Dalam dunia rekrutmen, “kandidat sempurna” hampir selalu merupakan ilusi. Setiap lowongan pada akhirnya menarik pelamar dengan kombinasi kelebihan dan kekurangan. Pertanyaannya bukan lagi apakah kandidat ini ideal, tetapi apakah kekurangannya dapat diatasi dan apakah potensi mereka cukup kuat untuk berkembang?
Bab ini mengajak organisasi untuk melihat rekrutmen dengan lebih realistis dan ilmiah. Alih-alih berfokus pada kesenjangan kandidat dari “superhero” imajiner, pewawancara perlu menilai apa yang benar-benar penting untuk sukses dalam pekerjaan—dan kapan layak mengambil peluang pada seseorang yang tampak tidak sempurna namun memiliki fondasi kuat untuk berkembang.
Ketika Kandidat Tidak Sempurna: Mengubah Cara Pandang terhadap Kekurangan
Banyak hiring manager secara otomatis menolak kandidat yang tidak memenuhi seluruh persyaratan. Namun banyak dari “syarat wajib” tersebut lahir dari asumsi internal, bukan kebutuhan bisnis yang nyata.
Sebaliknya, setiap kandidat sebenarnya “kurang” dalam beberapa aspek. Yang perlu dipahami adalah:
-
kekurangan mana yang fatal,
-
kekurangan mana yang bisa dipelajari,
-
dan kekurangan mana yang sebenarnya tidak relevan.
Terjebak mengejar kandidat tanpa kelemahan justru membuat organisasi menutup diri dari talenta yang memiliki kapasitas belajar tinggi, pengalaman unik, atau perspektif segar yang dapat memperkuat tim.
1. Gunakan Data untuk Menentukan Kualitas yang Benar-Benar Dibutuhkan
Profil kandidat ideal sering kali berubah menjadi daftar superman—multi-talenta, berpengalaman panjang, dan ahli dalam semua hal. Namun pendekatan ini tidak realistis.
Lebih baik, perusahaan menggunakan pendekatan berbasis data:
-
pelajari 10 orang yang saat ini menjalankan peran tersebut,
-
identifikasi 3 performa terbaik,
-
tentukan karakteristik yang mereka miliki bersama.
Dari sinilah muncul kebutuhan inti pekerjaan, bukan dari asumsi.
Jika kandidat tidak memiliki salah satu faktor inti tersebut, barulah kekurangannya layak dianggap fatal. Jika tidak, mungkin kekurangan itu sama sekali tidak relevan dengan performa.
2. Kapasitas Belajar: Indikator Terkuat Masa Depan Kandidat
Pengetahuan dan keterampilan bisa diajarkan, tetapi kapasitas belajar tidak.
Kandidat dengan kapasitas belajar tinggi biasanya:
-
memiliki rasa ingin tahu,
-
menggunakan jejaring atau mentor untuk belajar,
-
memberi contoh bagaimana mereka mempelajari sesuatu dari nol,
-
menunjukkan sejarah belajar cepat di pekerjaan sebelumnya.
Untuk menilai kapasitas belajar, pewawancara perlu bertanya tentang:
-
proses belajar kandidat,
-
cara mereka mencari bantuan,
-
dan contoh konkret ketika mereka harus menguasai keterampilan baru dengan cepat.
Jika ketidakmampuan atau ketidakmauan belajar muncul, itu menjadi sinyal bahaya yang tidak dapat diperbaiki dengan pelatihan.
3. Menilai Potensi: Fokus pada Prediktor Pertumbuhan, Bukan Jalur Karier yang Lurus
Kandidat dengan karier tidak konvensional sering kali lebih inovatif dan adaptif. Namun banyak organisasi menolak mereka hanya karena tidak sesuai jalur tradisional.
Bab ini menekankan pentingnya menilai potensi berdasarkan prediktor berikut:
-
rasa ingin tahu,
-
keterlibatan,
-
ketekunan,
-
motivasi,
-
dan kepercayaan diri tanpa arogan.
Wawancara terstruktur sangat membantu dalam menilai potensi ini, karena pertanyaan dan indikatornya konsisten untuk semua kandidat. Namun perusahaan juga harus waspada: seseorang yang karismatik bukan berarti selalu kompeten—bahkan pribadi manipulatif bisa tampak meyakinkan di wawancara.
4. Validasi dengan Perspektif Lain: Wawancara Peer dan Review Rekaman
Di era mudahnya akses jawaban wawancara melalui internet, kandidat dapat mempersiapkan respons “sempurna.” Inilah sebabnya wawancara tunggal tidak cukup.
Beberapa strategi tambahan:
-
meninjau kembali rekaman wawancara,
-
mengundang manajer lain memberi perspektif,
-
dan melibatkan rekan kerja (peer) untuk menilai kecocokan operasional.
Peer interview sering kali paling akurat karena mereka menjalankan pekerjaan itu setiap hari dan lebih tahu kekurangan mana yang dapat ditoleransi dan mana yang akan mengganggu kinerja.
5. Gunakan Asesmen Tambahan: Berikan Tantangan Nyata atau “Whiteboard Test”
Wawancara saja tidak cukup, terutama untuk kandidat yang dinilai “kurang sempurna.”
Organisasi disarankan melakukan tes berbasis pekerjaan:
-
studi kasus nyata,
-
simulasi tugas hari pertama,
-
whiteboard session untuk problem-solving,
-
atau penilaian proses kerja.
Dalam tes tersebut, manajer tahu bagian mana dari solusi yang wajib ada. Jika kandidat tidak memenuhi elemen yang benar-benar kritis—misalnya sales tidak menanyakan kebutuhan pelanggan—itu pertanda ketidaksesuaian yang fatal.
6. Menilai Emotional Intelligence: Faktor Penentu Keberhasilan di Tempat Kerja
Orang sering dipecat bukan karena kemampuan teknis, tetapi karena perilaku interpersonal. Karena itu, menilai kecerdasan emosional adalah langkah penting.
Perusahaan perlu melihat apakah kandidat:
-
memiliki self-awareness,
-
mampu membina hubungan kerja,
-
dapat menerima umpan balik,
-
dan mampu meminta bantuan ketika butuh dukungan.
Cek referensi membantu memvalidasi hal-hal ini. Mantan atasan dan kolega dapat memberi gambaran apakah kandidat memiliki fleksibilitas sosial dan kemampuan membangun hubungan positif.
7. Jangan Pernah Berkompromi pada Karakter
Beberapa kelemahan dapat diperbaiki: keterampilan, pengalaman, atau bahkan kesenjangan pendidikan. Namun karakter bukan sesuatu yang mudah berubah.
Perilaku berikut harus dianggap sebagai red flag keras:
-
manipulatif,
-
tidak jujur,
-
kebiasaan kerja buruk,
-
atau perilaku melecehkan.
Tidak peduli seberapa cerdas kandidat tersebut, karakter buruk hampir selalu kembali menjadi masalah di kemudian hari.
8. Jangan Terburu-Buru: Menunda Lebih Baik daripada Salah Rekrut
Tekanan dari atasan atau kebutuhan mendesak tim tidak boleh membuat keputusan rekrutmen menjadi ceroboh. Risiko merekrut kandidat yang tidak tepat sangat tinggi—terutama untuk posisi kritis.
Lebih baik menunda pekerjaan sedikit daripada merekrut seseorang yang nanti akan menimbulkan biaya tinggi, kerusakan moral tim, atau kerugian bisnis.
Studi Kasus: Ketika Kandidat Tidak Konvensional Menjadi Bintang
Bab ini ditutup dengan studi kasus menarik tentang seorang kandidat bernama Sandy Ryan.
Di atas kertas, ia kalah dibanding kandidat lain yang lebih senior dan memiliki pengalaman lebih relevan. Namun ia memiliki dua hal penting:
-
kemampuan memimpin secara otentik,
-
dan kapasitas belajar yang luar biasa.
Ia jujur tentang kelemahannya, menjelaskan bagaimana ia akan belajar, dan menunjukkan komitmen mendalam terhadap pasien. Selain itu, kesan positif dari staf internal—yang melihat bagaimana ia berinteraksi dengan mereka—menjadi bukti tambahan karakter dan interpersonal skill yang kuat.
Ia akhirnya diterima dan berkembang menjadi pemimpin yang sangat sukses.
Penutup: Mengambil Risiko yang Tepat pada Kandidat yang Tepat
Organisasi tidak perlu takut pada kandidat yang tidak sempurna, selama kekurangan mereka bukan pada karakter atau aspek fundamental yang tidak dapat diperbaiki.
Dengan menggabungkan analisis data, wawancara terstruktur, validasi peer, asesmen nyata, dan penilaian karakter, perusahaan dapat mengambil risiko yang tepat pada kandidat yang memiliki masa depan cerah.
Daftar Pustaka
HBR Guide to Better Recruiting and Hiring – Chapter 19.