Banjir Bengkulu
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 28 Mei 2025
Bencana Banjir: Gejala Tahunan atau Kegagalan Tata Kelola?
Banjir bukan sekadar fenomena alam musiman di Indonesia; ia adalah cermin retaknya tata kelola ruang dan lingkungan. Dalam satu dekade terakhir, banjir konsisten menempati posisi teratas dalam daftar bencana nasional. Tahun 2019 saja, lebih dari 3.800 kejadian bencana tercatat, dengan banjir mencakup 784 di antaranya. Bengkulu menjadi salah satu daerah paling terdampak, dengan banjir yang melanda sembilan kabupaten/kota, menewaskan 30 orang, dan merusak ribuan rumah, fasilitas umum, dan lahan pertanian.
Namun, banjir di Bengkulu bukan hanya akibat curah hujan ekstrem, melainkan hasil dari tata ruang yang disalahgunakan dan lemahnya pengawasan lingkungan.
Menguraikan Akar Masalah: Gagalnya Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Penelitian Sri Nurhayati Qodriyatun mengangkat permasalahan serius: alih fungsi lahan besar-besaran di Provinsi Bengkulu, yang mengabaikan peruntukan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Alih fungsi kawasan hulu dari hutan menjadi tambang dan kebun sawit, sepadan sungai menjadi hotel dan pasar, hingga kawasan hilir tanpa hutan lindung, menciptakan efek domino yang menghancurkan.
Data dari Global Forest Watch mencatat hilangnya 11.400 hektar tutupan hutan di DAS Bengkulu antara tahun 2001 hingga 2018. Kawasan hulu yang dulu menyerap air kini berubah menjadi penyumbang limpasan. DAS bagian tengah digunakan untuk sektor komersial, sementara hilir dibiarkan gundul tanpa penyangga alami.
UU Penataan Ruang dan Cita-cita Tata Ruang Berkelanjutan
UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Sejati telah memberikan kerangka hukum untuk mewujudkan ruang yang aman, produktif, dan berkelanjutan. Undang-undang ini mengizinkan pemanfaatan ruang dilakukan sesuai dengan RTRW, dengan prinsip integrasi antara ekologi, ekonomi, dan sosial.
Namun, penelitian Qodriyatun menemukan bahwa implementasi di lapangan sangat lemah. Pemerintah daerah tidak melakukan penertiban terhadap bangunan liar di kawasan lindung, tidak menindak pelanggaran, dan bahkan menyikapi pelanggaran dengan merevisi RTRW agar menjadi “legal”.
Sentralisasi dalam RUU Cipta Kerja: Solusi atau Masalah Baru?
Masalah ini diperparah oleh rencana perubahan besar dalam tata kelola ruang melalui RUU Cipta Kerja. RUU ini menghapus sejumlah kewenangan pemerintah daerah dalam pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana tata ruang akan dipusatkan ke pemerintah pusat, dan jika daerah tidak segera menyusun RDTR, maka akan diambil alih oleh kementerian terkait.
Kebijakan ini dinilai kontraproduktif. Alih-alih memperbaiki pengawasan, sentralisasi justru berisiko memperpanjang rentang kendali dan memperlemah pengawasan di lapangan. Dalam praktiknya, pemerintah pusat mungkin akan merespons dengan cepat dan spesifik atas pelanggaran ruang yang terjadi di daerah seperti Bengkulu.
Studi Kasus: Pelanggaran di TWA Pantai Panjang dan Danau Dusun Besar
Pelanggaran pemanfaatan ruang di Bengkulu tidak sedikit. Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Pantai Panjang—yang seharusnya dilindungi—dijadikan lokasi pembangunan PLTU, lapangan golf, hingga pemukiman. Di Danau Dusun Besar, sawah beririgasi teknis berubah menjadi sarang walet dan kebun sawit. Ini bukti bahwa “pengendalian” yang seharusnya dijalankan di daerah malah diabaikan atau bahkan dimanipulasi.
Tren Industri dan Lingkungan: Di Mana Letak Kompromi?
Pemerintah berdalih bahwa penyederhanaan perizinan melalui RUU Cipta Kerja penting untuk investasi. Namun, investasi yang merusak tata ruang dan lingkungan bukanlah kemajuan. Keberlanjutan justru menjadi tren global: ESG (Environmental, Social, Governance) menjadi standar penting di mata investor internasional.
Jika tata ruang Indonesia amburadul dan kawasan lindung terus menyusut, Indonesia justru bisa kehilangan kepercayaan global dalam jangka panjang.
Kawasan Lindung: Dari Target 30% Menjadi Realita yang Menyedihkan
UU Penataan Ruang menetapkan bahwa kawasan lindung minimal 30% dari luas daratan setiap pulau. Fakta di lapangan, Pulau Jawa hanya memiliki 16,4%, Sumatera 25,7%, dan Bali-Nusa Tenggara hanya 23,4%. Akibatnya, bencana banjir paling banyak terjadi di wilayah ketiga tersebut.
Studi di DAS Winongo Yogyakarta dan DAS Batang Arau Padang membuktikan bahwa konversi kawasan berhutan menjadi lahan terbangun meningkatkan debit banjir secara signifikan. Dengan terwujudnya kawasan lindung yang semakin rendah, dapat dipastikan frekuensi dan skala banjir akan semakin tinggi.
Kritik dan Rekomendasi: Tata Ruang Bukan Sekadar Peta
Pertama, pemerintah harus mengulangi sentralisasi tata ruang. Penanganan ruang tidak bisa satu arah dari pusat ke daerah; butuh respon lokal yang cepat dan adaptif. Kedua, audit tata ruang harus dilanjutkan dengan sanksi tegas, bukan sekadar evaluasi dokumen.
Ketiga, daerah yang tidak memenuhi target kawasan lindung harus didorong untuk melakukan reboisasi dan pemulihan ekosistem. Empati, keterlibatan publik, akademisi, dan LSM dalam pengawasan tata ruang harus dipaksakan untuk menghindari kebijakan oligarki yang hanya menguntungkan kelompok tertentu.
Penutup: Banjir Adalah Alarm Kegagalan Tata Ruang
Banjir Bengkulu bukan sekedar bencana; ia adalah peringatan keras atas kegagalan tata ruang. UU Penataan Ruang adalah fondasi penting, tetapi jika pelaksanaannya lemah dan malah digeser demi investasi semata, maka kita sedang menyusun resep untuk bencana yang lebih besar.
Sentralisasi tata ruang dalam RUU Cipta Kerja bisa terjadi secara tiba-tiba jika tidak ada penguatan pengawasan dan partisipasi lokal. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus sadar bahwa tata ruang bukan hanya soal izin dan peta, tetapi soal masa depan ekologis dan keselamatan jutaan jiwa.
Daftar Pustaka
Qodriyatun, SN (2020). Bencana Banjir: Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Berdasarkan UU Penataan Ruang dan RUU Cipta Kerja . Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial, 11(1), 29–42.