Kebijakan Konstruksi
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 15 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan
Penelitian “Case Studies on the Current Safety Issue and Work Behaviour of Construction Site Workers in Malaysia” (IJAFB, 2020) mengungkap bahwa perilaku manusia (human behaviour) adalah salah satu penyebab utama kecelakaan di sektor konstruksi. Mayoritas insiden disebabkan oleh pelanggaran prosedur keselamatan, kelelahan, atau pengawasan yang lemah.
Untuk Indonesia, konteks ini sangat krusial. Sektor konstruksi menjadi tulang punggung pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah, termasuk daerah terpencil. Tekanan target waktu, minimnya sumber daya, dan kebutuhan proyek untuk selesai cepat sering menekan aspek keselamatan. Kebijakan formal saja tidak cukup; harus diiringi dengan perubahan budaya dan sistem yang mempromosikan perilaku aman di lapangan.
Artikel Tindakan Tidak Aman: Faktor Dominan Penyebab Kecelakaan Kerja pada Pekerja Konstruksi menunjukkan bahwa perilaku tidak aman memiliki dampak paling signifikan dibanding faktor seperti umur atau pengalaman kerja.
Selain itu, artikel Membangun Budaya Keselamatan Konstruksi Berbasis Teknologi dan Perilaku: Strategi Menuju Zero Accident di Indonesia menggarisbawahi bahwa teknologi dan perilaku harus berjalan beriringan agar keselamatan menjadi bagian dari budaya proyek.
Kebijakan publik harus memastikan bahwa regulasi keselamatan kerja bukan hanya kewajiban administratif, melainkan bagian integral dari standar operasional, pengawasan, dan perilaku sehari-hari. Ini mencakup kepemimpinan yang tegas, pelatihan efektif, dan sistem feedback yang mendukung pekerja berbicara tentang bahaya tanpa takut sanksi tidak adil.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak
Ketika perilaku aman dan sistem pengelolaan keselamatan dijalankan dengan baik, dampaknya nyata:
Penurunan insiden kecelakaan kerja, terutama yang disebabkan oleh tindakan tidak aman.
Peningkatan kepercayaan pekerja terhadap manajemen: pekerja lebih mau melapor jika melihat potensi risiko tanpa takut dihukum secara tidak adil.
Efisiensi proyek meningkat – karena kecelakaan menyebabkan waktu jeda, investigasi, dan biaya tambahan, sementara proyek yang “bersih” dari insiden bisa berjalan lebih lancar.
Misalnya, dalam artikel “Meningkatkan Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Konstruksi: Pelajaran dari Praktik di Johor, Malaysia dan Relevansinya bagi Indonesia”, disebut bahwa kontraktor yang konsisten menerapkan budaya keselamatan menurunkan kecelakaan lebih dari 35% dalam beberapa tahun.
Hambatan
Namun di lapangan berbagai hambatan sering muncul:
Kurangnya pelatihan & kesadaran pekerja: Banyak pekerja belum mendapat pelatihan K3 yang memadai, atau pelatihan tidak relevan dengan risiko di proyek spesifik.
Keterbatasan SDM pengawas dan pemimpin yang bisa memberi contoh perilaku aman, serta komunikator bahaya yang baik.
Budget dan prioritas proyek: Proyek terkadang memotong alokasi keselamatan jika terjadi pembengkakan biaya atau tenggat waktu yang mendesak.
Budaya organisasi yang lemah dalam hal keselamatan: Keselamatan dianggap sebagai biaya tambahan, bukan bagian dari nilai proyek. Artikel Kecelakaan Masih Marak, Keselamatan Konstruksi Belum Jadi Budaya menyoroti bahwa meskipun regulasi dan SMKK sudah ada, budaya keselamatan belum merata di lapangan.
Perilaku prioritas kebutuhan dasar pekerja: Kadang pekerja mengabaikan APD atau protokol keselamatan karena merasa tidak nyaman atau karena upah tambahan dianggap lebih penting. Artikel Paradoks K3 di Lokasi Konstruksi: Mengapa Pekerja Memprioritaskan Kebutuhan Dasar menjelaskan hal ini.
Peluang
Meskipun hambatan besar, banyak peluang strategis yang bisa dimanfaatkan:
Pelatihan berbasis perilaku dan teknologi: Menggunakan simulasi, virtual reality, dan modul interaktif yang mendekati skenario nyata.
Penguatan SMKK / Sistem Manajemen K3: SMKK sebagai landasan formal bisa diperluas dengan audit lapangan rutin dan pengawasan peer-to-peer. Artikel “Mencegah Kecelakaan Kerja Melalui SDM Kompeten Dalam Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi” menggarisbawahi bahwa pelatihan SMKK dapat meningkatkan kompetensi dan kesadaran pekerja.
Komunikasi efektif dan budaya keselamatan: Supaya pekerja merasa aman melapor bahaya dan manajer proaktif mendengarkan kritik dan saran dari lapangan. Artikel “Meningkatkan Keselamatan di Situs Konstruksi: Peran Komunikasi Efektif dan Budaya Keselamatan” melakukan penekanan pada ini.
Insentif dan pengakuan bagi praktik keselamatan baik: pengurangan waktu sakit, bonus keselamatan, penghargaan atau prioritas tender.
Keterlibatan komunitas dan pekerja lapangan dalam perencanaan K3, termasuk masukan untuk desain lokasi proyek agar risiko perilaku tidak aman bisa dikurangi.
Rekomendasi Kebijakan Praktis
Berdasarkan temuan utama dari studi Malaysia dan bukti dari artikel-artikel lokal Diklatkerja, berikut rekomendasi kebijakan yang dapat memperkuat implementasi K3 di Indonesia:
Pelatihan perilaku pekerja yang spesifik & interaktif
Pemerintah dan penyedia proyek harus mensyaratkan pelatihan K3 yang menekankan identifikasi risiko spesifik proyek, dialog dua arah antara pekerja dan pengawas, dan pelatihan simulatif. Kurikulum pelatihan harus mencakup bagian mengenai perilaku aman, penggunaan APD, dan mitigasi risiko jatuh. Modul seperti yang dibahas dalam “Membangun Budaya Keselamatan Konstruksi Berbasis Teknologi dan Perilaku” bisa dijadikan model.
Kewajiban sistem manajemen keselamatan proyek (SMKK / OHSMS) dengan audit berkala
Semua proyek konstruksi, terutama proyek publik, wajib menggunakan SMKK atau OHSMS dengan audit independen dan pengawasan lapangan rutin. Regulasi seperti Permen PUPR yang sudah mengamanatkan SMKK harus diperkuat dengan sanksi dan pelaporan transparan.
Kepemimpinan keselamatan di tingkat manajemen proyek
Pemimpin proyek dan mandor harus mengikuti pelatihan kepemimpinan K3, karena kepemimpinan moral dan teknis sangat menentukan implementasi perilaku aman. Mereka harus aktif memonitor dan memberi contoh.
Komunikasi K3 efektif dan budaya keselamatan
Membentuk mekanisme komunikasi dua arah di lapangan: pekerja bisa melaporkan bahaya tanpa takut dampak negatif, manajer mendengarkan dan menindaklanjuti. Kampanye internal proyek, papan skor keselamatan, safety moment, dan umpan balik harian dapat membantu.
Insentif dan sanksi berdasarkan perilaku keselamatan
Kontraktor yang memiliki catatan “unsafe behavior” rendah dan mematuhi protokol keselamatan diberi insentif (misalnya bonus proyek, kredit dalam tender). Sebaliknya, perusahaan dengan pelanggaran harus menghadapi sanksi administratif atau pengurangan skor tender.
Penyesuaian APD yang nyaman dan sesuai kebutuhan pekerja
APD harus dipilih dengan memperhatikan kenyamanan, ergonomi, iklim lokal. Jika APD tidak nyaman, pekerja cenderung tidak menggunakannya.
Digitalisasi pengawasan dan pelaporan perilaku tidak aman
Pemanfaatan aplikasi mobile atau sistem digital untuk pelaporan instan bahaya, pelanggaran SOP, dan near miss. Data ini bisa digunakan dalam audit keamanan proyek.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Meskipun rekomendasi di atas nampak lengkap, ada beberapa risiko kegagalan yang perlu diwaspadai:
Komitmen yang lemah dari pihak manajemen: Jika manajemen proyek melihat K3 sebagai beban, pelaksanaannya bisa hanya formalitas.
Ketidaksesuaian intervensi dengan kondisi lokal: Proyek di daerah terpencil, iklim tropis, geografis sulit memerlukan pendekatan yang berbeda dengan proyek di kota.
Kurangnya SDM terlatih terutama untuk penggunaan teknologi, audit lapangan, dan pelatihan perilaku.
Insentif yang tidak jelas atau tidak dijalankan: Jika bonus atau prioritas tender untuk kepatuhan keselamatan tidak dielakkan atau tidak transparan, motivasi bisa hilang.
Evaluasi dan pemantauan yang kurang sistematis: Tanpa data yang baik dan pelaporan perilaku tidak aman (unsafe actions) dan near misses, sulit melihat apakah kebijakan berhasil.
Penutup
Studi dari Malaysia mengingatkan kita bahwa perilaku pekerja adalah inti dari masalah kecelakaan di konstruksi regulasi dan protokol hanya akan efektif jika perilaku praktik aman menjadi bagian budaya kerja sehari-hari.
Indonesia memiliki fondasi regulasi K3 dan SMKK, tetapi perlu memperkuat aspek perilaku, pengawasan, pelatihan, dan insentif agar keselamatan jangan hanya jadi formalitas. Melibatkan pekerja dalam komunikasi bahaya, menggunakan teknologi pelaporan, dan memberikan contoh kepemimpinan yang aman adalah kunci.
Visi zero accident construction industry bisa menjadi kenyataan dengan kebijakan yang tidak hanya ditulis, tetapi dihidupi oleh semua pemangku kepentingan: pemerintah, kontraktor, pekerja, dan lembaga pelatihan.
Sumber
Ahmad, N., Rahim, N. A., & Hassan, A. (2020). Case Studies on the Current Safety Issue and Work Behaviour of Construction Site Workers in Malaysia. International Journal of Advanced Financial and Business (IJAFB), Vol. 29(11), 1-14.