Arsitektur & Teknologi

Perang Dingin di Meja Gambar: Bagaimana Sebuah Tesis Mengubah Cara Kita Merancang Gedung dengan AI

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 02 Oktober 2025


Jika Anda seorang arsitek atau insinyur struktur, skenario ini mungkin terdengar familier. Arsitek, dengan semangat membara, menciptakan sebuah desain yang indah, inovatif, dan menantang batas. Model 3D yang megah itu kemudian dikirim ke insinyur struktur. Beberapa hari kemudian, model itu kembali dengan serangkaian "catatan merah". "Ini tidak bisa," "kolom ini harus lebih besar," "bentang ini terlalu jauh."

Maka dimulailah sebuah tarian bolak-balik yang melelahkan. Revisi, analisis ulang, rapat, kompromi. Ini adalah "perang dingin" di dunia desain—tidak ada yang berteriak, tapi ketegangan terasa, dan yang paling parah, waktu dan uang terus terkuras. Tesis Hamidavi mengidentifikasi masalah ini secara gamblang: meskipun kita punya platform kolaborasi canggih seperti BIM, "arsitek dan insinyur struktur, sebagian besar, bertindak sebagai tim terpisah," yang membuat proses integrasi menjadi "kegiatan yang padat karya dan merepotkan".  

Masalahnya bukan hanya soal ego atau komunikasi. Ini soal fundamental proses kerja kita. Tesis ini menyoroti sebuah konsep terkenal bernama "Kurva MacLeamy". Bayangkan ini seperti mencoba mengubah resep kue  

setelah adonannya masuk ke dalam oven. Di awal proses desain, kemampuan kita untuk memengaruhi biaya dan performa bangunan sangat tinggi, dan biaya untuk membuat perubahan sangat rendah. Namun, seiring berjalannya waktu, kemampuan itu menurun drastis sementara biaya perubahan meroket. Proses bolak-balik antara arsitek dan insinyur sering kali terjadi di tengah kurva, di mana setiap perubahan sudah mulai terasa mahal.

Dan ini bukan sekadar teori. Hamidavi tidak hanya berasumsi; dia bertanya. Dia menyebarkan kuesioner online ke 354 insinyur profesional terakreditasi dari lembaga bergengsi seperti IStructE, ICE, dan ASCE. Hasilnya? Analisis data menunjukkan bahwa keluhan utama mereka adalah proses yang memakan  

waktu dan masalah interoperabilitas dan kolaborasi. Ini adalah bukti dari lapangan bahwa rasa sakit itu nyata. Masalah ini bukan sekadar gangguan kecil; ini adalah pendarahan efisiensi yang terjadi di setiap proyek.  

Visi Hamidavi: Bagaimana Jika Gedung Bisa Merancang Tulang Rangkanya Sendiri?

Di sinilah tesis ini mulai bersinar. Alih-alih hanya mengeluhkan masalah, Hamidavi mengusulkan sebuah solusi radikal yang dirangkum dalam kerangka kerja yang ia sebut Structural Design and Optimisation (SDO).  

Bayangkan jika Anda mengatur alur kerja desain Anda seperti peneliti di sini. Alih-alih Anda, sang insinyur, secara manual menggambar satu opsi kerangka struktural berdasarkan model arsitek, Anda melakukan sesuatu yang berbeda. Anda mendefinisikan aturan mainnya: "Kolom tidak boleh berada di tengah ruangan ini," "gunakan salah satu dari lima jenis profil baja ini," "ketinggian lantai antara 2,7 hingga 3,2 meter." Anda pada dasarnya mendefinisikan DNA bangunan.

Kemudian, Anda menekan sebuah tombol, dan komputer, menggunakan DNA tersebut, secara otomatis menghasilkan dan menganalisis bukan hanya satu, tapi ratusan bahkan ribuan opsi kerangka struktural yang valid dalam hitungan menit. Setiap opsi dievaluasi berdasarkan kriteria yang Anda tentukan: berat, kekuatan, biaya, atau apa pun.

Ini bukan sihir. Ini adalah orkestrasi cerdas dari tiga pilar teknologi yang sudah ada :  

  1. BIM (Building Information Modelling): Ini adalah fondasinya. Model BIM (seperti dari Revit) bertindak sebagai "kembaran digital" bangunan—satu-satunya sumber kebenaran yang kaya akan data geometri dan informasi.  

  2. Desain Parametrik: Ini adalah otaknya. Alih-alih menggambar objek statis, Anda mendefinisikan hubungan dan aturan. Anda tidak menggambar kolom di koordinat (X,Y); Anda memberitahu sistem untuk menempatkan kolom di setiap persimpangan grid, di mana grid itu sendiri bisa diubah kapan saja.  

  3. Visual Programming Languages (VPL): Ini adalah sistem sarafnya. Alat seperti Dynamo bertindak sebagai "konduktor orkestra digital." Ia membaca data dari model arsitektur di Revit, menerapkannya pada aturan desain yang Anda buat, mengirimkannya ke mesin analisis seperti Robot Structural Analysis (RSA) untuk dihitung, lalu mengambil kembali hasilnya—semua dalam satu alur kerja otomatis yang mulus.  

Keindahan pendekatan ini adalah pragmatismenya. Hamidavi tidak menciptakan perangkat lunak baru dari nol. Prototipenya dibangun di atas ekosistem Autodesk (Revit, Dynamo, RSA) yang sudah banyak digunakan di industri. Ini berarti visinya bukan fiksi ilmiah yang jauh di masa depan; ini adalah sesuatu yang bisa kita mulai terapkan hari ini. Menguasai alat seperti Dynamo bukan lagi sekadar keahlian tambahan; ini adalah langkah menuju masa depan profesi kita. Jika Anda ingin memulai, ada banyak sumber daya hebat di luar sana, seperti kursus(  

https://diklatkerja.com/courses/parametric-design-with-dynamo/) yang dapat membantu Anda membangun fondasi yang kuat.

Tiga Mahkota Optimisasi: Lebih dari Sekadar Memilih Ukuran Balok

Untuk menunjukkan kekuatan kerangka kerjanya, Hamidavi tidak memilih studi kasus yang mudah. Dia memilih salah satu ikon arsitektur London: 30 St Mary Axe, atau yang lebih dikenal sebagai The Gherkin. Bentuknya yang melengkung dan struktur  

diagrid-nya yang unik adalah hasil kolaborasi yang sangat erat antara arsitek Foster + Partners dan insinyur Arup. Ini adalah contoh sempurna di mana desain arsitektur dan struktural tidak dapat dipisahkan.

Prototipe SDO menunjukkan bagaimana proses kolaborasi intensif semacam ini dapat diotomatisasi dan dipercepat melalui tiga lapisan optimisasi yang bekerja serentak.

Seni Siluet: Memahat Gedung Melawan Angin (Optimisasi Bentuk)

Langkah pertama adalah tentang bentuk luar bangunan. Untuk gedung tinggi seperti The Gherkin, bentuk bukanlah sekadar estetika; ini adalah soal performa. Bentuk silinder yang ramping membantunya mengatasi beban angin dengan lebih efektif daripada gedung kotak konvensional. Prototipe SDO dapat secara otomatis menghasilkan lusinan variasi bentuk dengan mengubah parameter seperti diameter lingkaran di setiap lantai, memungkinkan arsitek dan insinyur untuk secara visual dan analitis menemukan siluet yang paling efisien sebelum melangkah lebih jauh.  

Logika Kerangka: Menemukan Tata Letak Struktur Paling Cerdas (Optimisasi Topologi)

Setelah bentuk eksterior yang optimal ditemukan, fokus beralih ke dalam: bagaimana "tulang-tulang" bangunan disusun? Inilah optimisasi topologi—seni menempatkan material hanya di tempat yang benar-benar dibutuhkan. Untuk The Gherkin, ini berarti menentukan kepadatan dan sudut pola  

diagrid berliannya. Terlalu jarang, strukturnya lemah. Terlalu padat, ia menjadi berat, mahal, dan menghalangi pemandangan. Sistem SDO dapat mengeksplorasi berbagai konfigurasi topologi ini secara otomatis, mencari titik manis antara kekuatan, efisiensi, dan estetika.  

Sains Efisiensi: Memilih Material yang Tepat untuk Setiap Beban (Optimisasi Ukuran)

Ini adalah langkah optimisasi yang paling kita kenal: memilih ukuran profil baja yang tepat untuk setiap balok dan kolom. Namun, alih-alih melakukannya secara manual dengan metode coba-coba, sistem ini menguji ratusan kombinasi ukuran dari katalog yang telah ditentukan, mencari solusi yang paling ringan namun tetap memenuhi semua persyaratan kekuatan dan lendutan.  

Yang membuat pendekatan ini revolusioner adalah bagaimana ketiga "mahkota" optimisasi ini dijalin menjadi satu.

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Sistem ini secara simultan mengoptimalkan bentuk, topologi, dan ukuran—sebuah pendekatan holistik yang jarang ditemui dalam praktik sehari-hari yang cenderung linear dan terpisah.  

  • 🧠 Inovasinya: Menggunakan data arsitektur secara langsung untuk secara otomatis menghasilkan dan menganalisis ratusan alternatif desain struktural, mengubah proses berulang yang memakan waktu menjadi eksplorasi desain yang cepat dan penuh wawasan.  

  • 💡 Pelajaran: Desain terbaik bukan tentang mengoptimalkan satu elemen secara terpisah, melainkan tentang menemukan keseimbangan optimal dari keseluruhan sistem secara terintegrasi.

Apa yang Bikin Saya Terkejut: "Seleksi Alam" untuk Desain Bangunan

Saat membaca bagian optimisasi, ada satu momen "aha!" yang benar-benar membuat saya terkesima. Pertanyaannya adalah: dengan ribuan kemungkinan desain, bagaimana komputer bisa "tahu" mana yang lebih baik? Jawabannya, ternyata, terinspirasi dari proses paling kuat yang pernah ada di alam: evolusi melalui seleksi alam.

Hamidavi menggunakan teknik AI yang disebut Algoritma Genetika (Genetic Algorithms atau GA). Cara kerjanya persis seperti membiakkan kuda pacu juara, dan ini jauh lebih mudah dipahami daripada kedengarannya.  

  1. Populasi Awal: Sistem memulai dengan menghasilkan sekumpulan "kuda" (desain struktural) secara acak. Setiap desain memiliki "gen" yang unik—kombinasi variabel seperti jumlah kolom, jenis profil baja, dan sudut diagrid.  

  2. Uji Kebugaran: Setiap "kuda" diuji kecepatannya. Dalam kasus ini, setiap desain dianalisis untuk "kebugarannya"—seberapa ringan (ekonomis) dan seberapa kuat (aman) desain tersebut. Desain yang terlalu lemah atau terlalu berat diberi "nilai kebugaran" yang buruk.  

  3. Seleksi & Perkawinan Silang (Crossover): Hanya "kuda-kuda" tercepat (desain paling bugar) yang diizinkan untuk "berkembang biak". Sistem mengambil gen-gen terbaik dari dua desain induk—misalnya, tata letak kolom yang efisien dari Desain A dan ukuran balok yang ringan dari Desain B—dan menggabungkannya untuk menciptakan "keturunan" (desain baru) yang berpotensi lebih baik dari keduanya.  

  4. Mutasi: Sesekali, sistem memasukkan "mutasi" acak—sedikit perubahan tak terduga pada salah satu gen. Sering kali ini tidak menghasilkan apa-apa, tetapi kadang-kadang, secara kebetulan, mutasi ini menciptakan desain "super" yang lebih baik dari apa pun yang pernah ada sebelumnya.  

Proses ini diulang terus-menerus selama beberapa "generasi". Desain yang buruk akan punah, sementara desain yang baik akan terus berkembang biak dan berevolusi. Pada akhirnya, yang tersisa adalah sekelompok kecil desain juara yang sangat optimal—solusi yang mungkin tidak akan pernah terpikirkan oleh seorang insinyur yang bekerja sendirian. Ini adalah "survival of the fittest" yang diterapkan pada baja dan beton.

Opini Pribadi: Sebuah Cetak Biru Brilian dengan Beberapa Catatan Kaki

Setelah mencerna seluruh tesis, saya sangat terkesan. Ini bukan sekadar ide bagus di atas kertas. Kekuatan penelitian Hamidavi terletak pada rigor metodologisnya. Dia tidak hanya membangun prototipe dan berkata, "Lihat, ini berhasil." Dia memvalidasinya di setiap langkah. Dia memulai dengan survei untuk memastikan masalah yang dia coba pecahkan itu nyata. Kemudian, setelah prototipe dibangun, dia tidak hanya mengujinya sendiri; dia menunjukkannya kepada para ahli industri—insinyur terakreditasi dan bahkan tim peneliti dari Autodesk—dan mengumpulkan umpan balik mereka. Ini memberikan kredibilitas yang luar biasa pada temuannya.  

Meski temuannya hebat, ada beberapa catatan kaki yang perlu dipertimbangkan. Cara analisanya, terutama implementasi Algoritma Genetika melalui skrip Dynamo, agak terlalu abstrak untuk pemula. Walaupun VPL seperti Dynamo menghilangkan kebutuhan untuk menulis kode baris demi baris, membangun logika untuk alur kerja optimisasi yang kompleks masih memerlukan kurva pembelajaran yang curam. Adopsi massal dari pendekatan ini kemungkinan akan membutuhkan antarmuka yang lebih sederhana yang menyembunyikan sebagian dari kompleksitas tersebut di "balik layar".

Selain itu, seperti yang diakui oleh Hamidavi sendiri, prototipe ini adalah sebuah proof of concept. Ia bekerja dengan cemerlang untuk studi kasus yang disajikan, tetapi perlu pengembangan lebih lanjut untuk menangani geometri yang lebih tidak teratur, berbagai jenis material (seperti beton atau kayu), dan integrasi yang mulus dengan berbagai kode desain bangunan dari seluruh dunia.  

Masa Depan Desain Ada di Sini. Siapkah Anda Membangunnya?

Jadi, apa artinya semua ini bagi kita, para praktisi di lapangan?

Pesan terpenting yang saya tangkap dari tesis ini adalah bahwa otomatisasi dan AI bukan tentang menggantikan arsitek atau insinyur. Sebaliknya, ini tentang memberdayakan kita. Ini tentang membebaskan pikiran kita dari tugas-tugas manual yang berulang dan membosankan—menghitung puluhan alternatif, memperbarui model karena perubahan kecil—dan mengangkat peran kita menjadi pengambil keputusan strategis. Peran kita bergeser dari menjadi "juru gambar digital" menjadi "kurator pilihan desain", menggunakan intuisi dan pengalaman kita untuk memandu sistem komputasi yang kuat menuju solusi terbaik.

Penelitian seperti yang dilakukan oleh Tofigh Hamidavi bukanlah sekadar bacaan akademis; ini adalah peta menuju masa depan profesi kita. Ini menunjukkan jalan di mana kolaborasi tidak lagi menjadi sumber friksi, tetapi sebuah proses yang lancar dan didukung oleh data. Di mana optimisasi bukan lagi sebuah kemewahan yang hanya bisa dilakukan jika ada waktu, tetapi bagian integral dari setiap tahap desain.

Kalau kamu tertarik dengan ini dan ingin menyelami detail teknisnya, saya sangat menyarankan untuk membaca karya aslinya. Ini adalah salah satu bacaan paling mencerahkan yang saya temui tahun ini.

(https://researchportal.port.ac.uk/files/26557049/PhD_Thesis_Tofigh_Hamidavi.pdf)

Selengkapnya
Perang Dingin di Meja Gambar: Bagaimana Sebuah Tesis Mengubah Cara Kita Merancang Gedung dengan AI
page 1 of 1