Komunikasi Krisis

Komunikasi NDMA Pakistan: Bagaimana Media Sosial Menjadi Pilar Utama dalam Memitigasi Krisis Banjir 2022 dan Merumuskan Ketahanan Bencana Digital

Dipublikasikan oleh Raihan pada 03 November 2025


Pendahuluan: Transformasi Komunikasi Krisis di Era Digital

Kemanusiaan dihadapkan pada serangkaian bencana, baik yang disebabkan oleh alam maupun ulah manusia, yang berpotensi menimbulkan kerugian besar pada kehidupan, properti, dan infrastruktur. Krisis banjir Pakistan tahun 2022 menjadi studi kasus penting mengenai kerentanan nasional, yang tidak hanya menghasilkan masalah sosio-ekonomi tetapi juga menyoroti keterbatasan kapasitas finansial Pakistan untuk pemulihan dan rekonstruksi. Situasi ini diperparah oleh kegagalan media tradisional dalam memberikan liputan yang tepat, di mana fokus cenderung pada politisasi situasi daripada pelaporan masalah real-time di lapangan.

Di tengah tantangan ini, penelitian ini bertujuan untuk secara definitif mengartikulasikan pentingnya dan peran media sosial sebagai medium komunikasi antara Otoritas Manajemen Bencana Nasional (NDMA) Pakistan dan masyarakat yang terdampak. Penelitian ini menggunakan metodologi riset sekunder, menganalisis konten yang dipublikasikan oleh NDMA di dua platform utama, Facebook (21 unggahan) dan Twitter (26 unggahan), melalui metode Direct Content Analysis.

Jalur Logis Temuan: Aplikasi Teori dalam Respons Darurat

Jalur logis penelitian bermula dari identifikasi masalah komunikasi di tengah krisis besar menuju validasi efektivitas kerangka kerja teoritis dalam konteks darurat digital. Temuan menunjukkan bahwa media sosial memainkan peran penting dalam menyediakan informasi yang relevan dan cepat tentang area yang terdampak bencana.

Secara krusial, penelitian ini memvalidasi keberhasilan NDMA dalam menerapkan Situational Crisis Communication Theory (SCCT) dan Crisis Simulation Model selama krisis. NDMA berhasil mengomunikasikan krisis banjir dengan memposting setiap detail situasi dan tindakan administratif di platform media sosial. Komunikasi ini terstruktur di bawah empat tema utama: Prakiraan Banjir (Flood Forecasting), Dukungan Darurat (Emergency Support), Dukungan Administratif (Administrative Support), dan Dukungan Manajemen Krisis (Crisis Management Support).

Komunikasi krisis yang efektif melalui media sosial ini merupakan faktor penentu dalam memfasilitasi dukungan internasional. Secara deskriptif, temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara manajemen komunikasi krisis berbasis media sosial dan mobilisasi dana bantuan darurat, ditandai dengan peningkatan dana bantuan banjir sebesar 13.7% pada akhir Oktober 2022, pasca manajemen komunikasi melalui media sosial. Angka ini sangat penting untuk upaya pemulihan, mengingat total kerusakan yang dialami Pakistan mencapai $14,906 juta, kerugian mencapai $15,233 juta, dan kebutuhan rekonstruksi serta pemulihan sebesar $16,261 juta. Dampak sosio-ekonomi dari bencana ini sangat nyata, di mana tingkat kemiskinan nasional meningkat dari 3.7% menjadi 4.0%. Oleh karena itu, kemampuan untuk memitigasi kesenjangan finansial yang besar ini melalui komunikasi digital menunjukkan potensi kuat media sosial untuk objek penelitian baru dalam pembiayaan bencana.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama penelitian ini adalah menjembatani teori komunikasi krisis dengan implementasi praktis di lingkungan bencana alam skala besar. Dengan meneliti postingan NDMA, studi ini memberikan contoh empiris yang mengukuhkan:

  1. Validasi SCCT dalam Krisis Nyata: NDMA mengimplementasikan secara fungsional empat komponen utama SCCT—bolster, deny, diminish, dan rebuild—untuk mengelola seluruh siklus manajemen bencana (mulai dari mitigasi hingga pemulihan). Ini membuktikan bahwa SCCT, yang awalnya dirancang untuk konteks korporat, dapat diadaptasi secara efektif untuk komunikasi otoritas publik selama bencana alam.
  2. Peran Situational Awareness Skala Besar: Penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari 71.70 juta orang, atau 31.16% dari populasi (berdasarkan data pemerintah 2023), mendapatkan manfaat dari strategi komunikasi yang efektif melalui media sosial. Hal ini menggarisbawahi peran media sosial dalam menciptakan kesadaran situasional (situational awareness) dan memfasilitasi upaya kolektif di tengah krisis, sebuah proses yang lebih cepat dibandingkan saluran tradisional.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun temuan ini penting, penelitian ini memiliki keterbatasan metodologis dan menghasilkan pertanyaan terbuka krusial untuk agenda riset masa depan:

  1. Keterbatasan Sampel dan Generalisasi: Studi ini mengandalkan metodologi riset sekunder dan analisis konten pada unggahan Facebook dan Twitter. Kesimpulan tentang "orang-orang yang terdampak banjir" secara eksplisit hanya merujuk pada individu di Pakistan yang menggunakan Facebook dan Twitter. Keterbatasan ini menghasilkan bias sampel yang mengabaikan dampak komunikasi (atau kekurangannya) pada populasi yang tidak menggunakan media sosial, terutama di daerah pedesaan yang paling terdampak dan mengalami masalah akses layanan.
  2. Ancaman Misinformasi dan Pertumbuhan Platform: Kekuatan media sosial sebagai alat komunikasi juga merupakan kelemahan terbesarnya, yaitu risiko melebih-lebihkan berita, menciptakan kepanikan, dan menyebarkan informasi palsu (fake information) yang terbukti mengintensifkan selama periode krisis. Dengan proyeksi pertumbuhan penggunaan platform media sosial di Pakistan sebesar 5.04% dari tahun 2022 hingga 2027, pertanyaan terbuka terbesar adalah bagaimana NDMA dapat mengembangkan mekanisme penyaringan dan mitigasi yang berkelanjutan untuk melawan gelombang misinformasi yang terus meningkat.
  3. Integrasi Data untuk Penilaian Sektor Mikro: Penelitian mengakui bahwa kerangka kerja Post Disaster Needs Assessment (PDNA) saat ini belum memadai untuk penilaian tingkat sektor. Dengan kerugian yang sangat besar pada sektor-sektor produktif (misalnya, Pertanian, Pangan, Peternakan, dan Perikanan yang menyumbang 60.68% dari total kerugian), pertanyaan terbuka muncul mengenai bagaimana konten media sosial, yang kaya akan data dari lapangan (ground-based data), dapat diubah menjadi metrik terperinci untuk penilaian kebutuhan (needs assessment) yang lebih granular dan berorientasi pada sektor mikro.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan untuk Komunitas Akademik

Berdasarkan temuan yang menggarisbawahi efektivitas komunikasi krisis NDMA sekaligus menyoroti kesenjangan dalam jangkauan dan risiko disinformasi, berikut adalah lima arah riset ke depan yang ditujukan untuk akademisi, peneliti, dan penerima hibah:

1. Eksplorasi Jangkauan dan Dampak Komunikasi Bencana di Area Minim Akses

Justifikasi Ilmiah: Temuan menunjukkan bahwa manfaat komunikasi digital terbatas pada pengguna Facebook dan Twitter. Padahal, dampak krisis sangat parah di daerah yang sudah menderita malnutrisi, kurangnya akses air minum, dan keterbatasan fasilitas kesehatan. Konteks baru harus mengatasi bias ini. Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus mengadopsi studi kualitatif mendalam (wawancara dan focus group discussion) dengan populasi non-pengguna media sosial di provinsi yang paling parah terdampak, seperti Sindh atau Balochistan, yang memiliki populasi sekolah yang sangat terdampak. Variabel baru yang harus diukur adalah efektivitas saluran komunikasi non-digital (seperti radio, telepon seluler biasa, atau pengeras suara komunitas) dan peran pemimpin komunitas sebagai perantara informasi NDMA. Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Untuk menjamin kesiapsiagaan (preparedness) dan mitigasi risiko yang inklusif, penting untuk mengidentifikasi saluran yang paling dipercaya dan paling menjangkau untuk 68.84% populasi yang tidak secara eksplisit dihitung sebagai penerima manfaat komunikasi media sosial NDMA.

2. Model Prediktif dan Mitigasi Disinformasi Berbasis SCCT

Justifikasi Ilmiah: Bahaya misinformasi yang meningkat selama krisis sangat kontras dengan upaya komunikasi yang kredibel dari NDMA. Dengan pertumbuhan platform yang diproyeksikan, risiko ini akan meningkat. Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus mengembangkan model Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence) atau Natural Language Processing (NLP) untuk menganalisis dan mengklasifikasikan postingan media sosial selama krisis. Kerangka kerja ini akan berfokus pada komponen SCCT "Deny" dan "Diminish" untuk mengidentifikasi dan menandai narasi yang berpotensi menimbulkan disinformasi atau kepanikan. Variabel baru adalah skor kepercayaan publik (Public Trust Score) dan laju viralitas (Virality Rate) narasi krisis yang dipublikasikan oleh sumber resmi dan tidak resmi, diukur dalam jam pertama pasca-publikasi. Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Pembentukan alat operasional untuk NDMA yang dapat secara otomatis menerapkan strategi SCCT untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan merespons informasi palsu secara real-time, sehingga melindungi validitas dan integritas komunikasi krisis.

3. Analisis Longitudinal Keberlanjutan Komunikasi Pasca-Krisis (Tahap Rekonstruksi)

Justifikasi Ilmiah: Meskipun NDMA berhasil pada fase response darurat , siklus manajemen bencana menuntut upaya berkelanjutan pada fase pemulihan dan rekonstruksi. Konteks baru harus mengukur konsistensi pesan dalam jangka panjang. Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Melakukan studi kasus jangka panjang (longitudinal case study) selama 12–24 bulan pasca-banjir, berfokus pada konten NDMA di tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Variabel baru adalah korelasi antara frekuensi dan spesifisitas postingan tentang bantuan/pemulihan (misalnya, jumlah sekolah yang dibangun kembali atau bantuan ternak yang disalurkan) dengan data pemulihan aktual dari badan mitra (ADB, World Bank). Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Untuk memastikan akuntabilitas (accountability) dan transparansi, penelitian ini akan membuktikan bagaimana komunikasi digital dapat mempertahankan dukungan dan momentum pendanaan selama bertahun-tahun pasca-bencana, alih-alih hanya berfokus pada bantuan awal.

4. Uji Coba Lintas-Kontekstual SCCT untuk Respon Bencana Non-Banjir

Justifikasi Ilmiah: Keberhasilan penerapan SCCT dan model simulasi krisis hanya terbukti dalam konteks banjir Pakistan 2022. Untuk membangun kerangka kerja manajemen bencana nasional yang kuat, model ini harus diuji ketahanannya dalam berbagai jenis krisis. Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Menerapkan kerangka kerja SCCT yang sama pada studi kasus bencana alam atau buatan manusia yang berbeda di Pakistan (misalnya, krisis kesehatan masyarakat atau potensi gempa bumi). Konteks baru ini memerlukan perbandingan efektivitas strategi komunikasi antara NDMA dan otoritas sub-nasional, mengukur tingkat kepatuhan publik terhadap instruksi yang dikeluarkan di media sosial. Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Untuk memitigasi risiko di masa depan, penelitian ini harus menetapkan pedoman standar operasional berbasis teori krisis untuk NDMA yang fleksibel dan dapat diterapkan pada berbagai ancaman nasional, sehingga mengurangi ketergantungan pada improvisasi.

5. Integrasi Data Media Sosial untuk Penilaian Kebutuhan Sektor Mikro yang Akurat

Justifikasi Ilmiah: PDNA yang ada tidak memadai untuk penilaian tingkat sektor, yang mana sangat penting untuk sektor produktif seperti pertanian yang menanggung kerugian paling besar. Media sosial adalah gudang data yang belum sepenuhnya dimanfaatkan untuk intelijen bencana. Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Mengembangkan kerangka kerja (metode kualitatif dan kuantitatif) untuk mengubah data mentah dari platform media sosial (misalnya, postingan yang memohon bantuan spesifik di tingkat sub-distrik) menjadi metrik yang dapat digunakan untuk menilai kebutuhan sektor mikro. Variabel baru adalah koefisien korelasi antara permintaan bantuan spesifik (misalnya, benih tanaman, pakan ternak, atau perbaikan irigasi) yang diekstraksi dari platform dan alokasi sumber daya NDMA. Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Penelitian ini akan menciptakan template perencanaan darurat berbasis data yang dapat digunakan oleh para pemangku kepentingan untuk mendukung sektor-sektor yang paling membutuhkan, memastikan pemulihan yang berorientasi pada pembangunan, bukan hanya bantuan darurat.

Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif

Temuan penelitian ini dengan jelas menyoroti bahwa media sosial lebih dari sekadar saluran pengumuman; ia adalah mekanisme keterlibatan real-time yang mampu meningkatkan kesadaran publik, mempercepat mobilisasi sumber daya (terbukti dari peningkatan dana bantuan), dan menopang komunikasi kelembagaan selama masa-masa paling genting. Keberhasilan NDMA dalam menerapkan kerangka kerja teoritis modern (SCCT) menunjukkan potensi jangka panjang untuk mentransformasi respons bencana dari model statis menjadi sistem yang dinamis dan tahan banting.

Namun, untuk memanfaatkan sepenuhnya potensi ini dan mengatasi tantangan disinformasi serta keterbatasan jangkauan, dibutuhkan upaya akademik dan operasional yang lebih lanjut. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi di luar batas Pakistan, termasuk Bank Dunia (World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (ADB), yang merupakan mitra utama dalam PDNA, serta institusi riset terkemuka di bidang ilmu data dan komunikasi krisis (X, Y, Z) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil. Kolaborasi ini sangat penting untuk membangun kerangka kerja digital yang tidak hanya merespons krisis tetapi juga merumuskan kebijakan pembangunan dan ketahanan nasional yang inklusif, terutama saat Pakistan bergulat dengan peningkatan angka kemiskinan dan kebutuhan finansial yang jauh melampaui sumber daya yang ada.

Baca paper aslinya di sini: Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Komunikasi NDMA Pakistan: Bagaimana Media Sosial Menjadi Pilar Utama dalam Memitigasi Krisis Banjir 2022 dan Merumuskan Ketahanan Bencana Digital

Komunikasi Krisis

Modal Sosial dan Kegagalan Komunikasi: Pelajaran dari Banjir Bandang Matina 2011 untuk Ketahanan Urban di Davao City

Dipublikasikan oleh Raihan pada 23 Oktober 2025


Resensi Mendalam: Membangun Ketahanan Sistemik dalam Menghadapi Kerentanan Banjir di Perkotaan

Penelitian kasus berjudul "Community Resilience to Address Urban Vulnerabilities: A Case Study of Flood-prone Communities" oleh Cayamanda & Lopez (2022) mengeksplorasi isu kritis mengenai kerentanan perkotaan terhadap bencana alam, khususnya banjir, dan peran penting yang dimainkan oleh ketahanan komunitas. Melalui studi kualitatif terhadap banjir bandang Matina 2011 di Davao City, Filipina, paper ini secara cermat menguji bagaimana komunikasi risiko dan modal sosial memengaruhi respons komunitas, kelompok, dan institusi terhadap bahaya banjir.

Davao City, yang teridentifikasi sebagai wilayah rawan banjir meskipun berada di zona yang relatif bebas topan, menyediakan konteks empiris yang kaya. Fokusnya adalah pada tiga barangay yang sangat padat penduduk dan memiliki banyak institusi/bisnis—Matina Crossing, Matina Pangi, dan Matina Aplaya—yang secara kolektif menyumbang 61,57% dari total keluarga yang terkena dampak banjir bandang 2011. Dengan menggunakan metode kualitatif yang melibatkan analisis dokumen, wawancara informan kunci, dan diskusi kelompok terfokus, serta didukung oleh Model Crunch dari Wisner et al. (2004) , penelitian ini berhasil mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kerentanan dan dinamika sosial dalam respons bencana.

Alur Logis Temuan Penelitian

Penelitian ini memetakan perjalanan logis dari kerentanan struktural menuju respons pasca-bencana. Tahap pra-bencana menunjukkan bahwa wilayah studi adalah zona perkotaan padat yang terletak di area risiko banjir (Zona Mitigasi Banjir), di mana dua sungai utama, Sungai Pangi dan Sungai Davao, melintasi daerah yang padat penduduk. Bencana itu sendiri—banjir bandang Juni 2011 yang dipicu oleh Inter-tropical Convergence Zone (ITCZ) dan hujan lebat selama tiga jam di daerah hulu—menghasilkan banjir yang merusak, menelan total 29 korban jiwa (mayoritas perempuan dan anak-anak).

Fase pasca-bencana mengungkapkan kontradiksi utama:

  • Kekuatan Modal Sosial: Terdapat tingkat modal sosial yang kuat yang ditunjukkan oleh respons cepat dan kolektif. Berbagai lembaga pemerintah (misalnya, Phil Coast Guard, 911 Urban Search & Rescue), non-pemerintah (misalnya, Knighthawk Foundation), dan organisasi berbasis gereja dengan segera memobilisasi upaya evakuasi, pertolongan pertama, dan distribusi bantuan dalam 6 hingga 24 jam pertama. Tingkat kepercayaan yang relatif kuat terhadap lembaga pemerintah kota, khususnya Central 911, menjadi keuntungan signifikan dalam memobilisasi respons yang cepat dan efektif.
  • Kelemahan Komunikasi Risiko: Meskipun respons cepat, insiden tersebut tidak mencapai nol-korban. Laporan menunjukkan adanya kurangnya protokol manajemen komunikasi dan koordinasi yang buruk antar-lembaga respons. Kurangnya kesadaran dan tingkat persepsi risiko yang rendah di kalangan komunitas, ditambah dengan 'peleburan informasi' (information melt down), membuat komunitas rentan, dan gap enam jam sebelum respons awal tiba menjadi krusial.
  • Faktor-faktor Kontribusi Lainnya: Faktor-faktor yang memperburuk dampak bencana meliputi curah hujan yang sangat tinggi (60 mm antara pukul 10 malam dan 1 pagi), perluasan aktivitas pertanian di daerah hulu yang memengaruhi ekologi tanah, pembangunan di sepanjang bantaran sungai yang mempersempit saluran air, dan sedimentasi (pendangkalan) yang menyebabkan air Matina-Pangi berbalik saat air pasang.

Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara modal sosial dan respons cepat — menyoroti potensi kuat untuk objek penelitian baru dalam mengkuantifikasi dimensi relasional dan struktural (seperti yang diusulkan oleh Nahapiet dan Ghoshal) dari modal sosial pasca-bencana. Namun, interaksi antara koordinasi antar-lembaga dan protokol komunikasi yang tidak memadai menunjukkan bahwa modal sosial saja tidak cukup untuk mengurangi korban jiwa, terutama di antara kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Paper ini memberikan kontribusi signifikan terhadap literatur tentang manajemen bencana perkotaan, khususnya di negara-negara berkembang, dengan melakukan dua hal:

  1. Validasi Konseptual-Empiris Modal Sosial: Secara empiris memvalidasi konsep bahwa modal sosial yang kuat—diwujudkan melalui jejaring kepercayaan, norma, dan asosiasi antar-lembaga dan komunitas—adalah penggerak utama respons cepat dan pemulihan pasca-bencana. Ini memperkuat literatur yang menganjurkan pergeseran fokus intervensi bencana dari struktur fisik/teknis ke pembangunan kohesi sosial.
  2. Identifikasi Kesenjangan Komunikasi Krisis: Meskipun memuji kekuatan modal sosial, paper ini dengan tegas mengidentifikasi manajemen komunikasi dan sinkronisasi protokol sebagai titik kegagalan kritis. Temuan ini memperluas wacana tentang peran komunikasi dalam intervensi bencana, menekankan bahwa bukan hanya kesadaran (awareness) yang penting, tetapi juga kejelasan, kredibilitas, dan adaptasi pesan krisis (consensus communication dan crisis communication)—seperti yang disorot oleh penelitian sebelumnya.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Keterbatasan utama penelitian ini adalah sifatnya sebagai studi kasus kualitatif. Meskipun kaya akan deskripsi dan dinamika sosial, temuan ini mungkin tidak dapat digeneralisasikan ke semua konteks perkotaan yang rentan banjir.

Beberapa pertanyaan terbuka yang muncul meliputi:

  1. Pengukuran Kuantitatif: Sejauh mana korelasi antara modal sosial yang tinggi dan tingkat korban yang relatif lebih rendah—meskipun tidak nol—di Matina dapat diukur dan dikuantifikasi untuk mengembangkan indeks prediktif?
  2. Model Transaksional Komunikasi: Model komunikasi spesifik apa yang harus diusulkan untuk mengatasi "masalah pada tingkat transaksi antara lembaga/institusi terkait dan tingkat komunitas lokal" yang teridentifikasi dalam penelitian ini dan penelitian terkait lainnya?
  3. Adaptasi Lintas Batas: Mengingat isu multi-dinamika dan lintas batas (misalnya, masalah ekosistem sungai yang mencakup batas-batas geografis lokal) , bagaimana mekanisme inter-pemerintahan dan ขขkoordinasi lintas batas dapat diinstitusionalisasi secara efektif untuk mengintegrasikan adaptasi berbasis ekosistem (EBA) dan komunitas (CBA)?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Resensi ini merekomendasikan lima jalur riset lanjutan, yang ditujukan untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah, untuk memperluas kontribusi paper ini ke tingkat sistemik dan terukur.

  1. Studi Kuantitatif Korelasi Modal Sosial-Resiliensi (Variabel Struktural):
    • Basis Temuan: Penelitian ini menyimpulkan bahwa modal sosial yang kuat exhibited oleh komunitas, institusi, dan kelompok berkontribusi pada respons darurat yang cepat.
    • Riset Baru: Diperlukan studi kuantitatif yang mengadopsi model regresi untuk menguji hubungan antara dimensi struktural modal sosial (misalnya, kepadatan jaringan organisasi, frekuensi interaksi inter-lembaga) dan hasil resiliensi (misalnya, kecepatan pemulihan infrastruktur, pengurangan biaya bencana). Variabel independen harus mencakup network ties dan configurations antar-lembaga, sementara variabel dependennya adalah waktu pemulihan rata-rata pasca-bencana.
    • Justifikasi Ilmiah: Penggunaan kerangka Nahapiet dan Ghoshal dalam konteks bencana memungkinkan pengembangan metrik yang dapat diskalakan untuk memandu investasi hibah riset dalam pembangunan kapasitas sosial.
  2. Desain dan Pengujian Model Komunikasi Risiko Transaksional Komunitas-Sentris:
    • Basis Temuan: Kurangnya protokol manajemen komunikasi dan koordinasi antar-lembaga mengakibatkan 'peleburan informasi' dan memicu kerentanan.
    • Riset Baru: Mengembangkan dan menguji model komunikasi risiko dua arah (transaksional) baru, yang bergerak melampaui penyebaran informasi satu arah. Model ini harus fokus pada variabel seperti kejelasan pesan (terkait dengan latar belakang sosio-kultural dan bahasa lokal), kredibilitas sumber, dan umpan balik komunitas secara real-time. Metodologi harus mencakup studi intervensi dengan grup kontrol di daerah Matina yang berbeda.
    • Justifikasi Ilmiah: Hal ini sejalan dengan perlunya "melokalisasi" pendekatan pada kampanye dan komunikasi bencana dan memodifikasi kebijakan komunikasi, seperti yang disarankan oleh temuan (Zhang et al., 2007; Terry & Fellows, 2008) yang dibahas dalam paper.
  3. Analisis Kerentanan Diferensial dan Dampak Gender-Spesifik:
    • Basis Temuan: Kelompok yang paling rentan (perempuan dan anak-anak) adalah mayoritas korban jiwa (29 kasus).
    • Riset Baru: Melakukan analisis kerentanan mendalam yang secara eksplisit memasukkan perspektif gender dan usia (anak-anak, lansia) sebagai variabel kunci dalam Modifikasi Model Crunch (Vu Minh & Smyth, 2012). Riset ini harus menguji bagaimana faktor-faktor non-struktural (misalnya, peran pengasuhan, hambatan mobilitas) dan struktural (misalnya, akses ke informasi, pendapatan) berinteraksi untuk meningkatkan kerentanan di antara sub-populasi ini.
    • Justifikasi Ilmiah: Rekomendasi ini mendukung Prioritas Aksi Kerangka Kerja Hyogo (2005–2015) untuk mengintegrasikan keragaman budaya, usia, kelompok rentan, dan perspektif gender ke dalam semua kebijakan dan perencanaan risiko bencana.
  4. Desain Kerangka Kerja Adaptasi Lintas Batas Berbasis Ekosistem dan Komunitas (EBA/CBA):
    • Basis Temuan: Kerentanan Matina tidak hanya terbatas pada batas-batas kotanya, melibatkan isu multi-dinamika dan lintas batas seperti perubahan penggunaan lahan di hulu dan drainase sungai yang bermuara ke Davao Gulf.
    • Riset Baru: Merancang kerangka kerja operasional untuk Adaptasi Lintas Batas yang menggabungkan EBA dan CBA. Riset ini harus mengidentifikasi dan memodelkan variabel ekologis (misalnya, kualitas penutup lahan di hulu, laju sedimentasi) dan variabel sosial (misalnya, keterlibatan komunitas dalam kegiatan restorasi) dan mengukur dampak gabungan variabel ini terhadap mitigasi banjir di Matina.
    • Justifikasi Ilmiah: Pendekatan terpadu ini sangat penting untuk mengurangi kerentanan karena mencerminkan prioritas dan kapasitas komunitas (CBA) sambil mempertimbangkan ekosistem (EBA), yang telah diidentifikasi sebagai jalur yang menjanjikan.
  5. Audit dan Pemodelan Kinerja Inter-Organisasi Pasca-Bencana:
    • Basis Temuan: Ada pengamatan akan "koordinasi yang buruk di seluruh sistem respons antar-lembaga".
    • Riset Baru: Melakukan audit kinerja antar-organisasi (misalnya, LGU, NGOs, Militer) yang terlibat dalam respons Matina 2011 menggunakan metrik (Comfort & Kapucu, 2006) seperti kecepatan pertukaran informasi, rasio duplikasi upaya, dan peningkatan kapasitas kolaboratif. Pemodelan harus mengidentifikasi "titik terkuat" (misalnya, 911) dan "titik lemah" untuk mengembangkan strategi kolaboratif yang lebih efisien.
    • Justifikasi Ilmiah: Peningkatan koordinasi dan hubungan antar-organisasi diperlukan untuk mempertahankan modal sosial yang kuat dan mengatasi kegagalan yang diamati, seperti yang disorot oleh paper ini.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Lembaga Pemerintah Daerah (LGU) di Davao City, Universitas di Mindanao (seperti UP Mindanao), dan organisasi Non-Pemerintah (NGO) lokal/internasional untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil di lapangan.

Sesuai dengan rekomendasi paper untuk kerja sama lintas batas dan inter-pemerintahan, kolaborasi penelitian ini akan memperkuat sinergi antara ilmu sosial, ilmu lingkungan, dan perencanaan kota untuk menciptakan model ketahanan yang benar-benar holistik.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Modal Sosial dan Kegagalan Komunikasi: Pelajaran dari Banjir Bandang Matina 2011 untuk Ketahanan Urban di Davao City
page 1 of 1