Analisis Industri

Transformasi Paradigma: Analytical Quality by Design (AQbD) dalam Metode Analitik Biopharma

Dipublikasikan oleh Hansel pada 11 November 2025


Analytical Quality by Design (AQbD): Paradigma Baru Validasi Metode Analitik dalam Industri Biofarmasi

Dalam era biopharma dan vaksin yang semakin kompleks, metode analitik tidak lagi sekadar alat ukur, melainkan fondasi utama dalam pengambilan keputusan berbasis risiko. Dinamika produk biologis yang sangat variatif menuntut sistem analitik yang adaptif, ilmiah, dan mampu menjamin konsistensi mutu sepanjang siklus hidup produk.

Di sinilah Analytical Quality by Design (AQbD) berperan sebagai pendekatan sistematis yang memperluas filosofi Quality by Design (QbD) ke dalam ranah analitik. Jika QbD berfokus pada desain mutu produk sejak awal pengembangan, maka AQbD memfokuskan prinsip yang sama pada metode analisis — menjadikannya bukan hanya proses validasi satu kali, tetapi sistem pengelolaan metode analitik secara menyeluruh dan berkelanjutan. Pendekatan ini berlandaskan pada ilmu pengetahuan, penilaian risiko, dan kontrol berkesinambungan, sehingga validasi metode tidak lagi berdiri sebagai ritual administratif, melainkan bagian integral dari pemahaman ilmiah terhadap metode itu sendiri.

 

Kerangka Konseptual: Dari QTPP ke ATP

QTPP dan ATP: Jembatan antara Produk dan Data

Konsep Quality Target Product Profile (QTPP) adalah titik awal dalam mendesain mutu produk farmasi. Dari QTPP inilah kemudian diturunkan Analytical Target Profile (ATP) — yang menjadi jembatan antara kebutuhan mutu produk dengan performa metode analitik. ATP merumuskan tujuan performa metode dengan menetapkan parameter seperti batas kesalahan total analitik (Total Analytical Error/TAE), akurasi, presisi, spesifisitas, sensitivitas, serta batas kuantifikasi (LOQ). Dengan demikian, ATP menjadi kompas utama dalam memilih teknologi, menentukan parameter operasional, dan menetapkan strategi validasi.

Sebagai contoh konkret, dalam studi hipotetik pengukuran konsentrasi protein, nilai TAE ditetapkan ≤12% untuk pelepasan produk dan ≤14% untuk pemantauan proses. Angka ini tidak sekadar batas kesalahan statistik, tetapi representasi dari strategi manajemen risiko yang menyesuaikan konteks penggunaannya: semakin kritis peran metode terhadap mutu produk, semakin ketat pula batas performa yang ditetapkan.

 

Desain Metode dan Pengembangan: Peran MODR

MODR (Method Operable Design Region): Ruang Validasi Multidimensi

Dalam kerangka AQbD, MODR didefinisikan sebagai ruang kerja multidimensi di mana metode masih dapat beroperasi dengan memenuhi spesifikasi ATP. MODR dibangun menggunakan pendekatan statistik seperti Design of Experiment (DoE), yang memungkinkan pengembang untuk mempelajari efek dan interaksi antar parameter secara komprehensif. Pendekatan DoE menggantikan metode tradisional one-factor-at-a-time, yang kerap mengabaikan efek sinergis antarvariabel. Dengan DoE, hubungan antar parameter seperti pH buffer, waktu ekstraksi, suhu, dan jenis kolom dapat dipetakan secara statistik. Hasilnya, diperoleh model prediktif yang menjelaskan stabilitas dan robustnes metode dalam berbagai kondisi. Sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel V pada paper asli, terdapat perbandingan antara Normal Operating Conditions (NOC) dan MODR. Meskipun penetapan MODR membutuhkan investasi awal yang besar (data, waktu, dan kompetensi statistik), manfaat jangka panjangnya sangat signifikan: pengurangan biaya validasi ulang, fleksibilitas operasional, serta peningkatan keandalan data analitik.

 

Siklus Hidup Metode: Validasi dan Verifikasi Berkelanjutan

AQbD Menolak Validasi Sekali Pakai

Salah satu paradigma terbesar yang diubah oleh AQbD adalah pandangan bahwa validasi metode bukan sekadar tahap akhir, melainkan bagian dari siklus hidup metode analitik (Analytical Method Lifecycle Management). Siklus ini terdiri dari tiga tahap utama:

  1. Pendefinisian Kriteria Performa
    Berdasarkan ATP, bukan hanya kemampuan alat atau metode tradisional.

  2. Validasi Awal (Initial Validation)
    Sebagai verifikasi model statistik yang dihasilkan dari MODR/NOC.

  3. Verifikasi dan Pemantauan Berkelanjutan (Continuous Verification)
    Dilakukan melalui sistem kontrol statistik, control chart, serta pembandingan antar teknologi (bridging studies).

Pendekatan ini menandai pergeseran mendasar dari compliance-based validation menuju knowledge-driven validation, di mana keputusan didasarkan pada pemahaman ilmiah dan pengelolaan risiko yang nyata, bukan sekadar kepatuhan administratif.

 

Kritik terhadap Pendekatan Tradisional

Validasi metode tradisional sering menempatkan seluruh pembuktian performa pada satu titik waktu. Setelah lolos validasi, metode dianggap “tetap sahih” tanpa mempertimbangkan dinamika material, instrumen, maupun konteks aplikasinya. Akibatnya, metode yang sebelumnya valid bisa kehilangan keandalan saat digunakan dengan bahan baku baru, peralatan berbeda, atau rentang aplikasi yang lebih luas — sesuatu yang tidak diantisipasi oleh sistem validasi satu kali. Pendekatan ini seringkali “terjebak dalam formalitas,” di mana fokus lebih pada pemenuhan dokumen regulator daripada memperluas pemahaman ilmiah tentang metode itu sendiri. Dengan AQbD, setiap perubahan dan penyimpangan dapat diinterpretasikan secara ilmiah melalui data yang dikumpulkan selama method lifecycle, bukan melalui revalidasi yang berulang dan mahal.

 

Studi Survei dan Temuan Empiris

Sebuah survei terhadap 16 perusahaan biofarmasi global yang disertakan dalam paper ini menunjukkan bahwa:

  • Mayoritas perusahaan mulai menerapkan AQbD pada fase akhir pengembangan metode.

  • Penerapan AQbD menghasilkan efisiensi signifikan berkat penerapan risk assessment dan method standardization.

  • Hambatan utama yang dihadapi adalah biaya awal yang tinggi dan belum adanya konsensus regulator global.

Temuan ini memperlihatkan bahwa meskipun AQbD masih berada pada tahap adopsi bertahap, nilai strategisnya telah diakui secara luas. Ia tidak hanya menyatukan ilmuwan dan regulator dalam satu bahasa risiko, tetapi juga membuka jalan menuju sistem harmonisasi validasi lintas industri.

 

Implikasi Regulasi dan Potensi Fleksibilitas

Implementasi penuh AQbD membawa perubahan besar terhadap paradigma regulasi. Dalam sistem ini, perubahan metode dapat dilakukan tanpa pengajuan ulang penuh, selama perubahan tersebut masih berada dalam batas MODR dan ATP yang disetujui.

Sebagai contoh, jika metode UV spektroskopi diganti dengan Refractive Index (RI), namun performanya masih memenuhi ATP (misalnya batas TAE, presisi, dan sensitivitas), maka perubahan tersebut dapat diterima regulator hanya dengan notifikasi, bukan revalidasi menyeluruh.

Namun demikian, fleksibilitas ini masih bersifat teoritis. Industri dan regulator belum memiliki blueprint universal untuk AQbD, terutama untuk metode analitik berbasis biologis yang sangat kompleks dan sulit dimodelkan secara matematis.

 

Evaluasi Kritis terhadap Paper

Kekuatan:

  • Pendekatan komprehensif dan sistematis: Artikel ini membangun pemahaman bertahap dari filosofi QbD hingga aplikasi praktis AQbD.

  • Fokus pada risiko dan ketidakpastian: Mengubah paradigma validasi menjadi berbasis sains dan risiko.

  • Ilustrasi konkret: Studi protein dan perbandingan MODR–NOC memperjelas penerapan nyata.

Kelemahan:

  • Minimnya studi kasus industri: Sebagian besar contoh masih bersifat hipotetik.

  • Keterbatasan lintas teknologi: Model MODR sulit diterapkan pada variabel diskrit seperti perubahan reagen atau platform deteksi.

  • Tingkat teknis tinggi: Pembaca tanpa latar belakang statistik atau farmasi mungkin kesulitan memahami konsep DoE dan TAE secara mendalam.

 

Implikasi Ilmiah dan Masa Depan AQbD

Penerapan AQbD merepresentasikan transformasi budaya ilmiah dalam industri farmasi:
dari sistem berbasis kepatuhan menuju sistem berbasis pengetahuan dan risiko. Pendekatan ini menyatukan empat domain utama — statistik, biologi, regulasi, dan bisnis — dalam satu kerangka yang koheren. Potensinya mencakup:

  • Percepatan inovasi dan peluncuran produk baru

  • Reduksi investigasi kegagalan metode analitik

  • Kemampuan adaptasi cepat terhadap perubahan teknologi

  • Validasi lintas platform dan teknologi baru

Namun, keberhasilan penerapannya bergantung pada sinergi antar pemangku kepentingan — ilmuwan, industri, dan regulator — untuk menyusun standar definisi ATP, harmonisasi MODR, serta kurikulum pelatihan yang memadai bagi tenaga analitik masa depan.

 

Penutup

Paper ini memberikan fondasi konseptual dan praktikal yang kokoh untuk memahami pergeseran menuju sistem validasi analitik yang adaptif, ilmiah, dan berfokus pada risiko. Meskipun penerapan AQbD secara menyeluruh masih menghadapi tantangan teknis dan regulasi, kerangka berpikir yang ditawarkan membuka jalan menuju ekosistem farmasi yang lebih dinamis, efisien, dan berbasis pengetahuan. Dengan AQbD, masa depan industri biofarmasi tidak hanya ditentukan oleh hasil uji laboratorium, tetapi oleh seberapa dalam kita memahami mengapa metode itu bekerja — dan bagaimana ia dapat terus valid dalam menghadapi perubahan yang tak terhindarkan.

 

Sumber Artikel:

https://doi.org/10.1208/s12248-022-00685-2

Selengkapnya
Transformasi Paradigma: Analytical Quality by Design (AQbD) dalam Metode Analitik Biopharma

Analisis Industri

Otopsi Sebuah Industri: Pelajaran Mengejutkan dari Jurnal tentang Krisis Tenaga Kerja Konstruksi

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 Oktober 2025


Sebuah Pencerahan di Tengah Deru Proyek Konstruksi

Beberapa hari yang lalu, saya berjalan melewati sebuah proyek konstruksi raksasa di pusat kota. Langit dipenuhi siluet derek yang menjulang, udara diramaikan oleh deru mesin dan teriakan para pekerja. Energi pembangunan begitu terasa. Pikiran pertama saya, seperti kebanyakan orang, adalah kekaguman. "Luar biasa," batin saya, "begitu banyak orang bekerja keras membangun masa depan."

Namun, saat saya berhenti sejenak dan mengamati lebih dekat, sebuah pertanyaan yang lebih dalam muncul. Siapa sebenarnya orang-orang ini? Dari mana mereka datang? Apa jenjang karier yang menanti mereka? Apakah pekerjaan ini memberi mereka rasa hormat dan kesempatan untuk berkembang, atau hanya sekadar upah harian untuk bertahan hidup?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang membawa saya pada sebuah jurnal penelitian setebal 17 halaman karya Padzil Fadzil Hassan, Mohd Sallehuddin Mat Noor, dan Hairuddin Mohammad. Sejujurnya, saya mengunduh paper itu dengan ekspektasi akan menemukan analisis akademis yang kering dan penuh jargon tentang "kesenjangan keterampilan" atau skill gap. Tapi yang saya temukan jauh lebih mengejutkan. Ini bukan sekadar laporan; ini adalah sebuah otopsi. Sebuah pembedahan mendalam terhadap sebuah sistem yang macet, yang mengungkap jejaring masalah yang begitu rumit dan saling mengunci, layaknya benang kusut.  

Apa yang saya baca sore itu mengubah cara saya memandang setiap proyek konstruksi yang saya lewati. Ternyata, masalahnya bukan sekadar kurangnya pelatihan. Masalahnya jauh lebih besar, lebih sistemik, dan tersembunyi di depan mata.

Tanah yang Tandus Takkan Menumbuhkan Bunga: Membedah Ekosistem Eksternal Industri

Para peneliti menggunakan sebuah kerangka berpikir yang brilian: mereka membagi masalah menjadi dua "ekosistem". Yang pertama adalah Ekosistem Eksternal, yaitu kondisi di tingkat industri itu sendiri. Bayangkan jika Anda ingin menanam bunga-bunga indah (tenaga kerja lokal yang terampil dan termotivasi). Anda tidak bisa hanya menyebar benih (program pelatihan) dan berharap yang terbaik. Anda harus memastikan tanahnya subur, airnya cukup, dan tidak ada gulma yang mencekik (kondisi industri yang sehat).

Paper ini menunjukkan dengan data yang gamblang bahwa industri konstruksi Malaysia saat ini adalah tanah yang tandus. Dan inilah penyebabnya.

Lingkaran Setan Ekonomi yang Menjebak Semua Orang

Akar masalahnya, menurut penelitian ini, adalah ketergantungan masif pada tenaga kerja asing. Data dari CIDB menunjukkan bahwa 93% dari pekerja asing yang terdaftar di sektor konstruksi adalah pekerja tidak terampil (unskilled). Mereka datang dari negara-negara tetangga dan bersedia menerima upah yang jauh lebih rendah. Sebuah laporan menyebutkan, rata-rata upah pekerja konstruksi umum lokal adalah sekitar RM70 per hari, sementara pekerja asing bisa dibayar hanya RM57,50 per hari.  

Ini bukan sekadar angka. Ini adalah mesin penggerak dari sebuah lingkaran setan yang destruktif:

  1. Langkah 1: Upah Tertekan. Ketersediaan tenaga kerja asing yang murah dan melimpah secara drastis menekan standar upah di seluruh sektor. Bagi perusahaan, ini adalah pilihan bisnis yang logis dalam jangka pendek: mengapa membayar lebih jika ada yang mau dibayar lebih murah?

  2. Langkah 2: Tenaga Kerja Lokal Mundur. Upah yang rendah, ditambah dengan kondisi kerja yang berat, membuat karier di bidang konstruksi menjadi sangat tidak menarik bagi warga lokal. Mereka pun "menghindari" industri ini dan mencari peluang di sektor lain yang menawarkan gaji dan martabat yang lebih baik.  

  3. Langkah 3: Ketergantungan Makin Dalam. Kekosongan yang ditinggalkan oleh tenaga kerja lokal ini kemudian diisi oleh lebih banyak lagi pekerja asing. Hal ini semakin memperkuat tekanan ke bawah pada upah, dan siklus pun berulang.

Dampaknya tidak berhenti di situ. Karena tenaga kerja begitu murah, perusahaan tidak memiliki insentif kuat untuk berinvestasi pada teknologi, otomatisasi, atau metode konstruksi yang lebih efisien seperti Industrialised Building System (IBS). Akibatnya, pekerjaan konstruksi tetap bersifat padat karya, manual, dan berbahaya. Ini, pada gilirannya, memperkuat citra "3D"—Dirty, Dangerous, and Difficult (Kotor, Berbahaya, dan Sulit)—yang semakin menjauhkan generasi muda Malaysia dari industri ini.  

Fragmentasi Brutal dan Keengganan untuk Melatih

Masalah diperparah oleh struktur industrinya sendiri. Malaysia memiliki lebih dari 70.500 kontraktor terdaftar. Jika dihitung, rasionya adalah sekitar 1 kontraktor untuk setiap 614 penduduk—salah satu yang tertinggi di dunia. Bayangkan sebuah pasar yang begitu sesak. Persaingan menjadi sangat ketat, margin keuntungan menipis, dan sebagian besar perusahaan adalah pemain kecil yang berjuang untuk bertahan hidup.  

Dalam kondisi seperti ini, siapa yang mau dan mampu berinvestasi dalam pelatihan? Logika bisnisnya sederhana namun cacat: "Untuk apa saya menghabiskan uang melatih seorang pekerja, jika setelah dia terampil, dia akan langsung dibajak oleh pesaing saya dengan tawaran gaji sedikit lebih tinggi?".  

Praktik subkontrak berlapis yang merajalela juga membuat tanggung jawab untuk melatih menjadi kabur. Kontraktor utama menyubkontrakkan pekerjaan ke perusahaan yang lebih kecil, yang kemudian menyubkontrakkan lagi. Di tengah rantai yang panjang dan terputus-putus ini, tidak ada satu pihak pun yang merasa memiliki kewajiban untuk mengembangkan sumber daya manusia dalam jangka panjang.  

Hasil akhirnya adalah sebuah bom waktu demografis. Tenaga kerja lokal yang masih bertahan di industri ini adalah generasi tua yang rata-rata berusia 50-60 tahun. Mereka akan segera pensiun, dan tidak ada generasi penerus yang siap menggantikan. Pengetahuan, pengalaman, dan keahlian praktis yang mereka miliki selama puluhan tahun tidak ditransfer secara sistematis dan terancam hilang selamanya.  

Ironi Terbesar: Ketika Solusi Justru Menjadi Bagian dari Masalah

Jika Ekosistem Eksternal adalah tanah yang tandus, maka Ekosistem Internal—yaitu sistem pendidikan dan pelatihannya sendiri—adalah benih yang kurang berkualitas. Ironisnya, upaya-upaya yang dirancang untuk menjadi solusi justru menjadi bagian dari masalah.

Bayangkan Anda ingin menjadi koki andal. Anda mendaftar ke sekolah kuliner ternama. Tapi setibanya di sana, Anda hanya diajarkan teori nutrisi, sejarah masakan dunia, dan manajemen restoran di dalam kelas. Anda tidak pernah diizinkan menyentuh pisau, kompor, atau bahan makanan segar. Setelah lulus, Anda memang memegang sertifikat, tapi Anda sama sekali tidak bisa memasak.

Inilah gambaran pedih dari sistem pendidikan dan pelatihan konstruksi yang diungkap oleh paper ini.

Sekolah yang Mengajarkan Peta Lama

Di tingkat pendidikan tinggi, para peneliti menemukan adanya "ketidakcocokan" (mismatches) yang serius antara kurikulum universitas dengan kebutuhan nyata industri. Lulusan Building Surveying diragukan kemampuannya, program arsitektur dan teknik kurang mengajarkan manajemen proyek, kurikulum Quantity Surveying (QS) dianggap sudah usang, dan isu-isu krusial seperti etika profesi dan keberlanjutan (sustainability) kurang mendapat penekanan.  

Terciptalah sebuah paradoks kualifikasi. Universitas sibuk mencetak ribuan sarjana setiap tahun, menciptakan ilusi kemajuan. Namun, industri terus mengeluh bahwa mereka "tidak menghasilkan lulusan dengan keterampilan yang sesuai". Lembaga pendidikan seolah beroperasi dalam menara gading, terisolasi dari realitas lapangan yang dinamis dan terus berubah.  

Pelatihan yang Hanya Formalitas

Di tingkat vokasi atau kejuruan, situasinya lebih parah. Sebagian besar program pelatihan yang ada dikritik karena:

  • Terlalu berbasis kelas (classroom-based).

  • Kurang pelatihan praktik langsung (hands-on).

  • Materinya terlepas dari tugas dan tantangan nyata di lokasi proyek.  

Studi ini menemukan fakta yang mencengangkan: banyak kontraktor mengikuti pelatihan bukan untuk meningkatkan kompetensi, melainkan hanya karena itu adalah syarat wajib untuk memperbarui lisensi mereka. Pelatihan menjadi sekadar formalitas administratif. 

Bahkan program ambisius yang dirancang dengan baik seperti National Dual Training System (NDTS)—sebuah skema magang terintegrasi—gagal total karena respons yang sangat buruk dari perusahaan. Mereka tidak tertarik untuk berpartisipasi. Lebih menyedihkan lagi, sebuah studi terhadap peserta pelatihan di akademi konstruksi milik pemerintah (ABM) menemukan bahwa banyak peserta muda mengikuti program tersebut hanya untuk mengisi waktu luang dan mendapatkan uang saku, tanpa niat serius untuk berkarier di bidang konstruksi.  

Melihat kegagalan model pelatihan konvensional ini, saya jadi berpikir, model seperti apa yang sebenarnya berhasil? Mungkin yang lebih fokus pada hasil praktis, relevansi industri, dan fleksibilitas. Model yang tidak terjebak dalam birokrasi, melainkan yang benar-benar menjawab kebutuhan pasar kerja saat ini, seperti yang coba ditawarkan oleh platform (https://diklatkerja.com/).

Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Puing-Puing Ini?

Membaca analisis yang begitu tajam ini membuat saya merenung. Ini bukan hanya cerita tentang industri konstruksi di Malaysia. Ini adalah studi kasus tentang bagaimana sebuah sistem yang kompleks bisa gagal. Ada beberapa pelajaran universal yang bisa kita petik.

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Masalahnya bukan terletak pada individu—bukan karena pekerjanya malas atau perusahaannya serakah. Masalahnya ada pada sistem yang secara inheren menjebak semua orang untuk berperilaku tidak produktif dalam jangka panjang. Memperbaiki satu bagian saja (misalnya, dengan menambah anggaran pelatihan) tidak akan pernah berhasil jika lingkungan di sekitarnya tetap beracun.

  • 🧠 Inovasinya: Pendekatan "ekosistem" yang digunakan dalam paper ini adalah cara berpikir yang sangat kuat. Ini mengajarkan kita untuk mencari hubungan tersembunyi antara faktor ekonomi (upah), kebijakan (tenaga kerja asing), pendidikan (kurikulum), dan budaya kerja (citra 3D). Kita bisa menggunakan lensa ini untuk menganalisis masalah kronis di industri mana pun, termasuk di tempat kita bekerja.

  • 💡 Pelajaran: Jangan pernah menerima jawaban, "memang sudah dari sananya begitu." Kita harus berani mempertanyakan insentif yang mendasari sebuah sistem. Mengapa perusahaan lebih memilih mempekerjakan tenaga kerja murah daripada berinovasi dengan teknologi? Mengapa sekolah lebih fokus pada jumlah sertifikat yang dikeluarkan daripada kompetensi lulusannya? Jawabannya hampir selalu terletak pada struktur insentif yang salah.

Meskipun analisis makro dari paper ini sangat tajam dan membuka mata, saya merasa ada satu elemen yang hilang: suara manusianya. Saya ingin sekali membaca studi lanjutan yang menceritakan kisah para pekerja—baik lokal maupun asing—dan para pemilik usaha kecil yang setiap hari berjuang di dalam sistem yang menjebak ini. Analisis abstraknya memang kuat, tapi cerita manusialah yang pada akhirnya akan benar-benar menggerakkan perubahan.

Memutus Rantai: Sebuah Pemikiran Akhir

Pada akhirnya, paper ini meninggalkan saya dengan satu kesimpulan besar: kesehatan sebuah industri bergantung pada hubungan simbiosis antara "tanah" (Ekosistem Eksternal) dan "benih" (Ekosistem Internal). Jika tanahnya tandus dan penuh gulma, benih terbaik sekalipun tidak akan tumbuh. Sebaliknya, jika benihnya berkualitas buruk, tanah sesubur apa pun tidak akan menghasilkan panen yang baik.

Mustahil memperbaiki sistem pendidikan dan pelatihan tanpa mereformasi struktur insentif di industrinya. Dan mustahil mereformasi industri tanpa pasokan talenta berkualitas dari sistem pendidikan. Keduanya harus dibenahi secara holistik dan terintegrasi.

Ini adalah pelajaran yang jauh melampaui menara beton dan kerangka baja. Coba lihatlah industri Anda sendiri. Adakah "jebakan tak terlihat" atau "lingkaran setan" serupa yang menahan semua orang untuk maju? Apa itu, dan bagaimana kita bisa mulai memetakan jalan keluarnya?

Selami Lebih Dalam

Analisis saya ini hanya menggores permukaan dari kekayaan data dan argumen dalam paper aslinya. Jika Anda tertarik untuk memahami masalah ini secara lebih mendalam—dan saya jamin ini akan mengubah cara pandang Anda—saya sangat merekomendasikan Anda untuk membacanya sendiri.

(https://doi.org/10.30880/ijscet.2021.12.02.005)

Selengkapnya
Otopsi Sebuah Industri: Pelajaran Mengejutkan dari Jurnal tentang Krisis Tenaga Kerja Konstruksi
page 1 of 1