Jalan Rusak di Pelosok Negeri Punya Solusi Tak Terduga: Getaran Ponsel di Tangan Anda Bisa Jadi Kunci Perbaikan Nasional

Dipublikasikan oleh Hansel

16 Oktober 2025, 10.41

unsplash.com

Bayangkan sebuah ambulans yang membawa pasien kritis, berjuang melintasi jalan tanah bergelombang yang lebih mirip lintasan off-road daripada akses publik. Atau sebuah truk pengangkut hasil panen yang terpaksa menjual produknya dengan harga murah karena biaya transportasi yang membengkak akibat jalanan yang hancur. Ini bukan sekadar skenario hipotetis; ini adalah krisis senyap yang terjadi setiap hari di bawah roda jutaan kendaraan di seluruh dunia, menjadi penghalang nyata bagi kemajuan ekonomi, akses kesehatan, dan simbol kesenjangan infrastruktur yang menganga.

Skala masalah ini jauh lebih besar dari yang dibayangkan. Di negara maju seperti Swedia, jalan kerikil masih mencakup sekitar 20.000 km dari jaringan jalan nasional dan tambahan 75.000 km jalan pribadi yang perawatannya disubsidi oleh pemerintah.1 Di negara berkembang seperti Zambia, situasinya lebih dramatis: sekitar 75% dari jaringan jalan inti sepanjang 33.000 km tidak beraspal, dan sebagian besar berada dalam kondisi yang memprihatinkan.1 Fakta ini menggarisbawahi bahwa masalah jalan tak beraspal adalah isu global yang relevan, baik bagi negara dengan ekonomi maju maupun yang sedang berkembang.

Di sinilah letak konflik utamanya. Jalan-jalan ini adalah urat nadi kehidupan ekonomi lokal—penting untuk industri kehutanan di Swedia dan sektor pertanian vital di Zambia.1 Namun, secara alami, jalan jenis ini rusak jauh lebih cepat daripada jalan beraspal, rentan terhadap lubang, gelombang (keriting), debu, dan kerikil lepas.1 Metode pemantauan tradisional untuk mendeteksi kerusakan ini sangat mahal, memakan waktu, dan sering kali tidak efisien, menciptakan dilema besar bagi pemerintah dengan sumber daya yang terbatas. Namun, sebuah penelitian terobosan dari Keegan Mbiyana dan Mirka Kans dari Linnaeus University dan Chalmers University of Technology menawarkan secercah harapan. Solusi yang mereka usulkan tidak datang dalam bentuk alat berat baru atau satelit berteknologi tinggi, melainkan dari sesuatu yang sudah ada di saku jutaan orang di seluruh dunia: smartphone.

 

Mengapa Metode Lama Tak Lagi Cukup? Keterbatasan Fatal dari Inspeksi Mata Telanjang

Selama puluhan tahun, metode dominan untuk memantau kondisi jalan tak beraspal adalah melalui survei visual. Di Swedia, praktik ini dikenal sebagai "visual windscreen surveys," di mana para inspektur berkendara di sepanjang jalan dan secara subjektif menilai tingkat kerusakan.1 Di Zambia, tim inspeksi dari Roads Development Agency (RDA) melakukan survei tahunan dengan cara yang serupa untuk merencanakan pemeliharaan.1 Meskipun terdengar praktis, pendekatan ini memiliki kelemahan fundamental yang membuatnya tidak lagi memadai di era digital.

Kelemahan pertama dan paling fatal adalah subjektivitas. Penilaian kondisi jalan sangat bergantung pada persepsi dan pengalaman individu inspektur. Apa yang dianggap sebagai "kerusakan sedang" oleh satu orang mungkin dinilai sebagai "parah" oleh orang lain. Penelitian ini secara tegas menyebut metode ini "rentan terhadap subjektivitas dan kesalahan penilaian manusia".1 Ketergantungan pada penilaian personal ini membuat data yang dihasilkan tidak konsisten dan sulit untuk distandarisasi secara nasional.

Kedua, metode ini sangat tidak efisien dari segi biaya dan waktu. Mengirim tim inspeksi untuk menjelajahi ribuan kilometer jalan pedesaan yang terpencil adalah operasi logistik yang masif, memakan biaya bahan bakar, waktu perjalanan, dan tenaga kerja yang signifikan.1 Akibatnya, survei sering kali dilakukan secara sporadis—misalnya, hanya setahun sekali di Zambia.1 Frekuensi yang rendah ini berarti kerusakan kecil yang bisa diperbaiki dengan murah akan dibiarkan memburuk hingga menjadi masalah besar yang membutuhkan perbaikan mahal.

Keterbatasan ini pada akhirnya bermuara pada masalah ketiga: kurangnya data berkualitas tinggi dan relevan.1 Tanpa data yang berkelanjutan dan objektif, mustahil untuk membangun model prediktif yang akurat. Analogi yang tepat adalah seperti seorang dokter yang mencoba mendiagnosis kondisi kesehatan seorang pasien hanya dengan melihatnya dari seberang ruangan setahun sekali. Diagnosisnya hampir pasti tidak akurat, tidak lengkap, dan selalu terlambat.

Ketergantungan pada survei visual ini tanpa disadari menciptakan sebuah lingkaran setan pemeliharaan reaktif. Karena data yang buruk, pihak berwenang tidak dapat meramalkan di mana dan kapan kerusakan akan terjadi. Akibatnya, mereka hanya bisa bereaksi setelah kerusakan sudah parah. Di Swedia, sumber daya yang terbatas sering kali menggeser fokus dari tindakan pencegahan ke perbaikan korektif.1 Di Zambia, situasinya lebih ekstrem: jalan tak beraspal sering kali baru mendapat perhatian ketika kondisinya sudah "hampir tidak bisa dilewati," terutama saat musim hujan.1 Model reaktif ini tidak hanya jauh lebih mahal daripada pemeliharaan preventif, tetapi juga menyebabkan gangguan yang lebih besar bagi masyarakat yang bergantung pada jalan tersebut.

 

Revolusi dari Saku Anda: Memanfaatkan Warga Biasa sebagai ‘Sensor Berjalan’

Di tengah kebuntuan metode konvensional, penelitian Mbiyana dan Kans memperkenalkan sebuah konsep yang elegan dan revolusioner: pengumpulan data partisipatif (participatory data collection). Idenya adalah memberdayakan pengguna jalan sehari-hari—seperti petugas pos, sopir bus sekolah, pengemudi truk pengumpul sampah, dan penduduk lokal—untuk menjadi "sensor berjalan" yang secara otomatis mengumpulkan data kondisi jalan saat mereka melakukan aktivitas normal mereka.1

Bagaimana ini mungkin terjadi? Jawabannya terletak pada teknologi yang tersemat di dalam smartphone modern. Setiap ponsel pintar dilengkapi dengan serangkaian sensor canggih, termasuk akselerometer yang dapat mengukur getaran dan guncangan, giroskop yang mendeteksi kemiringan, dan GPS yang mencatat lokasi dengan presisi tinggi.1 Ketika sebuah kendaraan melintasi jalan yang rusak, getaran dan guncangan yang dihasilkan akan ditangkap oleh akselerometer di ponsel pengemudi.

Dengan menggunakan aplikasi khusus, data getaran ini dapat dianalisis untuk mengidentifikasi anomali. Getaran yang halus dan konsisten mengindikasikan jalan yang mulus, sementara guncangan yang keras dan tiba-tiba menandakan adanya lubang, gelombang, atau kerusakan lainnya. Setiap data getaran ini diberi label geografis oleh GPS, menciptakan peta kerusakan jalan yang sangat detail dan dinamis. Ini seperti mengubah setiap kendaraan menjadi "mesin EKG" untuk jalan raya, yang terus-menerus memantau "kesehatan" infrastruktur secara real-time. Aplikasi yang sudah ada seperti Roadroid, yang disebutkan dalam penelitian, menunjukkan potensi nyata dari pendekatan ini.1

Manfaat dari pendekatan ini sangat transformatif. Pertama, cakupan pemantauan menjadi jauh lebih luas dan berkelanjutan. Bayangkan ribuan "sensor" yang bergerak setiap hari di seluruh jaringan jalan, dibandingkan dengan segelintir tim inspeksi yang hanya bisa mencakup sebagian kecil area dalam satu waktu.1 Kedua, efisiensi biaya meningkat secara dramatis. Alih-alih berinvestasi pada peralatan survei yang mahal, pendekatan ini memanfaatkan perangkat yang sudah dimiliki oleh miliaran orang di seluruh dunia.1 Ketiga, data yang dihasilkan bersifat mendekati real-time, memungkinkan pihak berwenang untuk merespons kerusakan dengan jauh lebih cepat sebelum masalah menjadi lebih parah.

Lebih dari sekadar inovasi teknis, ini adalah pergeseran paradigma fundamental dalam manajemen infrastruktur—dari model yang sepenuhnya terpusat dan top-down ke model crowdsourced yang terdesentralisasi dan bottom-up. Ini adalah sebuah langkah menuju demokratisasi proses pemeliharaan, di mana warga negara tidak lagi hanya menjadi penerima layanan yang pasif, tetapi menjadi kontributor aktif dalam merawat aset publik mereka. Ini bukan hanya tentang mengumpulkan data; ini tentang membangun rasa kepemilikan, keterlibatan masyarakat, dan akuntabilitas baru antara pemerintah dan warganya.

 

Dua Negara, Satu Masalah: Pelajaran Kontras dari Swedia dan Zambia

Untuk menguji kelayakan ide ini di dunia nyata, penelitian ini melakukan studi kasus eksplorasi di dua negara yang sangat berbeda: Swedia dan Zambia. Perbandingan ini secara brilian menyoroti universalitas masalah dan fleksibilitas solusi yang diusulkan.

Di satu sisi, ada Swedia, negara maju dengan anggaran pemeliharaan infrastruktur yang besar. Jalan kerikil di sana menghabiskan sekitar 20% dari total anggaran pemeliharaan jalan.1 Meskipun memiliki sumber daya yang cukup, mereka masih berjuang dengan efisiensi pemantauan. Tantangan utama di Swedia adalah kerusakan yang disebabkan oleh periode pencairan salju (snow-thawing), di mana tanah yang mencair melemahkan struktur jalan dan membuatnya rentan terhadap kerusakan akibat lalu lintas berat.1 Menariknya, otoritas transportasi Swedia, Trafikverket, sudah menyadari potensi teknologi ini. Mereka dilaporkan sedang dalam tahap pengujian menggunakan akselerometer smartphone dan bahkan sedang dalam proses pengadaan proyek inovasi untuk mengumpulkan data dari armada kendaraan yang dilengkapi sensor.1 Sikap mereka positif: mereka bersedia mempertimbangkan pengumpulan data partisipatif di masa depan, asalkan teknologinya telah "teruji dan divalidasi sebagai andal dan kuat".1

Di sisi lain, ada Zambia, negara berkembang di mana jalan tak beraspal adalah tulang punggung kehidupan sehari-hari, menghubungkan masyarakat pedesaan ke sekolah, fasilitas kesehatan, dan pasar.1 Tantangan utama di sini bukanlah salju, melainkan musim hujan yang ekstrem, yang dapat menghanyutkan permukaan jalan, merusak jembatan, dan secara efektif mengisolasi seluruh komunitas.1 Roads Development Agency (RDA) di Zambia menghadapi keterbatasan sumber daya yang parah, di mana pemeliharaan jalan beraspal sering kali menjadi prioritas utama.1 Namun, meskipun dengan sumber daya yang terbatas, mereka juga melihat potensi besar dalam teknologi ini. Kemungkinan menggunakan smartphone untuk mengukur kekasaran permukaan jalan telah didiskusikan dan sedang dipertimbangkan.1 Hambatan utama bagi mereka bukanlah keengganan, melainkan kebutuhan praktis untuk berinvestasi dalam "infrastruktur yang diperlukan untuk mengelola data dan staf yang terlatih" untuk menangani aliran informasi baru ini.1

Kisah kontras dari Swedia dan Zambia ini mengungkapkan sebuah kebenaran yang kuat. Meskipun konteks mereka sangat berbeda—iklim ekstrem yang berlawanan (musim dingin vs. musim hujan), tingkat pembangunan ekonomi yang berbeda, dan ketersediaan sumber daya yang kontras—kedua negara menghadapi masalah inti yang sama: kurangnya data kondisi jalan yang efisien, objektif, dan berkelanjutan. Dan yang lebih penting, keduanya melihat solusi potensial dalam teknologi yang sama.

Hal ini menunjukkan bahwa demokratisasi teknologi, terutama ketersediaan smartphone yang semakin meluas bahkan di daerah pedesaan, dapat bertindak sebagai penyeimbang (equalizer) dalam manajemen infrastruktur global. Negara berkembang seperti Zambia berpotensi untuk "melompati" (leapfrog) metode pemantauan tradisional yang mahal dan padat karya, dan langsung mengadopsi solusi digital yang lebih gesit dan hemat biaya. Ini adalah solusi yang sama yang juga sedang dieksplorasi secara serius oleh negara maju seperti Swedia. Ini membuktikan bahwa teknologi berbasis partisipasi warga bukanlah solusi "kelas dua" untuk negara miskin, melainkan pendekatan generasi berikutnya yang relevan secara universal untuk tantangan infrastruktur abad ke-21.

 

Di Balik Layar: Begini Cara Getaran Ponsel Diubah Menjadi Rencana Perbaikan

Mengubah getaran acak dari ribuan ponsel menjadi rencana pemeliharaan yang dapat ditindaklanjuti bukanlah sihir, melainkan sebuah proses sistematis. Para peneliti mengusulkan kerangka kerja yang didasarkan pada standar industri yang sudah ada, yaitu OSA-CBM (Open System Architecture for Condition Based Maintenance), yang memecah proses menjadi langkah-langkah logis.1

Langkah 1: Pengumpulan dan Penyimpanan Data

Proses dimulai dengan mengidentifikasi dan melatih para relawan—bisa jadi pengemudi bus, petugas pos, atau warga biasa yang sering melintasi jalan tersebut. Pelatihan ini krusial untuk memastikan kualitas data yang dikumpulkan, mencakup cara memasang perangkat dan memahami parameter pengukuran.1 Saat mereka berkendara, aplikasi di smartphone mereka secara pasif akan mengumpulkan data getaran, mengambil foto atau video kerusakan yang signifikan, dan mengunggah semuanya secara otomatis ke server cloud yang terpusat.1

Langkah 2: Analisis Cerdas - "Nowcasting" dan "Forecasting"

Setelah data terkumpul, di sinilah kecerdasan buatan dan analisis data berperan. Proses ini terbagi menjadi dua fungsi utama:

  • "Nowcasting" (Memprediksi Saat Ini): Sistem akan menganalisis aliran data yang masuk secara real-time untuk memberikan gambaran akurat tentang kondisi jalan saat ini. Jika tingkat kerusakan pada segmen jalan tertentu terdeteksi melampaui ambang batas aman, sistem dapat dirancang untuk secara otomatis menghasilkan perintah kerja (work order) dan mengirimkannya langsung ke kontraktor pemeliharaan terdekat.1 Ini berfungsi seperti sistem peringatan dini tsunami untuk infrastruktur, memungkinkan respons cepat sebelum kerusakan kecil menjadi bencana.
  • "Forecasting" (Meramal Masa Depan): Dengan menggabungkan data saat ini dengan data historis yang terus terakumulasi, sistem dapat mulai mengenali pola degradasi. Algoritma machine learning dapat memprediksi kapan suatu ruas jalan kemungkinan besar akan mencapai tingkat kerusakan kritis di masa depan. Ini memungkinkan perencanaan pemeliharaan yang dinamis dan proaktif 1, di mana perbaikan dilakukan tepat sebelum jalan rusak parah, menghemat biaya dan meminimalkan gangguan. Ini ibarat memiliki prakiraan cuaca yang andal untuk infrastruktur jalan.

Langkah 3: Dukungan Keputusan dan Aksi Nyata

Hasil analisis ini kemudian disajikan dalam format yang mudah dipahami bagi para pengambil keputusan. Manajer pemeliharaan dapat mengalokasikan sumber daya yang terbatas secara lebih efektif, memprioritaskan perbaikan berdasarkan data objektif, bukan hanya berdasarkan laporan anekdotal atau tekanan politik.1 Selain itu, manfaatnya juga dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Data yang sama dapat divisualisasikan melalui antarmuka publik, seperti aplikasi peta di ponsel, yang menunjukkan kondisi jalan saat ini. Pengguna jalan dapat merencanakan rute yang lebih aman dan nyaman, menghindari jalan yang sedang rusak parah.

Lebih jauh lagi, implementasi sistem semacam ini dapat berfungsi sebagai alat anti-korupsi dan pendorong tata kelola yang baik. Dalam lingkungan di mana keputusan pemeliharaan terkadang dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor non-teknis, seperti yang diisyaratkan dalam kasus di Zambia di mana beberapa jalan dipaving karena "pengaruh politik" 1, sistem berbasis data yang transparan menciptakan dasar yang objektif untuk alokasi anggaran. Ketika keputusan perbaikan didasarkan pada data kerusakan yang terverifikasi dan dapat diaudit, menjadi jauh lebih sulit untuk membenarkan proyek yang tidak perlu sambil mengabaikan kebutuhan yang nyata dan mendesak. Teknologi ini, pada intinya, menggantikan pengambilan keputusan yang subjektif dan berpotensi korup dengan proses yang transparan dan akuntabel.

 

Bukan Jalan Mulus Tanpa Hambatan: Kritik Realistis dan Tantangan di Depan

Meskipun konsep pengumpulan data partisipatif ini sangat menjanjikan, para peneliti bersikap realistis dan mengakui bahwa implementasinya bukanlah jalan mulus tanpa hambatan. Mengadopsi pendekatan ini secara luas akan menghadirkan serangkaian tantangan teknis, logistik, dan sosial yang perlu diatasi.

Tantangan teknis yang paling signifikan adalah kualitas dan standardisasi data. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa data yang dikumpulkan dari ratusan model smartphone yang berbeda (dengan sensitivitas sensor yang bervariasi) dan dipasang di berbagai jenis kendaraan (dengan sistem suspensi yang berbeda) dapat dibandingkan secara adil? Penelitian ini menyoroti perlunya kalibrasi yang cermat berdasarkan "properti sensor, respons getaran kendaraan, dan kecepatan" untuk memastikan data yang dihasilkan akurat dan andal.1

Selanjutnya adalah tantangan logistik terkait pelatihan pengguna. Agar sistem ini efektif, para relawan perlu dilatih tentang cara menggunakan aplikasi dengan benar dan cara memasang ponsel mereka di dalam kendaraan untuk mendapatkan data yang optimal.1 Mengorganisir pelatihan semacam ini untuk ribuan partisipan di wilayah yang luas memerlukan sumber daya dan perencanaan yang matang.

Masalah privasi pengguna juga menjadi perhatian utama. Sistem ini secara inheren mengumpulkan data lokasi dan perjalanan pribadi. Oleh karena itu, sangat penting untuk membangun sistem yang kuat di mana "privasi pengguna dijamin".1 Data harus dianonimkan dan diagregasi untuk melindungi identitas individu, dan kebijakan privasi yang transparan harus diterapkan untuk membangun kepercayaan publik.

Terakhir, dan mungkin yang paling mendasar, adalah tantangan terkait infrastruktur data dan kapasitas organisasi. Baik Trafikverket di Swedia maupun RDA di Zambia menyuarakan keprihatinan yang sama: mereka harus memiliki kapasitas untuk "menerima dan mengelola semua data secara efisien".1 Ini bukan hanya tentang membeli server yang lebih besar, tetapi tentang membangun kompetensi baru di dalam organisasi.

Di sinilah tantangan terbesar mungkin bergeser dari ranah teknis ke ranah sosial dan organisasional. Meyakinkan lembaga pemerintah yang sering kali birokratis untuk beralih dari model kontrol top-down ke model manajemen yang radikal, terdesentralisasi, dan bergantung pada data yang bersumber dari warga adalah sebuah rintangan budaya yang signifikan. Ini memerlukan perubahan pola pikir yang mendalam—dari kontrol penuh menjadi kolaborasi, dari keahlian internal yang eksklusif menjadi kepercayaan pada kecerdasan kolektif. Keberhasilan implementasi tidak hanya bergantung pada algoritma yang canggih, tetapi juga pada manajemen perubahan organisasi, membangun kepercayaan dengan publik, dan menciptakan kerangka kerja tata kelola data yang kuat yang dapat diterima oleh semua pihak.

 

Kesimpulan - Dampak Nyata untuk Masa Depan Jalan Pedesaan

Penelitian yang dipelopori oleh Keegan Mbiyana dan Mirka Kans menawarkan lebih dari sekadar metode baru untuk memantau jalan rusak. Ini adalah cetak biru untuk masa depan pemeliharaan infrastruktur yang lebih cerdas, lebih hemat biaya, dan secara fundamental lebih demokratis. Dengan memanfaatkan kekuatan teknologi yang ada di tangan warga negara, pendekatan partisipatif ini memiliki potensi untuk merevolusi cara kita mengelola salah satu aset publik yang paling vital.

Jika diterapkan secara luas, pendekatan berbasis partisipasi warga ini berpotensi memangkas biaya survei jalan tak beraspal hingga puluhan persen dan secara dramatis mempercepat waktu respons perbaikan dari hitungan bulan atau tahun menjadi hitungan hari atau minggu. Dalam satu dekade ke depan, ini dapat secara langsung meningkatkan keselamatan di jalan, membuka akses ekonomi bagi jutaan orang di komunitas pedesaan yang sebelumnya terisolasi, dan membangun model baru kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat yang didasarkan pada transparansi data dan kepercayaan bersama. Ini adalah sebuah visi di mana setiap warga negara, dengan ponsel di tangan mereka, dapat menjadi bagian dari solusi untuk membangun infrastruktur yang lebih baik bagi semua.

 

Sumber Artikel:

https://doi.org/10.36615/wmwdwh65