Kesehatan Masyarakat

Titik Kritis K3 Rumah Sakit: Mengapa Pengawasan Keselamatan Kerja Gagal Meskipun Kebijakan Sudah Ada?

Dipublikasikan oleh Raihan pada 02 Oktober 2025


A. Pendahuluan Kritis: Mengurai Gap Implementasi K3RS

Rumah sakit secara inheren merupakan lingkungan kerja dengan kompleksitas risiko tinggi, yang tidak hanya mengancam sumber daya manusia (SDM) rumah sakit—termasuk perawat dan tenaga kesehatan lainnya—tetapi juga pasien, pendamping pasien, dan pengunjung. Mengutip data global, kawasan Asia Selatan dan Tenggara menghadapi perkiraan 5 juta kecelakaan kerja per tahun. Oleh karena itu, penerapan sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit (K3RS) yang optimal, efektif, dan berkesinambungan adalah mandat wajib yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 66 Tahun 2016.  

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran deskriptif mengenai implementasi K3RS di RSUD Lapatarai Kabupaten Barru, sebuah fasilitas kesehatan tipe C yang telah memenuhi standar akreditasi Paripurna. Menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif, penelitian ini mensurvei sampel sebanyak 47 karyawan dari total populasi 142 karyawan. Fokus studi adalah menganalisis kinerja rumah sakit dalam lima elemen kunci Sistem Manajemen K3RS (SMK3RS), yaitu Penetapan Kebijakan, Perencanaan, Pelaksanaan, Pemantauan dan Evaluasi, serta Pemantauan dan Peningkatan Kinerja.  

Meskipun secara struktural RSUD Lapatarai telah memenuhi prasyarat formal—dengan terbentuknya Tim K3RS yang didukung oleh SK Direktur—temuan akhir penelitian menyimpulkan bahwa implementasi K3RS secara keseluruhan masih "belum maksimal". Jalur logis temuan secara eksplisit menunjukkan adanya kesenjangan signifikan antara komitmen formal kebijakan dan efektivitas fungsional sistem, dengan titik disfungsi utama terpusat pada aspek evaluasi dan akuntabilitas.  

B. Analisis Kuantitatif Temuan Kunci dan Titik Krisis Fungsional

Data yang diperoleh dari lima variabel kunci SMK3RS menyajikan gambaran kontras yang penting bagi pengembangan riset di masa depan. Hasil penelitian menunjukkan kinerja yang "cukup baik" (melampaui 50% respons positif) pada empat dari lima variabel: Penetapan Kebijakan, Manajemen Perencanaan, Pelaksanaan Rencana, dan Pemantauan serta Peningkatan Kinerja.  

Pada aspek Manajemen Perencanaan, misalnya, ditemukan bahwa sejumlah 93.6% responden menyatakan keyakinan bahwa penerapan Manajemen K3 dapat secara efektif mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja.  

Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara keyakinan karyawan terhadap efikasi K3 dan kesadaran penerapan K3—sebuah indikator yang menunjukkan potensi kuat untuk program pelatihan atau intervensi berbasis komunikasi yang bertujuan memperkuat kepatuhan sukarela. Lebih lanjut, pada aspek Pelaksanaan Rencana, didapatkan data bahwa 85.1% tenaga kerja melaporkan dapat mengaplikasikan peraturan K3 yang telah ditetapkan. Angka-angka ini menegaskan bahwa pada tingkat kesadaran dan kepatuhan operasional, sistem berjalan cukup baik.  

Titik Kegagalan Kritis: Pemantauan dan Evaluasi Kinerja K3RS

Variabel yang bertindak sebagai titik kritis kegagalan fungsional adalah Pemantauan dan Evaluasi Kinerja K3RS. Variabel ini adalah satu-satunya yang menghasilkan skor "kurang baik" karena terdapat satu kriteria pertanyaan yang belum mencapai atau ≤50%.  

Kegagalan ini terkonsentrasi pada fungsi akuntabilitas dan tindak lanjut. Secara spesifik, 34.0% dari 47 karyawan responden (yaitu 16 karyawan) melaporkan bahwa Rumah Sakit tidak melakukan penilaian kinerja dan tindak lanjut pelaksanaan SMK3. Persentase yang menunjukkan ketidakpercayaan lebih dari sepertiga tenaga kerja terhadap fungsi akuntabilitas ini adalah quantitative proxy terhadap disfungsi internal. Kegagalan untuk memastikan tindak lanjut berarti bahwa meskipun kebijakan dan perencanaan sudah ada, proses koreksi dan pembelajaran (fase Check dan Act dalam model PDCA) tidak berjalan, berpotensi menciptakan siklus risiko yang tidak terputus.

C. Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian deskriptif ini memberikan kontribusi yang signifikan dengan mengalihkan fokus riset K3RS dari sekadar kepatuhan regulasi (yang umumnya tercapai di RS terakreditasi) ke isu efektivitas fungsional dan struktural.

  1. Identifikasi Disconnect Formalitas-Fungsionalitas: Kontribusi krusial adalah validasi empiris bahwa komitmen kebijakan formal (ditunjukkan oleh skor tinggi pada Penetapan Kebijakan dan Perencanaan) dapat eksis secara independen dari akuntabilitas fungsional dan evaluasi. Hal ini menantang asumsi bahwa pembentukan tim K3RS secara otomatis menjamin kinerja sistem.  
  2. Penentuan Akar Masalah Struktural SDM: Penelitian ini secara eksplisit mengidentifikasi akar penyebab kegagalan fungsional ini, yaitu rangkap jabatan pada personel Tim K3RS. Fenomena rangkap jabatan ini menyebabkan setiap personel tidak fokus dalam melakukan tugas K3RS. Defisit struktural ini diperparah oleh fakta bahwa personel tim  

tidak memiliki pendidikan khusus mengenai K3, yang menunjukkan adanya gap kompetensi yang menghambat pelaksanaan tugas M&E yang kompleks.  

  1. Menyoroti Data Denial Kultural: Kontribusi yang berwawasan ke depan adalah penemuan bahwa Tim K3RS tidak melakukan pencatatan dan pelaporan Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) dan Penyakit Akibat Kerja (PAK) karena merasa hal tersebut tidak penting untuk dicatat dan dilaporkan. Temuan ini membuka area riset baru yang berfokus pada hambatan budaya, kognitif, atau data denial dalam manajemen risiko, bukan hanya hambatan prosedural semata.

D. Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Sebagai penelitian kuantitatif deskriptif, keterbatasan inherennya terletak pada ketidakmampuannya untuk membangun hubungan kausal yang definitif. Penelitian ini berhasil memetakan apa yang terjadi (M&E buruk), tetapi penjelasan mengenai mengapa (hubungan kausal antara rangkap jabatan dan kualitas M&E) masih bersifat inferensial dan kualitatif.  

Keterbatasan Utama:

  1. Metodologi Non-Kausal: Tidak dapat menetapkan secara statistik hubungan sebab-akibat antara faktor struktural SDM (rangkap jabatan) dan hasil kinerja (evaluasi yang buruk).  
  2. Ketiadaan Data Outcome yang Kuat: Kegagalan pelaporan KAK/PAK yang handal membatasi kemampuan penelitian untuk mengukur dampak nyata kegagalan sistem K3RS terhadap kesehatan dan keselamatan pekerja. Hal ini menyulitkan analisis epidemiologi pekerjaan.  

Pertanyaan Terbuka untuk Agenda Riset Mendatang:

  1. Bagaimana Indeks Beban Kerja Ganda personel K3RS memengaruhi validitas, reliabilitas, dan ketepatan waktu pelaporan Pemantauan dan Evaluasi Kinerja K3RS?
  2. Apa faktor psikososial dan budaya organisasi (misalnya, budaya menyalahkan) yang menyebabkan persepsi bahwa data risiko "tidak penting" sehingga menghambat kepatuhan pelaporan wajib?
  3. Apakah terdapat perbedaan signifikan dalam efektivitas sistem M&E K3RS antara Rumah Sakit Tipe C (yang mungkin memiliki keterbatasan SDM) dan Rumah Sakit Tipe A/B, dan bagaimana temuan ini harus diintegrasikan ke dalam regulasi nasional?

E. 5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Rekomendasi riset berikut ini dirancang untuk mengkonversi temuan kualitatif dan hipotesis struktural dari paper ini menjadi agenda riset analitis dan intervensi yang dapat didanai oleh hibah riset.

1. Riset Analitik Kausal: Memodelkan Beban Kerja Struktural dan Kualitas Audit K3RS

Justifikasi Ilmiah: Temuan menunjukkan M&E adalah fungsi yang paling terdegradasi akibat rangkap jabatan Tim K3RS. Penelitian lanjutan harus secara kausal menguji hipotesis ini.  

Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Diperlukan studi kuantitatif analitik, idealnya menggunakan analisis jalur atau regresi berganda, yang melibatkan sampel rumah sakit regional.

  • Variabel Independen: Indeks Beban Kerja Ganda Tim K3RS, diukur berdasarkan persentase jam kerja yang didedikasikan untuk tugas K3 versus tugas inti lainnya.
  • Variabel Dependen: Skor Kualitas Evaluasi Kinerja (diukur dari metrik ketepatan waktu, kelengkapan item audit M&E, dan presentase penyelesaian tindak lanjut, secara spesifik menargetkan responden yang melaporkan kurangnya tindak lanjut (34.0%)).  

Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Penelitian ini akan memberikan model prediktif yang dapat digunakan oleh regulator dan manajemen rumah sakit untuk merasionalisasi alokasi SDM, memastikan bahwa kinerja K3RS secara langsung terkait dengan kapasitas sumber daya manusia.

2. Studi Kualitatif-Etnografi: Menjelajahi Budaya Data Denial KAK/PAK

Justifikasi Ilmiah: Penolakan untuk mencatat KAK/PAK karena "merasa tidak penting" adalah hambatan budaya mendasar terhadap manajemen risiko berbasis bukti. Mengatasi masalah ini memerlukan pemahaman mendalam tentang budaya organisasi.  

Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Pendekatan kualitatif-etnografi mendalam (misalnya, Wawancara Mendalam dan Observasi Partisipan) terhadap Tim K3RS dan pimpinan RS.

  • Fokus: Mengidentifikasi persepsi risiko, budaya menyalahkan (blame culture), insentif/disinsentif pelaporan, dan faktor psikososial yang menyebabkan personil mengabaikan kewajiban pelaporan data KAK/PAK.

Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Hasilnya akan menjelaskan akar budaya dan kognitif mengapa kepatuhan prosedural formal gagal diterjemahkan menjadi kepatuhan data. Informasi ini krusial untuk merancang intervensi perubahan budaya yang efektif dalam sektor kesehatan.

3. Riset Intervensi: Efikasi Pelatihan K3 Spesialis terhadap Kompetensi Audit

Justifikasi Ilmiah: Ketiadaan pendidikan khusus K3 bagi personel tim menunjukkan adanya defisit kompetensi yang mungkin menjadi penyebab M&E yang tidak efektif.  

Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Desain kuasi-eksperimental (Pre-test/Post-test Control Group Design) pada personel K3RS yang saat ini memegang rangkap jabatan.

  • Intervensi: Program pelatihan K3 tersertifikasi yang berfokus pada metodologi audit internal, analisis data risiko, dan teknik pelaporan.
  • Variabel Dependen: Peningkatan skor objektif dalam studi kasus evaluasi kinerja dan peningkatan kelengkapan Laporan Evaluasi Kinerja K3RS pasca-intervensi, dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Intervensi berbasis pendidikan ini akan memberikan bukti empiris mengenai efikasi investasi dalam peningkatan kompetensi SDM sebagai solusi langsung untuk menutup gap fungsional yang teridentifikasi, mengarahkan pendanaan riset pada solusi yang teruji.

4. Analisis Komparatif Multi-Level: Kinerja K3RS Berdasarkan Tipe Rumah Sakit

Justifikasi Ilmiah: Kegagalan struktural SDM (rangkap jabatan) dan M&E yang kurang efektif mungkin lebih dominan pada RS Tipe C atau regional karena keterbatasan alokasi sumber daya. Standar implementasi yang seragam (PMK 66/2016) mungkin tidak realistis untuk semua kategori RS.  

Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian komparatif cross-sectional yang melibatkan sampel rumah sakit dengan tipe berbeda (A, B, dan C) dalam satu wilayah operasional.

  • Fokus: Membandingkan secara statistik korelasi antara Indeks Beban Kerja K3RS dengan Skor Pemantauan & Evaluasi Kinerja di berbagai tipe RS.

Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Penelitian ini sangat penting untuk menentukan apakah standar alokasi SDM K3RS harus didiferensiasi berdasarkan klasifikasi rumah sakit, memastikan bahwa implementasi K3RS efektif dan realistis sesuai dengan konteks dan kapasitas fasilitas kesehatan.

5. Penelitian Longitudinal Prospektif: Evaluasi Kebijakan Reduksi Beban Kerja K3RS

Justifikasi Ilmiah: Mengatasi masalah rangkap jabatan secara langsung dengan mengukur dampak kebijakan alokasi sumber daya penuh waktu.  

Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Studi kohort prospektif dengan intervensi kebijakan.

  • Intervensi: Pengenalan kebijakan di tingkat manajemen yang mewajibkan dedikasi waktu minimum (misalnya, >80% waktu kerja) untuk personel inti Tim K3RS.
  • Pengukuran Outcome: Memantau perubahan tingkat pelaporan KAK/PAK yang terverifikasi, penurunan insiden kecelakaan kerja, dan peningkatan skor Pemantauan dan Evaluasi (M&E) selama periode pengamatan 12–24 bulan.

Kebutuhan Penelitian Lanjutan: Studi ini akan memberikan bukti kausal yang menghubungkan manajemen SDM struktural secara langsung dengan outcome keselamatan kerja, yang merupakan informasi yang sangat dibutuhkan oleh pembuat kebijakan di tingkat Kementerian Kesehatan.

F. Potensi Jangka Panjang dan Implikasi Kebijakan

Temuan kritis dari penelitian ini, yaitu kegagalan fungsi Pemantauan dan Evaluasi (di mana 34.0% responden melaporkan tidak adanya tindak lanjut) , menandakan bahwa risiko jangka panjang di RSUD Lapatarai tidak hanya berasal dari bahaya fisik, tetapi juga dari kegagalan sistem governance dan akuntabilitas data.

Kegagalan sistematis dalam mencatat dan menindaklanjuti insiden (KAK/PAK) menciptakan lingkungan di mana bahaya di tempat kerja terus berulang karena proses korektif tidak pernah diinisiasi atau didokumentasikan secara formal. Kondisi ini sangat berbahaya dalam konteks rumah sakit, mengingat tingginya risiko paparan biologis, ergonomis, dan psikososial.  

Penelitian lanjutan yang diusulkan—berfokus pada kausalitas struktural SDM dan hambatan budaya pelaporan—sangat penting untuk mentransformasi standar K3RS di Indonesia. Tujuannya adalah memastikan bahwa standar K3RS bergeser dari sekadar kepatuhan prosedural (yang telah dicapai oleh RSUD Lapatarai) menjadi manajemen risiko berbasis kinerja yang didukung oleh alokasi sumber daya yang optimal dan budaya keselamatan yang kuat. Implikasi kebijakan jangka panjang adalah perlunya merevisi standar akreditasi dan audit K3RS, dengan memberikan bobot yang jauh lebih besar pada indikator outcome (pelaporan KAK/PAK yang valid) dan efektivitas fungsional tim K3RS, daripada sekadar kepatuhan formalitas.

G. Ajakan Kolaboratif dan Referensi Utama

Kami mengajak komunitas akademik, khususnya peneliti di bidang Kesehatan Masyarakat, Epidemiologi Pekerjaan, Ergonomi, dan Manajemen Rumah Sakit, untuk segera merespons defisit kritis yang ditemukan dalam fungsi Pemantauan dan Evaluasi K3RS.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan Institusi Pendidikan Tinggi (Fakultas Kesehatan Masyarakat/K3) untuk pengembangan program pelatihan bersertifikat bagi Tim K3RS yang rangkap jabatan, Kementerian Kesehatan RI dan Lembaga Akreditasi RS Nasional untuk mengintegrasikan temuan defisit M&E ke dalam standar akreditasi yang lebih ketat, dan Asosiasi Rumah Sakit Daerah se-Indonesia untuk memastikan validitas dan keberlanjutan hasil melalui studi komparatif lintas regional dan tipe rumah sakit.

Baca Selengkapnya di: Gambaran Penerapan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit (K3RS) di RSUD Lapatarai Kabupaten Barru . (2023). Window of Public Health Journal4(2), 172-178. https://doi.org/10.33096/woph.v4i2.630

Selengkapnya
Titik Kritis K3 Rumah Sakit: Mengapa Pengawasan Keselamatan Kerja Gagal Meskipun Kebijakan Sudah Ada?

Kesehatan Masyarakat

Tinjauan Kritis dan Agenda Riset Masa Depan: Model Berbagi Pengetahuan Enam Langkah dalam Pelatihan Keamanan Pangan

Dipublikasikan oleh Raihan pada 02 Oktober 2025


Penyakit bawaan makanan merupakan krisis kesehatan masyarakat global yang persisten dan berskala masif. Data menunjukkan sekitar 600 juta penyakit terjadi setiap tahun di seluruh dunia, dengan perkiraan 1 dari 6 orang Amerika (atau 48 juta individu) jatuh sakit setelah mengonsumsi makanan yang tidak aman.1 Menanggapi ancaman ini, sumber daya yang signifikan—termasuk modal manusia dan finansial senilai ratusan juta dolar—telah dialokasikan untuk mengembangkan dan menyelenggarakan program pelatihan bagi penjamah makanan.1 Namun, terdapat paradoks yang mengkhawatirkan: terlepas dari investasi besar ini, hanya ada sedikit bukti empiris yang mendokumentasikan efektivitas program-program tersebut. Sebuah tinjauan sistematis bahkan menilai sebagian besar bukti yang ada berada pada kategori "buruk hingga sedang".

Kegagalan sistemik ini, sebagaimana diuraikan dalam ulasan oleh Yeargin, Gibson, dan Fraser, berakar pada asumsi dasar yang keliru yang mendasari sebagian besar kurikulum pelatihan saat ini: bahwa praktik tidak aman disebabkan oleh kurangnya pengetahuan.1 Akibatnya, pelatihan cenderung berfokus pada transfer informasi secara pasif, dengan harapan bahwa peningkatan pengetahuan secara otomatis akan mengubah perilaku. Pendekatan ini mengabaikan jurang pemisah yang signifikan antara konteks pelatihan yang terkontrol dan konteks implementasi di lingkungan kerja yang dinamis dan penuh tekanan. Ulasan ini menyajikan argumen kuat bahwa kegagalan untuk menjembatani kesenjangan ini bukanlah masalah kecil, melainkan indikasi perlunya perubahan paradigma yang mendesak. Model berbagi pengetahuan enam langkah yang diusulkan dalam paper ini bukan sekadar penyesuaian metodologis, melainkan sebuah kerangka kerja konseptual baru yang dirancang untuk mengatasi kompleksitas transfer pengetahuan dari penelitian ke praktik nyata.

Analisis Model Berbagi Pengetahuan Enam Langkah: Sebuah Kerangka Kerja Sistemik

Model yang diusulkan oleh Yeargin et al. menyajikan proses transfer pengetahuan sebagai sebuah sistem yang terstruktur dan saling berhubungan, bergerak melampaui pendekatan linear sederhana. Model ini diorganisir ke dalam enam langkah yang terbagi dalam dua dyad atau pasangan interaksi utama, yang secara kolektif memetakan perjalanan pengetahuan dari penciptaan hingga penggunaan praktis.1

 

Dyad 1: Transfer antara Peneliti dan Pendidik (Fase "Menciptakan")

Fase pertama ini berfokus pada bagaimana pengetahuan ilmiah dikumpulkan, diolah, dan disiapkan untuk disebarluaskan.

  1. Generation (Generasi Pengetahuan): Langkah ini melibatkan akumulasi dan evaluasi data secara sistematis, terutama dari studi empiris. Paper ini menekankan pentingnya Systematic Literature Reviews (SLR) untuk menyaring dan mensintesis bukti berkualitas tinggi dari volume publikasi ilmiah yang terus meningkat, memastikan bahwa dasar pelatihan adalah ilmu pengetahuan yang kokoh.1
  2. Adaptation (Adaptasi Pengetahuan): Di sini, pengetahuan ilmiah yang kompleks diterjemahkan menjadi pesan-pesan praktis yang dapat ditindaklanjuti. Ini bukan sekadar penyederhanaan, melainkan proses untuk memastikan pesan tersebut relevan, dapat didemonstrasikan, dan mempertimbangkan konteks aplikasi. Pesan yang efektif harus mencakup "apa" yang harus dilakukan dan "bagaimana" cara melakukannya dengan benar.1
  3. Dissemination (Diseminasi Pengetahuan): Langkah ini berkaitan dengan perencanaan strategis tentang bagaimana pengetahuan yang telah diadaptasi akan disampaikan kepada para pendidik. Pemilihan moda penyampaian—baik tatap muka, e-learning, atau campuran—harus mempertimbangkan audiens target dan tujuan pembelajaran untuk memaksimalkan pemahaman dan keterlibatan.1

Dyad 2: Transfer antara Pendidik dan Penjamah Makanan (Fase "Menggunakan")

Fase kedua ini berfokus pada bagaimana penjamah makanan menerima, memproses, dan pada akhirnya menerapkan pengetahuan dalam pekerjaan mereka.

4. Reception (Penerimaan Pengetahuan): Ini adalah momen kontak pertama peserta dengan materi pelatihan. Keberhasilan langkah ini sangat bergantung pada metode pengajaran. Paper ini menganjurkan pendekatan yang berakar pada teori pembelajaran orang dewasa (andragogy), seperti Problem-Based Learning (PBL), yang bersifat kolaboratif dan berpusat pada pemecahan masalah dunia nyata.

5. Adoption (Adopsi Pengetahuan): Setelah menerima informasi, individu melalui proses kognitif untuk mengevaluasi dan memutuskan apakah akan mengadopsi pengetahuan baru tersebut. Paper ini memperkenalkan konsep adopsi "kuat" (untuk penggunaan segera), "lemah" (diarsipkan untuk masa depan), atau "samar" (dianggap tidak relevan). Sering kali, penjamah makanan menunjukkan adopsi kuat terhadap ide (misalnya, "kuman itu berbahaya") tetapi adopsi lemah atau samar terhadap proses (misalnya, "mengintegrasikan cuci tangan 20 detik ke dalam alur kerja yang sibuk").

6. Implementation (Implementasi Pengetahuan): Langkah terakhir adalah penerapan pengetahuan dalam praktik sehari-hari. Keberhasilan implementasi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal di luar kendali individu, seperti budaya perusahaan, ketersediaan sumber daya (waktu, fasilitas), dan kebijakan manajemen.

Struktur dyadik ini secara implisit menempatkan pendidik sebagai komponen paling kritis dalam keseluruhan sistem. Mereka berfungsi sebagai jembatan, menerima pengetahuan yang telah diadaptasi dalam Dyad 1 dan kemudian menyebarkannya dalam Dyad 2. Kegagalan pada titik mana pun yang melibatkan pendidik—baik karena adaptasi yang buruk dari peneliti atau keterampilan diseminasi yang tidak efektif—akan menyebabkan kegagalan sistem secara keseluruhan, terlepas dari kualitas sains atau motivasi penjamah makanan. Hal ini menyoroti urgensi untuk memfokuskan penelitian dan intervensi pada kompetensi dan kredibilitas pendidik, sebuah area yang diakui oleh penulis paper sebagai kurang dieksplorasi secara signifikan.1

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Ulasan oleh Yeargin et al. memberikan beberapa kontribusi fundamental yang berpotensi membentuk kembali lanskap penelitian dan praktik dalam pelatihan keamanan pangan.

Pertama, paper ini secara definitif menggeser paradigma dari model "defisit pengetahuan" yang terlalu sederhana ke kerangka kerja "implementasi pengetahuan" yang sistemik dan komprehensif. Dengan mengkritik secara langsung model Pengetahuan, Sikap, dan Praktik (Knowledge, Attitude, and Practice - KAP) yang terbukti tidak efektif dalam menghasilkan perubahan perilaku yang berkelanjutan, paper ini menawarkan alternatif yang lebih bernuansa.1 Kerangka kerja enam langkah ini memaksa para peneliti dan praktisi untuk melihat pelatihan bukan sebagai peristiwa tunggal, melainkan sebagai proses ekologis yang kompleks.

Kedua, kontribusi signifikan terletak pada integrasi multidisiplin ilmu. Model ini secara cerdas mensintesis konsep-konsep dari ilmu implementasi, teori perubahan perilaku, teori pembelajaran orang dewasa (andragogy), dan literatur transfer pelatihan ke dalam satu model koheren yang disesuaikan untuk keamanan pangan. Hal ini sangat penting, mengingat temuan dari tinjauan lain yang dikutip dalam paper bahwa hanya 3 dari 23 studi intervensi keamanan pangan yang melaporkan penggunaan teori perilaku.1 Integrasi ini menyediakan landasan teoritis yang jauh lebih kaya untuk merancang intervensi yang efektif.

Ketiga, paper ini menempatkan "konteks implementasi" sebagai determinan utama keberhasilan pelatihan, bukan sebagai faktor sekunder. Faktor-faktor seperti budaya organisasi, kebijakan manajemen, ketersediaan sumber daya, dan tata letak fisik fasilitas kerja diidentifikasi sebagai elemen krusial yang harus dipertimbangkan sejak tahap adaptasi pengetahuan.1 Sebagian besar program pelatihan saat ini mengabaikan variabel-variabel kontekstual ini, yang menjelaskan mengapa pengetahuan yang diperoleh di ruang kelas sering kali gagal diterapkan di dapur komersial yang sibuk. Lebih jauh lagi, model ini dapat berfungsi sebagai

kerangka kerja diagnostik yang kuat untuk menganalisis kegagalan sistem. Ketika terjadi insiden keamanan pangan, model ini memungkinkan penyelidik untuk melacak akar penyebab di luar "kesalahan manusia" pada tahap Implementasi. Kegagalan tersebut mungkin berasal dari Adopsi (pelatihan tidak memperhitungkan norma sosial), Penerimaan (metode pengajaran tidak efektif), Adaptasi (pedoman tidak praktis), atau bahkan Generasi (ilmu yang mendasarinya lemah).

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun model ini menawarkan kerangka kerja yang kuat, penting untuk mengakui keterbatasan dan area yang memerlukan eksplorasi lebih lanjut. Penulis secara eksplisit mengakui dua keterbatasan utama. Pertama adalah pengecualian kerangka kerja evaluasi. Paper ini menyatakan bahwa evaluasi adalah topik kompleks yang "memerlukan diskusi terpisah," yang berarti bahwa efektivitas model enam langkah di dunia nyata saat ini masih bersifat teoretis dan belum terbukti secara empiris.1 Kedua, peran

kredibilitas pendidik yang belum dieksplorasi. Penulis mencatat bahwa "tidak ada studi yang dipublikasikan yang telah meneliti hubungan antara kredibilitas pendidik keamanan pangan dan hasil pelatihan," menyoroti kesenjangan kritis dalam literatur.1

Di luar keterbatasan yang diakui, terdapat beberapa batasan implisit. Model ini disajikan secara linear, meskipun penulis secara singkat menyebutkan adanya "umpan balik konstan" yang tidak dieksplorasi lebih lanjut.1 Realitas transfer pengetahuan sering kali lebih dinamis dan berulang daripada yang digambarkan oleh alur satu arah. Selain itu, paper ini tidak membahas secara mendalam

intensitas sumber daya yang mungkin diperlukan untuk menerapkan model yang ketat ini, menimbulkan pertanyaan tentang kelayakan dan skalabilitasnya, terutama untuk organisasi kecil dengan anggaran terbatas.

Lebih dalam lagi, kerangka kerja ini memiliki titik buta terhadap dinamika kekuasaan organisasi dan insentif yang tidak selaras. Model ini mengasumsikan aliran pengetahuan yang kooperatif dan rasional. Namun, model ini tidak secara eksplisit memperhitungkan skenario di mana seorang manajer, yang didorong oleh metrik kinerja seperti kecepatan layanan atau biaya tenaga kerja, mungkin secara aktif atau pasif menghalangi praktik yang aman (misalnya, menekan karyawan untuk tidak menghabiskan waktu mencuci tangan). Faktor-faktor seperti "budaya perusahaan" dan "kebijakan" yang disebutkan pada tahap Implementasi bukan hanya penghalang pasif; mereka bisa menjadi kekuatan perlawanan aktif yang dimotivasi oleh insentif yang bertentangan dengan tujuan keamanan pangan. Ini menunjukkan adanya elemen yang hilang terkait "Penyelarasan Pemangku Kepentingan dan Insentif," yang harus diatasi agar model ini efektif dalam praktik.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)

Berdasarkan analisis kontribusi dan keterbatasan model, agenda riset berikut diusulkan untuk memvalidasi, menyempurnakan, dan memperluas kerangka kerja yang menjanjikan ini. Setiap rekomendasi dirancang untuk menjawab kesenjangan spesifik yang diidentifikasi dalam paper dan memiliki potensi untuk menghasilkan dampak signifikan pada kebijakan dan praktik pelatihan keamanan pangan.

1. Validasi Empiris Model Enam Langkah Melalui Studi Intervensi Longitudinal

  • Dasar dari Paper: Paper mengusulkan model teoretis tetapi secara eksplisit mengecualikan kerangka kerja evaluasi.1
  • Metodologi yang Diusulkan: Studi kuasi-eksperimental multi-situs (kelompok intervensi vs. kontrol) selama 12 bulan.
  • Variabel/Konteks Baru: Intervensi itu sendiri; ukuran hasil termasuk perilaku yang diamati dan data mikrobiologis.
  • Justifikasi & Potensi Dampak: Memberikan bukti empiris pertama tentang kemanjuran model, yang penting untuk adopsi dan pendanaan yang lebih luas.

2. Mengukur Dampak Kredibilitas Pendidik terhadap Adopsi Praktik

  • Dasar dari Paper: Paper secara eksplisit menyatakan kurangnya penelitian tentang dampak kredibilitas pendidik terhadap hasil.1
  • Metodologi yang Diusulkan: Uji coba terkontrol secara acak dengan profil kredibilitas pendidik yang dimanipulasi (misalnya, ilmuwan vs. koki berpengalaman).
  • Variabel/Konteks Baru: Variabel independen: kredibilitas pendidik. Variabel dependen: keterlibatan peserta, niat perilaku.
  • Justifikasi & Potensi Dampak: Mengkuantifikasi pentingnya peran pendidik, berpotensi merevolusi program sertifikasi dan pengembangan pelatih.

3. Analisis Intervensi yang Menargetkan Adopsi 'Proses' vs. 'Ideasional'

  • Dasar dari Paper: Perbedaan dalam paper antara adopsi ideasional yang kuat dan adopsi proses yang lemah.1
  • Metodologi yang Diusulkan: Studi metode campuran yang membandingkan modul berbasis pengetahuan tradisional dengan modul berbasis simulasi dan pemecahan masalah.
  • Variabel/Konteks Baru: Modalitas pelatihan (fokus ideasional vs. proses) dalam konteks dapur komersial bervolume tinggi.
  • Justifikasi & Potensi Dampak: Secara langsung mengatasi "kesenjangan adopsi ideasional-proses" dan dapat mengarah pada kurikulum baru berbasis simulasi yang sangat efektif.

4. Pengembangan Model Dinamis dengan Umpan Balik (Feedback Loops)

  • Dasar dari Paper: Paper mengakui tetapi tidak mengeksplorasi "umpan balik konstan" dalam proses berbagi pengetahuan.1
  • Metodologi yang Diusulkan: Penelitian tindakan kualitatif, merancang bersama dan menyempurnakan model secara berulang dalam suatu organisasi.
  • Variabel/Konteks Baru: Mekanisme umpan balik itu sendiri dan dampaknya terhadap adaptasi model.
  • Justifikasi & Potensi Dampak: Mengubah model dari kerangka kerja statis dan linear menjadi siklus perbaikan berkelanjutan yang realistis dan dinamis.

5. Analisis Biaya-Manfaat dan Skalabilitas Model untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM)

  • Dasar dari Paper: Keterbatasan yang tersirat bahwa model ini padat sumber daya dan mungkin tidak layak untuk semua.1
  • Metodologi yang Diusulkan: Analisis ekonomi yang membandingkan total biaya dan manfaat yang dimodelkan (pengurangan risiko) dari model vs. pelatihan standar.
  • Variabel/Konteks Baru: Konteks usaha makanan kecil hingga menengah dengan sumber daya terbatas.
  • Justifikasi & Potensi Dampak: Menjawab pertanyaan kritis tentang kelayakan praktis, menginformasikan pengembangan versi yang dapat diskalakan untuk dampak yang luas.

Kesimpulan: Ajakan Kolaboratif untuk Memvalidasi Kerangka Kerja Masa Depan

Model berbagi pengetahuan enam langkah yang diusulkan oleh Yeargin, Gibson, dan Fraser menyajikan kerangka kerja yang kuat secara teoretis dan sangat dibutuhkan untuk mengatasi inefektivitas pelatihan keamanan pangan yang telah berlangsung lama. Model ini menjauhkan bidang ini dari asumsi yang terlalu sederhana dan mengarahkannya menuju pemahaman sistemik tentang bagaimana pengetahuan ilmiah dapat secara efektif diubah menjadi praktik yang melindungi kesehatan masyarakat. Namun, seperti yang telah diuraikan, potensi penuh dari model ini hanya dapat direalisasikan melalui upaya penelitian yang terpadu, multidisiplin, dan ketat.

Kerangka kerja ini saat ini berada pada tahap konseptual. Untuk memajukannya menjadi alat yang terbukti dan dapat diterapkan, diperlukan sebuah agenda penelitian kolaboratif. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kemitraan strategis antara institusi akademik untuk memimpin desain penelitian dan validasi empiris; badan kesehatan masyarakat (seperti dinas kesehatan dan lembaga pengawas makanan) untuk memfasilitasi implementasi dan menyediakan data pengawasan; serta mitra industri (dari perusahaan besar hingga UKM) untuk menyediakan lingkungan pengujian di dunia nyata dan memastikan relevansi praktis. Hanya melalui upaya bersama ini kita dapat memvalidasi, menyempurnakan, dan pada akhirnya menerapkan model ini untuk memastikan bahwa investasi besar dalam pelatihan keamanan pangan menghasilkan hasil yang terukur: pengurangan signifikan dalam beban penyakit bawaan makanan.

Baca Selengkapnya di https://doi.org/10.4315/JFP-21-146

Selengkapnya
Tinjauan Kritis dan Agenda Riset Masa Depan: Model Berbagi Pengetahuan Enam Langkah dalam Pelatihan Keamanan Pangan

Kesehatan Masyarakat

Dari Pelatihan ke Praktik: Mengurai Kunci Kepatuhan Regulasi Keamanan Pangan di Malaysia

Dipublikasikan oleh Raihan pada 02 Oktober 2025


Riset yang dilakukan oleh Johnson, O., dkk. , memberikan analisis kuantitatif yang penting mengenai pengaruh pelatihan keamanan pangan terhadap pengetahuan dan kepatuhan pekerja jasa boga terhadap Peraturan Kebersihan Makanan Malaysia 2009. Di tengah meningkatnya insiden keracunan makanan di Malaysia dan banyaknya laporan ketidakpatuhan oleh gerai makanan, studi ini hadir untuk menjawab pertanyaan fundamental: sejauh mana pelatihan dapat secara efektif meningkatkan pengetahuan, dan apakah pengetahuan tersebut benar-benar diterjemahkan menjadi kepatuhan praktis di lapangan?

Perjalanan penelitian ini dimulai dengan pengakuan bahwa meskipun peraturan sudah ada dan pelatihan telah disediakan oleh Kementerian Kesehatan , kesenjangan dalam implementasi tetap menjadi tantangan besar. Untuk menjembatani kesenjangan ini, para peneliti merumuskan hipotesis utama. Hipotesis pertama (H1) menguji hubungan langsung antara tingkat pengetahuan pekerja dan tingkat kepatuhan mereka terhadap regulasi. Hipotesis kedua (H2), yang dipecah menjadi tiga bagian (H2a, H2b, H2c), menguji hubungan antara variabel-variabel pelatihan—yaitu kehadiran , penyedia , dan sumber pelatihan —dengan tingkat pengetahuan dan kepatuhan pekerja.

Dengan menggunakan metodologi survei berbasis kuesioner yang disebarkan kepada 261 responden—terdiri dari 108 pemilik restoran dan 153 penjamah makanan di Cyberjaya, Selangor —penelitian ini mengumpulkan data komprehensif. Perlu dicatat bahwa semua responden yang berpartisipasi telah mengikuti pelatihan keamanan pangan sebelumnya. Temuan awal dari data demografis menunjukkan bahwa mayoritas responden berada pada usia produktif (20-39 tahun) dan lebih dari separuhnya memiliki latar belakang pendidikan perguruan tinggi atau universitas (50.2%). Meskipun demikian, temuan yang cukup mengkhawatirkan adalah 29.1% dari total responden belum pernah mengikuti pelatihan keamanan pangan, sebuah indikasi adanya kelalaian terhadap kewajiban regulasi.

Analisis lebih dalam mengungkapkan bahwa lebih dari separuh pekerja jasa boga menunjukkan tingkat pengetahuan dan kepatuhan yang memuaskan terhadap Peraturan Kebersihan Makanan 2009. Namun, beberapa area spesifik menunjukkan kelemahan. Dalam aspek pengetahuan, item-item seperti "pemberitahuan larangan membawa hewan masuk ke dalam premis" (40.6%), "bebas dari hama" (59.8%), dan "penggunaan keran tanpa sentuhan tangan" (66.3%) mendapat skor di bawah 70%. Pola serupa ditemukan pada tingkat kepatuhan, di mana 10 dari 39 item regulasi memiliki tingkat kepatuhan di bawah 70%, termasuk item-item yang sama yang menunjukkan kelemahan pada sisi pengetahuan. Hal ini mengisyaratkan adanya kemungkinan bahwa pengetahuan yang rendah pada area tertentu secara langsung menyebabkan kepatuhan yang rendah pula.

Puncak dari temuan penelitian ini adalah data kuantitatif yang menyoroti hubungan antar variabel. Analisis korelasi menunjukkan hubungan positif yang sangat signifikan antara pengetahuan pekerja jasa boga dan kepatuhan mereka terhadap regulasi, dengan koefisien korelasi Pearson sebesar r=0.865 (p<0.05). Angka ini tidak hanya mengonfirmasi H1 tetapi juga menunjukkan bahwa peningkatan pengetahuan memiliki potensi kuat untuk mendorong peningkatan kepatuhan secara substansial. Temuan ini menjadi fondasi ilmiah yang kuat untuk objek penelitian baru yang berfokus pada mekanisme intervensi berbasis pengetahuan.

Selanjutnya, uji Chi-square memperkuat peran penting dari pelatihan. Ditemukan hubungan yang signifikan (p<0.05) antara kehadiran pelatihan dengan tingkat pengetahuan dan kepatuhan responden. Hal yang sama juga berlaku untuk penyedia pelatihan dan sumber pelatihan, yang keduanya menunjukkan asosiasi signifikan dengan pengetahuan dan kepatuhan. Ini membuktikan bahwa semua faktor yang terkait dengan pelatihan—baik itu kehadiran, siapa yang menyediakan, maupun dari mana materi berasal—secara kolektif berkontribusi pada hasil akhir, sehingga menerima hipotesis H2a, H2b, dan H2c.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi paling signifikan dari penelitian ini adalah pembuktian empiris yang kuat mengenai jalur kausal: pelatihan keamanan pangan secara positif memengaruhi tingkat pengetahuan, yang pada gilirannya secara positif memengaruhi tingkat kepatuhan terhadap regulasi di konteks Malaysia. Studi ini melampaui asumsi umum dengan menyediakan data kuantitatif (r=0.865) yang mengukur kekuatan hubungan antara pengetahuan dan kepatuhan. Hal ini memberikan justifikasi berbasis bukti bagi para pembuat kebijakan dan regulator untuk terus mewajibkan dan memperkuat program pelatihan sebagai pilar utama dalam strategi keamanan pangan nasional.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Para peneliti secara transparan mengakui beberapa keterbatasan dalam studi mereka. Pertama, data yang dikumpulkan bersifat self-reported, yang berpotensi mengandung bias karena responden mungkin melaporkan perilaku yang lebih ideal daripada praktik sebenarnya. Kedua, cakupan geografis yang terbatas hanya pada area Cyberjaya membuat hasilnya tidak dapat digeneralisasi untuk seluruh Malaysia. Keterbatasan ini secara alami memunculkan pertanyaan-pertanyaan penting untuk riset di masa depan:

  • Apakah temuan ini akan tetap konsisten jika divalidasi dengan metode observasi langsung di lapangan?
  • Bagaimana dinamika pengetahuan dan kepatuhan di wilayah perkotaan lain, pedesaan, atau pusat wisata yang memiliki profil demografis dan operasional yang berbeda?
  • Seberapa efektif berbagai jenis penyedia pelatihan (pemerintah vs. swasta) jika diukur secara komparatif dengan sampel yang seimbang?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)

Berdasarkan temuan dan keterbatasan yang ada, berikut adalah lima arah penelitian lanjutan yang sangat direkomendasikan:

  1. Riset Longitudinal untuk Mengukur Retensi Pengetahuan: Studi saat ini bersifat cross-sectional. Penelitian lanjutan harus mengadopsi desain longitudinal untuk melacak tingkat pengetahuan dan kepatuhan pekerja pada beberapa titik waktu setelah mereka menyelesaikan pelatihan (misalnya, 3 bulan, 6 bulan, dan 1 tahun kemudian).
    • Justifikasi: Peneliti mengemukakan kemungkinan bahwa pengetahuan responden menurun seiring waktu dan menekankan pentingnya pelatihan berkelanjutan untuk memastikan retensi jangka panjang. Riset ini akan memberikan data empiris tentang kurva pelupaan pengetahuan dan membantu merancang frekuensi ideal untuk kursus penyegaran.
  2. Studi Komparatif Multi-Lokasi dengan Validasi Observasional: Mereplikasi studi ini di beberapa lokasi yang berbeda secara geografis dan demografis (misalnya, Penang sebagai pusat wisata, Kelantan sebagai wilayah yang lebih rural, dan Kuala Lumpur sebagai pusat metropolitan) serta menggabungkan survei dengan observasi langsung di tempat kerja.
    • Justifikasi: Para penulis secara eksplisit menyarankan pengumpulan data dari lokasi yang berbeda untuk hasil yang lebih komprehensif dan mengakui bias dari data self-reported. Pendekatan ini akan meningkatkan validitas eksternal temuan dan mengukur kesenjangan antara kepatuhan yang dilaporkan dan yang sebenarnya.
  3. Analisis Efektivitas Komparatif Penyedia dan Sumber Pelatihan: Merancang studi eksperimental atau kuasi-eksperimental yang secara khusus membandingkan efektivitas pelatihan dari berbagai penyedia (misalnya, departemen kesehatan lokal, asosiasi restoran nasional, dan pelatihan internal perusahaan) dengan ukuran sampel yang seimbang.
    • Justifikasi: Studi ini menemukan adanya hubungan signifikan dengan penyedia dan sumber pelatihan, tetapi mengakui bahwa jumlah responden yang tidak proporsional antar kelompok menghalangi kesimpulan definitif tentang mana yang paling efektif. Riset ini akan memberikan bukti konkret untuk merekomendasikan penyedia dan format pelatihan yang paling berdampak.
  4. Investigasi Kualitatif terhadap Area Kepatuhan Rendah: Melakukan penelitian kualitatif (misalnya, wawancara mendalam atau focus group discussion) yang berfokus pada item-item spesifik di mana tingkat kepatuhan dan pengetahuan ditemukan rendah, seperti pemasangan pemberitahuan, pengendalian hama, dan penggunaan material bangunan yang tepat.
    • Justifikasi: Data kuantitatif telah mengidentifikasi "apa" yang menjadi masalah, tetapi tidak "mengapa". Riset kualitatif diperlukan untuk memahami hambatan praktis, finansial, atau persepsi yang mendasari ketidakpatuhan pada area-area spesifik tersebut, sehingga memungkinkan pengembangan intervensi yang lebih bertarget.
  5. Studi tentang Pengaruh Bahasa dan Latar Belakang Budaya pada Efektivitas Pelatihan: Mengingat banyaknya pekerja asing di industri jasa boga Malaysia, perlu dilakukan penelitian yang mengevaluasi bagaimana hambatan bahasa dan perbedaan budaya memengaruhi penyerapan pengetahuan dan kepatuhan.
    • Justifikasi: Paper ini menyinggung penelitian sebelumnya yang mengidentifikasi hambatan bahasa sebagai salah satu dari tiga faktor utama penyebab rendahnya akuisisi pengetahuan di kalangan pekerja asing. Studi lanjutan dapat menguji efektivitas materi pelatihan yang diterjemahkan atau diadaptasi secara budaya dibandingkan dengan materi standar.

Sebagai penutup, penelitian ini telah meletakkan dasar yang kokoh. Untuk membangun momentum ini, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi erat antara institusi akademik dengan badan regulator. Keterlibatan institusi seperti Departemen Kesehatan Masyarakat Distrik Sepang, Majlis Perbandaran Sepang (MPS), dan Kementerian Kesehatan Malaysia akan sangat penting untuk memastikan bahwa temuan penelitian di masa depan tidak hanya valid secara ilmiah tetapi juga relevan secara kebijakan dan dapat diimplementasikan untuk keberlanjutan keamanan pangan di seluruh Malaysia.

Baca paper aslinya di sini

Selengkapnya
Dari Pelatihan ke Praktik: Mengurai Kunci Kepatuhan Regulasi Keamanan Pangan di Malaysia

Kesehatan Masyarakat

Mengapa K3 di Rumah Sakit Daerah Masih Berisiko Tinggi? Mengurai Temuan dan Arah Riset ke Depan

Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 September 2025


Pendahuluan

Sektor kesehatan, khususnya di lingkungan rumah sakit, menghadapi risiko pekerjaan yang kompleks dan multidimensional. Data dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) menunjukkan bahwa 2.78 juta pekerja di seluruh dunia meninggal setiap tahun akibat kecelakaan atau penyakit terkait pekerjaan.1 Di Indonesia, data BPJS Ketenagakerjaan di Sumatera Barat mencatat lonjakan kasus kecelakaan kerja yang signifikan, dari 114.000 kasus pada 2019 menjadi 177.000 kasus pada rentang Januari hingga Oktober 2020, sebuah tren yang menggarisbawahi urgensi masalah ini.1 Dalam konteks ini, penelitian yang berjudul "Analisis Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit Umum Daerah Sijunjung" (JIK, 2022) bertujuan untuk menginvestigasi pelaksanaan program Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit (K3RS) di RSUD Sijunjung.1

Penelitian ini mengadopsi pendekatan mixed-method concurrent embedded, yang menggabungkan studi kualitatif fenomenologis untuk mendeskripsikan pandangan informan dengan pendekatan kuantitatif deskriptif menggunakan kuesioner.1 Pendekatan metodologi ganda ini memungkinkan para peneliti untuk menangkap tidak hanya data statistik tentang keberhasilan atau kegagalan program, tetapi juga konteks dan narasi di baliknya. Temuan penelitian ini memberikan gambaran yang jelas mengenai kesenjangan antara kebijakan yang ada dan implementasi di lapangan, yang secara langsung berkontribusi pada peningkatan kasus kecelakaan kerja yang dilaporkan di RSUD Sijunjung dari tahun 2017 hingga 2020.1

 

Jalur Temuan: Analisis Komponen K3RS di RSUD Sijunjung

Analisis penelitian ini mengikuti kerangka manajemen K3RS yang terdiri dari tiga komponen utama: Input, Proses, dan Output. Temuan menunjukkan adanya kelemahan di setiap tahapan, yang secara kumulatif menjelaskan kondisi program yang tidak optimal.

 

Komponen Input

Pada tahap input, penelitian ini menyoroti beberapa temuan kritis. Meskipun RSUD Sijunjung telah memiliki kebijakan K3RS dalam bentuk surat keputusan dan SOP yang mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 66 Tahun 2016, pelaksanaannya dinilai belum optimal karena sosialisasi yang tidak konsisten.1 Kesenjangan ini menunjukkan bahwa keberadaan kebijakan tertulis saja tidak menjamin implementasi yang efektif. Keterbatasan lainnya terdapat pada sumber daya manusia (SDM). RSUD Sijunjung hanya memiliki satu orang ahli K3RS yang sudah bersertifikat, namun kuantitas ini tidak memenuhi standar minimum yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1087/2010.1 Lebih jauh lagi, personil K3RS tersebut memiliki tanggung jawab pekerjaan ganda sehingga tidak dapat bekerja purna waktu.1 Situasi ini merupakan akar masalah yang menjelaskan mengapa elemen manajemen K3 lainnya seperti sosialisasi kebijakan dan pengawasan belum berjalan efektif. Kekurangan SDM yang berfokus penuh pada K3RS memicu serangkaian kegagalan sistemik, mulai dari kurangnya pengawasan rutin hingga kegagalan dalam melakukan manajemen risiko yang komprehensif.

Aspek pendanaan juga menjadi kendala. RSUD Sijunjung belum memiliki alokasi dana khusus per unit atau instalasi, melainkan menganggarkannya secara keseluruhan dalam rapat kerja tahunan.1 Penganggaran yang terpusat ini dapat membatasi fleksibilitas unit-unit kerja untuk mengatasi risiko spesifik yang mereka hadapi. Di sisi prasarana, meskipun alat pelindung diri (APD) dan alat pemadam api ringan (APAR) tersedia, jumlahnya belum mencukupi untuk seluruh gedung dan perlu diganti secara berkala.1 Secara spesifik, penelitian ini mencatat ketiadaan pintu darurat dan jalur evakuasi yang jelas di area berisiko tinggi seperti ruang OK (kamar operasi).1

 

Komponen Proses

Proses manajemen K3RS di RSUD Sijunjung juga menghadapi tantangan signifikan. Manajemen risiko, yang menjadi bagian terpenting dari program, belum dilaksanakan secara komprehensif sesuai dengan PMK 66 Tahun 2016.1 Meskipun ada kebijakan sejak tahun 2012, kurangnya identifikasi bahaya dan dokumentasi menjadi faktor kunci, yang kontras dengan peningkatan laporan kecelakaan kerja setiap tahunnya.1 Dalam hal pelayanan kesehatan kerja, penelitian mencatat bahwa upaya ini masih sangat minim. Meskipun rumah sakit berencana menganggarkan

medical check up (MCU) untuk pegawai di area berisiko tinggi, kegiatan promotif seperti kebugaran fisik dan mental, serta kegiatan preventif seperti imunisasi dan surveilans lingkungan, belum terimplementasi secara menyeluruh.1

Meskipun RSUD Sijunjung memiliki SOP untuk pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), masih terdapat kekurangan pada simbol dan rambu-rambu.1 Demikian pula, sistem pencegahan dan pengendalian kebakaran belum optimal karena tidak adanya peta jalur evakuasi dan titik kumpul yang jelas di setiap gedung.1 Secara umum, meskipun ada upaya untuk mengelola prasarana dan peralatan medis, penelitian menunjukkan bahwa implementasi proses inti ini masih memerlukan perbaikan dan pengawasan yang lebih ketat.

 

Komponen Output dan Temuan Kuantitatif

Secara keseluruhan, penelitian menyimpulkan bahwa komponen output—yang seharusnya mencerminkan keberhasilan implementasi—dinilai "belum optimal".1 Hal ini secara kuantitatif didukung oleh temuan deskriptif yang menunjukkan kurangnya pelaksanaan program K3 dari sudut pandang responden.

Temuan kuantitatif menunjukkan bahwa 90% responden menyatakan pelaksanaan program kesehatan kerja di RSUD Sijunjung tidak baik, sementara hanya 10% yang menyatakan sebaliknya.1 Angka ini menunjukkan tingkat ketidakpuasan yang sangat tinggi terhadap upaya kesehatan kerja. Untuk program keselamatan kerja, angkanya sedikit lebih baik, namun masih mengkhawatirkan:

80% responden menyatakan pelaksanaannya tidak baik, berbanding terbalik dengan hanya 20% yang menyatakan baik.1

Perlu dicatat adanya inkonsistensi data kuantitatif dalam abstrak paper itu sendiri, di mana abstrak berbahasa Indonesia mencantumkan 80% responden menyatakan minimnya pelaksanaan program kesehatan kerja, sementara abstrak berbahasa Inggris mencantumkan 90%.1 Meskipun kedua angka menunjukkan masalah yang serius, ketidakcocokan ini menunjukkan perlunya validasi data dan metodologi yang lebih ketat dalam penelitian lanjutan.

Survei ini melibatkan 31 responden, dengan mayoritas (67.7%) adalah perempuan, berusia antara 36-45 tahun (67.7%), dan memiliki pendidikan S1 (64.5%). Sebagian besar responden (87.1%) memiliki pengalaman kerja lebih dari 6 tahun.1

 

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Meskipun terfokus pada studi kasus tunggal, penelitian ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman implementasi K3RS di Indonesia, khususnya di konteks rumah sakit kelas C. Penelitian ini tidak hanya mengonfirmasi tantangan yang telah diidentifikasi dalam literatur lain, seperti kurangnya SDM dan pendanaan, tetapi juga memberikan validasi empiris yang spesifik.1 Pendekatan

mixed-method memberikan keunggulan analitis yang memungkinkan para peneliti untuk mengidentifikasi bukan hanya apa yang salah, tetapi juga mengapa hal itu terjadi. Dengan menggabungkan data statistik dengan narasi dari wawancara, penelitian ini memberikan gambaran holistik tentang hambatan implementasi K3RS, mulai dari masalah struktural (SDM, dana) hingga masalah operasional (sosialisasi, pengawasan). Dengan demikian, studi ini berfungsi sebagai studi diagnostik yang berharga, yang mengidentifikasi celah-celah kritis yang memerlukan perhatian segera dan penyelidikan lebih lanjut oleh komunitas akademis.

 

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Setiap penelitian memiliki keterbatasan, dan analisis ini mengidentifikasi beberapa hal yang memerlukan pertimbangan dalam penelitian berikutnya. Pertama, ukuran sampel kuantitatif yang relatif kecil (hanya 31 responden) dan kualitatif (7 informan) membatasi kemampuan untuk menggeneralisasi temuan ke populasi RSUD Sijunjung yang lebih besar (153 orang) atau, lebih jauh lagi, ke rumah sakit lain di Indonesia.1 Kedua, sifat studi kasus tunggal pada satu rumah sakit juga membatasi generalisasi; temuan ini mungkin unik untuk RSUD Sijunjung dan tidak representatif untuk rumah sakit lain, baik di kelas yang sama maupun yang berbeda.1 Ketiga, seperti yang telah dicatat, adanya inkonsistensi data kuantitatif di dalam abstrak itu sendiri memunculkan pertanyaan tentang validitas data dan konsistensi analisis.1

Keterbatasan ini membuka jalan untuk pertanyaan-pertanyaan penelitian yang krusial. Misalnya, apakah masalah yang ditemukan di RSUD Sijunjung, seperti kurangnya personel K3 purna waktu, merupakan masalah sistemik di sebagian besar rumah sakit kelas C di Indonesia? Apakah terdapat perbedaan signifikan dalam persepsi pelaksanaan K3RS antara staf medis dan non-medis, atau antara staf dengan masa kerja yang lama dan yang baru? Faktor apa saja yang paling kuat memengaruhi keberhasilan sosialisasi kebijakan K3RS? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi dasar bagi agenda riset masa depan yang lebih terstruktur dan berwawasan.

 

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berdasarkan keterbatasan dan pertanyaan terbuka dari paper ini, berikut adalah lima rekomendasi riset yang dapat memajukan pemahaman dan praktik K3RS di Indonesia.

  1. Studi Komparatif Implementasi K3RS Lintas Kelas Rumah Sakit.
    Metode: Penelitian mixed-method yang sama, tetapi diterapkan di tiga kategori rumah sakit: Kelas A, B, dan C.
    Variabel Baru: Membandingkan ketersediaan dan implementasi K3RS berdasarkan kelas rumah sakit, termasuk variabel pembanding seperti rasio SDM K3 per jumlah pegawai, alokasi anggaran K3, dan tingkat kepatuhan terhadap PMK 66/2016.
    Justifikasi Ilmiah: Justifikasi untuk penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan sistemik dan praktik terbaik yang dapat diadopsi, serta untuk memahami apakah masalah yang ditemukan di RSUD Sijunjung merupakan karakteristik rumah sakit kelas C secara umum atau masalah spesifik di lokasi tersebut. Temuan ini dapat memberikan panduan kebijakan yang lebih bertarget untuk Kementerian Kesehatan.
  2. Penelitian Evaluasi Intervensi Pendidikan dan Pelatihan K3RS.
    Metode: Studi kuasi-eksperimental dengan desain pra-pasca (pre-post design) di mana satu unit kerja (kelompok intervensi) diberikan pelatihan K3 yang komprehensif, sementara unit lain (kelompok kontrol) tidak.
    Variabel Baru: Mengukur variabel perilaku seperti kepatuhan penggunaan APD, tingkat pelaporan insiden, dan pengetahuan tentang prosedur darurat sebelum dan sesudah intervensi.
    Justifikasi Ilmiah: Temuan bahwa sosialisasi kebijakan kurang optimal 1 mengindikasikan perlunya intervensi. Penelitian ini akan secara empiris mengukur efektivitas intervensi pendidikan dan pelatihan yang ditargetkan dalam meningkatkan pengetahuan, sikap, dan praktik K3 staf.
  3. Analisis Jalur (Path Analysis) Faktor-faktor Determinan Kinerja K3RS.
    Metode: Penelitian kuantitatif dengan sampel yang lebih besar, menggunakan survei terstruktur dan data sekunder (laporan insiden).
    Variabel Baru: Memasukkan variabel independen seperti ketersediaan SDM K3 purna waktu, alokasi dana khusus, frekuensi sosialisasi, dan kepemimpinan manajemen K3RS. Variabel dependennya adalah kinerja K3RS (misalnya, angka insiden/kecelakaan kerja).
    Justifikasi Ilmiah: Paper ini mengidentifikasi beberapa faktor bermasalah 1 tetapi tidak mengukur dampak relatifnya. Analisis jalur akan membantu mengidentifikasi faktor mana yang memiliki pengaruh kausal paling kuat terhadap kinerja K3RS secara keseluruhan, sehingga investasi sumber daya dapat difokuskan pada area yang paling berdampak.
  4. Studi Fenomenologi Mendalam tentang Hambatan Implementasi Manajemen Risiko.
    Metode: Penelitian kualitatif murni dengan wawancara mendalam dan observasi partisipatif.
    Variabel Baru: Konteks sosio-kultural di lingkungan kerja, persepsi risiko oleh staf di tingkat operasional, dan dinamika kekuasaan dalam pengambilan keputusan manajemen risiko.
    Justifikasi Ilmiah: Meskipun paper mengidentifikasi tidak adanya manajemen risiko yang optimal 1, alasannya belum sepenuhnya dijelaskan. Pendekatan fenomenologi akan menggali narasi dan pengalaman staf untuk mengungkap hambatan-hambatan tersembunyi seperti kurangnya kepercayaan pada sistem, ketakutan untuk melaporkan insiden, atau norma-norma budaya yang menghambat kepatuhan.
  5. Studi Kohort Longitudinal terhadap Dampak Program K3.
    Metode: Studi kohort prospektif yang melacak sekelompok staf RSUD Sijunjung atau rumah sakit serupa dari waktu ke waktu.
    Variabel Baru: Melacak insiden kecelakaan dan penyakit akibat kerja, serta mengukur variabel perilaku dan sikap secara berkala, selama satu tahun atau lebih.
    Justifikasi Ilmiah: Paper ini mengidentifikasi tren peningkatan kecelakaan kerja dari 2017-2020.1 Penelitian kohort akan memberikan pemahaman yang lebih granular tentang tren ini dan memungkinkan para peneliti untuk mengukur dampak jangka panjang dari setiap intervensi atau perubahan kebijakan yang mungkin diterapkan oleh pihak rumah sakit.

 

Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif

Studi ini secara jelas menunjukkan bahwa meskipun RSUD Sijunjung telah memiliki kerangka kebijakan K3RS, kesenjangan yang signifikan dalam hal SDM, alokasi dana, dan implementasi proses inti seperti manajemen risiko dan pelayanan kesehatan telah menyebabkan kinerja program yang tidak optimal dan peningkatan angka kecelakaan. Meskipun hasil penelitian ini terbatas pada satu institusi, temuan ini memberikan dasar empiris yang kuat untuk perbaikan kebijakan dan praktik, serta menjadi katalis untuk agenda penelitian yang lebih luas di bidang kesehatan masyarakat.

Untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi multidisipliner dan multi-institusi. Kolaborasi ini idealnya melibatkan Universitas Andalas (sebagai institusi akademis yang telah memulai studi ini), Rumah Sakit Umum Daerah Sijunjung (sebagai mitra praktisi untuk implementasi dan pengujian intervensi), dan lembaga-lembaga yang menyediakan data makro dan kerangka kebijakan seperti Kementerian Kesehatan Republik Indonesia atau BPJS Ketenagakerjaan.

Baca paper aslinya di sini: https://doi.org/10.33757/jik.v6i2.580 

Selengkapnya
Mengapa K3 di Rumah Sakit Daerah Masih Berisiko Tinggi? Mengurai Temuan dan Arah Riset ke Depan

Kesehatan Masyarakat

Penelitian Ini Mengungkap Terobosan Besar dalam Pelatihan Dokter Anak – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 September 2025


Menyelami Misi Para Ilmuwan di Belgia

Dalam lanskap pendidikan medis yang dinamis dan terus berevolusi, para calon dokter masa depan dihadapkan pada tantangan yang unik: bagaimana menjadi profesional yang tidak hanya kompeten secara klinis tetapi juga seorang komunikator, kolaborator, dan pemimpin yang efektif? Pertanyaan ini menjadi semakin rumit ketika sistem pendidikan medis, alih-alih memberikan panduan yang jelas, malah menyajikan sebuah labirin. Di Flanders, Belgia, para calon dokter anak pascasarjana menghadapi masalah ini secara langsung. Mereka harus menavigasi beberapa kerangka kerja kompetensi yang berbeda secara bersamaan, sebuah kondisi yang dapat menciptakan kekacauan dan inkonsistensi dalam evaluasi, pelatihan, dan sertifikasi mereka.1

Bayangkan sebuah sekolah di mana setiap mata pelajaran diajarkan dengan kurikulum yang berbeda, tanpa ada benang merah yang menyatukan. Para siswa mungkin mahir di satu bidang, tetapi bingung bagaimana pengetahuan tersebut terhubung dengan bidang lainnya. Inilah situasi yang terjadi dalam pelatihan pascasarjana pediatri di sana. Berbagai kerangka kerja seperti Master of Specialist Medicine (MSG) dan panduan spesifik dari European Union of Medical Specialists (UEMS) digunakan, tetapi mereka tidak terintegrasi secara mulus. Keadaan ini menciptakan kebingungan dan berpotensi menghambat kontinuitas pembelajaran.1

Menanggapi masalah praktis ini, sebuah tim peneliti yang terdiri dari para ahli di bidang pediatri dan pendidikan dari berbagai universitas terkemuka di Belgia—terutama dari Ghent University—memulai sebuah misi ambisius. Tujuan utama mereka bukanlah sekadar menambah kerangka kerja lain, melainkan untuk menggabungkan kerangka kerja yang sudah ada menjadi satu panduan terpadu dan universal yang dapat membawa kejelasan dan keseragaman dalam pelatihan dokter anak. Mereka bertekad untuk menciptakan sebuah "bahasa bersama" yang bisa digunakan oleh semua pihak yang terlibat, mulai dari supervisor, penguji, hingga para residen itu sendiri, sehingga setiap orang memiliki pemahaman yang sama tentang apa yang diperlukan untuk menjadi dokter anak yang kompeten.1

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia Pendidikan Medis?

Inti dari penelitian ini adalah sebuah upaya yang belum pernah terjadi sebelumnya: secara sistematis menggabungkan tiga kerangka kerja yang dominan—yaitu Kerangka CanMEDS (Canadian Medical Education Directives for Specialists), UEMS, dan MSG—menjadi satu panduan tunggal yang kohesif. CanMEDS dipilih sebagai fondasi utama atau "tulang punggung" dari kerangka baru ini, sebuah keputusan yang sangat strategis. Alasannya, CanMEDS adalah kerangka yang sudah diterima secara luas dalam pendidikan kedokteran sarjana di Flanders, bahkan telah digunakan untuk memvalidasi kompetensi di tingkat itu.1 Dengan menjadikan CanMEDS sebagai dasar, para peneliti memastikan adanya kontinuitas yang mulus dari pendidikan sarjana ke pascasarjana.

Proses penggabungan ini dilakukan dengan ketelitian yang luar biasa. Para peneliti pertama-tama secara manual menautkan 65 kompetensi dari kerangka UEMS dan 33 kompetensi dari kerangka MSG ke 89 kompetensi yang mendasari peran-peran CanMEDS.1 Langkah ini tidak hanya membantu mengidentifikasi kompetensi yang tumpang tindih tetapi juga menyoroti area yang masih kosong. Setelah proses penautan awal selesai, mereka memadukan kompetensi yang serupa, menghasilkan daftar awal sebanyak 95 kompetensi yang kemudian akan divalidasi oleh panel ahli.

Keberhasilan penggabungan ini lebih dari sekadar pencapaian teknis. Ini adalah model kolaborasi antar lembaga dan standar yang berbeda. Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang sistematis dan terperinci, adalah mungkin untuk mengatasi fragmentasi dan menciptakan panduan yang lebih jelas dan komprehensif. Hasil akhirnya adalah sebuah kerangka yang tidak hanya menyatukan kompetensi yang ada, tetapi juga menetapkan "bahasa bersama" yang dapat menyederhanakan komunikasi dan proses pendidikan. Ini adalah cetak biru yang dapat direplikasi tidak hanya di seluruh Belgia, tetapi juga di disiplin medis atau negara lain yang menghadapi tantangan serupa. Dengan menghilangkan kebingungan yang disebabkan oleh beragam standar, kerangka kerja ini menjadi kunci untuk memastikan konsistensi dan kualitas pelatihan yang tinggi.

 

Kisah di Balik Angka-Angka: Suara Para Ahli dari Belgia

Di balik kerangka kerja yang rapi dan terorganisir, ada sebuah kisah tentang upaya konsensus yang intens dari para ahli. Validasi kerangka kerja ini tidak dilakukan secara sepihak, melainkan melalui metode Delphi, sebuah proses yang melibatkan panel ahli dalam tiga putaran survei online yang ketat. Awalnya, tantangan sudah terlihat dari tingkat partisipasi. Tim peneliti menghubungi 101 ahli dari berbagai latar belakang, termasuk dokter anak yang baru lulus, supervisor, anggota komite akreditasi, dan pakar pendidikan. Namun, dari 21 orang yang merespons, hanya 11 yang berhasil menyelesaikan kuesioner di putaran pertama.1

Meskipun tingkat respons awal ini tampak rendah, angka-angka selanjutnya menceritakan kisah yang berbeda. Para peneliti berhasil mendapatkan partisipasi yang stabil dari kelompok yang sangat berkomitmen. Di putaran kedua, 13 dari 15 peserta yang diundang (sekitar 86.6%) menyelesaikan survei, dan di putaran ketiga, semua 13 ahli tersebut (100%) melengkapi kuesioner.1 Kelompok inti yang gigih ini, yang mewakili beragam bidang keahlian, berhasil membuktikan bahwa kualitas pemahaman dan komitmen lebih berharga daripada kuantitas partisipan belaka.

Pada putaran pertama, ke-95 kompetensi yang diusulkan mendapat persetujuan luar biasa, dengan konsensus positif mencapai setidaknya 70% di semua kompetensi. Sebanyak 69 kompetensi bahkan mencapai konsensus positif 100%.1 Namun, di sinilah proses menjadi sangat penting. Meskipun semua kompetensi dianggap relevan, para ahli memberikan 84 komentar kualitatif yang mengarah pada penyesuaian. Ini adalah inti dari "cerita di balik data." Fakta bahwa 12 kompetensi harus disesuaikan di putaran kedua menunjukkan bahwa para ahli tidak hanya sekadar menyetujui, tetapi mereka berdebat sengit tentang formulasi dan penerapannya di dunia nyata.1 Perubahan yang diusulkan mencakup penyesuaian untuk membuat formulasi lebih spesifik bagi profesi pediatri, dan untuk mengatasi apakah suatu kompetensi benar-benar berlaku untuk setiap dokter anak, terlepas dari lingkungan kerjanya. Setelah putaran ketiga, semua kompetensi yang telah direformulasi mencapai konsensus 100%.1 Proses ini bukan sekadar validasi, tetapi sebuah proses perbaikan yang ketat, memastikan setiap elemen dalam kerangka kerja tidak hanya relevan secara teori, tetapi juga praktis dan jelas.

 

Tantangan Nyata: Ketika Teori Bertemu Praktik Lapangan

Studi ini tidak mengabaikan tantangan dan keterbatasan yang menyertai setiap upaya ilmiah. Para peneliti secara terbuka mengakui beberapa kritik realistis yang muncul dari panel ahli, terutama mengenai kesulitan dalam menerapkan satu kerangka umum di seluruh lingkungan kerja pediatri yang beragam. Lingkungan kerja seorang dokter anak di rumah sakit universitas sangat berbeda dari praktik swasta atau rumah sakit komunitas. Oleh karena itu, tidak semua kompetensi dianggap sama-sama relevan, dapat diterapkan, atau cocok untuk dievaluasi di setiap pengaturan klinis.1

Salah satu perdebatan yang paling menarik adalah mengenai kompetensi "berkontribusi pada program riset." Beberapa ahli berpendapat bahwa partisipasi aktif dalam riset tidak seharusnya menjadi prasyarat untuk setiap dokter anak, meskipun itu adalah bagian dari program pelatihan saat ini. Perdebatan ini menyoroti ketegangan yang lebih besar dalam profesi medis: apakah seorang dokter anak hanya seorang "pakar klinis" atau juga seorang "sarjana, advokat kesehatan, dan manajer"? Kerangka kerja ini, dengan tujuh peran CanMEDS-nya, menegaskan bahwa seorang dokter modern harus lebih dari sekadar pakar medis. Perdebatan ini menunjukkan bahwa kerangka kerja tersebut bukan sekadar dokumen statis, tetapi pemicu diskusi penting tentang identitas profesi itu sendiri.1

Selain tantangan implementasi, penelitian ini juga jujur mengenai keterbatasan metodologi. Tingkat respons awal yang rendah, meskipun berhasil diatasi oleh partisipasi yang berkomitmen di putaran selanjutnya, tetap menjadi catatan. Para peneliti juga menyebutkan potensi bias lokalisasi, di mana sebagian besar ahli yang terlibat berafiliasi dengan universitas di Flanders. Meskipun penggunaan kerangka kerja internasional seperti CanMEDS dan UEMS memperkecil bias ini, studi di masa depan perlu menyelidiki penerapan kerangka kerja ini di negara lain. Keterbatasan lain adalah sifat metode Delphi itu sendiri, yang tidak memungkinkan diskusi tatap muka untuk memperjelas komentar, yang terkadang bisa mempengaruhi interpretasi.1 Namun, alih-alih dilihat sebagai kelemahan, pengakuan atas keterbatasan ini justru memperkuat kredibilitas studi dan menunjukkan pemahaman mendalam tentang metodologi penelitian.

 

Dampak Nyata: Mengubah Masa Depan Profesi Kedokteran Anak

Validasi kerangka kerja kompetensi terintegrasi ini bukanlah akhir dari cerita, melainkan sebuah titik awal revolusioner. Dengan menyediakan satu panduan yang jelas, studi ini berhasil mengatasi masalah fundamental fragmentasi yang telah menghambat pelatihan pascasarjana pediatri di Flanders. Dampak nyatanya dapat dirasakan secara langsung oleh para calon dokter anak. Mereka kini memiliki "peta jalan" yang jelas tentang apa yang harus mereka kuasai selama pelatihan. Kerangka kerja ini dapat digunakan untuk menetapkan tujuan pembelajaran di tempat kerja, memfasilitasi penilaian yang lebih obyektif, dan menyederhanakan proses sertifikasi, memastikan setiap lulusan memenuhi standar profesional yang seragam dan tinggi.1

Dampak positif ini tidak terbatas pada wilayah Belgia. Kerangka kerja yang tervalidasi ini menawarkan cetak biru yang dapat digunakan dan disesuaikan oleh sistem pendidikan medis di seluruh dunia yang menghadapi tantangan serupa. Jika diterapkan, temuan ini bisa menjadi solusi universal untuk masalah fragmentasi kurikulum. Dengan menyediakan panduan yang teruji dan didukung oleh konsensus ahli, studi ini berpotensi mengubah lanskap pelatihan medis, meningkatkan kualitas dan konsistensi pendidikan di berbagai belahan dunia. Dengan menyederhanakan proses yang tadinya kompleks, kerangka kerja ini berpotensi mengurangi biaya dan waktu yang dihabiskan untuk administrasi kurikulum secara signifikan dalam waktu lima tahun. Ini bukan hanya sebuah kemenangan teoretis, tetapi sebuah langkah nyata menuju masa depan yang lebih efisien dan terstandarisasi dalam pendidikan kedokteran.

 

Analisis Metodologi: Mengapa Delphi Menjadi Pilihan Tepat?

Dalam konteks penelitian ini, pilihan untuk menggunakan metodologi Delphi bukan sekadar formalitas akademik, melainkan sebuah strategi yang cerdik untuk mengatasi tantangan praktis yang signifikan. Metodologi Delphi, sebagai metode konsensus terstruktur, memungkinkan para peneliti untuk mengumpulkan dan mensintesis pendapat dari panel ahli yang tersebar secara geografis tanpa perlu pertemuan tatap muka.1 Hal ini sangat krusial, terutama mengingat studi ini berlangsung antara tahun 2020 dan 2021, di tengah puncak pandemi COVID-19 yang membatasi pertemuan fisik. Kemampuan untuk melanjutkan proses penelitian meskipun ada hambatan global ini menunjukkan adaptasi cerdas dari tim riset.

Lebih dari sekadar logistik, metode Delphi memiliki keunggulan substantif yang menjadikannya pilihan ideal. Salah satu keunggulan terbesar adalah anonimitas respons antar partisipan. Meskipun para peneliti mengetahui identitas responden, para ahli tidak mengetahui siapa saja rekan mereka di panel tersebut. Kondisi ini membantu mencegah dominasi oleh satu atau dua ahli yang paling vokal atau berwibawa, memastikan bahwa setiap suara memiliki bobot yang sama dan didasarkan pada substansi, bukan reputasi.1 Dengan demikian, konsensus yang dicapai benar-benar mencerminkan pandangan kolektif yang jujur dan tidak bias. Proses berulang yang memungkinkan para ahli untuk meninjau hasil putaran sebelumnya dan mengomentari alasan perubahan juga menambahkan lapisan ketelitian, mengubah proses validasi dari sekadar jajak pendapat menjadi siklus perbaikan yang berkelanjutan. Proses ini berhasil mengumpulkan data kuantitatif (skala Likert) dan kualitatif (komentar bebas) yang saling melengkapi, menghasilkan kerangka kerja yang tidak hanya tervalidasi secara statistik, tetapi juga terperbaiki secara kualitatif.

 

Implikasi Global: Lebih dari Sekadar Belgia

Meskipun fokus geografis penelitian ini adalah pada pelatihan pediatri di Flanders, Belgia, model dan temuan yang dihasilkan memiliki implikasi yang jauh lebih luas. Studi ini dapat dilihat sebagai bukti konsep (proof of concept) yang sangat kuat, menunjukkan bahwa penggabungan kerangka kerja yang beragam menjadi satu sistem terpadu adalah hal yang mungkin dan bermanfaat. Masalah fragmentasi kurikulum dalam pendidikan pascasarjana bukanlah fenomena yang hanya terjadi di Belgia; ini adalah tantangan yang dihadapi oleh banyak sistem pendidikan medis di seluruh dunia.

Keberhasilan studi ini sebagian besar disebabkan oleh penggunaan CanMEDS sebagai kerangka kerja dasar. CanMEDS bukanlah standar lokal, melainkan kerangka kerja internasional yang diakui secara global yang mendefinisikan tujuh peran inti yang harus dimiliki oleh seorang dokter, mulai dari Medical Expert hingga Leader dan Health Advocate.1 Dengan memadukan kompetensi lokal dan regional ke dalam model CanMEDS, para peneliti tidak hanya menyelesaikan masalah yang dihadapi di Belgia, tetapi juga menciptakan solusi yang dapat diskalakan dan relevan bagi banyak negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan kedokteran di seluruh dunia dapat mencapai unifikasi tanpa harus mengorbankan kekhususan regional atau disiplin.

Lebih lanjut, studi ini menegaskan tren global menuju dokter yang lebih holistik, bukan sekadar ahli klinis. Kerangka kerja terintegrasi ini secara eksplisit mencakup peran non-klinis, yang mencerminkan pergeseran filosofis dalam profesi medis modern. Keberhasilan dalam memvalidasi kompetensi di luar pengetahuan medis dan keterampilan teknis menunjukkan bahwa kurikulum pascasarjana dapat dan harus mempersiapkan dokter untuk peran mereka sebagai sarjana, komunikator, manajer, advokat, dan profesional yang etis. Dengan demikian, penelitian ini menjadi panduan praktis untuk mendorong evolusi profesi kedokteran di skala global, menyediakan cetak biru yang dapat membantu negara lain mengatasi masalah serupa dan mengadopsi standar global yang lebih komprehensif.

 

Rekomendasi Praktis dan Arah Penelitian Lanjutan

Keberhasilan sebuah kerangka kerja kompetensi tidak berhenti pada validasi teoretisnya. Tantangan terbesar, seperti yang diakui oleh para peneliti, terletak pada implementasinya di lingkungan kerja sehari-hari.1 Untuk memastikan bahwa kerangka kerja ini benar-benar memberikan dampak positif, beberapa rekomendasi praktis dan arah penelitian lanjutan harus dipertimbangkan.

Pertama, implementasi yang efektif membutuhkan dukungan dan pelatihan yang memadai. Para supervisor klinis, yang seringkali bukan pendidik medis profesional, akan membutuhkan panduan yang jelas dan perangkat penilaian yang teruji untuk dapat mengintegrasikan dan mengevaluasi kompetensi ini dalam rutinitas kerja sehari-hari. Sebuah kerangka yang solid tidak akan berguna jika tidak dapat diterapkan secara konsisten di lapangan. Dengan demikian, langkah selanjutnya harus mencakup pengembangan alat penilaian praktis dan program pelatihan bagi para supervisor, sehingga mereka memiliki indikator kualitas yang jelas untuk membimbing para residen.1

Kedua, studi ini membuka jalan untuk penelitian lanjutan yang krusial. Para peneliti sendiri mencatat bahwa meskipun kompetensi teknis pediatri tercakup, validasi daftar keterampilan spesifik yang terkait dengannya berada di luar lingkup studi ini.1 Oleh karena itu, penelitian lanjutan sangat diperlukan untuk memvalidasi daftar keterampilan tersebut secara terpisah, memastikan bahwa pengetahuan dan keahlian spesifik ini juga memenuhi standar yang sama dengan kompetensi yang lebih umum. Selain itu, para peneliti juga secara jujur mengakui perlunya mendefinisikan tingkatan kompetensi yang berbeda untuk setiap peran, sesuai dengan tingkat senioritas residen. Seorang residen junior, misalnya, mungkin hanya perlu menguasai manajemen rencana jangka pendek, sementara residen yang lebih senior harus mampu menyusun rencana manajemen jangka panjang. Penelitian di masa depan harus fokus pada pengembangan dan validasi tingkat-tingkat ini.

Terakhir, untuk mengatasi bias lokalisasi yang mungkin ada, penelitian selanjutnya harus menguji penerapan dan relevansi kerangka kerja ini di negara lain. Keberhasilan di Belgia adalah langkah awal yang menjanjikan, tetapi validasi yang lebih luas akan mengubah kerangka ini dari solusi regional menjadi standar internasional. Dengan mengatasi tantangan implementasi dan terus mendorong penelitian lanjutan, kerangka kerja ini dapat menjadi bagian dari siklus perbaikan berkelanjutan yang akan meningkatkan kualitas pendidikan kedokteran pascasarjana dan, pada akhirnya, kualitas perawatan pasien di seluruh dunia.


Sumber Artikel:

Robbrecht, M., Norga, K., Van Winckel, M., Valcke, M., & Embo, M. (2022). Development of an integrated competency framework for postgraduate paediatric training: a Delphi study. European Journal of Pediatrics181(2), 637-646.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Terobosan Besar dalam Pelatihan Dokter Anak – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Kesehatan Masyarakat

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kesiapan Perawat Pandemi: Bukan Hanya Soal Medis, tapi juga Mental dan Dedikasi

Dipublikasikan oleh Hansel pada 15 September 2025


Pahlawan Tak Terlihat di Garda Terdepan

Di balik hiruk-pikuk berita global tentang lonjakan kasus dan angka kematian, ada sosok yang selalu menjadi benteng terakhir: perawat di garis depan. Mereka adalah pahlawan tak terlihat yang menghadapi virus secara langsung, menjadi jembatan antara pasien dan pemulihan. Sejarah telah berulang kali membuktikan bahwa perawat adalah "kekuatan utama dalam penyelamatan darurat publik" dalam setiap krisis kesehatan, mulai dari wabah SARS hingga pandemi COVID-19 yang melanda dunia.1 Namun, terlepas dari peran krusial ini, sistem global belum memiliki cara yang terpadu dan ilmiah untuk memastikan bahwa perawat yang ditugaskan di garda terdepan memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk tugas berisiko tinggi ini.

Selama ini, alokasi perawat untuk penanganan epidemi sering kali didasarkan pada metode yang kurang sistematis, seperti senioritas, lama masa kerja, atau hanya berdasarkan "prinsip berbasis departemen dan pekerjaan yang konsisten".1 Pendekatan ini, yang mungkin berfungsi dalam kondisi klinis normal, ternyata menciptakan celah besar dalam sistem respons kesehatan saat dihadapkan pada krisis besar. Ini sering kali menyebabkan penugasan yang tidak optimal, di mana perawat dengan keahlian spesifik yang dibutuhkan mungkin tidak ditempatkan di posisi yang paling membutuhkan, dan sebaliknya. Kurangnya alat evaluasi yang terstruktur dan terpadu menyulitkan manajer keperawatan untuk secara akurat dan ilmiah menilai kesiapan staf mereka, sebuah masalah yang krusial dan berulang dalam setiap wabah.1

Atas dasar itulah, sebuah tim peneliti dari Tiongkok melakukan studi ambisius untuk mengisi celah ini. Dalam sebuah makalah yang diterbitkan di jurnal ilmiah bergengsi, PLOS ONE, mereka memperkenalkan sebuah cetak biru ilmiah—sebuah "sistem indeks evaluasi kompetensi"—yang dirancang khusus untuk perawat garis depan selama wabah penyakit menular besar.1 Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan landasan ilmiah bagi manajer keperawatan untuk secara akurat memahami, menganalisis, dan mengevaluasi tingkat kompetensi staf mereka, serta untuk secara ilmiah mengimplementasikan alokasi sumber daya manusia di masa depan.1 Laporan ini mengupas tuntas temuan-temuan krusial yang tidak hanya berfokus pada data, tetapi juga mengungkap narasi dan implikasi di balik setiap angka.

 

Di Balik Tirai Isolasi: Mengapa Kompetensi Perawat Menjadi Kunci?

Pandemi yang tak terduga, seperti flu burung A(H7N9) atau MERS, telah menjadi peristiwa kesehatan masyarakat yang kerap terjadi, membahayakan kesehatan publik dan mengancam stabilitas ekonomi-sosial.1 Dalam menghadapi gelombang krisis ini, perawat adalah garda terdepan. Kemampuan mereka dalam merespons darurat secara langsung menentukan kualitas keseluruhan penyelamatan medis. Mereka yang memiliki kualitas kompetensi tinggi dapat memberikan dukungan teknis dan intelektual dengan efikasi maksimum, memastikan kelancaran penyelamatan dan mengurangi angka disabilitas serta kematian.1

Namun, tinjauan literatur menunjukkan bahwa sebagian besar penelitian tentang evaluasi kompetensi perawat berfokus pada praktik klinis rutin, seperti untuk mahasiswa keperawatan, perawat spesialis, atau manajer keperawatan.1 Studi-studi tersebut tidak secara spesifik menangani kompetensi yang dibutuhkan selama epidemi penyakit menular besar, di mana situasi klinis sangat unik dan menuntut. Pendekatan lama yang mengandalkan senioritas atau pengalaman umum, seperti yang diterapkan di banyak institusi, telah terbukti tidak memadai. Ketika wabah COVID-19 melanda, institusi medis harus mengerahkan tenaga perawat secara darurat dan tanpa panduan yang terpadu.1

Temuan ini menunjukkan adanya pergeseran paradigma yang fundamental dalam manajemen sumber daya manusia di sektor kesehatan. Era mengandalkan pengalaman atau senioritas semata-mata tidak lagi relevan dalam menghadapi tantangan yang kompleks dan dinamis dari krisis kesehatan modern. Diperlukan sebuah alat evaluasi yang terstruktur dan terukur secara ilmiah, yang dapat mengidentifikasi kelemahan spesifik dan kekuatan setiap perawat. Sistem yang dihasilkan dari penelitian ini menjadi cetak biru yang memungkinkan pergeseran dari manajemen "berdasarkan pengalaman" menjadi manajemen "berdasarkan kompetensi terukur."

 

Menyingkap Konsensus Ilmiah: Menggunakan Metode Delphi untuk Membangun Standar Baru

Untuk membangun sistem evaluasi yang kredibel dan valid, para peneliti menggunakan metode Delphi, sebuah pendekatan yang sangat dihormati dalam dunia riset.1 Inti dari metode ini adalah mengumpulkan pendapat dari sekelompok ahli secara anonim melalui beberapa putaran kuesioner. Karena para ahli tidak saling berinteraksi secara langsung, pendapat mereka tidak dipengaruhi oleh hierarki atau dinamika kelompok, sehingga menghasilkan konsensus yang lebih murni dan objektif.1

Dalam penelitian ini, para ahli dipilih secara cermat melalui proses purposive sampling, melibatkan 26 pakar dari 11 provinsi dan kota di seluruh Tiongkok. Kriteria pemilihan ahli sangat ketat, termasuk memiliki pengalaman langsung dalam penyelamatan wabah penyakit menular, sehingga menjamin representasi dan otoritas yang tinggi.1

Data statistik yang dihasilkan dari penelitian ini sangat meyakinkan. Tingkat respons kuesioner menunjukkan antusiasme para ahli yang luar biasa, dengan 93.1% respons di putaran pertama dan 96% di putaran kedua.1 Angka ini setara dengan tingkat partisipasi nyaris sempurna yang jarang ditemukan dalam survei. Lebih jauh lagi, "koefisien otoritas" para ahli, yang mengukur tingkat pengetahuan dan kredibilitas mereka, mencapai 0.96 dan 0.98 di dua putaran tersebut.1 Angka yang nyaris sempurna ini adalah bukti nyata bahwa para ahli yang disurvei benar-benar merupakan otoritas di bidangnya. Tingkat koordinasi pendapat mereka, yang diukur dengan koefisien Kendall, juga signifikan secara statistik (

$P<0.001$).1 Angka-angka ini bukan sekadar statistik; mereka adalah bukti nyata dari validitas dan keandalan penelitian. Tingginya tingkat respons dan koefisien otoritas yang kuat menunjukkan bahwa topik ini dianggap sangat penting oleh para pakar, dan mereka bersedia meluangkan waktu untuk memastikan hasilnya akurat. Proses ini pada akhirnya menguatkan klaim bahwa sistem yang dihasilkan bersifat "ilmiah, masuk akal, dan praktis".1

 

Mengukur Kesiapan Sejati: Empat Pilar Kompetensi Paling Utama

Setelah dua putaran konsultasi yang ketat, para peneliti berhasil menyusun sebuah sistem evaluasi yang terdiri dari 4 indikator utama, 10 indikator sekunder, dan 64 indikator tersier.1 Sistem ini secara ilmiah dan komprehensif mencakup kompetensi yang dibutuhkan perawat untuk merespons wabah. Dengan menggunakan proses

Analytic Hierarchy Process (AHP) untuk menghitung bobot, para peneliti menemukan urutan prioritas yang menarik:

  • Keterampilan Keperawatan untuk Penyakit Menular: Bobot 0.345, tertinggi.
  • Kemampuan Profesional Terkait untuk Penyakit Menular: Bobot 0.292.
  • Sistem Pengetahuan tentang Penyakit Menular: Bobot 0.198.
  • Kualitas Komprehensif: Bobot 0.165, terendah.1

Pembobotan indikator tingkat pertama menunjukkan prioritas yang diberikan pada aspek-aspek kompetensi dalam menghadapi penyakit menular. Indikator dengan bobot tertinggi adalah Keterampilan Keperawatan untuk Penyakit Menular sebesar 0,345, yang menunjukkan bahwa kemampuan praktis dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit menular dipandang sebagai faktor utama dalam mendukung kualitas layanan. Selanjutnya, Kemampuan Profesional Terkait untuk Penyakit Menular memperoleh bobot 0,292, menandakan pentingnya profesionalisme tenaga keperawatan dalam melaksanakan tugas sesuai standar dan etika yang berlaku. Indikator Sistem Pengetahuan tentang Penyakit Menular berada pada bobot 0,198, yang menekankan peran pengetahuan konseptual dan teoritis sebagai landasan dalam praktik keperawatan. Adapun Kualitas Komprehensif memiliki bobot 0,165, yang meskipun lebih rendah dibandingkan indikator lainnya, tetap menunjukkan kontribusi signifikan dalam membentuk kompetensi keperawatan yang menyeluruh. Dengan demikian, hasil pembobotan ini mengindikasikan bahwa keterampilan praktis dan kemampuan profesional menjadi prioritas utama dalam pengembangan kapasitas keperawatan untuk penyakit menular.

Urutan ini mengungkapkan sebuah prioritas yang sangat jelas: dalam situasi darurat, kemampuan untuk melakukan (keterampilan) jauh lebih penting daripada sekadar mengetahui (pengetahuan). Bobot tertinggi yang diberikan pada "Keterampilan Keperawatan" menunjukkan bahwa manajer keperawatan harus memprioritaskan pelatihan praktis dan simulasi skenario, bahkan lebih dari pembelajaran teoretis di ruang kelas.1 Ini adalah temuan krusial yang bisa menjadi panduan untuk merevisi kurikulum dan program pelatihan di seluruh dunia.

 

Dari APD Hingga Pertolongan Darurat: Keterampilan yang Paling Vital

Dalam analisis yang lebih mendalam, studi ini menggali indikator-indikator spesifik yang memiliki bobot paling tinggi. Di antara semua keterampilan keperawatan, ada satu yang memiliki bobot tertinggi: "Keterampilan Memakai dan Melepas Alat Pelindung Diri" (APD).1 Hal ini mungkin terlihat sederhana, namun penelitian ini menegaskan bahwa ini adalah prasyarat utama untuk keselamatan seluruh tim medis. Jika seorang perawat tidak dapat melindungi dirinya sendiri, maka ia akan berisiko terinfeksi dan tidak dapat melanjutkan tugasnya, yang pada akhirnya akan merusak seluruh rantai penanganan. Dengan kata lain, melindungi perawat adalah fondasi utama sebelum mereka dapat melindungi dan mengobati pasien.1

Selain itu, penelitian ini menjadi yang pertama kalinya menyoroti pentingnya keterampilan klinis tingkat lanjut seperti “penggunaan dan pemantauan ECMO, ventilator, dan CRRT” bagi perawat garis depan.1 Meskipun keterampilan ini dikenal sulit, studi awal menunjukkan bahwa perawat harus memiliki pengetahuan dasar tentangnya untuk dapat merespons krisis secara efektif. Ini mengindikasikan bahwa rumah sakit harus mengintegrasikan pelatihan teknik-teknik ini ke dalam program rutin mereka, seperti melalui kompetisi teknis atau simulasi skenario, untuk memastikan perawat siap saat dibutuhkan.1

Namun, salah satu temuan yang paling mengejutkan adalah bobot tertinggi yang diberikan kepada "Kemampuan Respons Darurat Bunuh Diri" dalam kategori "Kemampuan Respons Darurat".1 Angka ini adalah lonceng peringatan yang kuat tentang dimensi kemanusiaan dari sebuah pandemi. Ruang isolasi adalah lingkungan yang tertutup dan penuh tekanan. Pasien terpisah dari orang terkasih, dihadapkan pada ketakutan, kecemasan, dan ketidakpastian kondisi kesehatan mereka.1 Dalam situasi seperti ini, perawat tidak hanya berurusan dengan kondisi fisik pasien, tetapi juga menjadi responden pertama untuk krisis mental. Temuan ini menyiratkan bahwa pelatihan kesehatan mental dan identifikasi risiko psikologis harus menjadi komponen inti dari persiapan perawat garda depan.

Hasil pembobotan keterampilan krusial menunjukkan adanya variasi tingkat kepentingan pada masing-masing kompetensi. Keterampilan Memakai dan Melepas Alat Pelindung Diri (APD) memperoleh bobot tertinggi sebesar 0,091, yang menegaskan bahwa prosedur ini menjadi prioritas utama dalam pencegahan penularan penyakit dan perlindungan tenaga kesehatan. Sementara itu, Keterampilan Resusitasi Jantung Paru Otak dan Keterampilan Penggunaan Ventilator masing-masing memiliki bobot yang sama, yakni 0,012, menunjukkan bahwa meskipun keduanya sangat vital dalam situasi kritis, frekuensi dan urgensi penerapannya dinilai lebih rendah dibandingkan keterampilan lainnya. Keterampilan Respons Darurat Bunuh Diri memperoleh bobot 0,031, menekankan pentingnya kesiapan tenaga kesehatan dalam menghadapi situasi kedaruratan psikologis. Selain itu, Keterampilan Identifikasi Risiko Psikologis dengan bobot 0,046 juga menegaskan peran signifikan tenaga kesehatan dalam mendeteksi faktor risiko yang berpotensi mengganggu kesehatan mental pasien maupun tenaga medis. Secara keseluruhan, hasil ini menunjukkan bahwa aspek proteksi diri serta identifikasi risiko psikologis dipandang lebih prioritas, sementara keterampilan teknis lanjutan, meskipun penting, ditempatkan dengan bobot yang lebih rendah.

 

Kualitas Tersembunyi di Balik Seragam: Dedikasi, Fisik, dan Mental

Penelitian ini juga merujuk pada "model gunung es" kompetensi, yang membedakan antara keterampilan yang terlihat (di atas permukaan air) dan karakteristik yang tak terlihat (di bawah permukaan).1 Meskipun kategori "Kualitas Komprehensif" memiliki bobot terkecil di antara empat pilar, studi ini menekankan bahwa ini adalah karakteristik "tak kasat mata" yang "menjadi penentu kompetensi pribadi".1 Ini adalah paradox yang menarik: sesuatu yang tampaknya tidak penting secara angka, ternyata menjadi penentu keberhasilan.1

Beberapa karakteristik yang termasuk dalam pilar ini adalah "Semangat Dedikasi," "Semangat Kerja Keras," "Kualitas Fisik," dan "Ketahanan Mental".1 Semangat dedikasi, misalnya, memiliki bobot tertinggi dalam kategori ini.1 Ini menunjukkan bahwa para ahli percaya karakteristik seperti ini tidak dapat diabaikan. Namun, berbeda dengan keterampilan, karakteristik ini sulit untuk dikembangkan atau diubah dalam waktu singkat.1 Kualitas fisik, misalnya, sangat vital karena beban kerja di bangsal isolasi sangat berat. Perawat harus mengenakan APD yang sesak, yang sering kali menyebabkan sulit bernapas, pusing, dan kelelahan fisik. Memiliki tubuh yang kuat adalah prasyarat untuk dapat menjalankan tugas ini secara efektif.1

Hal ini menyiratkan bahwa para manajer tidak hanya perlu melatih perawat untuk keterampilan, tetapi juga harus memiliki kriteria seleksi yang kuat untuk karakteristik-karakteristik ini. Rekrutmen dan penugasan perawat untuk tim darurat di masa depan harus melibatkan skrining psikologis dan fisik yang ketat. Ini adalah pengingat bahwa kompetensi sejati adalah gabungan dari keahlian teknis dan kualitas personal yang sulit dilatih namun sangat menentukan.

 

Tantangan dan Harapan: Mengubah Teori Menjadi Praktik Nyata

Meskipun sistem evaluasi ini menawarkan sebuah terobosan, para peneliti mengakui adanya kritik realistis. Mereka menyatakan bahwa sistem yang baru saja dibangun ini masih terbatas pada "kerangka teoretis".1 Namun, kritik ini justru membuka jalan bagi langkah selanjutnya yang jauh lebih penting. Para peneliti menyarankan bahwa sistem ini "perlu diuji melalui aplikasi berskala besar" untuk memverifikasi keilmiahan dan kepraktisannya.1

Jika kerangka ini berhasil diubah menjadi alat praktis dan diterapkan secara nasional, dampak nyatanya bisa sangat besar. Sistem ini akan memungkinkan manajer keperawatan untuk secara lebih akurat dan objektif mengevaluasi tingkat kompetensi staf mereka, mengidentifikasi kelemahan spesifik, dan melakukan pelatihan yang lebih terarah.1 Dengan demikian, alokasi sumber daya manusia keperawatan dapat diimplementasikan secara ilmiah, memastikan bahwa tim terbaik berada di garis depan.

Pada akhirnya, penelitian ini menyediakan sebuah cetak biru nasional, bahkan global, untuk manajemen sumber daya manusia keperawatan dalam menghadapi krisis kesehatan. Temuan ini dapat mengurangi biaya dan waktu yang hilang akibat alokasi sumber daya yang tidak efisien, dan yang paling penting, berpotensi menyelamatkan lebih banyak nyawa pasien dalam lima tahun ke depan.

Sumber Artikel:

Bai, X., Gan, X., Yang, R., Zhang, C., Luo, X., Luo, C., & Chen, S. (2022). Construction of a competency evaluation index system for front-line nurses during the outbreak of major infectious diseases: a Delphi study. PLoS One17(7), e0270902.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kesiapan Perawat Pandemi: Bukan Hanya Soal Medis, tapi juga Mental dan Dedikasi
page 1 of 2 Next Last »