Bioteknologi Mikroba
Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 06 Agustus 2025
Pendahuluan: Legislasi sebagai Poros Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
Dalam disertasi ini, Jeong-ah Kim menyajikan sebuah studi komparatif yang mendalam antara dua pendekatan legislasi keselamatan dan kesehatan kerja (K3): pendekatan preskriptif yang diterapkan di Korea dan pendekatan berbasis kinerja (performance-based) yang berkembang di Australia. Penelitian ini menyoroti bagaimana kerangka regulasi membentuk dan mempengaruhi sistem manajemen K3 di industri yang berisiko tinggi terhadap paparan logam berat seperti merkuri dan timbal.
Kim tidak hanya mengandalkan pendekatan normatif atau statistik semata, tetapi mengembangkan argumen reflektif-konseptual mengenai bagaimana regulasi dapat menjadi penentu arah budaya keselamatan organisasi. Pendekatan ini menempatkan tesis Kim dalam ranah kontribusi ilmiah yang lebih luas terhadap teori dan praktik manajemen risiko kerja secara global.
H2: Kerangka Teori dan Narasi Argumentatif: Legislasi sebagai Intervensi Struktural
H3: Legislasi Preskriptif vs. Berbasis Kinerja
Kim membangun kerangka analisis utama berdasarkan dikotomi antara dua jenis legislasi:
Preskriptif (Korea): Menekankan peran negara dalam menetapkan standar dan metode pelaksanaan K3 secara terperinci.
Berbasis Kinerja (Australia): Memberikan kebebasan kepada organisasi untuk menentukan cara terbaik mencapai standar keselamatan tertentu, selama hasilnya dapat dibuktikan.
Kerangka ini digunakan untuk membedah bagaimana masing-masing pendekatan mendorong bentuk dan efektivitas sistem manajemen K3 di sektor industri yang menghadapi risiko logam berat.
H3: Teori Manajemen Risiko dan Keterlibatan Organisasi
Tesis ini juga mengadopsi prinsip-prinsip manajemen risiko dan partisipasi pekerja sebagai landasan teoritis untuk memahami dinamika sistem K3. Kim memosisikan bahwa sistem manajemen yang baik tidak hanya bersifat struktural, tetapi juga harus mencerminkan nilai-nilai organisasi dan budaya kerja. Di sinilah pendekatan berbasis kinerja menunjukkan keunggulan potensial, karena lebih mendorong keterlibatan organisasi dalam mendesain solusi spesifik.
H2: Refleksi atas Temuan Empiris: Data, Angka, dan Maknanya
Studi Kim menggabungkan empat komponen besar berbasis studi kasus:
Eksposur merkuri di industri lampu fluoresen (Korea)
Eksposur merkuri di layanan kesehatan gigi (Queensland, Australia)
Manajemen eksposur timbal di industri berisiko (Queensland)
Evaluasi sistem manajemen K3 di kedua negara
H3: 1. Pengelolaan Paparan Merkuri di Korea
Analisis terhadap data biologis dari 8 tempat kerja menunjukkan penurunan pekerja dengan kadar merkuri di atas ambang batas dari 14% (1994) menjadi 7% (1999). Hal ini merefleksikan efektivitas sistem surveilans biologis berbasis regulasi preskriptif yang ketat.
Namun, meskipun terjadi penurunan, hasil ini menunjukkan sistem tersebut bersifat reaktif—mengandalkan tes biologis untuk mendeteksi paparan setelah terjadi, bukan mencegahnya. Hal ini mencerminkan karakteristik regulasi preskriptif yang lebih fokus pada kepatuhan daripada pencegahan proaktif.
H3: 2. Studi di Layanan Kesehatan Gigi Australia
Berbeda dari Korea, pengukuran udara dan biomonitoring di fasilitas kesehatan Queensland menemukan nihil pekerja dengan kadar merkuri mendekati ambang batas. Namun hanya 43% pekerja merasa sistem manajemen K3 secara efektif mencegah paparan.
Di sini tampak ironi: meskipun hasil monitoring menunjukkan keamanan tinggi, persepsi subjektif pekerja tetap kritis. Ini menunjukkan bahwa keberhasilan sistem berbasis kinerja tidak hanya bergantung pada hasil fisik, tetapi juga pada komunikasi, transparansi, dan keterlibatan pekerja.
H3: 3. Surveilans Paparan Timbal di Queensland
Salah satu hasil paling kritis dalam tesis ini adalah temuan bahwa 37% dari dokter yang ditunjuk untuk pengawasan timbal sudah tidak lagi aktif, dan pemerintah tidak memiliki sistem data yang andal tentang eksposur timbal.
Ini mencerminkan kekurangan dalam pendekatan berbasis kinerja jika tidak didukung oleh infrastruktur data dan otoritas pengawasan yang kuat. Pengalihan tanggung jawab dari negara ke perusahaan memerlukan sistem pelaporan yang canggih—jika tidak, transparansi dan kontrol publik bisa runtuh.
H3: 4. Sistem Manajemen K3: Antara Kepatuhan dan Manajemen Risiko
Analisis sistem manajemen K3 menunjukkan bahwa:
Korea: Sistem berorientasi pada kepatuhan regulasi (compliance-driven), banyak prosedur formal tetapi kurang fleksibel dalam inovasi.
Australia: Lebih terintegrasi dalam pendekatan manajemen risiko, tetapi ketergantungan pada kapasitas organisasi (terutama perusahaan besar).
Faktor ukuran organisasi ternyata menjadi variabel pengganggu (confounding variable) yang signifikan. Perusahaan besar di kedua negara cenderung memiliki sistem K3 lebih matang, terlepas dari regulasi yang berlaku.
H2: Kritik atas Metodologi dan Logika Penalaran
H3: Penggunaan Analisis Sekunder
Kim banyak mengandalkan data sekunder untuk studi di Korea (data biomonitoring historis). Ini efisien secara logistik, namun membuka celah bias:
Tidak ada kontrol langsung terhadap metode pengambilan data.
Validitas internal sulit dijamin karena data dikumpulkan untuk tujuan administratif, bukan penelitian.
H3: Ketidakseimbangan Desain Studi
Studi di Australia melibatkan survei, wawancara, dan monitoring langsung, sedangkan data di Korea lebih bersifat kuantitatif dan administratif. Ini membuat komparasi antarnegara menjadi asimetris.
H3: Pembobotan Terhadap Persepsi Pekerja
Penilaian efektivitas K3 di layanan gigi, misalnya, sangat bergantung pada persepsi pekerja. Meskipun valid secara sosiologis, bobot data subjektif perlu diseimbangkan dengan ukuran objektif dan triangulasi data yang lebih ketat.
H3: Terbatasnya Generalisasi
Penelitian difokuskan pada industri logam berat dan tidak bisa langsung digeneralisasikan ke sektor industri lain. Namun Kim cukup sadar akan keterbatasan ini dan menyampaikan refleksi kritis terhadap ruang lingkup penelitiannya sendiri di bab akhir.
H2: Kontribusi Ilmiah dan Refleksi Konseptual
H3: Legislasi sebagai Determinan Sistemik
Kontribusi utama dari tesis ini terletak pada penggambaran hubungan kausal antara model legislasi dan desain sistem manajemen K3. Ini bukan hanya analisis peraturan, tetapi pemetaan struktural atas bagaimana kerangka hukum membentuk arsitektur sistem manajemen risiko.
H3: Menyoroti Peran Ukuran Organisasi
Kim secara konseptual membongkar satu variabel yang sering diabaikan dalam studi regulasi: ukuran organisasi. Perusahaan kecil cenderung tidak memiliki kapasitas untuk menerjemahkan fleksibilitas legislasi berbasis kinerja menjadi sistem efektif. Di sisi lain, pendekatan preskriptif cenderung memberi ‘kerangka kerja siap pakai’ bagi mereka.
H3: Nuansa dalam Efektivitas Legislasi
Tesis ini menolak dikotomi hitam-putih antara pendekatan preskriptif dan berbasis kinerja. Keduanya bisa efektif—dengan prasyarat yang berbeda. Pendekatan berbasis kinerja memerlukan budaya organisasi yang matang, kapasitas internal, dan partisipasi pekerja. Pendekatan preskriptif, meskipun kaku, lebih dapat diandalkan dalam konteks di mana kapasitas organisasi masih lemah.
H2: Implikasi Ilmiah dan Potensi Lanjutan
Penelitian Kim membuka ruang baru untuk studi komparatif lintas negara tentang dampak regulasi terhadap sistem manajemen risiko. Ia menunjukkan bahwa efektivitas tidak semata pada isi regulasi, tetapi pada:
Kesesuaian dengan konteks budaya dan kapasitas organisasi.
Kemampuan negara untuk menciptakan sistem pelaporan dan pengawasan yang adaptif.
Partisipasi pekerja sebagai indikator keberhasilan implementasi sistem K3.
Studi ini bisa menjadi dasar pengembangan kebijakan publik K3 di negara berkembang yang sedang mempertimbangkan pergeseran dari pendekatan preskriptif menuju sistem berbasis kinerja.
Link resmi paper: Karena ini adalah tesis PhD dari Queensland University of Technology (2004), versi resminya dapat diakses melalui repositori universitas: https://eprints.qut.edu.au/ — silakan cari berdasarkan judul “The Role of Legislation in Driving Good Occupational Health and Safety Management Systems” oleh Jeong-ah Kim.
Bioteknologi Mikroba
Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 02 Agustus 2025
Pendahuluan: Ilmu Kristalografi di Simpul Persimpangan Akademik dan Publik
Kristalografi, sebagai disiplin ilmiah yang menyingkap struktur atom dan molekul dalam ruang tiga dimensi, telah mengalami evolusi tak hanya dalam aspek metodologis, tetapi juga dalam cara ia dikomunikasikan kepada publik. Disertasi ini mengeksplorasi bagaimana pendekatan berbasis pendidikan, visualisasi, dan diseminasi dapat mengintegrasikan kristalografi sebagai pengetahuan yang tidak eksklusif bagi kalangan ilmuwan, tetapi juga dapat diapresiasi oleh publik luas.
Berbeda dengan penelitian laboratorium konvensional, karya ini menyajikan sebuah proyek konseptual dan praktikal yang berakar dari pengalaman kuratorial, pedagogis, dan sosial. Fokus utamanya bukan pada penemuan ilmiah dalam arti sempit, melainkan pada cara-cara inovatif untuk menyampaikan kompleksitas struktur kristal melalui pameran, visual, dan keterlibatan masyarakat.
Kerangka Teoretis: Edukasi Ilmiah dan Komunikasi Visual sebagai Medium Kristalografi
Secara konseptual, landasan disertasi ini terletak pada premis bahwa pengetahuan ilmiah seharusnya tidak terbatas pada konteks akademik. Penulis membangun argumennya di atas kerangka interdisipliner antara sains, seni, dan edukasi. Ia memanfaatkan kekuatan visualisasi dalam menyampaikan konsep kompleks yang umumnya tersandera oleh terminologi teknis dan simbolik.
Kristalografi, yang tradisionalnya berbasis pada representasi angka dan parameter ruang kisi, didekati melalui media visual dan interaktif. Dengan cara ini, informasi struktural tidak hanya diuraikan, tapi juga “diterjemahkan” menjadi bentuk yang dapat dinikmati oleh indera dan nalar awam.
Tujuan dan Metodologi: Dari Struktur ke Narasi Visual
Disertasi ini tidak menggunakan metodologi eksperimen kuantitatif, melainkan menggunakan pendekatan deskriptif, kualitatif, dan partisipatif. Tujuan utamanya adalah:
Menyusun dan menyelenggarakan pameran ilmiah bertema kristalografi.
Mengembangkan materi visual edukatif berbasis struktur kristal.
Menganalisis dampak dan keterlibatan publik dalam kegiatan ini.
Mengembangkan sinergi antara komunitas akademik, sekolah, dan masyarakat.
Dalam beberapa bagian, disertasi ini menggunakan pendekatan action research di mana penulis terlibat langsung dalam implementasi proyek dan refleksi atas hasilnya.
Eksplorasi dan Realisasi Proyek: Kristal dalam Ruang Publik
1. Pameran Kristalografi di Strasbourg
Salah satu puncak kegiatan adalah penyelenggaraan pameran visual berjudul "Crystals, an organized matter". Pameran ini menampilkan gambar-gambar molekul dan struktur kristal dari berbagai senyawa, dengan gaya visual yang mendekati seni grafis. Penulis menyusun narasi edukatif berbasis ilustrasi yang dapat diakses publik umum, termasuk anak-anak sekolah dasar.
📌 Refleksi Konseptual: Ini merupakan bentuk transposisi dari data ilmiah menjadi narasi budaya. Di sini, kristal bukan hanya objek ilmiah, tetapi artefak estetik yang bisa menembus batas kognisi dan emosi.
2. Kolaborasi dengan Sekolah dan Lembaga Pendidikan
Melalui kerja sama dengan guru dan fasilitator, materi kristalografi diterjemahkan ke dalam modul pembelajaran visual, permainan edukatif, dan diskusi interaktif. Fokusnya adalah pada struktur geometri dasar seperti kubus, heksagonal, dan segi enam.
📌 Refleksi Teoretis: Strategi ini menunjukkan bagaimana kristalografi, jika dipisahkan dari konteks eksklusif laboratorium, dapat menjadi sarana untuk mengembangkan literasi visual, spasial, dan logika anak-anak sejak dini.
3. Visualisasi Molekuler sebagai Jembatan Komunikasi
Disertasi menampilkan berbagai representasi struktur molekul menggunakan perangkat lunak visualisasi seperti Jmol. Gambar-gambar tersebut dicetak dalam format besar dan didesain secara estetis agar mampu menarik perhatian, tanpa mengorbankan integritas ilmiahnya.
📌 Interpretasi: Penulis secara implisit menyatakan bahwa ilmu dapat dan perlu dikomunikasikan bukan hanya dalam bahasa verbal atau numerik, tetapi juga melalui bahasa visual dan spasial—sesuatu yang lebih universal dan lintas batas budaya.
Narasi Argumentatif: Menggeser Kristalografi dari Eksklusivitas Menuju Inklusivitas
Penulis mengembangkan argumen utama bahwa kristalografi tidak hanya penting dalam ranah akademik (seperti farmasi atau kimia), tetapi juga berpotensi besar sebagai alat pendidikan, komunikasi publik, dan bahkan estetika visual. Penulis menekankan bahwa sains tidak harus “dilunakkan” untuk masyarakat, melainkan harus disusun ulang cara penyampaiannya agar lebih akrab secara kognitif dan emosional.
Sorotan Data dan Refleksi Kualitatif
Meskipun tidak ada angka statistik, data observasional dari interaksi pengunjung pameran, umpan balik dari guru, dan partisipasi siswa menjadi landasan validasi narasi. Penulis mencatat bahwa:
Siswa usia SD lebih tertarik pada pola simetri dan bentuk tiga dimensi.
Visualisasi berwarna lebih efektif dibanding model hitam-putih.
Keterlibatan pengunjung meningkat jika narasi pameran bersifat interaktif.
📌 Refleksi Teoretis: Ini memperkuat teori bahwa pemahaman ilmiah sangat ditentukan oleh bentuk penyajiannya, dan bahwa pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning) jauh lebih kuat dibanding pengajaran abstrak.
Kritik Terhadap Pendekatan Penulis
Kekuatan:
Inovatif dalam mengemas kristalografi sebagai medium lintas disiplin.
Memanfaatkan pendekatan partisipatif yang kuat untuk pendidikan sains.
Membangun sinergi antara institusi riset dan masyarakat umum.
Kelemahan:
Kurangnya pengukuran dampak kuantitatif: Efektivitas metode tidak divalidasi dengan data numerik yang solid.
Bergantung pada konteks lokal: Sebagian besar aktivitas hanya dilakukan di wilayah Strasbourg dan sekitarnya.
Kurangnya pengembangan aspek pedagogi: Meskipun banyak intervensi di sekolah, struktur pedagogis formal tidak dibahas secara mendalam.
📌 Saran: Studi lanjutan dapat menggunakan instrumen kuantitatif (seperti pre-post test) untuk menilai perubahan pemahaman atau minat siswa, serta melakukan ekspansi ke wilayah geografis lain untuk mengevaluasi replikasi pendekatan.
Daftar Poin: Kontribusi Ilmiah dan Sosial dari Disertasi
Menghubungkan kristalografi dengan pendidikan sains berbasis visual dan pengalaman.
Menyusun pameran ilmiah yang bersifat inklusif dan artistik.
Mengubah persepsi kristal dari struktur teknis menjadi objek estetik.
Mengintegrasikan komunitas non-ilmiah dalam diseminasi sains.
Membuka ruang baru bagi ilmuwan untuk berperan sebagai komunikator sains.
Implikasi Ilmiah dan Masa Depan Diseminasi Kristalografi
Disertasi ini membawa kita pada pemahaman bahwa struktur ilmiah (seperti kristal) bukan hanya milik jurnal akademik, tetapi juga bisa menjadi bagian dari ruang publik. Jika pendekatan seperti ini diadopsi lebih luas, maka bukan tidak mungkin bahwa sains bisa menjadi bagian dari budaya sehari-hari, dan bukan lagi sesuatu yang “asing” bagi publik.
Implikasinya sangat besar: dari pengembangan kurikulum STEM yang lebih visual dan kontekstual, hingga peningkatan apresiasi publik terhadap riset sains yang selama ini tersembunyi di balik layar laboratorium.
Kesimpulan: Merayakan Kristal sebagai Ilmu, Seni, dan Edukasi
Disertasi ini tidak hanya menjelaskan kristalografi, tetapi memperluasnya ke dalam dimensi sosial, estetis, dan edukatif. Dengan menjadikan struktur kristal sebagai titik temu antara ilmuwan dan masyarakat, penulis memperlihatkan potensi besar sains sebagai bahasa universal. Ini bukan sekadar kontribusi akademik, tetapi juga seruan etis untuk membuka laboratorium kepada dunia.
Bioteknologi Mikroba
Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 18 Februari 2025
[Kanal Media Unpad] Bagi Dosen Departemen Biologi Fakultas MIPA Universitas Padjadjaran Dr. Melanie, M.Si., gulma tidak hanya sebagai tumbuhan liar yang tidak memiliki manfaat. Lewat riset, Melanie menyulap gulma menjadi bioinsektisida untuk tanaman kol. Pada penelitian disertasinya, Melanie memanfaatkan tanaman saliara (Lantana camara) menjadi bioinsektisida. Namun, bioinsektisida hasil pengembangannya berbeda dengan produk pengusir hama serangga yang sudah ada. Umumnya, produk insektisida, terutama berbahan kimia, memiliki kemampuan untuk membunuh langsung hama. Ada berbagai dampak bila menggunakan insektisida kimia terlalu sering. Bagi hama, akan menciptakan sifat resisten terhadap zat kimia tersebut, sehingga hama-hama generasi selanjutnya akan lebih tahan terhadap insektisida tersebut. Akibatnya, serangan hama lambat laun akan susah dikendalikan dan petani terpaksa meningkatkan dosis insektisida kimianya. Penggunaan insektisida kimia juga mengancam ekosistem. Penggunaan zat kimia berlebih akan memicu residu pada lingkungan. Tanaman maupun tanah akan rentan tercemar oleh residu. Bahkan, organisasme yang bermanfaat di tanah juga akan ikut mati akibat paparan insektisida tersebut . “Bahan kimia yang selama ini diharapkan menjadi solusi justru jadi masalah baru, karena pengelolaannya kurang bijak,” ungkap Melanie. Padahal, jika kembali pada kodrat naturnya, setiap tumbuhan memiliki pertahanan alami dari serangan hama. Kemampuan metabolit sekunder ini bisa dikembangkan untuk menjadi insektisida alami yang jauh lebih aman dari penggunaan campuran zat kimia. Singkatnya, serangan alam bisa diobati oleh produk dari alam pula. Gunakan Bahan yang “Terbuang” Tanaman Saliara (Lantana camara). (Foto: dokumentasi pribadi)* Melanie menjelaskan, berdasarkan hasil eksplorasi, ada sejumlah tumbuhan yang mengandung komponen metabolit sekunder. Komponen tersebut memiliki bioaktivitas dengan mekanisme tertentu yang tidak langsung mematikan, tetapi mampu menghambat kinerja hama tertarget. Salah satu bioaktivitas metabolit sekunder adalah aktivitas antifidan. Aktivitas ini mampu membunuh hama secara perlahan. “Kalau ada hama memakan obat (antifidan) tersebut, dia akan langsung terhambat makannya. Akhirnya dia menjadi terhenti makan, pergi, atau mati secara perlahan,” jelas Melanie. Dari sejumlah eksplorasi, Melanie memilih saliara karena memiliki antifidan itu. Selama ini, saliara tidak sepopuler tanaman lain untuk digunakan sebagai bioinsektisida. Apalagi, tumbuhan tersebut kerap tergolong sebagai gulma, sehingga kerap diabaikan atau tidak dilirik penggunaannya. Dengan menghambat aktivitas makannya, secara otomatis hama ulat pada tanaman kol akan mudah dikendalikan, sekalipun tidak langsung mati seperti halnya menggunakan insektisida kimia. “Kita tidak harus memberantas, tetapi mengendalikan populasinya. Memang (hama) masih ada, tetapi lama-lama populasinya berkurang,” ujar Melanie. Melanie memaparkan, dengan mengendalikan populasi hama akan berperan menjaga kelestarian rantai ekosistem. Predator tetap bisa memakan ulat dengan aman. Menurutnya, sangat penting untuk mempertahankan musuh alam agar ekosistem tetap seimbang. Adanya insektisida alami justru menghancurkan musuh alami. Akibatnya, keseimbangan ekosistem akan terganggu. Ulat yang sudah mengalami resisten populasinya akan bertambah karena menurunnya predator alami. Gunakan Nanoteknologi Alumnus program Doktor Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana Unpad ini menjelaskan, pengembangan bioinsektisida dari saliara menggunakan nanoteknologi. Nanoteknologi saat ini telah berkembang di berbagai bidang. Salah satu yang bisa dimanfaatkan ialah pada formulasi bioinsektisida. Penggunaan bioinsektisida dengan menggunakan formula nanosuspensi dinilai lebih efektif dan efisien dalam mengendalikan hama target, sehingga tidak akan berdampak pada lingkungan di sekitarnya. Melanie menjelaskan, teknologi nano juga digunakan untuk membuat agar ekstrak tanaman bisa lebih terdispersi dalam air. Ekstrak saliara memiliki sifat susah terdispersi dalam air. Selama ini, ekstrak umumnya dicampur pakai pelarut organik yang beracun, seperti metanol beserta bahan aditif lainnya sebagai emulsifier dan zat perekat yang nonekonomis dan efisien dalam penggunaannya Melanie menggunakan bahan yang lebih ekonomis dalam media pembawa air yang aman terkonsumsi manusia maupun organisme non-target di ekosistem. Karena itu, ia memilih menggunakan teknologi nano yang mampu mendispersi ekstrak dalam media air hanya dengan satu macam surfaktan. Hal ini dinilai lebih efektif, efisien, ekonomis, dan aman. Melalui teknologi nano, ekstrak didispersikan hingga berukuran nano. Proses dispersi dilakukan agar ekstrak bisa tersuspensi di dalam air. Semakin kecil bubuknya, maka akan semakin merata di dalam air. Namun, proses tersebut tidak hanya selesai pada dispersi saja. Ekstrak kemudian diemulsifikasi agar mampu meningkatkan kemampuan melekat di permukaan daun. Dengan kemampuan ini, bahan bisa lebih efektif dan menempel di permukaan daun. Saat ini, purwarupa bioinsektisida hasil pengembangan Melanie masih terfokus untuk hama ulat tanaman kol. “Kalau bisa langsung pakai satu busur panah, kenapa harus banyak. Hama tidak mesti harus dibunuh, tapi direkayasa agar (hama) terganggu proses makannya dengan menggunakan antifidan. Kemampuan antifidannya ditingkatkan dengan teknologi nano,” pungkasnya.*
Sumber: https://www.unpad.ac.id/profil/dr-melanie-m-si-manfaatkan-gulma-jadi-bioinsektisida-dengan-nanoteknologi/