Kesehatan Masyarakat

Penelitian Ini Mengungkap Terobosan Besar dalam Pelatihan Dokter Anak – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 September 2025


Menyelami Misi Para Ilmuwan di Belgia

Dalam lanskap pendidikan medis yang dinamis dan terus berevolusi, para calon dokter masa depan dihadapkan pada tantangan yang unik: bagaimana menjadi profesional yang tidak hanya kompeten secara klinis tetapi juga seorang komunikator, kolaborator, dan pemimpin yang efektif? Pertanyaan ini menjadi semakin rumit ketika sistem pendidikan medis, alih-alih memberikan panduan yang jelas, malah menyajikan sebuah labirin. Di Flanders, Belgia, para calon dokter anak pascasarjana menghadapi masalah ini secara langsung. Mereka harus menavigasi beberapa kerangka kerja kompetensi yang berbeda secara bersamaan, sebuah kondisi yang dapat menciptakan kekacauan dan inkonsistensi dalam evaluasi, pelatihan, dan sertifikasi mereka.1

Bayangkan sebuah sekolah di mana setiap mata pelajaran diajarkan dengan kurikulum yang berbeda, tanpa ada benang merah yang menyatukan. Para siswa mungkin mahir di satu bidang, tetapi bingung bagaimana pengetahuan tersebut terhubung dengan bidang lainnya. Inilah situasi yang terjadi dalam pelatihan pascasarjana pediatri di sana. Berbagai kerangka kerja seperti Master of Specialist Medicine (MSG) dan panduan spesifik dari European Union of Medical Specialists (UEMS) digunakan, tetapi mereka tidak terintegrasi secara mulus. Keadaan ini menciptakan kebingungan dan berpotensi menghambat kontinuitas pembelajaran.1

Menanggapi masalah praktis ini, sebuah tim peneliti yang terdiri dari para ahli di bidang pediatri dan pendidikan dari berbagai universitas terkemuka di Belgia—terutama dari Ghent University—memulai sebuah misi ambisius. Tujuan utama mereka bukanlah sekadar menambah kerangka kerja lain, melainkan untuk menggabungkan kerangka kerja yang sudah ada menjadi satu panduan terpadu dan universal yang dapat membawa kejelasan dan keseragaman dalam pelatihan dokter anak. Mereka bertekad untuk menciptakan sebuah "bahasa bersama" yang bisa digunakan oleh semua pihak yang terlibat, mulai dari supervisor, penguji, hingga para residen itu sendiri, sehingga setiap orang memiliki pemahaman yang sama tentang apa yang diperlukan untuk menjadi dokter anak yang kompeten.1

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia Pendidikan Medis?

Inti dari penelitian ini adalah sebuah upaya yang belum pernah terjadi sebelumnya: secara sistematis menggabungkan tiga kerangka kerja yang dominan—yaitu Kerangka CanMEDS (Canadian Medical Education Directives for Specialists), UEMS, dan MSG—menjadi satu panduan tunggal yang kohesif. CanMEDS dipilih sebagai fondasi utama atau "tulang punggung" dari kerangka baru ini, sebuah keputusan yang sangat strategis. Alasannya, CanMEDS adalah kerangka yang sudah diterima secara luas dalam pendidikan kedokteran sarjana di Flanders, bahkan telah digunakan untuk memvalidasi kompetensi di tingkat itu.1 Dengan menjadikan CanMEDS sebagai dasar, para peneliti memastikan adanya kontinuitas yang mulus dari pendidikan sarjana ke pascasarjana.

Proses penggabungan ini dilakukan dengan ketelitian yang luar biasa. Para peneliti pertama-tama secara manual menautkan 65 kompetensi dari kerangka UEMS dan 33 kompetensi dari kerangka MSG ke 89 kompetensi yang mendasari peran-peran CanMEDS.1 Langkah ini tidak hanya membantu mengidentifikasi kompetensi yang tumpang tindih tetapi juga menyoroti area yang masih kosong. Setelah proses penautan awal selesai, mereka memadukan kompetensi yang serupa, menghasilkan daftar awal sebanyak 95 kompetensi yang kemudian akan divalidasi oleh panel ahli.

Keberhasilan penggabungan ini lebih dari sekadar pencapaian teknis. Ini adalah model kolaborasi antar lembaga dan standar yang berbeda. Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang sistematis dan terperinci, adalah mungkin untuk mengatasi fragmentasi dan menciptakan panduan yang lebih jelas dan komprehensif. Hasil akhirnya adalah sebuah kerangka yang tidak hanya menyatukan kompetensi yang ada, tetapi juga menetapkan "bahasa bersama" yang dapat menyederhanakan komunikasi dan proses pendidikan. Ini adalah cetak biru yang dapat direplikasi tidak hanya di seluruh Belgia, tetapi juga di disiplin medis atau negara lain yang menghadapi tantangan serupa. Dengan menghilangkan kebingungan yang disebabkan oleh beragam standar, kerangka kerja ini menjadi kunci untuk memastikan konsistensi dan kualitas pelatihan yang tinggi.

 

Kisah di Balik Angka-Angka: Suara Para Ahli dari Belgia

Di balik kerangka kerja yang rapi dan terorganisir, ada sebuah kisah tentang upaya konsensus yang intens dari para ahli. Validasi kerangka kerja ini tidak dilakukan secara sepihak, melainkan melalui metode Delphi, sebuah proses yang melibatkan panel ahli dalam tiga putaran survei online yang ketat. Awalnya, tantangan sudah terlihat dari tingkat partisipasi. Tim peneliti menghubungi 101 ahli dari berbagai latar belakang, termasuk dokter anak yang baru lulus, supervisor, anggota komite akreditasi, dan pakar pendidikan. Namun, dari 21 orang yang merespons, hanya 11 yang berhasil menyelesaikan kuesioner di putaran pertama.1

Meskipun tingkat respons awal ini tampak rendah, angka-angka selanjutnya menceritakan kisah yang berbeda. Para peneliti berhasil mendapatkan partisipasi yang stabil dari kelompok yang sangat berkomitmen. Di putaran kedua, 13 dari 15 peserta yang diundang (sekitar 86.6%) menyelesaikan survei, dan di putaran ketiga, semua 13 ahli tersebut (100%) melengkapi kuesioner.1 Kelompok inti yang gigih ini, yang mewakili beragam bidang keahlian, berhasil membuktikan bahwa kualitas pemahaman dan komitmen lebih berharga daripada kuantitas partisipan belaka.

Pada putaran pertama, ke-95 kompetensi yang diusulkan mendapat persetujuan luar biasa, dengan konsensus positif mencapai setidaknya 70% di semua kompetensi. Sebanyak 69 kompetensi bahkan mencapai konsensus positif 100%.1 Namun, di sinilah proses menjadi sangat penting. Meskipun semua kompetensi dianggap relevan, para ahli memberikan 84 komentar kualitatif yang mengarah pada penyesuaian. Ini adalah inti dari "cerita di balik data." Fakta bahwa 12 kompetensi harus disesuaikan di putaran kedua menunjukkan bahwa para ahli tidak hanya sekadar menyetujui, tetapi mereka berdebat sengit tentang formulasi dan penerapannya di dunia nyata.1 Perubahan yang diusulkan mencakup penyesuaian untuk membuat formulasi lebih spesifik bagi profesi pediatri, dan untuk mengatasi apakah suatu kompetensi benar-benar berlaku untuk setiap dokter anak, terlepas dari lingkungan kerjanya. Setelah putaran ketiga, semua kompetensi yang telah direformulasi mencapai konsensus 100%.1 Proses ini bukan sekadar validasi, tetapi sebuah proses perbaikan yang ketat, memastikan setiap elemen dalam kerangka kerja tidak hanya relevan secara teori, tetapi juga praktis dan jelas.

 

Tantangan Nyata: Ketika Teori Bertemu Praktik Lapangan

Studi ini tidak mengabaikan tantangan dan keterbatasan yang menyertai setiap upaya ilmiah. Para peneliti secara terbuka mengakui beberapa kritik realistis yang muncul dari panel ahli, terutama mengenai kesulitan dalam menerapkan satu kerangka umum di seluruh lingkungan kerja pediatri yang beragam. Lingkungan kerja seorang dokter anak di rumah sakit universitas sangat berbeda dari praktik swasta atau rumah sakit komunitas. Oleh karena itu, tidak semua kompetensi dianggap sama-sama relevan, dapat diterapkan, atau cocok untuk dievaluasi di setiap pengaturan klinis.1

Salah satu perdebatan yang paling menarik adalah mengenai kompetensi "berkontribusi pada program riset." Beberapa ahli berpendapat bahwa partisipasi aktif dalam riset tidak seharusnya menjadi prasyarat untuk setiap dokter anak, meskipun itu adalah bagian dari program pelatihan saat ini. Perdebatan ini menyoroti ketegangan yang lebih besar dalam profesi medis: apakah seorang dokter anak hanya seorang "pakar klinis" atau juga seorang "sarjana, advokat kesehatan, dan manajer"? Kerangka kerja ini, dengan tujuh peran CanMEDS-nya, menegaskan bahwa seorang dokter modern harus lebih dari sekadar pakar medis. Perdebatan ini menunjukkan bahwa kerangka kerja tersebut bukan sekadar dokumen statis, tetapi pemicu diskusi penting tentang identitas profesi itu sendiri.1

Selain tantangan implementasi, penelitian ini juga jujur mengenai keterbatasan metodologi. Tingkat respons awal yang rendah, meskipun berhasil diatasi oleh partisipasi yang berkomitmen di putaran selanjutnya, tetap menjadi catatan. Para peneliti juga menyebutkan potensi bias lokalisasi, di mana sebagian besar ahli yang terlibat berafiliasi dengan universitas di Flanders. Meskipun penggunaan kerangka kerja internasional seperti CanMEDS dan UEMS memperkecil bias ini, studi di masa depan perlu menyelidiki penerapan kerangka kerja ini di negara lain. Keterbatasan lain adalah sifat metode Delphi itu sendiri, yang tidak memungkinkan diskusi tatap muka untuk memperjelas komentar, yang terkadang bisa mempengaruhi interpretasi.1 Namun, alih-alih dilihat sebagai kelemahan, pengakuan atas keterbatasan ini justru memperkuat kredibilitas studi dan menunjukkan pemahaman mendalam tentang metodologi penelitian.

 

Dampak Nyata: Mengubah Masa Depan Profesi Kedokteran Anak

Validasi kerangka kerja kompetensi terintegrasi ini bukanlah akhir dari cerita, melainkan sebuah titik awal revolusioner. Dengan menyediakan satu panduan yang jelas, studi ini berhasil mengatasi masalah fundamental fragmentasi yang telah menghambat pelatihan pascasarjana pediatri di Flanders. Dampak nyatanya dapat dirasakan secara langsung oleh para calon dokter anak. Mereka kini memiliki "peta jalan" yang jelas tentang apa yang harus mereka kuasai selama pelatihan. Kerangka kerja ini dapat digunakan untuk menetapkan tujuan pembelajaran di tempat kerja, memfasilitasi penilaian yang lebih obyektif, dan menyederhanakan proses sertifikasi, memastikan setiap lulusan memenuhi standar profesional yang seragam dan tinggi.1

Dampak positif ini tidak terbatas pada wilayah Belgia. Kerangka kerja yang tervalidasi ini menawarkan cetak biru yang dapat digunakan dan disesuaikan oleh sistem pendidikan medis di seluruh dunia yang menghadapi tantangan serupa. Jika diterapkan, temuan ini bisa menjadi solusi universal untuk masalah fragmentasi kurikulum. Dengan menyediakan panduan yang teruji dan didukung oleh konsensus ahli, studi ini berpotensi mengubah lanskap pelatihan medis, meningkatkan kualitas dan konsistensi pendidikan di berbagai belahan dunia. Dengan menyederhanakan proses yang tadinya kompleks, kerangka kerja ini berpotensi mengurangi biaya dan waktu yang dihabiskan untuk administrasi kurikulum secara signifikan dalam waktu lima tahun. Ini bukan hanya sebuah kemenangan teoretis, tetapi sebuah langkah nyata menuju masa depan yang lebih efisien dan terstandarisasi dalam pendidikan kedokteran.

 

Analisis Metodologi: Mengapa Delphi Menjadi Pilihan Tepat?

Dalam konteks penelitian ini, pilihan untuk menggunakan metodologi Delphi bukan sekadar formalitas akademik, melainkan sebuah strategi yang cerdik untuk mengatasi tantangan praktis yang signifikan. Metodologi Delphi, sebagai metode konsensus terstruktur, memungkinkan para peneliti untuk mengumpulkan dan mensintesis pendapat dari panel ahli yang tersebar secara geografis tanpa perlu pertemuan tatap muka.1 Hal ini sangat krusial, terutama mengingat studi ini berlangsung antara tahun 2020 dan 2021, di tengah puncak pandemi COVID-19 yang membatasi pertemuan fisik. Kemampuan untuk melanjutkan proses penelitian meskipun ada hambatan global ini menunjukkan adaptasi cerdas dari tim riset.

Lebih dari sekadar logistik, metode Delphi memiliki keunggulan substantif yang menjadikannya pilihan ideal. Salah satu keunggulan terbesar adalah anonimitas respons antar partisipan. Meskipun para peneliti mengetahui identitas responden, para ahli tidak mengetahui siapa saja rekan mereka di panel tersebut. Kondisi ini membantu mencegah dominasi oleh satu atau dua ahli yang paling vokal atau berwibawa, memastikan bahwa setiap suara memiliki bobot yang sama dan didasarkan pada substansi, bukan reputasi.1 Dengan demikian, konsensus yang dicapai benar-benar mencerminkan pandangan kolektif yang jujur dan tidak bias. Proses berulang yang memungkinkan para ahli untuk meninjau hasil putaran sebelumnya dan mengomentari alasan perubahan juga menambahkan lapisan ketelitian, mengubah proses validasi dari sekadar jajak pendapat menjadi siklus perbaikan yang berkelanjutan. Proses ini berhasil mengumpulkan data kuantitatif (skala Likert) dan kualitatif (komentar bebas) yang saling melengkapi, menghasilkan kerangka kerja yang tidak hanya tervalidasi secara statistik, tetapi juga terperbaiki secara kualitatif.

 

Implikasi Global: Lebih dari Sekadar Belgia

Meskipun fokus geografis penelitian ini adalah pada pelatihan pediatri di Flanders, Belgia, model dan temuan yang dihasilkan memiliki implikasi yang jauh lebih luas. Studi ini dapat dilihat sebagai bukti konsep (proof of concept) yang sangat kuat, menunjukkan bahwa penggabungan kerangka kerja yang beragam menjadi satu sistem terpadu adalah hal yang mungkin dan bermanfaat. Masalah fragmentasi kurikulum dalam pendidikan pascasarjana bukanlah fenomena yang hanya terjadi di Belgia; ini adalah tantangan yang dihadapi oleh banyak sistem pendidikan medis di seluruh dunia.

Keberhasilan studi ini sebagian besar disebabkan oleh penggunaan CanMEDS sebagai kerangka kerja dasar. CanMEDS bukanlah standar lokal, melainkan kerangka kerja internasional yang diakui secara global yang mendefinisikan tujuh peran inti yang harus dimiliki oleh seorang dokter, mulai dari Medical Expert hingga Leader dan Health Advocate.1 Dengan memadukan kompetensi lokal dan regional ke dalam model CanMEDS, para peneliti tidak hanya menyelesaikan masalah yang dihadapi di Belgia, tetapi juga menciptakan solusi yang dapat diskalakan dan relevan bagi banyak negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan kedokteran di seluruh dunia dapat mencapai unifikasi tanpa harus mengorbankan kekhususan regional atau disiplin.

Lebih lanjut, studi ini menegaskan tren global menuju dokter yang lebih holistik, bukan sekadar ahli klinis. Kerangka kerja terintegrasi ini secara eksplisit mencakup peran non-klinis, yang mencerminkan pergeseran filosofis dalam profesi medis modern. Keberhasilan dalam memvalidasi kompetensi di luar pengetahuan medis dan keterampilan teknis menunjukkan bahwa kurikulum pascasarjana dapat dan harus mempersiapkan dokter untuk peran mereka sebagai sarjana, komunikator, manajer, advokat, dan profesional yang etis. Dengan demikian, penelitian ini menjadi panduan praktis untuk mendorong evolusi profesi kedokteran di skala global, menyediakan cetak biru yang dapat membantu negara lain mengatasi masalah serupa dan mengadopsi standar global yang lebih komprehensif.

 

Rekomendasi Praktis dan Arah Penelitian Lanjutan

Keberhasilan sebuah kerangka kerja kompetensi tidak berhenti pada validasi teoretisnya. Tantangan terbesar, seperti yang diakui oleh para peneliti, terletak pada implementasinya di lingkungan kerja sehari-hari.1 Untuk memastikan bahwa kerangka kerja ini benar-benar memberikan dampak positif, beberapa rekomendasi praktis dan arah penelitian lanjutan harus dipertimbangkan.

Pertama, implementasi yang efektif membutuhkan dukungan dan pelatihan yang memadai. Para supervisor klinis, yang seringkali bukan pendidik medis profesional, akan membutuhkan panduan yang jelas dan perangkat penilaian yang teruji untuk dapat mengintegrasikan dan mengevaluasi kompetensi ini dalam rutinitas kerja sehari-hari. Sebuah kerangka yang solid tidak akan berguna jika tidak dapat diterapkan secara konsisten di lapangan. Dengan demikian, langkah selanjutnya harus mencakup pengembangan alat penilaian praktis dan program pelatihan bagi para supervisor, sehingga mereka memiliki indikator kualitas yang jelas untuk membimbing para residen.1

Kedua, studi ini membuka jalan untuk penelitian lanjutan yang krusial. Para peneliti sendiri mencatat bahwa meskipun kompetensi teknis pediatri tercakup, validasi daftar keterampilan spesifik yang terkait dengannya berada di luar lingkup studi ini.1 Oleh karena itu, penelitian lanjutan sangat diperlukan untuk memvalidasi daftar keterampilan tersebut secara terpisah, memastikan bahwa pengetahuan dan keahlian spesifik ini juga memenuhi standar yang sama dengan kompetensi yang lebih umum. Selain itu, para peneliti juga secara jujur mengakui perlunya mendefinisikan tingkatan kompetensi yang berbeda untuk setiap peran, sesuai dengan tingkat senioritas residen. Seorang residen junior, misalnya, mungkin hanya perlu menguasai manajemen rencana jangka pendek, sementara residen yang lebih senior harus mampu menyusun rencana manajemen jangka panjang. Penelitian di masa depan harus fokus pada pengembangan dan validasi tingkat-tingkat ini.

Terakhir, untuk mengatasi bias lokalisasi yang mungkin ada, penelitian selanjutnya harus menguji penerapan dan relevansi kerangka kerja ini di negara lain. Keberhasilan di Belgia adalah langkah awal yang menjanjikan, tetapi validasi yang lebih luas akan mengubah kerangka ini dari solusi regional menjadi standar internasional. Dengan mengatasi tantangan implementasi dan terus mendorong penelitian lanjutan, kerangka kerja ini dapat menjadi bagian dari siklus perbaikan berkelanjutan yang akan meningkatkan kualitas pendidikan kedokteran pascasarjana dan, pada akhirnya, kualitas perawatan pasien di seluruh dunia.


Sumber Artikel:

Robbrecht, M., Norga, K., Van Winckel, M., Valcke, M., & Embo, M. (2022). Development of an integrated competency framework for postgraduate paediatric training: a Delphi study. European Journal of Pediatrics181(2), 637-646.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Terobosan Besar dalam Pelatihan Dokter Anak – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Kesehatan Masyarakat

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kesiapan Perawat Pandemi: Bukan Hanya Soal Medis, tapi juga Mental dan Dedikasi

Dipublikasikan oleh Hansel pada 15 September 2025


Pahlawan Tak Terlihat di Garda Terdepan

Di balik hiruk-pikuk berita global tentang lonjakan kasus dan angka kematian, ada sosok yang selalu menjadi benteng terakhir: perawat di garis depan. Mereka adalah pahlawan tak terlihat yang menghadapi virus secara langsung, menjadi jembatan antara pasien dan pemulihan. Sejarah telah berulang kali membuktikan bahwa perawat adalah "kekuatan utama dalam penyelamatan darurat publik" dalam setiap krisis kesehatan, mulai dari wabah SARS hingga pandemi COVID-19 yang melanda dunia.1 Namun, terlepas dari peran krusial ini, sistem global belum memiliki cara yang terpadu dan ilmiah untuk memastikan bahwa perawat yang ditugaskan di garda terdepan memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk tugas berisiko tinggi ini.

Selama ini, alokasi perawat untuk penanganan epidemi sering kali didasarkan pada metode yang kurang sistematis, seperti senioritas, lama masa kerja, atau hanya berdasarkan "prinsip berbasis departemen dan pekerjaan yang konsisten".1 Pendekatan ini, yang mungkin berfungsi dalam kondisi klinis normal, ternyata menciptakan celah besar dalam sistem respons kesehatan saat dihadapkan pada krisis besar. Ini sering kali menyebabkan penugasan yang tidak optimal, di mana perawat dengan keahlian spesifik yang dibutuhkan mungkin tidak ditempatkan di posisi yang paling membutuhkan, dan sebaliknya. Kurangnya alat evaluasi yang terstruktur dan terpadu menyulitkan manajer keperawatan untuk secara akurat dan ilmiah menilai kesiapan staf mereka, sebuah masalah yang krusial dan berulang dalam setiap wabah.1

Atas dasar itulah, sebuah tim peneliti dari Tiongkok melakukan studi ambisius untuk mengisi celah ini. Dalam sebuah makalah yang diterbitkan di jurnal ilmiah bergengsi, PLOS ONE, mereka memperkenalkan sebuah cetak biru ilmiah—sebuah "sistem indeks evaluasi kompetensi"—yang dirancang khusus untuk perawat garis depan selama wabah penyakit menular besar.1 Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan landasan ilmiah bagi manajer keperawatan untuk secara akurat memahami, menganalisis, dan mengevaluasi tingkat kompetensi staf mereka, serta untuk secara ilmiah mengimplementasikan alokasi sumber daya manusia di masa depan.1 Laporan ini mengupas tuntas temuan-temuan krusial yang tidak hanya berfokus pada data, tetapi juga mengungkap narasi dan implikasi di balik setiap angka.

 

Di Balik Tirai Isolasi: Mengapa Kompetensi Perawat Menjadi Kunci?

Pandemi yang tak terduga, seperti flu burung A(H7N9) atau MERS, telah menjadi peristiwa kesehatan masyarakat yang kerap terjadi, membahayakan kesehatan publik dan mengancam stabilitas ekonomi-sosial.1 Dalam menghadapi gelombang krisis ini, perawat adalah garda terdepan. Kemampuan mereka dalam merespons darurat secara langsung menentukan kualitas keseluruhan penyelamatan medis. Mereka yang memiliki kualitas kompetensi tinggi dapat memberikan dukungan teknis dan intelektual dengan efikasi maksimum, memastikan kelancaran penyelamatan dan mengurangi angka disabilitas serta kematian.1

Namun, tinjauan literatur menunjukkan bahwa sebagian besar penelitian tentang evaluasi kompetensi perawat berfokus pada praktik klinis rutin, seperti untuk mahasiswa keperawatan, perawat spesialis, atau manajer keperawatan.1 Studi-studi tersebut tidak secara spesifik menangani kompetensi yang dibutuhkan selama epidemi penyakit menular besar, di mana situasi klinis sangat unik dan menuntut. Pendekatan lama yang mengandalkan senioritas atau pengalaman umum, seperti yang diterapkan di banyak institusi, telah terbukti tidak memadai. Ketika wabah COVID-19 melanda, institusi medis harus mengerahkan tenaga perawat secara darurat dan tanpa panduan yang terpadu.1

Temuan ini menunjukkan adanya pergeseran paradigma yang fundamental dalam manajemen sumber daya manusia di sektor kesehatan. Era mengandalkan pengalaman atau senioritas semata-mata tidak lagi relevan dalam menghadapi tantangan yang kompleks dan dinamis dari krisis kesehatan modern. Diperlukan sebuah alat evaluasi yang terstruktur dan terukur secara ilmiah, yang dapat mengidentifikasi kelemahan spesifik dan kekuatan setiap perawat. Sistem yang dihasilkan dari penelitian ini menjadi cetak biru yang memungkinkan pergeseran dari manajemen "berdasarkan pengalaman" menjadi manajemen "berdasarkan kompetensi terukur."

 

Menyingkap Konsensus Ilmiah: Menggunakan Metode Delphi untuk Membangun Standar Baru

Untuk membangun sistem evaluasi yang kredibel dan valid, para peneliti menggunakan metode Delphi, sebuah pendekatan yang sangat dihormati dalam dunia riset.1 Inti dari metode ini adalah mengumpulkan pendapat dari sekelompok ahli secara anonim melalui beberapa putaran kuesioner. Karena para ahli tidak saling berinteraksi secara langsung, pendapat mereka tidak dipengaruhi oleh hierarki atau dinamika kelompok, sehingga menghasilkan konsensus yang lebih murni dan objektif.1

Dalam penelitian ini, para ahli dipilih secara cermat melalui proses purposive sampling, melibatkan 26 pakar dari 11 provinsi dan kota di seluruh Tiongkok. Kriteria pemilihan ahli sangat ketat, termasuk memiliki pengalaman langsung dalam penyelamatan wabah penyakit menular, sehingga menjamin representasi dan otoritas yang tinggi.1

Data statistik yang dihasilkan dari penelitian ini sangat meyakinkan. Tingkat respons kuesioner menunjukkan antusiasme para ahli yang luar biasa, dengan 93.1% respons di putaran pertama dan 96% di putaran kedua.1 Angka ini setara dengan tingkat partisipasi nyaris sempurna yang jarang ditemukan dalam survei. Lebih jauh lagi, "koefisien otoritas" para ahli, yang mengukur tingkat pengetahuan dan kredibilitas mereka, mencapai 0.96 dan 0.98 di dua putaran tersebut.1 Angka yang nyaris sempurna ini adalah bukti nyata bahwa para ahli yang disurvei benar-benar merupakan otoritas di bidangnya. Tingkat koordinasi pendapat mereka, yang diukur dengan koefisien Kendall, juga signifikan secara statistik (

$P<0.001$).1 Angka-angka ini bukan sekadar statistik; mereka adalah bukti nyata dari validitas dan keandalan penelitian. Tingginya tingkat respons dan koefisien otoritas yang kuat menunjukkan bahwa topik ini dianggap sangat penting oleh para pakar, dan mereka bersedia meluangkan waktu untuk memastikan hasilnya akurat. Proses ini pada akhirnya menguatkan klaim bahwa sistem yang dihasilkan bersifat "ilmiah, masuk akal, dan praktis".1

 

Mengukur Kesiapan Sejati: Empat Pilar Kompetensi Paling Utama

Setelah dua putaran konsultasi yang ketat, para peneliti berhasil menyusun sebuah sistem evaluasi yang terdiri dari 4 indikator utama, 10 indikator sekunder, dan 64 indikator tersier.1 Sistem ini secara ilmiah dan komprehensif mencakup kompetensi yang dibutuhkan perawat untuk merespons wabah. Dengan menggunakan proses

Analytic Hierarchy Process (AHP) untuk menghitung bobot, para peneliti menemukan urutan prioritas yang menarik:

  • Keterampilan Keperawatan untuk Penyakit Menular: Bobot 0.345, tertinggi.
  • Kemampuan Profesional Terkait untuk Penyakit Menular: Bobot 0.292.
  • Sistem Pengetahuan tentang Penyakit Menular: Bobot 0.198.
  • Kualitas Komprehensif: Bobot 0.165, terendah.1

Pembobotan indikator tingkat pertama menunjukkan prioritas yang diberikan pada aspek-aspek kompetensi dalam menghadapi penyakit menular. Indikator dengan bobot tertinggi adalah Keterampilan Keperawatan untuk Penyakit Menular sebesar 0,345, yang menunjukkan bahwa kemampuan praktis dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit menular dipandang sebagai faktor utama dalam mendukung kualitas layanan. Selanjutnya, Kemampuan Profesional Terkait untuk Penyakit Menular memperoleh bobot 0,292, menandakan pentingnya profesionalisme tenaga keperawatan dalam melaksanakan tugas sesuai standar dan etika yang berlaku. Indikator Sistem Pengetahuan tentang Penyakit Menular berada pada bobot 0,198, yang menekankan peran pengetahuan konseptual dan teoritis sebagai landasan dalam praktik keperawatan. Adapun Kualitas Komprehensif memiliki bobot 0,165, yang meskipun lebih rendah dibandingkan indikator lainnya, tetap menunjukkan kontribusi signifikan dalam membentuk kompetensi keperawatan yang menyeluruh. Dengan demikian, hasil pembobotan ini mengindikasikan bahwa keterampilan praktis dan kemampuan profesional menjadi prioritas utama dalam pengembangan kapasitas keperawatan untuk penyakit menular.

Urutan ini mengungkapkan sebuah prioritas yang sangat jelas: dalam situasi darurat, kemampuan untuk melakukan (keterampilan) jauh lebih penting daripada sekadar mengetahui (pengetahuan). Bobot tertinggi yang diberikan pada "Keterampilan Keperawatan" menunjukkan bahwa manajer keperawatan harus memprioritaskan pelatihan praktis dan simulasi skenario, bahkan lebih dari pembelajaran teoretis di ruang kelas.1 Ini adalah temuan krusial yang bisa menjadi panduan untuk merevisi kurikulum dan program pelatihan di seluruh dunia.

 

Dari APD Hingga Pertolongan Darurat: Keterampilan yang Paling Vital

Dalam analisis yang lebih mendalam, studi ini menggali indikator-indikator spesifik yang memiliki bobot paling tinggi. Di antara semua keterampilan keperawatan, ada satu yang memiliki bobot tertinggi: "Keterampilan Memakai dan Melepas Alat Pelindung Diri" (APD).1 Hal ini mungkin terlihat sederhana, namun penelitian ini menegaskan bahwa ini adalah prasyarat utama untuk keselamatan seluruh tim medis. Jika seorang perawat tidak dapat melindungi dirinya sendiri, maka ia akan berisiko terinfeksi dan tidak dapat melanjutkan tugasnya, yang pada akhirnya akan merusak seluruh rantai penanganan. Dengan kata lain, melindungi perawat adalah fondasi utama sebelum mereka dapat melindungi dan mengobati pasien.1

Selain itu, penelitian ini menjadi yang pertama kalinya menyoroti pentingnya keterampilan klinis tingkat lanjut seperti “penggunaan dan pemantauan ECMO, ventilator, dan CRRT” bagi perawat garis depan.1 Meskipun keterampilan ini dikenal sulit, studi awal menunjukkan bahwa perawat harus memiliki pengetahuan dasar tentangnya untuk dapat merespons krisis secara efektif. Ini mengindikasikan bahwa rumah sakit harus mengintegrasikan pelatihan teknik-teknik ini ke dalam program rutin mereka, seperti melalui kompetisi teknis atau simulasi skenario, untuk memastikan perawat siap saat dibutuhkan.1

Namun, salah satu temuan yang paling mengejutkan adalah bobot tertinggi yang diberikan kepada "Kemampuan Respons Darurat Bunuh Diri" dalam kategori "Kemampuan Respons Darurat".1 Angka ini adalah lonceng peringatan yang kuat tentang dimensi kemanusiaan dari sebuah pandemi. Ruang isolasi adalah lingkungan yang tertutup dan penuh tekanan. Pasien terpisah dari orang terkasih, dihadapkan pada ketakutan, kecemasan, dan ketidakpastian kondisi kesehatan mereka.1 Dalam situasi seperti ini, perawat tidak hanya berurusan dengan kondisi fisik pasien, tetapi juga menjadi responden pertama untuk krisis mental. Temuan ini menyiratkan bahwa pelatihan kesehatan mental dan identifikasi risiko psikologis harus menjadi komponen inti dari persiapan perawat garda depan.

Hasil pembobotan keterampilan krusial menunjukkan adanya variasi tingkat kepentingan pada masing-masing kompetensi. Keterampilan Memakai dan Melepas Alat Pelindung Diri (APD) memperoleh bobot tertinggi sebesar 0,091, yang menegaskan bahwa prosedur ini menjadi prioritas utama dalam pencegahan penularan penyakit dan perlindungan tenaga kesehatan. Sementara itu, Keterampilan Resusitasi Jantung Paru Otak dan Keterampilan Penggunaan Ventilator masing-masing memiliki bobot yang sama, yakni 0,012, menunjukkan bahwa meskipun keduanya sangat vital dalam situasi kritis, frekuensi dan urgensi penerapannya dinilai lebih rendah dibandingkan keterampilan lainnya. Keterampilan Respons Darurat Bunuh Diri memperoleh bobot 0,031, menekankan pentingnya kesiapan tenaga kesehatan dalam menghadapi situasi kedaruratan psikologis. Selain itu, Keterampilan Identifikasi Risiko Psikologis dengan bobot 0,046 juga menegaskan peran signifikan tenaga kesehatan dalam mendeteksi faktor risiko yang berpotensi mengganggu kesehatan mental pasien maupun tenaga medis. Secara keseluruhan, hasil ini menunjukkan bahwa aspek proteksi diri serta identifikasi risiko psikologis dipandang lebih prioritas, sementara keterampilan teknis lanjutan, meskipun penting, ditempatkan dengan bobot yang lebih rendah.

 

Kualitas Tersembunyi di Balik Seragam: Dedikasi, Fisik, dan Mental

Penelitian ini juga merujuk pada "model gunung es" kompetensi, yang membedakan antara keterampilan yang terlihat (di atas permukaan air) dan karakteristik yang tak terlihat (di bawah permukaan).1 Meskipun kategori "Kualitas Komprehensif" memiliki bobot terkecil di antara empat pilar, studi ini menekankan bahwa ini adalah karakteristik "tak kasat mata" yang "menjadi penentu kompetensi pribadi".1 Ini adalah paradox yang menarik: sesuatu yang tampaknya tidak penting secara angka, ternyata menjadi penentu keberhasilan.1

Beberapa karakteristik yang termasuk dalam pilar ini adalah "Semangat Dedikasi," "Semangat Kerja Keras," "Kualitas Fisik," dan "Ketahanan Mental".1 Semangat dedikasi, misalnya, memiliki bobot tertinggi dalam kategori ini.1 Ini menunjukkan bahwa para ahli percaya karakteristik seperti ini tidak dapat diabaikan. Namun, berbeda dengan keterampilan, karakteristik ini sulit untuk dikembangkan atau diubah dalam waktu singkat.1 Kualitas fisik, misalnya, sangat vital karena beban kerja di bangsal isolasi sangat berat. Perawat harus mengenakan APD yang sesak, yang sering kali menyebabkan sulit bernapas, pusing, dan kelelahan fisik. Memiliki tubuh yang kuat adalah prasyarat untuk dapat menjalankan tugas ini secara efektif.1

Hal ini menyiratkan bahwa para manajer tidak hanya perlu melatih perawat untuk keterampilan, tetapi juga harus memiliki kriteria seleksi yang kuat untuk karakteristik-karakteristik ini. Rekrutmen dan penugasan perawat untuk tim darurat di masa depan harus melibatkan skrining psikologis dan fisik yang ketat. Ini adalah pengingat bahwa kompetensi sejati adalah gabungan dari keahlian teknis dan kualitas personal yang sulit dilatih namun sangat menentukan.

 

Tantangan dan Harapan: Mengubah Teori Menjadi Praktik Nyata

Meskipun sistem evaluasi ini menawarkan sebuah terobosan, para peneliti mengakui adanya kritik realistis. Mereka menyatakan bahwa sistem yang baru saja dibangun ini masih terbatas pada "kerangka teoretis".1 Namun, kritik ini justru membuka jalan bagi langkah selanjutnya yang jauh lebih penting. Para peneliti menyarankan bahwa sistem ini "perlu diuji melalui aplikasi berskala besar" untuk memverifikasi keilmiahan dan kepraktisannya.1

Jika kerangka ini berhasil diubah menjadi alat praktis dan diterapkan secara nasional, dampak nyatanya bisa sangat besar. Sistem ini akan memungkinkan manajer keperawatan untuk secara lebih akurat dan objektif mengevaluasi tingkat kompetensi staf mereka, mengidentifikasi kelemahan spesifik, dan melakukan pelatihan yang lebih terarah.1 Dengan demikian, alokasi sumber daya manusia keperawatan dapat diimplementasikan secara ilmiah, memastikan bahwa tim terbaik berada di garis depan.

Pada akhirnya, penelitian ini menyediakan sebuah cetak biru nasional, bahkan global, untuk manajemen sumber daya manusia keperawatan dalam menghadapi krisis kesehatan. Temuan ini dapat mengurangi biaya dan waktu yang hilang akibat alokasi sumber daya yang tidak efisien, dan yang paling penting, berpotensi menyelamatkan lebih banyak nyawa pasien dalam lima tahun ke depan.

Sumber Artikel:

Bai, X., Gan, X., Yang, R., Zhang, C., Luo, X., Luo, C., & Chen, S. (2022). Construction of a competency evaluation index system for front-line nurses during the outbreak of major infectious diseases: a Delphi study. PLoS One17(7), e0270902.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kesiapan Perawat Pandemi: Bukan Hanya Soal Medis, tapi juga Mental dan Dedikasi

Kesehatan Masyarakat

Drowning di Indonesia: Tantangan, Data, dan Solusi Berbasis Promosi Kesehatan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025


Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 16.000 pulau, dikelilingi lautan dan sungai, serta kerap dilanda bencana hidrometeorologi. Namun, di balik keindahan alamnya, Indonesia menyimpan ancaman laten: kematian akibat tenggelam (drowning). Paper “Fatal drowning in Indonesia: understanding knowledge gaps through a scoping review” karya Muthia Cenderadewi dkk. (2023) membedah secara kritis epidemiologi, faktor risiko, dan efektivitas upaya pencegahan drowning di Indonesia. Artikel ini akan mengulas temuan utama, menyoroti studi kasus, angka-angka penting, serta mengaitkannya dengan tren global dan tantangan nyata di lapangan.

Drowning: Masalah Kesehatan Publik yang Terabaikan

Fakta Global dan Posisi Indonesia

  • Drowning adalah penyebab kematian ketiga akibat cedera tidak disengaja di dunia, setelah kecelakaan lalu lintas dan jatuh.
  • Sekitar 91% kematian akibat drowning terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMICs), dengan Asia Tenggara menyumbang 35% kasus global.
  • Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan populasi keempat terbesar di dunia, sangat rentan terhadap drowning, baik akibat kecelakaan, bencana, maupun kecelakaan transportasi air.

Tantangan Khusus Indonesia

  • Geografi ekstrem: Ribuan pulau, garis pantai panjang, sungai besar, dan curah hujan tinggi.
  • Bencana hidrometeorologi: Banjir, siklon, dan gelombang pasang sering terjadi.
  • Transportasi air: Banyak masyarakat bergantung pada kapal, perahu, dan aktivitas maritim.

Data Drowning di Indonesia: Masih Gelap dan Terfragmentasi

Minimnya Data Nasional

Salah satu temuan utama paper ini adalah ketiadaan sistem data nasional yang terkoordinasi untuk drowning. Data yang ada sangat terbatas, tersebar di laporan forensik rumah sakit, laporan kecelakaan kapal, dan laporan evakuasi SAR. Tidak ada integrasi dengan sistem registrasi kematian nasional, surveilans kesehatan, atau data kepolisian.

Studi Kasus dan Angka-angka Penting

  • Bali (2010–2014): 209 kematian akibat drowning, dengan rata-rata 1,73 per 100.000 penduduk per tahun.
  • Sulawesi Utara (2007–2011): 15 kematian, rata-rata 0,18 per 100.000 penduduk per tahun.
  • Kecelakaan kapal (2014–2017): 15 insiden besar, 121 korban meninggal, 97 hilang.
  • Kecelakaan kapal nelayan di Jawa Tengah (2006–2008): 61 insiden, 68 korban meninggal/hilang, dengan fatality rate 115 per 100.000 nelayan per tahun.
  • Banjir dan bencana hidrometeorologi (1815–2023): 13.927 kejadian banjir, 22.476 korban meninggal, 8.195 hilang.

Keterbatasan Data

  • Data hanya mencakup kasus yang sampai ke rumah sakit rujukan atau dilaporkan ke otoritas.
  • Tidak ada data dari surveilans kesehatan masyarakat, registrasi kematian, atau laporan media yang terintegrasi.
  • Potensi under-reporting sangat tinggi, terutama di daerah terpencil dan rural.

Faktor Risiko Drowning di Indonesia: Siapa yang Paling Rentan?

Karakteristik Sosiodemografi

  • Jenis kelamin: Laki-laki mendominasi korban drowning (80–85% kasus di Bali dan Sulawesi Utara).
  • Usia: Dewasa (≥20 tahun) menyumbang 85–88% kasus, anak-anak hanya 12–15%.
  • Kewarganegaraan: Di Bali, proporsi korban antara WNI dan WNA hampir seimbang, mencerminkan tingginya wisatawan asing.

Faktor Lingkungan dan Perilaku

  • Lokasi kejadian: Mayoritas kasus terjadi di laut terbuka (53–69%), diikuti kolam renang, sungai, dan rawa.
  • Musiman: Kecelakaan kapal nelayan meningkat saat musim hujan (November–Februari).
  • Kondisi geografis: Daerah dataran rendah dan sungai padat lebih rawan banjir dan drowning.
  • Perilaku berisiko: 20% korban di Bali terdeteksi alkohol dalam darah saat autopsi.
  • Pengetahuan rendah: Sebagian besar masyarakat pesisir memiliki pengetahuan minim tentang pertolongan pertama korban tenggelam.

Faktor Teknis dan Regulasi

  • Kecelakaan kapal: 33% akibat cuaca buruk, 33% akibat kelebihan muatan, 13% tabrakan, 28% tenggelam, 37% kebakaran.
  • Kepatuhan rendah: 70% kapal nelayan tidak memenuhi standar keselamatan (life jacket, pelampung, alat pemadam).
  • Kru tidak terlatih: 84% awak kapal hanya lulusan SD, tidak memenuhi syarat pelatihan keselamatan dasar.

Studi Kasus: Drowning di Bali dan Kecelakaan Kapal Nelayan

Bali: Wisata Bahari dan Risiko Drowning

  • 209 kematian (2010–2014): 54,9% WNI, 45,1% WNA.
  • Lokasi: 69% di pantai, 13% kolam renang, 13% sungai.
  • Usia: 87,9% dewasa, 12,1% anak-anak.
  • Jenis kelamin: 84,6% laki-laki.
  • Faktor risiko: Alkohol, kurangnya pengawasan, pengetahuan rendah tentang pertolongan pertama.

Jawa Tengah: Kecelakaan Kapal Nelayan

  • 61 insiden (2006–2008): 68 korban meninggal/hilang.
  • Penyebab utama: Cuaca buruk, kapal kelebihan muatan, alat keselamatan tidak memadai.
  • Kepatuhan: 70% kapal tidak memenuhi standar keselamatan.
  • Kru: 84% hanya lulusan SD, tidak pernah ikut pelatihan keselamatan.

Upaya Pencegahan: Masih Didominasi Edukasi Individual

Analisis Kerangka Health Promotion

Paper ini menggunakan Health Promotion Framework (Talbot & Verrinder, 2017) untuk menilai intervensi pencegahan drowning di Indonesia:

  • Pendekatan medis/individual: Informasi kesehatan, pelatihan pertolongan pertama, edukasi CPR.
  • Pendekatan perilaku: Edukasi masyarakat pesisir, nelayan, kelompok sadar wisata, dan pelatihan BLS.
  • Pendekatan sosial-lingkungan: Masih sangat terbatas, hanya beberapa inisiatif pelatihan water rescue berbasis komunitas.

Studi Intervensi

  • Pelatihan CPR dan BLS: Meningkatkan pengetahuan jangka pendek, tapi belum dievaluasi dampak jangka panjang.
  • Pembentukan kelompok water rescue: Ada di Bengkulu dan Gresik, namun belum ada evaluasi efektivitas.
  • Kampanye nasional: Kementerian Kesehatan mulai mengembangkan strategi nasional pencegahan drowning dan awareness campaign untuk anak sekolah.

Kelemahan Intervensi

  • Terlalu fokus pada individu: Mayoritas intervensi berupa edukasi, belum menyentuh perubahan struktural, regulasi, atau penguatan komunitas.
  • Minim evaluasi dampak: Hampir semua studi hanya mengukur pengetahuan, bukan perubahan perilaku atau penurunan insiden drowning.
  • Kurangnya intervensi berbasis kebijakan: Hanya satu laporan yang membahas pengembangan strategi nasional dan koordinasi lintas sektor.

Analisis Kritis: Kesenjangan Data, Kebijakan, dan Praktik

Kekuatan Studi

  • Scoping review komprehensif: Menggabungkan data peer-reviewed, grey literature, dan laporan pemerintah.
  • Analisis multi-level: Menggunakan kerangka promosi kesehatan untuk menilai efektivitas intervensi.

Kelemahan dan Tantangan

  • Data drowning sangat terbatas: Tidak ada data nasional terintegrasi, hanya data rumah sakit dan laporan kecelakaan.
  • Under-reporting tinggi: Banyak kasus tidak tercatat, terutama di daerah rural dan pesisir.
  • Kurangnya riset faktor risiko: Tidak ada studi yang melaporkan risk ratio atau odds ratio, hanya proporsi deskriptif.
  • Minim intervensi berbasis komunitas dan kebijakan: Hampir semua upaya masih berupa edukasi individual.

Implikasi Kebijakan

  • Perlu sistem data nasional: Integrasi data kematian, surveilans kesehatan, laporan SAR, dan media.
  • Penguatan regulasi dan enforcement: Standarisasi alat keselamatan kapal, pelatihan wajib untuk kru, dan audit rutin.
  • Pendekatan multi-sektor: Kolaborasi Kemenkes, Kemenhub, BNPB, SAR, dan pemerintah daerah.
  • Edukasi berbasis komunitas: Libatkan masyarakat lokal dalam pemantauan, pelatihan, dan advokasi keselamatan air.

Perbandingan dengan Negara Lain dan Tren Global

Studi Bangladesh: Model Intervensi Komunitas

  • Crèche (tempat penitipan anak): Terbukti menurunkan drowning pada anak usia 1–4 tahun secara signifikan.
  • Pelatihan berenang: Efektif menurunkan risiko drowning pada anak usia 6 tahun ke atas.
  • Skalabilitas: Intervensi berbasis komunitas dan regulasi lebih efektif dibanding edukasi individual semata.

Tren Global

  • WHO mendorong strategi nasional drowning prevention berbasis data, regulasi, dan intervensi multi-level.
  • Negara maju sudah mengintegrasikan edukasi, regulasi, dan teknologi (aplikasi peringatan dini, pelampung otomatis, dsb).
  • Negara berkembang mulai mengadopsi model intervensi komunitas dan penguatan sistem data.

Rekomendasi Praktis untuk Indonesia

  • Bangun sistem data nasional drowning: Integrasi data kematian, surveilans kesehatan, laporan SAR, dan media.
  • Perkuat regulasi dan enforcement: Standarisasi alat keselamatan kapal, pelatihan wajib untuk kru, dan audit rutin.
  • Kembangkan intervensi komunitas: Pelatihan water rescue, crèche untuk anak, dan pelatihan berenang massal.
  • Edukasi berbasis komunitas: Libatkan masyarakat lokal dalam pemantauan, pelatihan, dan advokasi keselamatan air.
  • Evaluasi dampak intervensi: Ukur perubahan perilaku, penurunan insiden, dan efektivitas jangka panjang.
  • Kolaborasi multi-sektor: Kemenkes, Kemenhub, BNPB, SAR, dan pemerintah daerah harus bersinergi.

Opini: Menuju Indonesia Bebas Drowning, Mungkinkah?

Paper ini menegaskan bahwa drowning adalah masalah kesehatan publik yang masih terabaikan di Indonesia. Ketiadaan data nasional, minimnya riset faktor risiko, dan dominasi intervensi edukasi individual menjadi tantangan utama. Namun, peluang perbaikan sangat besar: Indonesia bisa belajar dari negara lain yang sukses menurunkan angka drowning melalui intervensi komunitas, regulasi ketat, dan sistem data yang kuat.

Transformasi pencegahan drowning di Indonesia harus dimulai dari penguatan data, regulasi, dan pemberdayaan komunitas. Edukasi tetap penting, tapi harus diimbangi dengan perubahan struktural dan kolaborasi lintas sektor. Dengan komitmen bersama, Indonesia bisa menurunkan angka kematian akibat drowning dan menjadi model bagi negara kepulauan lain di dunia.

Kesimpulan: Drowning Prevention sebagai Pilar Kesehatan Publik Indonesia

Drowning di Indonesia adalah masalah besar yang selama ini kurang mendapat perhatian. Paper ini membuktikan bahwa tanpa data yang kuat, riset faktor risiko yang memadai, dan intervensi berbasis komunitas serta kebijakan, upaya pencegahan akan selalu tertinggal. Indonesia harus segera membangun sistem data nasional, memperkuat regulasi, dan mengembangkan intervensi berbasis komunitas untuk menurunkan angka kematian akibat drowning. Kolaborasi lintas sektor dan inovasi berbasis bukti adalah kunci menuju Indonesia yang lebih aman dari ancaman tenggelam.

Sumber asli:
Cenderadewi, M., Devine, S. G., Sari, D. P., & Franklin, R. C. (2023). Fatal drowning in Indonesia: understanding knowledge gaps through a scoping review. Health Promotion International, 38(5), 1–22.

Selengkapnya
Drowning di Indonesia: Tantangan, Data, dan Solusi Berbasis Promosi Kesehatan

Kesehatan Masyarakat

Menguak Potret Kesehatan Masyarakat Banten: Temuan Penting Riskesdas 2007

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 19 Mei 2025


Pendahuluan

Laporan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2007 merupakan tonggak penting dalam peta kesehatan nasional Indonesia. Laporan ini tidak hanya menyajikan data mentah, melainkan menggambarkan realita kesehatan masyarakat secara menyeluruh. Dalam edisi Provinsi Banten, laporan ini menjadi cermin awal bagi daerah yang saat itu masih tergolong muda secara administratif. Dengan populasi yang besar, heterogen, dan tersebar di wilayah urban dan rural, Banten menjadi medan penting bagi analisis epidemiologi dan kebijakan kesehatan.

Melalui resensi ini, kita akan mendalami beberapa temuan utama, implikasi kebijakan, dan potensi pengembangan layanan kesehatan berbasis data Riskesdas 2007.

Profil Umum Kesehatan di Banten

Berdasarkan laporan, jumlah rumah tangga yang dijadikan sampel di Provinsi Banten adalah 1.108, terdiri dari berbagai kabupaten/kota. Pendekatan statistik digunakan untuk menyajikan prevalensi penyakit, status gizi, gaya hidup, dan akses terhadap pelayanan kesehatan.

Beberapa indikator kunci:

  • Persentase rumah tangga dengan sanitasi layak: hanya 38,4%

  • Proporsi rumah tangga dengan akses air bersih: 57,9%

  • Prevalensi merokok pada laki-laki dewasa: lebih dari 60%

  • Cakupan imunisasi dasar lengkap anak usia 12–23 bulan: masih di bawah 70%

Angka-angka ini menunjukkan tantangan besar yang harus dihadapi, terutama dalam pelayanan dasar kesehatan, promotif dan preventif.

Masalah Gizi

Gizi buruk masih menjadi sorotan dalam laporan ini. Dari hasil penimbangan balita:

  • Balita dengan status gizi buruk (berdasarkan indeks BB/U) mencapai 5,4%

  • Balita pendek (stunted) berdasarkan TB/U sebesar 25,1%

  • Balita kurus (wasting) berdasarkan BB/TB sekitar 14,5%

Situasi ini menandakan bahwa problem malnutrisi di Banten saat itu belum hanya disebabkan oleh kemiskinan, tetapi juga pola asuh, pengetahuan ibu tentang gizi, serta akses terhadap makanan bergizi dan layanan kesehatan dasar.

Sangat menarik jika kita kaitkan dengan Program 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) yang baru mulai didorong setelah 2010. Data ini seharusnya menjadi dasar kebijakan lebih awal terhadap penanggulangan stunting yang kini menjadi prioritas nasional.

Perilaku Kesehatan

Riskesdas 2007 mencatat angka merokok sangat tinggi pada kelompok pria dewasa di Banten. Hampir 2 dari 3 pria merokok secara rutin, bahkan sebagian di antaranya mulai merokok sejak usia <15 tahun.

Perilaku ini menjadi faktor risiko utama penyakit tidak menular seperti:

  • Hipertensi

  • PPOK (penyakit paru obstruktif kronik)

  • Stroke

  • Kanker paru

Selain itu, praktik Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) juga masih rendah. Hanya sebagian kecil rumah tangga yang mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar atau sebelum makan, menunjukkan lemahnya edukasi promotif dari Puskesmas pada waktu itu.

Penyakit Tidak Menular dan Akses Layanan Kesehatan

Sebagai bagian dari transisi epidemiologis, Provinsi Banten mulai menunjukkan peningkatan angka hipertensi dan diabetes. Meski deteksi dini belum optimal, laporan ini menyebutkan:

  • Hipertensi terdeteksi sebesar 15% pada kelompok usia >18 tahun

  • Sebagian besar penderita tidak menyadari kondisi kesehatannya karena minimnya pemeriksaan rutin

Akses layanan kesehatan masih menjadi masalah klasik:

  • 50,7% rumah tangga mengakses Puskesmas sebagai fasilitas utama

  • Sebanyak 23,6% memilih berobat ke dukun atau tokoh tradisional

  • Persalinan oleh tenaga kesehatan hanya sekitar 67%

Data ini menjadi refleksi bahwa walaupun infrastruktur medis mulai membaik, barrier budaya dan ekonomi masih signifikan dalam menentukan akses layanan.

Studi Kasus

Salah satu contoh konkret bisa dilihat di Kabupaten Pandeglang yang pada tahun itu tercatat sebagai wilayah dengan prevalensi tertinggi status gizi buruk. Hal ini berkorelasi erat dengan:

  • Tingkat pendidikan ibu yang rendah

  • Jarak terhadap fasilitas layanan kesehatan yang bisa mencapai lebih dari 5 km

  • Rendahnya konsumsi protein hewani

Intervensi seperti program Posyandu Aktif, Pemberian Makanan Tambahan (PMT), dan edukasi gizi berbasis komunitas baru dijalankan intensif pasca-Riskesdas 2007, menjadikan data ini sebagai acuan awal perencanaan berbasis bukti.

Kritik dan Analisis Tambahan

Laporan Riskesdas 2007 memang monumental, namun tidak lepas dari sejumlah keterbatasan:

  • Tidak semua indikator menggunakan pendekatan longitudinal, sehingga sulit memetakan tren jangka panjang

  • Data perilaku seperti konsumsi makanan tidak dilengkapi dengan informasi frekuensi dan kuantitas

  • Beberapa indikator layanan seperti kepuasan pasien atau mutu layanan kesehatan belum dikaji

Meski demikian, laporan ini tetap memberikan pondasi yang solid untuk menyusun RPJMD bidang kesehatan dan strategi operasional di tingkat kabupaten/kota.

Relevansi Saat Ini dan Tantangan Masa Depan

Menariknya, sebagian permasalahan yang ditemukan pada Riskesdas 2007 masih relevan hingga kini. Misalnya:

  • Stunting tetap menjadi isu nasional

  • Perilaku merokok masih belum tertangani optimal

  • Akses air bersih dan sanitasi layak menjadi fokus program SDGs Tujuan 6

Laporan ini menyadarkan kita bahwa penanganan isu kesehatan tidak bisa parsial. Harus ada sinergi antara data, kebijakan, edukasi masyarakat, serta penguatan layanan primer dan rujukan.

Kesimpulan

Riskesdas Banten 2007 adalah dokumen penting yang tidak hanya memotret kesehatan masyarakat saat itu, tetapi juga menjadi kompas untuk arah pembangunan kesehatan jangka panjang. Ia memperlihatkan betapa tantangan mendasar seperti gizi buruk, PHBS rendah, dan keterbatasan akses masih menjadi pekerjaan rumah yang belum usai.

Kini, ketika Indonesia memasuki era digital dan kesehatan berbasis teknologi, laporan ini tetap memiliki nilai strategis sebagai titik awal perbaikan. Mengabaikannya sama saja dengan menutup mata pada sejarah dan gagal belajar dari data.

Sumber 

Penelitian ini dapat diakses dalam Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi Banten Tahun 2007 yang diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Selengkapnya
Menguak Potret Kesehatan Masyarakat Banten: Temuan Penting Riskesdas 2007
page 1 of 1