Drainase Ekologis

Mengelola Banjir secara Cerdas: Resensi Kritis terhadap Integrasi Sistem Konvensional & Ecodrainage di DAS Barabai

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Mei 2025


Pendahuluan — Mengapa Banjir Kita Tak Pernah Usai?

Setiap musim hujan, kota–kota di Kalimantan Selatan berubah menjadi “laut dadakan”. Puncaknya terjadi pada Januari 2021, banjir terbesar dalam separuh abad yang menenggelamkan Banjarmasin, Barabai, Amuntai, hingga Batulicin dan menimbulkan kerugian multi‑miliar rupiah. Penelitian Mardiah (2022) menelusuri akar persoalan dengan kacamata teknis–sosial, lalu menawarkan resep: mengawinkan saluran banjir konvensional (aliran horizontal) dengan kolam regulasi/retensi (penyimpanan vertikal). Pendekatan ini diklaim mampu menahan debit puncak, memperlambat aliran, sekaligus menambah cadangan air tanah. Apakah benar solusi “dua dunia” ini jawaban jitu?

H2: Metodologi Kajian — “Autopsi” Dokumen dan Lapangan

Studi bertipe kajian pustaka deskriptif :

  • Inventarisasi data DAS Barabai–Martapura melalui survei lapangan, arsip desain sungai, dan laporan pemerintah.
  • Telaah literatur internasional tentang pemanenan air, kolam penampungan, perbaikan sungai.
  • Sintesis konsep untuk memadukan saluran banjir 2004‑2016 di Barabai dengan kolam retensi bertipe memanjang, side‑pond, dan in‑stream.

Pendekatan ini membuat makalah bersifat konseptual namun berpijak pada data historis debit, curah hujan, serta pengalaman kegagalan infrastruktur yang “hanya memindahkan udara secepatnya ke hilir”

H2: Temuan Kunci

H3: Paradoks Drainase Konvensional

Sejak tahun 1970‑an, skema drainase kota di Indonesia menekankan azas “buang cepat ke sungai”. Akibatnya:

  1. Resapan minimpengeritingan udara — lahan rawa dan kanal ditransformasi menjadi organisasi; permukaan udara tak sempat merembes ke tanah.
  2. Muka air tanah turun  — mendorong penurunan tanah (land subsidence) dan memperbesar risiko rob.
  3. Beban hilir melonjak  — saluran Barabai yang dibangun 2004‑2016 belum cukup meredam limpasan karena sungai hilir sudah jenuh.

H3: Potensi Kolam Retensi

  • Pola detensi : menampung udara sementara, lalu melepas perlahan.
  • Pola retensi : memperbesar infiltrasi melalui sumur resapan, bidang resapan, parit konservasi.
  • Tiga varian bentuk (memanjang, side‑kolam, in‑stream) memudahkan adaptasi lahan terbatas hingga bantaran sungai.

Studi menyatakan kolam retensi mampu “memotong” debit puncak (puncak pencukuran) asalkan volume tampungan mencukupi, saluran keluar dapat diatur dinamis, dan tata guna lahan hulu terlindungi.

H2: Analisis Tambahan & Studi Kasus Global

H3: “Ruang untuk Sungai” ala Belanda

Belanda mengevakuasi tanggul sungai ke belakang, menciptakan ruang parkir udara saat puncak banjir. Prinsipnya identik: menahan dan memberi ruang, bukan hanya memaksakan penyaluran cepat.

H3: “Kota Spons” Tiongkok

Kota Shenzhen dan Wuhan memanfaatkan taman cekung, rooftop garden, serta trotoar berpori untuk menyerap 70 % limpasan hujan lokal. Hasilnya, kejadian terakumulasi menurun hingga 30 % dalam lima tahun (MOHURD, 2020).

Pembelajaran bagi Barabai: integrasi harus lintas‑skala—mulai sumur resapan rumah tangga sampai retarding pool 100 ha.

H2: Kritik terhadap Makalah

  1. Belum ada kuantifikasi numerik  — Penelitian menyebut “mengurangi puncak banjir” tetapi tidak menyajikan simulasi hidrograf sebelum–sesudah. Model SWMM/HEC‑RAS dapat memprediksi efisiensi setiap varian kolam.
  2. Aspek ekonomi belum detail  — Estimasi biaya konstruksi, O&M, dan nilai konservasi lahan perlu dibuka agar pemda dapat menghitung biaya–manfaat secara nyata.
  3. Keterlibatan masyarakat minim  — Tanpa insentif, sulit berharap warga menjaga kolam bebas sampah. Program “adopsi kolam” atau pembayaran jasa ekosistem layak dicoba.
  4. Perubahan iklim  — Proyeksi curah hujan ekstrem 2050 (BMKG) belum terintegerasi; kapasitas retensi bisa cepat usang.

H2: Implikasi Praktis

  • Penataan Tata Ruang : Penyimpanan eks‑long Rawa yang sudah menjadi organisasi perlunya zonasi ulang sebagai danau perkotaanperkotaan atauatau taman retensi.
  • Regulasi Debit : Pintu otomatis berbasis IoT memungkinkan kolam melepas udara mengikuti perkiraan waktu nyata, menghindari “efek rebound” di hilir.
  • Multi‑fungsi : Regulasi kolam dapat dikombinasikan dengan wisata air, budidaya ikan, hingga taman kota—menambah penerimaan masyarakat .
  • Skema Pembiayaan Blendedtanggap : Danaan bisa digabung APBD, obligasi ketahanan bencana , dan tanggung jawab sosial perusahaan perusahaan tambang yang beroperasi di Pegunungan Meratus.

H2: Kesimpulan

Makalah Mardiah menegaskan perlunya “pergeseran pola pikirmenu: dari drain‑as‑fast‑as‑mungkin menuju hold‑reuse‑release. Integrasi saluran dengan retensi kolam konvensional adalah langkah rasional, selaras dengan praktik global dan lebih ramah lingkungan. Namun efektivitasnya bertumpu pada data hidrologi, pengelolaan hulu, partisipasi masyarakat, serta adaptasi iklim jangka panjang. Tanpa empat pilar tersebut, retensi kolam rawan berubah menjadi “dana sampah” alih-alih game changer .

Daftar Pustaka

Mardiah. (2022). Peningkatan Efektivitas Pengendalian Banjir dengan Integrasi Sistem Konvensional dan Ecodrainage . Jurnal Badan Pengembangan SDM Kementerian PUPR.

Maryono, A. (2007). Restorasi Sungai . Pers Universitas Gadjah Mada.

Suripin. (2004). Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan . Andi.

Kementerian Perumahan dan Pembangunan Perkotaan-Pedesaan (MOHURD). (2020). Laporan Kemajuan Percontohan Kota Spons . Beijing: MOHURD.

Bank Dunia. (2019). Mengintegrasikan Infrastruktur Hijau dan Abu-abu untuk Pengelolaan Banjir . Washington, DC.

Selengkapnya
Mengelola Banjir secara Cerdas: Resensi Kritis terhadap Integrasi Sistem Konvensional & Ecodrainage di DAS Barabai
page 1 of 1