi, bukan pada pengembangan teknologi atau pembentukan ekosistem inovatif berbasis riset.
Teknologi Konstruksi: Lanskap, Realita, dan Peluang
1. Industrialisasi: Beton Pracetak dan Modularisasi
Meski sudah dikenal sejak 1970-an, adopsi teknologi beton pracetak dan baja modular masih terbatas pada proyek-proyek skala besar. Keterbatasan rantai pasok dan mahalnya material baja menjadi kendala nyata. Namun, proyek IKN mulai menunjukkan potensi konstruksi modular sebagai masa depan efisiensi.
2. Green Construction dan Sustainability
Konsep konstruksi berkelanjutan (KB) telah masuk kebijakan sejak 2011 dan diperkuat oleh Permen PUPR No. 5 Tahun 2015. Namun, masih sebatas proyek-proyek PUPR dan belum mengakar di sektor swasta. Program greenship oleh GBCI pun dinilai belum menyentuh aspek konstruksi secara utuh—terlalu fokus pada aspek arsitektural bangunan, bukan proses konstruksinya.
3. Teknologi Digital: BIM dan PMIS
Building Information Modeling (BIM) kini mulai digunakan pada proyek-proyek nasional seperti Tol Rengat–Pekanbaru.
Project Management Information System (PMIS) mampu memantau progres, efisiensi, dan risiko, namun penggunaannya belum merata di seluruh proyek pemerintah.
Arah Masa Depan: Strategi Penguatan Kerekayasaan Nasional
Langkah 1: Bangun Lanskap Teknologi Konstruksi
Langkah 2: Transformasi Pendidikan Tinggi
Langkah 3: Kolaborasi Trilateral: Pemerintah–Kampus–Industri
Kritik dan Analisis Tambahan
Kelebihan Orasi:
Kelemahan:
Rekomendasi lanjutan: Riset lanjutan bisa fokus pada benchmarking Indonesia dengan negara seperti Malaysia, Singapura, atau Vietnam dalam adopsi teknologi dan ekosistem inovasinya.
Penutup: Saatnya Indonesia Menjadi Produsen Teknologi Konstruksi
Orasi ilmiah ini adalah panggilan strategis agar Indonesia beralih dari pengguna teknologi menjadi produsen dan pengembang teknologi konstruksi. Di tengah tekanan global, bonus demografi, dan proyek infrastruktur besar seperti IKN, Indonesia tak punya pilihan selain membangun daya saing berbasis teknologi.
Sebagaimana disampaikan Prof. Biemo, sejarah membuktikan bahwa bangsa ini mampu menciptakan karya konstruksi agung sejak ribuan tahun lalu. Kini saatnya sejarah itu disambung kembali dengan semangat inovasi, bukan hanya repetisi.
Sumber
Prof. Biemo W. Soemardi. (2024). Rekayasa dan Teknologi Konstruksi di Indonesia: Perkembangan dan Peluang di Masa Mendatang. ITB Press.
ISBN: 978-623-297-404-3
e-ISBN: 978-623-297-405-0
Dapat diakses melalui www.itbpress.id
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 April 2025
Pendahuluan
Proyek konstruksi sering kali menghadapi tantangan besar terkait pengelolaan waktu, biaya, dan kualitas. Dalam upaya meminimalisir penyimpangan yang bisa terjadi pada aspek-aspek tersebut, pengendalian yang tepat menjadi kunci utama. Salah satu metode yang sering digunakan untuk mengelola kinerja proyek konstruksi adalah Earned Value Method (EVM). Dalam penelitian ini, Agus Sasmita mengkaji penggunaan metode EVM dan perbandingannya dengan metode konvensional dalam pengendalian biaya dan waktu pada proyek infrastruktur di Jakarta Garden City.
Metode dan Pendekatan
Sasmita membandingkan dua pendekatan dalam mengendalikan kinerja proyek: metode manajemen biaya konvensional dan EVM. Pada proyek yang dianalisis, yaitu pekerjaan jalan dan saluran utama di Row 46, Jakarta Garden City, penulis menggunakan data primer dan sekunder yang diperoleh melalui observasi langsung dan dokumen proyek. Penelitian ini tidak hanya mengandalkan pengumpulan data tetapi juga melakukan analisis mendalam tentang kinerja biaya dan jadwal melalui kedua metode tersebut.
Penerapan Earned Value Method
Metode EVM mengandalkan tiga indikator utama:
Dalam penelitian ini, Sasmita menghitung indikator-indikator tersebut pada minggu ke-7 dan minggu ke-16. Pada minggu ke-7, proyek menunjukkan schedule underrun (kemajuan lebih cepat dari jadwal) meskipun biaya yang dikeluarkan lebih besar dari rencana (cost overrun). Sebaliknya, pada minggu ke-16, proyek mengalami schedule overrun (keterlambatan) dan biaya yang dikeluarkan lebih besar dari yang direncanakan.
Analisis Kinerja Proyek
1. Biaya dan Jadwal
Analisis dilakukan dengan membandingkan biaya rencana dan biaya aktual, serta mengukur deviasi dari kurva S. Hasilnya menunjukkan bahwa pada minggu ke-7 terjadi percepatan dengan pengeluaran yang lebih tinggi dari estimasi awal, sedangkan minggu ke-16 mengalami keterlambatan yang signifikan.
2. Varians dan Indeks Kinerja
Namun pada minggu ke-16, terjadi kemunduran:
Estimasi Biaya dan Waktu Penyelesaian
Perkiraan biaya penyelesaian proyek (EAC) dihitung dengan berbagai alternatif.
EAC = Rp 13.299.403.652,01
Time Estimate (TE) = 25 minggu
EAC = Rp 10.533.998.688,47
TE = 32 minggu
Nilai EAC yang lebih tinggi dibandingkan dengan BAC (Budget at Completion) menunjukkan indikasi overbudget yang signifikan bila tidak ada koreksi.
Kritik dan Komentar Tambahan
Meskipun EVM sangat kuat dalam memberikan prediksi biaya dan waktu, metode ini tetap memerlukan input data yang akurat dan pembaruan secara berkala. Kelemahan dari metode konvensional sangat terlihat dalam studi ini karena tidak memberikan gambaran proyeksi masa depan. Dalam praktik industri konstruksi saat ini, EVM sudah mulai menjadi standar dalam proyek skala besar dan infrastruktur negara karena kemampuannya menganalisis risiko sejak dini.
Contoh penerapan serupa terlihat pada proyek perumahan di Penajam Paser Utara (Khairunnisa dkk., 2020), di mana metode EVM terbukti mampu memitigasi pembengkakan biaya di tengah kenaikan harga material secara global.
Kesimpulan
Dari hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa metode Earned Value Method lebih unggul dibandingkan metode manajemen biaya konvensional dalam memantau dan mengendalikan kinerja proyek. EVM memungkinkan pengelola proyek untuk mengetahui posisi biaya dan jadwal secara akurat, serta memperkirakan biaya dan waktu penyelesaian akhir proyek dengan lebih realistis. Dengan penerapan yang konsisten, EVM mampu mencegah kerugian yang besar dan meningkatkan efisiensi eksekusi proyek konstruksi.
Sumber Artikel:
Sasmita, A. (2024). Analisis Kinerja Proyek Konstruksi Menggunakan Metode Nilai Hasil (Earned Value Methode) (Studi Kasus Proyek Pekerjaan Jalan dan Saluran Utama Row 46 Segemen II Jakarta Garden City). Jurnal Ilmiah Global Education, 5(3), 2413–2427.
DOI: https://doi.org/10.55681/jige.v5i3.3411