Banjir Jakarta
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 28 Mei 2025
Jakarta dan Warisan Banjirnya
Banjir adalah kenyataan yang akrab bagi warga Jakarta. Sejak era Batavia, banjir telah menjadi bagian dari sejarah ibukota, dari peristiwa tahun 1699 hingga yang terbaru di 2021. Di balik megahnya gedung-gedung yang memenuhi langit dan jalan tol layang, Jakarta berdiri di atas tanah rendah, rapuh oleh limpahan hujan udara dan limpasan dari daerah hulu.
Salah satu akar masalahnya adalah bahwa sistem pengendalian banjir Jakarta masih mengandalkan konsep lama dari Van Breen (1918), yang kala itu dirancang untuk kota seluas 125 km²—padahal kini Jakarta telah berkembang menjadi 650 km². Dalam konteks ini, penelitian Syahril, Hadihardaja, dan Rommy menjadi sangat relevan. Mereka meneliti efektivitas pemanfaatan waduk di DAS Ciliwung untuk meningkatkan kapasitas sistem pengendalian banjir di wilayah tengah Jakarta.
Menggali Penyebab: Limpasan Hulu dan Krisis Lahan Infiltrasi
Seiring pertumbuhan urbanisasi di kawasan Bogor dan Depok, alih fungsi lahan masif terjadi di daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung. Hutan yang dulunya menyerap air hujan kini berubah menjadi kawasan beton yang memantulkan air kembali ke permukaan. Akibatnya, koefisien limpasan meningkat tajam, mempercepat dan memperluas aliran permukaan ke Jakarta.
Data menunjukkan bahwa curah hujan pada puncak musim hujan di kawasan hulu meningkat dari 5.288 mm (2002) menjadi 7.065 mm (2007). Perubahan ini bersamaan dengan peningkatan intensitas banjir yang terjadi dalam kumpulan udara: dari 16.788 ha (2002) menjadi 45.500 ha (2007). Kerugian pun membengkak dua kali lipat, dari Rp 6 triliun menjadi Rp 12 triliun.
Waduk Sebagai Solusi: Antara Harapan dan Tantangan
Dua Kandidat Kunci: Bojonggede dan Ciawi
Penelitian mengidentifikasi dua lokasi potensial untuk pembangunan waduk: Bojonggede dan Ciawi. Keduanya terletak di daerah hulu Ciliwung yang strategis. Pemodelan dilakukan dengan menggunakan pendekatan unregulated reservoir , yaitu waduk tanpa sistem kontrol aliran keluar. Menguntungkan: mengurangi beban debit puncak yang mengalir ke Jakarta.
Pemodelan Hidrologi dan Simulasi HEC-RAS
Dengan menggunakan metode Snyder dan HEC-RAS 3.1.3, para peneliti membuat simulasi hidrograf banjir dan mengukur dampak waduk terhadap perubahan tinggi muka air dan volume banjir. Hasilnya cukup menjanjikan.
Dampak Nyata: Apa yang Terjadi Bila Waduk Dibangun?
Waduk Bojonggede
Waduk Ciawi
Skenario Cascade (Bojonggede + Ciawi)
Ketika dua waduk digunakan bersama (cascade), pengurangan aliran semakin signifikan, namun masih belum cukup untuk mengatasi limpasan lokal di Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa waduk memang memberikan kontribusi penting, namun tidak dapat berfungsi sendiri tanpa sistem pendukung lainnya.
Membandingkan Strategi: Waduk vs Solusi Lain
1. Normalisasi Sungai
Program normalisasi Ciliwung pernah dijalankan dengan memotong liku-liku sungai dan memperlebar penampang. Efektif, namun mahal dan menyumbangkan banyak organisasi.
2. Sumur Resapan dan Kolam Retensi
Solusi berbasis komunitas seperti sumur resapan terbukti murah, cepat, dan bisa diterapkan secara luas. Namun skalanya kecil dan pendidikan membutuhkan keberlanjutan.
3. Teknologi Deteksi Dini
Kota-kota seperti Tokyo menggunakan sistem deteksi banjir berbasis IoT dan AI. Sistem ini memperingatkan warga secara real-time, mengurangi korban jiwa dan kerugian harta benda.
Kritik: Implementasi Keterbatasan dan Tantangan
Ketergantungan pada Infrastruktur
Pendekatan ini cenderung berat pada infrastruktur besar. Apa jadinya bila proyek tertunda atau tidak diperbaiki? Waduk yang seharusnya menjadi solusi justru bisa berubah menjadi beban.
Tidak Menjawab Run-Off Lokal
Penelitian ini mengakui bahwa run-off lokal dari Jakarta sendiri masih menjadi tantangan besar. Bahkan jika seluruh waduk dibangun, banjir akan tetap terjadi jika drainase kota tidak diperbaiki.
Opini: Menuju Integrasi Sistem
Penulis berpendapat bahwa solusi banjir Jakarta harus menempuh pendekatan integratif:
Penutup: Banjir Jakarta dan Jalan Panjang Menuju Ketahanan
Penelitian ini menunjukkan bahwa pembangunan waduk Bojonggede dan Ciawi memang mampu menurunkan risiko banjir di Jakarta secara signifikan. Namun dampaknya akan sangat terbatas bila tidak dibarengi oleh strategi komprehensif yang mencakup penataan ruang, pembenahan sistem drainase, edukasi masyarakat, dan kesiapan teknologi.
Banjir Jakarta bukan soal satu solusi tunggal. Ia adalah kombinasi dari sistem alam, kelalaian manusia, dan kebijakan yang belum bersinergi. Maka, masa depan bebas banjir hanya bisa tercapai jika kita membangun sistem yang tidak hanya tahan air, tapi juga tahan politik dan tahan waktu.
Sumber:
Syahril, M., Hadiharraja, IK, & Rommy, M. (2007). Kajian Model Matematik Pengaruh Pemanfaatan Waduk pada Kapasitas Sistem Pengendalian Banjir Wilayah Jakarta Tengah . Jurnal Teknik Sipil, 14(4), 197–210.
Banjir Jakarta
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 27 Mei 2025
Transformasi prakiraan Cuaca dari Informasi ke Aksi
Ketika Jakarta diterpa hujan lebat, berita tentang banjir dan ribuan warga terdampak nyaris menjadi rutinitas musiman. Meskipun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) secara rutin merilis prakiraan cuaca, sering kali informasi tersebut gagal diterjemahkan menjadi tindakan nyata di lapangan. Di sini Impact-Based Forecast (IBF) menawarkan sebuah pendekatan revolusioner: alih-alih sekedar menceritakan bahwa "akan hujan", IBF menyampaikan "apa dampaknya" dan "apa yang harus dilakukan".
Penelitian Younggy HM Hutabarat yang dimuat dalam Jurnal Widya Climago (2020) merupakan salah satu tonggak awal pengembangan sistem IBF di Indonesia. Fokusnya adalah Jakarta, kota megapolitan yang setiap musim hujan selalu menghadapi risiko banjir dengan skala yang kompleks dan variatif.
Mengapa Prakiraan Berbasis Dampak Penting bagi Jakarta?
Jakarta bukan hanya pusat pemerintahan dan perekonomian, tetapi juga wilayah dengan tingkat kerentanan bencana yang sangat tinggi. Sekitar 40% dari total wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut. Selain itu, topografi yang datar, aliran 13 sungai, dan pesatnya pembangunan membantu daya resap tanah dan memperbesar potensi banjir.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa lebih dari 95% bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi—banjir, longsor, dan badai. Di Jakarta sendiri, pada tahun 2015–2019, terjadi lebih dari 100 kejadian banjir yang menimpa hampir 100.000 warga. Fakta ini menunjukkan bahwa hanya mengandalkan prakiraan konvensional tidak cukup. Masyarakat membutuhkan informasi yang bisa langsung diterjemahkan menjadi tindakan preventif .
Dari ramalan Konvensional ke Sistem Berbasis Dampak
prakiraan cuaca biasanya menyebutkan intensitas hujan, kecepatan angin, atau suhu udara. Namun, masyarakat umum—apalagi di wilayah tropis seperti Indonesia—sering mengabaikannya karena informasi ini terasa terlalu teknis dan tidak relevan secara langsung.
Model Impact-Based Forecast mengubah pendekatan tersebut. Informasi cuaca kini dikaitkan dengan:
Melalui matriks ini, informasi prakiraan tidak lagi hanya disampaikan sebagai kemungkinan hujan, tetapi juga risiko yang ditimbulkan dan langkah antisipatif yang harus dilakukan.
Pendekatan Penelitian: Data, Model, dan Matriks Risiko
Penelitian ini menggunakan tiga sumber utama:
Dengan kombinasi ketiganya, peneliti melakukan analisis komposit atas lima parameter cuaca yang dianggap berpengaruh terhadap banjir:
Temuan Utama: Ketika Hujan Bukan Lagi Satu-satunya Penentu
Salah satu temuan menarik dari penelitian ini adalah bahwa hujan—meskipun menjadi penyebab utama banjir—ternyata bukan satu-satunya indikator paling andal dalam model GFS . Model ini justru menunjukkan prediksi yang lebih stabil dan akurat untuk parameter lain seperti kelembapan dan suhu udara.
Hasil Utama:
Artinya, model GFS lebih baik dalam menggambarkan kondisi atmosfer seperti kelembapan dan energi konvektif daripada hujan langsung. Hal ini membuka kemungkinan untuk menggunakan kombinasi variabel sebagai prekursor banjir yang lebih efektif daripada hanya mengandalkan hujan saja.
Dampak Praktis: Integrasi IBF dalam Kebijakan dan Sistem Peringatan
Informasi dari IBF tidak hanya bersifat teknis, tetapi diarahkan untuk bisa langsung dimanfaatkan oleh masyarakat dan pemangku kepentingan. Dalam IBF, setiap kombinasi antara tingkat dampak dan probabilitas kejadian akan menghasilkan peringatan berwarna :
Misalnya, meskipun curah hujan diprediksi kemungkinannya rendah, namun bila dampaknya parah (parah), sistem tetap dapat mengeluarkan peringatan oranye atau merah. Inilah yang membedakan IBF dari sistem prakiraan biasa— risiko yang ditentukan bukan hanya dari kemungkinan kejadian, tapi juga besarnya dampak yang bisa terjadi.
Inovasi yang Disarankan: Aplikasi Mobile IBF
Dalam penutup studinya, Hutabarat mengusulkan agar hasil prakiraan IBF disampaikan dalam aplikasi mobile . Ini bukan sekadar ide visual, tetapi usulan strategi agar masyarakat bisa menerima peringatan berbasis dampak langsung di ponsel pintar mereka. Dengan demikian, tindakan preventif bisa dilakukan lebih cepat, bahkan sebelum banjir terjadi.
Aplikasi semacam ini idealnya memuat:
Perbandingan Internasional: Belajar dari Karibia hingga Bangladesh
Indonesia bukan satu-satunya negara yang mulai mengadopsi IBF. Studi internasional menunjukkan hasil yang serupa:
Dari sini dapat disimpulkan bahwa keberhasilan IBF sangat bergantung pada:
Kritik dan Saran Pengembangan
Penelitian ini menjadi pionir penting, namun ada beberapa hal yang bisa menjadi perhatian untuk pengembangan selanjutnya:
Kesimpulan: Prakiraan Cuaca yang Menggerakkan Tindakan
Prakiraan Berbasis Dampak bukan sekadar evolusi dari sistem informasi cuaca, tapi revolusi dalam mitigasi bencana . Jakarta sebagai kota dengan kompleksitas perkotaan dan risiko hidrometeorologi tinggi memerlukan pendekatan seperti ini untuk menanggulangi dampak banjir yang semakin tidak terduga akibat perubahan iklim.
Penelitian Younggy HM Hutabarat berhasil mengangkat potensi IBF secara ilmiah dan praktis, sekaligus membuka ruang untuk pengembangan sistem prediksi yang lebih cerdas, tanggap, dan proaktif.
Jika prakiraan cuaca bisa diterjemahkan menjadi keputusan yang cepat dan tepat, maka kita telah melangkah satu langkah lebih dekat menuju kota yang benar-benar tangguh menghadapi bencana.
Referensi
Hutabarat, YHM (2020). Pengembangan sistem informasi prakiraan cuaca berbasis dampak menggunakan model prakiraan cuaca numerik untuk wilayah Jakarta. Jurnal Widya Climago, 2 (2), 56–68.